***"Tetap tidak bisa!" Ibu Mira bersikeras, dia menggelengkan kepala dan melihat wajah sang anak yang makin cemberut. "Kamu tidak bisa begitu, kamu harus ikut Gilang pulang karena Mama sama Papa juga mau melakukan perjalanan bisnis besok lusa. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini."Rara cengo beberapa detik. "Loh, kenapa mendadak? Perasaan Papa tidak ada membahas ini."Dari dalam keluarlah Pak Herlambang. Beliau yang sedang membawa laptop ditatap sang anak dengan tajam."Kenapa liatin Papa begitu?" tegur Pak Herlambang, alisnya mengernyit."Aku mau nanya, Papa ada perjalanan bisnis?" tanya Rara"Siapa bilang?" Lelaki yang memutih rambutnya itu terlihat jelas kebingungan."Kan kan kan. Mama bohong.""Siapa yang bohong, Ra." Ibu Mira berusaha meyakinkan.Pak Herlambang yang tak tahu menahu dengan itu terdiam sesaat sebelum akhirnya paham saat melihat sang istri melirik."Papa ini lupa apa bagaimana, kan Papa sendiri yang bilang kalau kita harus pergi. Peresmian gedung baru.""Ah iya. Pa
****Gilang tahu perasaan Rara saat ini pasti sedang kesal. Ah tidak, mungkin kata yang lebih tepat adalah berang. Sejak tadi dada istrinya itu naik turun dengan deru napas yang cepat. Gilang sudah menduga mungkin sebentar lagi Rara akan mengamuk.Namun, wanita yang telah sah menjadi istrinya itu tidak bereaksi sama sekali. Gilang pikir mungkin karena berada di ruang terbuka makanya istrinya itu menahan diri. Bisa jadi lain cerita jika mereka telah tiba di rumah.Diam-diam Gilang memperhatikan dan mengamati. Saat ini yang dilakukan istrinya itu hanya diam, diam yang lumayan lama. Sejak berjumpa dua tetangga julid sampai ke taman nyaris tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir istrinya itu, beda sekali saat mereka keluar pagar tadi. Gilang yakin celotehan dua tetangga tadi menyebabkan sesuatu yang besar bergejolak dalam dada gadis itu. Cuma sedang berusaha untuk menahan saja.Maka dari itu Gilang terus memeras otak, berpikir keras bagaimana caranya mengembalikan mood Rara yang
***"Aku mau pulang!" Rara berseru lantang.Mata Gilang mengerjap."Aku mau pulang ke rumah kamu," lanjut Rara. Gilang masih bingung mencerna."Aku mau pulang sekarang. Malam ini. Aku tidak ingin di sini. Aku tidak sanggup melihat tatapan mencemooh tetangga."Gilang masih diam."Setelah aku pikir rumahmu lebih nyaman dibanding rumah Mama. Aku mau pulang ke rumahmu."Bak bunga di musim semi, bibir Gilang merekah dengan indahnya. Ia bersyukur Rara perlahan menerima dan terbiasa dengannya meski penuh kesederhanaan."Ya sudah, ayo kita pulang. Kita pamit ke Mama dan Papa, baru setelah itu berkemas.""Ya, lebih cepat lebih baik!" dengkus Rara.Gilang tersenyum. Ada rasa bahagia di hati karena tanpa Rara sadari, wanita itu telah menganggap rumah Gilang sebagai rumahnya.Pukul sebelas malam Rara tiba di rumah sederhana Gilang. Rumah sederhana yang entah kenapa memberi sedikit ketenangan untuk gadis itu. Tidak seperti rumah orang tuanya. Di sana ada saja yang berbisik sumbang, entah itu pemban
"Reno?" Gilang berjongkok mensejajarkan diri dengan bocah delapan tahun."Kamu kenapa nangis?" tanya Gilang lagi, tangannya mengusap pipi Reno.Sesenggukan, bocah itu pun mulai bercerita. Tapi bukan dengan lisan karena ia merupakan anak tunawicara. Bocah itu berkomunikasi dengan cara menggerakkan kedua belah tangan sambil sesekali menyentuh wajah. Air matanya tetap berlinang.Rara yang tak paham diam