33"Abang," panggil Raisa. Saat ini kami masih bergelung di dalam selimut. Udara dingin pagi hari membuat kami enggan untuk bangun. "Hmm.""Kita cari sarapan, yuk." "Bunda mandi dulu sana. Gantian." "Mandi bareng aja," godanya. "Ayah mau nyetor. Entar Bunda kebauan." Satu pukulan mendarat di lenganku. Kemudian Raisa bangkit perlahan, berdiri dan melangkah lambat ke kamar mandi. Sambil tersenyum lebar aku turun dari tempat tidur. Melangkah pelan dan menyusulnya. "Abang jorok!" teriak Raisa, sesaat setelah aku duduk di kloset. Tawaku membahana. Sebetulnya aku hanya menuntaskan hasrat ingin buang air kecil dan bukan hendak mengebom. Raisa buru-buru menyelesakan acara mandi dan keluar sambil bersungut-sungut. Aku terus tersenyum, tak peduli dia menggerutu. Salah sendiri dia mandinya lama. Jadinya kuserobot aja. ***Senin siang yang panas, tak menyurutkan semangat untuk tetap bekerja. Walaupun rasa kantuk mulai mendera, tetapi aku tetap berusaha untuk fokus di depan meja. "Pak
34Pagi menjelang. Sejak selesai salat Subuh tadi Raisa sudah bersiap-siap untuk berangkat. Berbagai kotak berisi oleh-oleh buat keluarga sudah diangkutnya masuk ke mobil saat aku berganti pakaian."Buruan sarapannya, Sayang," tukas Raisa sambil memandangiku yang tengah menyuap mi goreng buatannya."Sabar atuh, baru juga nyuap," jawabku. "Piringnya mau langsung dicuci. Jadi hari Senin pulang itu di rumah nggak ada piring kotor." "Hmm, kita pulangnya hari Minggu. Hari Senin jam 10 pagi, Ayah ada rapat di tempat klien. Nggak keburu kalau berangkat subuhnya," jelasku. Tatapan matanya seketika berubah sendu. Raisa menunduk sambil memainkan jemari lentiknya yang ditumpangkan di meja. Mulai, deh. Drama, deui!"Nanti kalau udah bisa cuti, kita liburan agak lama di sana. Mau honeymoon lagi juga boleh," candaku sambil menaikturunkan alis menggodanya. Raisa mengulaskan senyuman dan mengangguk dengan semangat. Membuat istri bisa tersenyum kembali itu menjadikanku bergerak untuk mendaratkan k
35Sejak pagi aku sudah berkeliling kompleks sambil jalan santai dan senam tangan. Aku menyapa beberapa tetangga yang kebetulan bertemu. Selanjutnya aku meneruskan langkah hingga tiba di dekat lapangan. Aku duduk santai sambil menikmati sepiring lontong kari. Tatapanku mengarah pada Raisa yang sedang joging di lapangan bersama Eli.Esti sejak tadi sudah lebih dulu turun dari rumah untuk langsung ke toko bunga miliknya. Dia hendak menunggu kedatangan mobil pengangkut bunga yang dipesan sejak jauh-jauh hari. Sekian menit berlalu, Raisa dan Eli sudah ikut duduk di dekatku. Raisa memesan kupat sayur, sementara Eli memesan kupat tahu. "Bang, nanti habis Magrib ada undangan rapat di rumah pak RT," ujar Eli di sela-sela mengunyah. "Iya, tadi Abang dapat info yang sama dari Pak Salim. Yang rumahnya di pojok itu," sahutku. "Ayah mau datang ke rapat?" tanya Raisa. "InsyaAllah. Mampir sebentar, habis itu baru kita berangkat balik ke Jakarta," terangku. "Ehm, kalau Bunda tinggal dulu di s
