34Pagi menjelang. Sejak selesai salat Subuh tadi Raisa sudah bersiap-siap untuk berangkat. Berbagai kotak berisi oleh-oleh buat keluarga sudah diangkutnya masuk ke mobil saat aku berganti pakaian."Buruan sarapannya, Sayang," tukas Raisa sambil memandangiku yang tengah menyuap mi goreng buatannya."Sabar atuh, baru juga nyuap," jawabku. "Piringnya mau langsung dicuci. Jadi hari Senin pulang itu di rumah nggak ada piring kotor." "Hmm, kita pulangnya hari Minggu. Hari Senin jam 10 pagi, Ayah ada rapat di tempat klien. Nggak keburu kalau berangkat subuhnya," jelasku. Tatapan matanya seketika berubah sendu. Raisa menunduk sambil memainkan jemari lentiknya yang ditumpangkan di meja. Mulai, deh. Drama, deui!"Nanti kalau udah bisa cuti, kita liburan agak lama di sana. Mau honeymoon lagi juga boleh," candaku sambil menaikturunkan alis menggodanya. Raisa mengulaskan senyuman dan mengangguk dengan semangat. Membuat istri bisa tersenyum kembali itu menjadikanku bergerak untuk mendaratkan k
35Sejak pagi aku sudah berkeliling kompleks sambil jalan santai dan senam tangan. Aku menyapa beberapa tetangga yang kebetulan bertemu. Selanjutnya aku meneruskan langkah hingga tiba di dekat lapangan. Aku duduk santai sambil menikmati sepiring lontong kari. Tatapanku mengarah pada Raisa yang sedang joging di lapangan bersama Eli.Esti sejak tadi sudah lebih dulu turun dari rumah untuk langsung ke toko bunga miliknya. Dia hendak menunggu kedatangan mobil pengangkut bunga yang dipesan sejak jauh-jauh hari. Sekian menit berlalu, Raisa dan Eli sudah ikut duduk di dekatku. Raisa memesan kupat sayur, sementara Eli memesan kupat tahu. "Bang, nanti habis Magrib ada undangan rapat di rumah pak RT," ujar Eli di sela-sela mengunyah. "Iya, tadi Abang dapat info yang sama dari Pak Salim. Yang rumahnya di pojok itu," sahutku. "Ayah mau datang ke rapat?" tanya Raisa. "InsyaAllah. Mampir sebentar, habis itu baru kita berangkat balik ke Jakarta," terangku. "Ehm, kalau Bunda tinggal dulu di s
36Sore harinya, aku terbangun karena mendengar suara tawa orang-orang dari luar kamar. Aku bergegas bangkit dan jalan ke bilik termenung. Mempercepat pembersihan diri, lalu keluar dan berganti pakaian. Raisa dan Mami tampak sibuk di dapur sambil bercanda. Harum masakan sangat menggugah selera. Hidungku mengembang dan mengempis dengan sempurna. "Masak apa?" tanyaku sambil duduk di kursi dekat meja makan."Kentang balado, tumis sawi putih dan rolade," jawab Raisa sambil meletakkan segelas teh manis di meja. "Sini!" pintaku sembari menepuk-nepuk kursi di sebelah kanan."Nanti aja. Belum beres masaknya," tolaknya sambil melenggang menjauh. Aku terdiam, lalu meraih cangkir dan mulai menyesap teh. Kemudian mengambil sepotong bolen durian di meja. Tatapanku terfokus pada Raisa. Benar-benar tidak sabar untuk segera mendapatkan jatah preman yang tertunda seminggu Saat Mami memasuki kamar mandi, aku langsung bergerak menuju dapur dan memeluk pinggang istriku dari belakang. "Kangen," uca
37Tawa Raisa bergema di ruang tamu apartemen kami yang mungil. Sedangkan aku cuma mesem-mesem melihat tingkahnya. "Terus gimana? Beneran berantem?" tanya Raisa di sela-sela tawa."Gaklah. Cuma saling lirik aja sepanjang rapat," jawabku. "Kira-kira bakal dapat nggak, nih, proyek di perusahaan itu?" "Au ahh. Sudah keburu nggak konsen tadi. Untungnya Pak Tono sigap. Dia yang banyak ngambil alih presentasi. Ayah lebih banyak diam." "Sabar, Yah. Kalau nggak dapat, nggak apa-apa. Pasti akan digantikan rezekinya dari tempat lain." Aku manggut-manggut. "Ehm, Bun. Sekarang udah bisa kan?" tanyaku pura-pura lugu. Raisa memandangiku sejenak, sebelum akhirnya mengangguk mengiakan. Dia melengos saat aku tersenyum lebar. "Mandi dulu!" perintah Raisa."Siap, Komandan!" jawabku sambil bangkit berdiri dari sofa. Berjalan sembari berjoget menuju kamar mandi. Membersihkan diri demi sang istri. Beberapa saat kemudian aku berjalan memasuki kamar yang sudah gelap. Hanya ada satu lilin aroma terapi