saja, berbeda dengan Gilang yang seketika berubah raut mukanya. Lelaki itu berdiri."Ra, kamu tunggu rumah! Aku harus ke panti sekarang! Bunda jatuh dan pingsan!" serunya.Rara hanya mampu diam melihat Gilang yang kelabakan. Suaminya itu segera ke bufet dan mengambil kunci, setelahnya bergegas ke garasi dan mengeluarkan mobil."Reno. Abang titip Kak Rara, ya. Habis dari rumah sakit nanti Abang ke sini," ucap Gilang sembari menggerakkan kedua belah tangan. Dia kembali berkomunikasi dengan Reno menggunakan bahasa isyarat."Ra, aku tinggal, ya. Nanti aku hubungi. Assalamualaikum."Dalam bebe
****Gilang cuma diam menatap kasihan Bunda pada Alia. Kakinya diperban begitu juga kepala. Tidak ada luka berat, tapi tetap harus dipantau. Dokter menyarankan agar Bunda Alia menjalani rawat inap beberapa hari di rumah sakit lantaran kepala di bagian depan terbentur dan ada beberapa jahitan."Dan kamu Nayla, berhenti menangis. Bunda masih hidup," lanjutnya lagi.Nayla yang berdiri di sudut ruangan pun menghamburkan diri. Sejak tadi ia menahan tangisan dan saat ini tangisan itu pecah. Tak mampu gadis itu menahan sesak. Rasa takut kehilangan buatnya menggila. Ia terus sesenggukan di dada Bunda Alia."Sudahlah, Nay. Kita tidak boleh meratap. Insya Allah Bunda akan baik-baik saja. Iya kan, Bun?" ujar Gilang yang berusaha menenangkan Nayla. Pasalnya di sana tidak hanya ada mereka, ada dua pasien lain lagi. Gilang takut tangis Nayla mengganggu orang lain."Iya, Bunda sudah mendingan. Lebih baik kalian semua pulang. Biar Lastri saja yang menemani Bunda di sini. Ngomong-ngomong di mana Lastr
[Aku lapar. Aku ambil uang di laci warung dan pesan makanan. Tidak apa, kan?]Ajaib memang, hanya beberapa kalimat pesan yang ditulis Rara mampu membuat perasaan Gilang membaik. Cekatan tangan lelaki itu mengetik pesan.[Ambillah, beli makanan secukupnya. Jangan banyak-banyak. Pelaku mubazir itu temannya setan.]Bibir Gilang menipis saat membaca pesan balasan Rara. Padahal pesan itu hanya emoticon jempol. Pesan singkat yang entah kenapa membuatnya merasa ketiban gula. Manis."Siapa, Bang? Apa Rara?" tanya Nayla. Saat ini ia mensejajarkan diri dengan Gilang. Mereka berdua memutuskannya mengikuti permintaan Bunda Alia.Gilang menoleh sebentar, lantas menjawab, "Iya. Dia yang kirim pesan. Dia izin ambil uang.""Oh ...." Rara diam merasakan dada yang kembali berdenyut dan mengerut. Melihat muka berseri dan senyum bahagia Gilang buatnya nelangsa sampai tulang-tulang melemah.Meski demikian gadis yang memiliki lesung pipi itu berusaha kuat. Tegar, sama seperti Nayla yang biasa, yang bisa me
***Gilang mengembuskan napas panjang. "Terserah kamu saja. Tapi Abang tetap ingin tahu siapa dia? Siapa laki-laki yang kamu suka? Apa dia menyukai kamu juga? Kalian tidak diam-diam pacaran, 'kan?"Diberondong pertanyaan begitu buat kaki Nayla tremor. Ia mulai bingung untuk berkilah."Nay, sekali lagi Abang tekankan, Abang bukan ingin ikut campur. Cuma mau tau saja. Apa dia laki-laki baik?"Nayla menelan ludah, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling guna menentramkan rasa gugup. Ia pun memilih duduk di kursi tunggu."Dia hanya salah satu kenalan. Kita kenal di tempat kerja dan kita tidak pacaran. Hubungan kita murni rekan kerja."Bohong! Ingin Nayla meneriakkan satu kata itu. Ingin mulut mengatakan kalau lelaki yang ada di hati adalah Gilang sendiri. Lelaki yang selalu ia tikung di sepertiga malam. Nama