36Sore harinya, aku terbangun karena mendengar suara tawa orang-orang dari luar kamar. Aku bergegas bangkit dan jalan ke bilik termenung. Mempercepat pembersihan diri, lalu keluar dan berganti pakaian. Raisa dan Mami tampak sibuk di dapur sambil bercanda. Harum masakan sangat menggugah selera. Hidungku mengembang dan mengempis dengan sempurna. "Masak apa?" tanyaku sambil duduk di kursi dekat meja makan."Kentang balado, tumis sawi putih dan rolade," jawab Raisa sambil meletakkan segelas teh manis di meja. "Sini!" pintaku sembari menepuk-nepuk kursi di sebelah kanan."Nanti aja. Belum beres masaknya," tolaknya sambil melenggang menjauh. Aku terdiam, lalu meraih cangkir dan mulai menyesap teh. Kemudian mengambil sepotong bolen durian di meja. Tatapanku terfokus pada Raisa. Benar-benar tidak sabar untuk segera mendapatkan jatah preman yang tertunda seminggu Saat Mami memasuki kamar mandi, aku langsung bergerak menuju dapur dan memeluk pinggang istriku dari belakang. "Kangen," uca
37Tawa Raisa bergema di ruang tamu apartemen kami yang mungil. Sedangkan aku cuma mesem-mesem melihat tingkahnya. "Terus gimana? Beneran berantem?" tanya Raisa di sela-sela tawa."Gaklah. Cuma saling lirik aja sepanjang rapat," jawabku. "Kira-kira bakal dapat nggak, nih, proyek di perusahaan itu?" "Au ahh. Sudah keburu nggak konsen tadi. Untungnya Pak Tono sigap. Dia yang banyak ngambil alih presentasi. Ayah lebih banyak diam." "Sabar, Yah. Kalau nggak dapat, nggak apa-apa. Pasti akan digantikan rezekinya dari tempat lain." Aku manggut-manggut. "Ehm, Bun. Sekarang udah bisa kan?" tanyaku pura-pura lugu. Raisa memandangiku sejenak, sebelum akhirnya mengangguk mengiakan. Dia melengos saat aku tersenyum lebar. "Mandi dulu!" perintah Raisa."Siap, Komandan!" jawabku sambil bangkit berdiri dari sofa. Berjalan sembari berjoget menuju kamar mandi. Membersihkan diri demi sang istri. Beberapa saat kemudian aku berjalan memasuki kamar yang sudah gelap. Hanya ada satu lilin aroma terapi
38Mami dan Papi ternyata betul-betul datang sesuai dengan janji. Mereka tiba beserts kedua orang tuaku, tepat di saat matahari siang sedang menyorot dengan dahsyat. Aku yang hendak keluar untuk menyambut mereka, akhirnya membatalksn niat karena tidak kuat dengan pancaran sang surya. Nanti kulitku jadi hideung dan mengurangi ketampanan. Bahaya!Darman keluar bersama Kusno. Keduanya berjibaku mengangkut banyak barang dari mobil ke teras kantor. Aku, Heni dan Endang meneruskan memindahkan benda-benda itu ke ruang tamu. "Mau baca doa di sini atau di atas?" tanya Raisa yang tengah berdiri di dekat meja Heni. "Di sini aja," jawabku. Raisa meletakkan kotak kue yang sejak tadi dipegangnya. Dia bergerak cepat membuka kotaknya. Tampaklah kue berukuran besar dengan hiasan cokelat di atasnya. Mama mengulurkan pisau kecil ke meja. Mami meletakkan tisu dan piring serta garpu kecil ke dekat kue. "Ayo, kita baca doa dulu," ajak Papi. Sekali lagi papaku yang memimpin doa. Setelahnya acara poton
39Hari yang dinantikan Raisa pun tiba. Sejak pagi dia tampak semringah. Kondisinya yang biasanya lemah sekarang terlihat lebih segar. Aku menyetir dengan santai. Sesekali beradu pandang dengannya yang tampak bahagia. Saat mobil kami memasuki halaman rumah, ternyata kedua perempuan tua sudah menunggu di teras. Pelukan hangat diberikan Mami dan Mama ke Raisa yang tak henti-hentinya tersenyum. Mereka menuntun istriku yang cantik itu menuju bagian tengah rumah. Aku terperangah saat melihat aneka hiasan yang memenuhi ruangan. Beberapa wajah yang sangat dikenal juga tampak hadir seraya tersenyum."Kalian, ngapain ke sini?" tanyaku sambil menyalami mereka satu per satu. "Numpang makan," jawab Bayu Evan langsung berlari ke arahku dan melompat masuk ke dalam pelukan. Tangannya dikalungkan di leher sembari mengusapkan bibir berulang kali ke wajah."Papi, main yuk!" ajaknya. "Nanti, ya, Sayang. Papi baru nyampe. Mau istirahat dulu. Nanti habis salat Jumat dan makan siang, baru kita main,"
