38Mami dan Papi ternyata betul-betul datang sesuai dengan janji. Mereka tiba beserts kedua orang tuaku, tepat di saat matahari siang sedang menyorot dengan dahsyat. Aku yang hendak keluar untuk menyambut mereka, akhirnya membatalksn niat karena tidak kuat dengan pancaran sang surya. Nanti kulitku jadi hideung dan mengurangi ketampanan. Bahaya!Darman keluar bersama Kusno. Keduanya berjibaku mengangkut banyak barang dari mobil ke teras kantor. Aku, Heni dan Endang meneruskan memindahkan benda-benda itu ke ruang tamu. "Mau baca doa di sini atau di atas?" tanya Raisa yang tengah berdiri di dekat meja Heni. "Di sini aja," jawabku. Raisa meletakkan kotak kue yang sejak tadi dipegangnya. Dia bergerak cepat membuka kotaknya. Tampaklah kue berukuran besar dengan hiasan cokelat di atasnya. Mama mengulurkan pisau kecil ke meja. Mami meletakkan tisu dan piring serta garpu kecil ke dekat kue. "Ayo, kita baca doa dulu," ajak Papi. Sekali lagi papaku yang memimpin doa. Setelahnya acara poton
39Hari yang dinantikan Raisa pun tiba. Sejak pagi dia tampak semringah. Kondisinya yang biasanya lemah sekarang terlihat lebih segar. Aku menyetir dengan santai. Sesekali beradu pandang dengannya yang tampak bahagia. Saat mobil kami memasuki halaman rumah, ternyata kedua perempuan tua sudah menunggu di teras. Pelukan hangat diberikan Mami dan Mama ke Raisa yang tak henti-hentinya tersenyum. Mereka menuntun istriku yang cantik itu menuju bagian tengah rumah. Aku terperangah saat melihat aneka hiasan yang memenuhi ruangan. Beberapa wajah yang sangat dikenal juga tampak hadir seraya tersenyum."Kalian, ngapain ke sini?" tanyaku sambil menyalami mereka satu per satu. "Numpang makan," jawab Bayu Evan langsung berlari ke arahku dan melompat masuk ke dalam pelukan. Tangannya dikalungkan di leher sembari mengusapkan bibir berulang kali ke wajah."Papi, main yuk!" ajaknya. "Nanti, ya, Sayang. Papi baru nyampe. Mau istirahat dulu. Nanti habis salat Jumat dan makan siang, baru kita main,"
40"Ayah ke sininya minggu depan?" tanya Raisa."Iya, kerjaan Ayah pasti sudah numpuk, Bun. Banyak tender, harus dikerjakan secepatnya," jawabku sambil merangkul pundaknya. "Tapi nanti Bunda bakal kangen berat," rajuknya. "Tetap doakan Ayah aja. Biar selalu sehat dan dilindungi Tuhan. Agar Ayah bisa segera datang ke sini," bujukku. Bibir Raisa terangkat dan membingkai senyum tipis. Kemudian, dia menyandarkan kepala di bahuku dengan manja. "Ayah nggak dibekalin, nih?" candaku. "Nanti aja, masih awal. Malu kalo kedengaran Mami sama Papi," sahutnya seraya tersenyum lebar. "Ya, jangan berisik. Diam-diam gitu." Tawanya seketika pecah. Aku pun terpancing untuk tersenyum. Memandangi Raisa yang sedang tergelak itu membuatku senang, karena tandanya dia tengah bahagia."Mana bisa diam-diam. Enggak seru," tukas Raisa, setelah tawanya menghilang. "Iya, sih. Kurang hot," sahutku. "Badan Bunda lagi mbulet gini, nggak bisa juga mau banyak gaya." "Ayah justru suka, Bunda makin berisi. Tamb
41Jalinan waktu terus bergulir. Hari-hariku dihabiskan dengan bekerja. Sebab Raisa masih betah di Bandung, aku jadi malas pulang ke apartemen yang sunyi dan sepi. Malam ini, aku keluar dari kantor jam 8. Petugas keamanan area yang tengah patroli, bergegas mendatangi dan membantuku menutup serta mengunci rolling door. Kami berbincang sesaat, sebelum aku berpamitan dan jalan ke mobil. Setelah memasuki kendaraan dan menyalakan mesinnya, aku memutar mobil hingga mengarah ke luar area. Aku hendak membeli makanan di luar, karena bosan dengan menu-menu yang tersedia di rumah makan sekitar gedung. Aku melajukan mobil dengan kecepatan rendah, sambil melihat-lihat tepi jalan. Aku membelokkan kemudi dan parkir di depan deretan rumah toko. Setelah mematikan mesin dan memasang rem tangan, aku melepaskan sabuk pengaman. Sekian menit berikutnya, aku sudah berada di meja terdepan. Tempat ini cukup ramai. Semua pegawainya bekerja cepat menyiapkan hidangan. Aku menyempatkan diri menelepon Raisa.