lelaki yang selalu bertahta di hati."Apa dia suami orang?" tanya Gilang hati-hati setelah sukses merebahkan diri di sebelah Nayla.Telak, pertanyaan itu buat Nayla menelan ludah. Ge
"Aku ikut sedih karenanya," tutur Rara. Raut sedih sedikit terlihat di wajahnya yang selalu datar."Mana Reno? Apa dia sudah pulang ke panti?""Dia tidur di ruang tengah," balas Rara singkat"Oh ...." Gilang kembali melirik meja. Di sana ada kantong kresek milik salah satu toko burger yang letaknya tak jauh dari rumah.Rara yang sadar tatapan Gilang tertuju pun memilin ujung jilbabnya. Lalu, menatap ragu ke Gilang."Aku ambil uang kamu tadi," katanya pelan.Gilang diam, sengaja tidak menjawab. Baginya terlalu sayang melewatkan momen itu. Ia lebih tertarik menatap muka Rara yang merasa bersalah daripada memberinya pertanyaan. Ia memilih mendengar pengakuan gadis itu."Aku ambil segini." Rara melebarkan sebelah tangannya."Lima puluh ribu?" Gilang sengaja salah menerka. Ia sembunyikan senyum di bibir. Sebaliknya, ia justru memasang wajah serius seakan-akan tidak senang."Kamu ambil lima puluh ribu?" ulang Gilang.Bak bocah kecil, Rara menggeleng sebagai balasan. "Bukan lima puluh ribu,
***Rara terdiam, agak aneh menurutnya Gilang ini. Namun, ketika teringat betapa sederhana dan bijaknya Gilang, ia pun tidak berani menyela."Tapi paling tidak kita rayakan, Lang. Sebagai istri aku rasanya tidak enak kalau hanya menghabiskan hari kelahiranmu dengan hanya berdiam diri."Gilang memegang dagunya. Ia mulai berpikir."Bagaimana kalau pesan kue?" usul Rara. Matanya berbinar.Sayangnya usul itu mendapat gelengan kepala."Lalu maunya apa?" Rara kembali cemberut."Bagaimana kalau masak. Aku ingin mencicipi masakanmu," balas Gilang."Masak?"Gilang mengiakan dengan anggukan."Emang mau masakan apa?" tanya Rara lagi.Gilang pun terlihat berpikir. "Buatkan aku sayur asem dan ikan asin saja, bagaimana?""Cuma itu?" Rara benar-benar tidak habis pikir."Jangan bilang cuma, kamu tau menu itu sukses buatku nambah tiga kali.""Masa cuma itu.""Tapi aku maunya itu, bagaimana?"Mulanya Rara ragu, tapi setelah melihat Gilang yang tampak sangat berharap ia pun mengiakan dengan anggukan."W
Setahun kemudian.Rumah tangga Gilang dan Rara semakin membaik dari waktu ke waktu. Layaknya rumah tangga pada umumnya, di rumah sederhana Gilang itu selalu ada canda, tawa, kadang ada sedikit pertengkaran kecil antara mereka.Namun, itu tak jadi pemicu keretakan. Justru sebaliknya, mereka saling memahami antara lain, membuat rumah tangga mereka kian kokoh.Satu tahun itu pula Gilang berhasil menunjukkan keseriusan. Cinta yang tulus membuatnya tak pernah lelah maupun mengeluh dengan kondisi Rara yang cacat. Justru, rasa sayang serta peduli untuk Rara makin menggebu.Rara sendiri sama, dia terus berusaha sembuh. Kabar baiknya sekarang sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Terakhir, Rara juga sudah mulai berjalan dengan dua kaki, meskipun hanya bertahan lima langkah.Kendati demikian tak buat asanya putus. Ada Gilang yang selalu menyemangati dan itu buat Rara semangat lagi. Ia ingin cepat berjalan normal agar bisa mengimbangi langkah Gilang. Ingin seperti pasangan kebanyakan yang men