40"Ayah ke sininya minggu depan?" tanya Raisa."Iya, kerjaan Ayah pasti sudah numpuk, Bun. Banyak tender, harus dikerjakan secepatnya," jawabku sambil merangkul pundaknya. "Tapi nanti Bunda bakal kangen berat," rajuknya. "Tetap doakan Ayah aja. Biar selalu sehat dan dilindungi Tuhan. Agar Ayah bisa segera datang ke sini," bujukku. Bibir Raisa terangkat dan membingkai senyum tipis. Kemudian, dia menyandarkan kepala di bahuku dengan manja. "Ayah nggak dibekalin, nih?" candaku. "Nanti aja, masih awal. Malu kalo kedengaran Mami sama Papi," sahutnya seraya tersenyum lebar. "Ya, jangan berisik. Diam-diam gitu." Tawanya seketika pecah. Aku pun terpancing untuk tersenyum. Memandangi Raisa yang sedang tergelak itu membuatku senang, karena tandanya dia tengah bahagia."Mana bisa diam-diam. Enggak seru," tukas Raisa, setelah tawanya menghilang. "Iya, sih. Kurang hot," sahutku. "Badan Bunda lagi mbulet gini, nggak bisa juga mau banyak gaya." "Ayah justru suka, Bunda makin berisi. Tamb
50Jalinan waktu terus bergulir. Tepat dua minggu setelah Byantara lahir, aku dan Raisa mengadakan acara akikahan di kediaman Papi. Pada awalnya, kupikir acaranya akan sederhana. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Papi mengadakan pesta mewah, yang pastinya sebagian besar dananya berasal dari dompet beliau.Aku bukan tidak sanggup mengadakan akikahan mewah seperti ini, tetapi aku harus menghemat biaya. Terutama karena sampai dua bulan ke depan akan ada dua dapur yang harus diisi. Yaitu, dapur Bandung dan Jakarta. Beberapa saat sebelum pengajian dimulai, aku dipanggil Amran yang berada di teras depan. Aku menyambanginya dan seketika terkejut melihat banyak teman-teman dari PC yang datang. Bahkan beberapa bos PG turut hadir bersama keluarga masing-masing. Aku bergegas jalan menuju depan rumah, kemudian menyalami semua tamu. Kemudian aku mempersilakan mereka memasuki ruang tamu dan ruang tengah. Para istri bos menghampiri Raisa dan memeluknya sembari beradu pipi. Mereka sempat ber
49Seunit motor polisi dengan sirine khas, menjadi pembuka jalan konvoi beberapa kendaraan roda dua dan empat, yang keluar dari area bandara menuju jalan raya utama Kota Bandung.Bang Zein dan kedua staf HWZ memacu motor besar mereka di belakang motor polisi. Aku memandangi mereka dari kursi depan mobil pertama, sembari mengucap syukur dalam hati, karena memiliki para sahabat yang setia kawan.Aku benar-benar takjub dengan kesigapan mereka yang menyambutku dan teman-teman, dengan protokoler yang biasanya dilakukan pada pejabat. Kendatipun sedikit malu, karena aku jadi penyebab para pengguna jalan lainnya menggerutu, tetapi aku tetap bersyukur, sebab dengan terbukanya jalan ini, konvoi kami tidak terjebak kemacetan.Seno mengemudikan mobil operasional kantor dengan kecepatan tinggi. Di belakang, dua unit mobil operasional PBK menyusul dengan jarak dekat. Bang Zulfi yang berada di kursi tengah, sedang bercakap-cakap dengan Bang Wirya yang berada di Jakarta, melalui sambungan telepon.