42Erwin menghilang!Kekhawatiranku terbukti dan membuatku serta Farraz dan Seno makin cemas. Keduanya telah berupaya mencari Erwin ke berbagai tempat yang biasa didatangi. Sedangkan aku menghubungi semua teman-teman kuliah, mungkin saja mereka memiliki informasi tentang Erwin. Namun, hasilnya nihil. Pagi ini, aku melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan menuju kota kembang. Amran yang berada di sebelah kiri, terlihat tegang. Raisa dan Silvi yang menempati kursi tengah, terlibat perbincangan tentang berbagai komentar di grup para istri karyawan GWA Grup yang semuanya membahas kasus ini. Aku berusaha fokus mengemudi, meskipun sebenarnya pikiran bercabang-cabang. Aku kesal pada Erwin..Harusnya dia jangan kabur dan berani mempertanggungkan perbuatannya. Jika sudah begini, pihak perusahaan mungkin akan melaporkannya ke kantor polisi. Aku juga mencemaskan Vita. Dia pasti syok karena suaminya kabur. Belum lagi bakal dicemooh orang lain. Aku khawatir jika menta
43Acara pelantikan pagi menjelang siang ini berlangsung khidmat. Aku begitu bahagia hingga nyaris tidak berhenti tersenyum. Raisa yang berada di kursi belakang Pak Agung, berulang kali melambaikan tangannya. Aku dan kedua direktur dari cabang Surabaya serta Semarang yang juga baru dilantik, merapatkan barisan. Pak Giandra, Pak Agung, Pak Harmoko dan Andra berdiri di sisi kanan. Sementara sisi kiri ditempati Pak Linggha, Pak Leandru, Pak Tanvir dan Pak Davindra. Mereka adalah para komisaris dari Pangestu Grup dan Mahendra Grup, yang juga turut menanamkan saham besar di GWA. Sesi pertama pemotretan berlangsung damai. Namun, ketika beberapa bos dari HWZ, LCGL dan GANK turut bergabung sambil berjongkok di bawah, suasana berubah ricuh. Ketiga perusahaan tersebut merupakan cabang dari Pangestu Grup, karena Pak Linggha menjadi penyumbang saham terbesarnya. Belasan menit berlalu, aku bergabung di meja yang ditempati para bos HWZ, LCGL dan GANK. Aku celingukan mencari Raisa, yang ternyat
44Hari berganti dengan kecepatan maksimal..Pagi ini, aku baru tiba di kantor ketika banyak notifikasi masuk dari grup kantor. Aku duduk di kursi kebangsaan sambil menggulirkan jemari, untuk membaca pesan-pesan itu. Mataku membulat sempurna, usai membaca informasi terbaru tentang Erwin. Aku hendak menelepon Seno, tetapi dia telah lebih dulu menghubungiku. Aku menekan tanda hijau pada layar ponsel, lalu menempelkan telepon genggam ke telinga kanan. "Ya, Sen?" sapaku. "Erwin sudah menyerahkan diri, Dy," jawab Seno."Ya, aku sudah lihat infonya di grup." "Kamu diminta ke sini sama Pak Agung dan Pak Giandra." "Kapan?" "Hari ini." "Oke, habis zuhur aku berangkat. Ada meeting penting bentar lagi." "Nanti langsung ke kantor. Kami tunggu." "Sip." "Jangan ngebut. Hati-hati bawa iparku." "Aku mau naik kereta cepat." "Nanti kujemput di stasiun." "Yups."Seno mengucapkan salam yang kubalas dengan perkataan yang sama. Setelah sambungan telepon terputus, aku beralih menelepon Amran dan
45Matahari pagi baru muncul ketika dua unit mobil melaju dari kediaman orang tuaku. Papa yang memaksa untuk menyetir, berulang kali bersenandung mengikuti irama lagu dari alat pemutar musik.Mama menimpali bernyanyi dengan suara yang cukup merdu. Aku, Raisa, Amran dan Neyla saking melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Kendatipun lagu yang diputar adalah lagu-lagu zaman baheula, kami tidak berani memprotes dan membiarkan kedua orang tua bernostalgia dengan musik saat-saat mereka tengah pacaran, dulu. Di belakang, mobil yang dikemudikan Seno,, mengekor dengan jarak dekat. Mungkin dia takut ketinggalan, karena sopir mobilku adalah mantan pembalap bom-bom car. Tiba di perempatan jalan, seunit mobil MPV hitam bergabung. Aku memicingkan mata saat seseorang melambai dari pintu pengemudi, karena tidak mungkin tangan Papi seputih itu. "Yang jadi sopir, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk mobil terdepan. "Kayaknya itu Pingkan," sahut Raisa. "Gelangnya aku ingat banget, karena beli