Dari semenjak kejadian tadi siang, Rara menjadi lebih banyak diam. Gilang sendiri juga belum berani cerita apa-apa. Pria itu masih berusaha menyusun kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Rara Nantinya."Ra, kamu baik-baik aja 'kan?" Gilang melongok ke kamar. Tampak Rara tengah duduk sembari membaca buku bertema islami dengan posisi kaki selonjoran."Itu pertanyaan kamu yang ke empat kali. Memangnya kamu tidak bosen?" balas Rara tanpa menatap.Diperlakukan seperti membuat Gilang salah tingkah. Kelakuannya saat ini makin tambah belingsatan saja."Ra, kamu baca apa?" Gilang mendekat, matanya seketika membola saat mengetahui halamaan buku yang Rara baca. "Kamu ngapain baca begituan?" tanya Gilang spontan."Memangnya kenapa? Aku hanya penasaran saja dengan hukum poligami. Ternyata poligami sangat indah jika dijalani sesuai kaidah. Aku tidak menyangka pahala istri yang dipoligami sangat besar!"Mendengar itu, Gilang makin tambah misuh-misuh. Ia berebut buku tersebut lantas menaruhnya ke
Pemandangan yang baru saja dilihat membuat Rara memutuskan untuk menutup pintu mobil. Di titik ini, Rara merasa harga dirinya dijatuhkan seketika. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana suaminya itu dipeluk oleh wanita lain, akan tetapi ia tidak bisa berlari untuk sekadar mencegah, apalagi sampai membuat perhitungan kepada Nayla.Dari jendela mobil juga, Rara melihat Nayla yang terus menyeret koper lalu hilang di balik pintu gerbang. Setelah itu ia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu terlihat memapah Bunda Alia masuk ke dalam rumah.Kini tinggallah Rara di dalam mobil seorang diri. Kesunyian halaman di panti asuhan saat ini sukses menambahkan momen sakit di hati Rara semakin menggebu-gebu. Ia menangis. Hatinya menjerit atas semua yang baru saja ia saksikan.Rara bukan mempermasalahkan pelukan perpisahan yang dilakukan oleh Nayla, tapi Rara menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua itu terjadi. Bahkan untuk sekadar menyusul Gilang saja, Rara tak mampu melakukannya
Gilang baru saja hendak menurunkan Rara dari mobil saat suara ribut-ribut terdengar di pelataran panti. Lelaki itu gagas menoleh, dari kejauhan ia melihat Bunda Alya sedang terlibat cekcok dengan Nayla. Sepertinya perdebatan mereka cukup serius. Gilang pun segera meminta izin pada Rara agar melerai keduanya terlebih dahulu."Ra, kamu di mobil sebentar ya! Kayaknya Bunda lagi bertengkar sama Nayla. Aku pisahin mereka dulu."Saking paniknya, Gilang gagas berlari tanpa menunggu jawaban Rara terlebih dahulu. Di sofa mobil yang pintunya sudah terbuka, Rara hanya dapat menatap punggung Gilang yang semakin menjauh darinya. Ia juga menatap kursi roda yang baru saja dibentangkan oleh Gilang. Namun, sayang, Rara tidak bisa menggapai benda yang sangat dibutuhkannya tersebut karena posisinya terlalu jauh.Sementara Gilang. Lelaki itu berlari secara membabi buta. Lalu berdiri di tengah-tengah mereka." Ada apa ini?" seru Gilang sambil menatap Bunda Alya dan Nayla secara bergantian, bahkan ia lupa
***"Gawat, Ra! Gawat!"Gilang masuk ke kamar begitu saja saat Rara sedang asik membaca buku panduan salat. Wanita itu sedang menghafalkan beberapa hafalan doa dan tata cara salat tahajud saat Gilang mendekat dengan mimik wajah cemas."Ada apa? Kenapa kamu cemas begitu?""Nayla Ra … Nayla ….""Nayla kenapa?" Rara memekik.Hati Rara sedikit tercubit melihat Gilang begitu mencemaskan Nayla. Namun, ia tepis segala perasaan tidak baik itu karena Nayla dan Gilang memiliki ikatan persaudaraan yang cukup kuat meski bukan saudi kandung."Anak panti bilang Bunda Alia bertengkar dengan Nayla. Ternyata kepergiannya Nayla ke Singapur