48Beberapa hari menjelajahi Malang, ternyata aku sangat menyukai kota ini. Udaranya yang cukup sejuk, menjadikanku teringat akan Bandung di masa lampau. Saat aku kecil, Bandung masih dingin. Keluar untuk berangkat ke sekolah masih banyak embun menggantung di pepohonan. Sekarang, kota kelahiranku sudah panas. Sebab telah banyak pohon dan hutan yang dibabat buat dijadikan tempat bisnis. Jangankan Bandung, Lembang yang dulu dinginnya bikin beku, sekarang biasa-biasa saja. Hanya beberapa daerah di sekitar Jawa Barat yang udaranya masih dingin. Contohnya, Pangalengan, Ciwidey, Cijeruk di Bogor, dan tempat-tempat yang posisi tanahnya tinggi di perbukitan. Lainnya, sih, sama saja dengan Bandung, hareudang, dang, dang, dang, dut. Setelah 3 hari berjibaku di tempat proyek, pagi ini aku dan tim berwisata keliling kota. Tadinya, Bang Yoga mengusulkan ke Bromo, tetapi ditolak yang lainnya dengan alasan capai. Aku pun sama. Di tempat proyek yang jalanannya belum rata, ditambah lokasinya di p
47Hari yang dinantikan Bayu dan Esti, akhirnya tiba. Pagi ini, aku dan keluarga serta kerabat Bayu, mengantarkan papanya Evan ke kediaman orang tua Esti.Suasana akad nikah yang semula tegang, seketika berubah tenang seusai kalimat kabul diucapkan Bayu dalam satu tarikan napas. Aku yang turut tegang sejak tadi, akhirnya bisa menghela napas lega. Aku melirik Raisa yang terlihat serius mengamati pasangan pengantin yang tengah berbincang dengan penghulu. Aku mengulurkan tangan kanan untuk menggenggam jemari Raisa yang seketika menoleh. Aku mengukir senyuman yang dibalasnya dengan hal serupa. Semua runutan acara adat Sunda digelar dengan khidmat. Aku terharu ketika Evan memeluk dan menciumi Esti yang sudah sah menjadi Ibu sambungnya. Isakan lirih terdengar dari semua sudut tempat perhelatan digelar. Begitu pula dengan Raisa. Dia berulang kali mengusap matanya yang basah dengan tisu. Demikian juga dengan Mama, Mami dan Neyla. Geng cengeng. Acara saweran menjadi hal yang paling ditung
46Perjalanan menjelajahi 2 provinsi dalam waktu 5 hari, ternyata sangat melelahkan. Terutama karena tempat yang didatangi merupakan area proyek, bukan tempat wisata ataupun pusat perbelanjaan. Hari terakhir berada di Jambi, pagi-pagi sekali aku dan teman-teman telah jalan memutari area sekitar hotel. Rencana awal, sih, cuma joging Namun, akhirnya kami berhenti untuk menikmati hidangan sarapan khas daerah, di rumah makan yang disarankan pemandu wisata.Dua staf proyek yang merupakan warga lokal, tampak antusias memperkenalkan berbagai panganan khas. Aku menyicipi nasi gemuk dan mi celor. Kemudian aku mencoba menyuap tempoyak yang disarankan Bang Zein untuk dicicipi. "Rasanya unik," tuturku. "Bau durian lumayan kuat," tambahku. "Ya, tempoyak memang dari fermentasi durian," terang Bang Zein. "Ini makanan khas Melayu. Semua daerah yang banyak suku Melayu-nya, pasti punya olahan serupa ini," jelasnya. "Abang orang Melayu juga, kan?" "Hu um. Aku lahir di Pontianak. SMP di Sambas. SMA