38Mami dan Papi ternyata betul-betul datang sesuai dengan janji. Mereka tiba beserts kedua orang tuaku, tepat di saat matahari siang sedang menyorot dengan dahsyat. Aku yang hendak keluar untuk menyambut mereka, akhirnya membatalksn niat karena tidak kuat dengan pancaran sang surya. Nanti kulitku jadi hideung dan mengurangi ketampanan. Bahaya!Darman keluar bersama Kusno. Keduanya berjibaku mengangkut banyak barang dari mobil ke teras kantor. Aku, Heni dan Endang meneruskan memindahkan benda-benda itu ke ruang tamu. "Mau baca doa di sini atau di atas?" tanya Raisa yang tengah berdiri di dekat meja Heni. "Di sini aja," jawabku. Raisa meletakkan kotak kue yang sejak tadi dipegangnya. Dia bergerak cepat membuka kotaknya. Tampaklah kue berukuran besar dengan hiasan cokelat di atasnya. Mama mengulurkan pisau kecil ke meja. Mami meletakkan tisu dan piring serta garpu kecil ke dekat kue. "Ayo, kita baca doa dulu," ajak Papi. Sekali lagi papaku yang memimpin doa. Setelahnya acara poton
39Hari yang dinantikan Raisa pun tiba. Sejak pagi dia tampak semringah. Kondisinya yang biasanya lemah sekarang terlihat lebih segar. Aku menyetir dengan santai. Sesekali beradu pandang dengannya yang tampak bahagia. Saat mobil kami memasuki halaman rumah, ternyata kedua perempuan tua sudah menunggu di teras. Pelukan hangat diberikan Mami dan Mama ke Raisa yang tak henti-hentinya tersenyum. Mereka menuntun istriku yang cantik itu menuju bagian tengah rumah. Aku terperangah saat melihat aneka hiasan yang memenuhi ruangan. Beberapa wajah yang sangat dikenal juga tampak hadir seraya tersenyum."Kalian, ngapain ke sini?" tanyaku sambil menyalami mereka satu per satu. "Numpang makan," jawab Bayu Evan langsung berlari ke arahku dan melompat masuk ke dalam pelukan. Tangannya dikalungkan di leher sembari mengusapkan bibir berulang kali ke wajah."Papi, main yuk!" ajaknya. "Nanti, ya, Sayang. Papi baru nyampe. Mau istirahat dulu. Nanti habis salat Jumat dan makan siang, baru kita main,"
40"Ayah ke sininya minggu depan?" tanya Raisa."Iya, kerjaan Ayah pasti sudah numpuk, Bun. Banyak tender, harus dikerjakan secepatnya," jawabku sambil merangkul pundaknya. "Tapi nanti Bunda bakal kangen berat," rajuknya. "Tetap doakan Ayah aja. Biar selalu sehat dan dilindungi Tuhan. Agar Ayah bisa segera datang ke sini," bujukku. Bibir Raisa terangkat dan membingkai senyum tipis. Kemudian, dia menyandarkan kepala di bahuku dengan manja. "Ayah nggak dibekalin, nih?" candaku. "Nanti aja, masih awal. Malu kalo kedengaran Mami sama Papi," sahutnya seraya tersenyum lebar. "Ya, jangan berisik. Diam-diam gitu." Tawanya seketika pecah. Aku pun terpancing untuk tersenyum. Memandangi Raisa yang sedang tergelak itu membuatku senang, karena tandanya dia tengah bahagia."Mana bisa diam-diam. Enggak seru," tukas Raisa, setelah tawanya menghilang. "Iya, sih. Kurang hot," sahutku. "Badan Bunda lagi mbulet gini, nggak bisa juga mau banyak gaya." "Ayah justru suka, Bunda makin berisi. Tamb
41Jalinan waktu terus bergulir. Hari-hariku dihabiskan dengan bekerja. Sebab Raisa masih betah di Bandung, aku jadi malas pulang ke apartemen yang sunyi dan sepi. Malam ini, aku keluar dari kantor jam 8. Petugas keamanan area yang tengah patroli, bergegas mendatangi dan membantuku menutup serta mengunci rolling door. Kami berbincang sesaat, sebelum aku berpamitan dan jalan ke mobil. Setelah memasuki kendaraan dan menyalakan mesinnya, aku memutar mobil hingga mengarah ke luar area. Aku hendak membeli makanan di luar, karena bosan dengan menu-menu yang tersedia di rumah makan sekitar gedung. Aku melajukan mobil dengan kecepatan rendah, sambil melihat-lihat tepi jalan. Aku membelokkan kemudi dan parkir di depan deretan rumah toko. Setelah mematikan mesin dan memasang rem tangan, aku melepaskan sabuk pengaman. Sekian menit berikutnya, aku sudah berada di meja terdepan. Tempat ini cukup ramai. Semua pegawainya bekerja cepat menyiapkan hidangan. Aku menyempatkan diri menelepon Raisa.