terlalu mendadak, dan tanpa sepengetahuan Bunda.""Kok bisa, Lang?""Entahlah, Ra! Anak panti bilang Nayla mau berangkat sore nanti, dia juga bilang kalau Nayla sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan menerima dana sebesar 150 juta.""Astagfirullahallazim. Kamu serius, Lang? Aku takutnya Nayla itu ditipu. Perusahaan mana yang berani memberi DP sebanyak itu?""Maka d
"Tapi Bunda—" Nayla mendongak dengan tatapan tidak senang. Mendengar nama Gilang disebut, hatinya serasa melompat dari tempat. Inilah yang membuat Nayla terpukul karena lagi-lagi harus dibayangi nama Gilang ketika tinggal di sini.Dengan pergi ke tempat yang jauh, Nayla bisa fokus melupakan Gilang sepenuhnya."Maaf Nay, bukannya Bunda bermaksud menyeret Gilang ke dalam hidupmu lagi. Bunda tahu maksud kamu baik ingin melupakan cinta yang salah, tapi tolong tunggu sebentar, biarkan bunda berdiskusi dengan Gilang terlebih dahulu sebelum kamu berangkat," kata Bunda."Tapi sore nanti Nayla harus pergi karantina ke asrama, Bu. Sekalipun Bunda dan Abang berdiskusi, Nay tetap akan berangkat.""Tahan dulu ya, Nay!" Bunda Alia mengelus puncak kepala gadis itu. Namun, Nayla menepiskan dengan gerakan agak keras."Maaf, Bun! Untuk kali ini Nay tidak bisa menuruti permintaan Bunda.."Sambil menahan tangis yang hendak pecah lagi, Nayla gagas berlari meninggalkan ruangan Bunda. Untuk kali ini Nayla a
****Entah kenapa Bunda Alia tidak senang mendengarnya. Wanita itu terlihat menggeleng samar. "Bunda tidak mau menerima uang itu, Nay. Sebaiknya kamu pulangkan saja uang itu dan tetaplah tinggal di sini. bagaimana pun juga kamu jauh lebih berharga dari uang itu. Apalah artinya uang jika kamu tidak ada," kata Bunda Alia serius.Nada larangan itu membuat Nayla memandang Bunda Alia dengan memelas. "Tapi Nay sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Bun. Nanti sore Nay akan dijemput untuk karantina dan belajar di asrama. Nay tidak bisa menolak karena kesepakatan ini sudah terjadi ," ujar Nayla."Kamu lancang Nay!" Bunda Alia memekik marah. "Seharusnya kamu bicarakan ini pada Bunda ataupun Abang!"Wanita itu meraup wajahnya. Terlihat frustrasi sekali. "Singapur itu jauh, Nay! Bagaimana kalau kamu tidak betah di sana? Uang seratus lima puluh juta itu banyak. Itu pasti merupakan pemberat agar kamu tetap bekerja di sana!""Tidak, Bunda. Itu hanyalah uang gaji Nay selama satu tahun!""Ngeyel kamu
Tak banyak yang Nayla bicarakan dengan Gilang dan Rara pasca mendadak ia mengatakan ingin pergi ke Singapur. Selepas itu, Nayla pamit untuk pulang. Keadaan jiwanya saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan berada di sana hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga.Sesampainya di rumah, Nayla gagas masuk ke kamar. Ia membereskan barang-barang untuk persiapan bekerja di Singapur. Tidak langsung ke sana, nantinya Nayla akan dijemput oleh seseorang, di antar ke asrama untuk mengurus beberapa surat keberangkatan sambil belajar penyesuaian diri sebelum berangkat menjadi TKI di sana.Dulunya Nayla pernah mencoba kuliah di jurusan keperawatan. Namun terhenti di tengah jalan karena terhalang biaya. Namun tak lama kemudian, pihak kampus mendatangi Nayla, menyuruh wanita lanjut kuliah dengan full beasiswa asalkan ia mau kuliah di jurusan tata boga. Akhirnya Nayla melanjutkan kuliahnya.Dari bekal itu, sekarang Nayla memberanikan diri mendaftarkan sebagai perawat orang sakit. Mirip pemba