45Matahari pagi baru muncul ketika dua unit mobil melaju dari kediaman orang tuaku. Papa yang memaksa untuk menyetir, berulang kali bersenandung mengikuti irama lagu dari alat pemutar musik.Mama menimpali bernyanyi dengan suara yang cukup merdu. Aku, Raisa, Amran dan Neyla saking melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Kendatipun lagu yang diputar adalah lagu-lagu zaman baheula, kami tidak berani memprotes dan membiarkan kedua orang tua bernostalgia dengan musik saat-saat mereka tengah pacaran, dulu. Di belakang, mobil yang dikemudikan Seno,, mengekor dengan jarak dekat. Mungkin dia takut ketinggalan, karena sopir mobilku adalah mantan pembalap bom-bom car. Tiba di perempatan jalan, seunit mobil MPV hitam bergabung. Aku memicingkan mata saat seseorang melambai dari pintu pengemudi, karena tidak mungkin tangan Papi seputih itu. "Yang jadi sopir, siapa itu?" tanyaku sambil menunjuk mobil terdepan. "Kayaknya itu Pingkan," sahut Raisa. "Gelangnya aku ingat banget, karena beli
44Hari berganti dengan kecepatan maksimal..Pagi ini, aku baru tiba di kantor ketika banyak notifikasi masuk dari grup kantor. Aku duduk di kursi kebangsaan sambil menggulirkan jemari, untuk membaca pesan-pesan itu. Mataku membulat sempurna, usai membaca informasi terbaru tentang Erwin. Aku hendak menelepon Seno, tetapi dia telah lebih dulu menghubungiku. Aku menekan tanda hijau pada layar ponsel, lalu menempelkan telepon genggam ke telinga kanan. "Ya, Sen?" sapaku. "Erwin sudah menyerahkan diri, Dy," jawab Seno."Ya, aku sudah lihat infonya di grup." "Kamu diminta ke sini sama Pak Agung dan Pak Giandra." "Kapan?" "Hari ini." "Oke, habis zuhur aku berangkat. Ada meeting penting bentar lagi." "Nanti langsung ke kantor. Kami tunggu." "Sip." "Jangan ngebut. Hati-hati bawa iparku." "Aku mau naik kereta cepat." "Nanti kujemput di stasiun." "Yups."Seno mengucapkan salam yang kubalas dengan perkataan yang sama. Setelah sambungan telepon terputus, aku beralih menelepon Amran dan
43Acara pelantikan pagi menjelang siang ini berlangsung khidmat. Aku begitu bahagia hingga nyaris tidak berhenti tersenyum. Raisa yang berada di kursi belakang Pak Agung, berulang kali melambaikan tangannya. Aku dan kedua direktur dari cabang Surabaya serta Semarang yang juga baru dilantik, merapatkan barisan. Pak Giandra, Pak Agung, Pak Harmoko dan Andra berdiri di sisi kanan. Sementara sisi kiri ditempati Pak Linggha, Pak Leandru, Pak Tanvir dan Pak Davindra. Mereka adalah para komisaris dari Pangestu Grup dan Mahendra Grup, yang juga turut menanamkan saham besar di GWA. Sesi pertama pemotretan berlangsung damai. Namun, ketika beberapa bos dari HWZ, LCGL dan GANK turut bergabung sambil berjongkok di bawah, suasana berubah ricuh. Ketiga perusahaan tersebut merupakan cabang dari Pangestu Grup, karena Pak Linggha menjadi penyumbang saham terbesarnya. Belasan menit berlalu, aku bergabung di meja yang ditempati para bos HWZ, LCGL dan GANK. Aku celingukan mencari Raisa, yang ternyat
42Erwin menghilang!Kekhawatiranku terbukti dan membuatku serta Farraz dan Seno makin cemas. Keduanya telah berupaya mencari Erwin ke berbagai tempat yang biasa didatangi. Sedangkan aku menghubungi semua teman-teman kuliah, mungkin saja mereka memiliki informasi tentang Erwin. Namun, hasilnya nihil. Pagi ini, aku melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan menuju kota kembang. Amran yang berada di sebelah kiri, terlihat tegang. Raisa dan Silvi yang menempati kursi tengah, terlibat perbincangan tentang berbagai komentar di grup para istri karyawan GWA Grup yang semuanya membahas kasus ini. Aku berusaha fokus mengemudi, meskipun sebenarnya pikiran bercabang-cabang. Aku kesal pada Erwin..Harusnya dia jangan kabur dan berani mempertanggungkan perbuatannya. Jika sudah begini, pihak perusahaan mungkin akan melaporkannya ke kantor polisi. Aku juga mencemaskan Vita. Dia pasti syok karena suaminya kabur. Belum lagi bakal dicemooh orang lain. Aku khawatir jika menta