****Gilang tahu perasaan Rara saat ini pasti sedang kesal. Ah tidak, mungkin kata yang lebih tepat adalah berang. Sejak tadi dada istrinya itu naik turun dengan deru napas yang cepat. Gilang sudah menduga mungkin sebentar lagi Rara akan mengamuk.Namun, wanita yang telah sah menjadi istrinya itu tidak bereaksi sama sekali. Gilang pikir mungkin karena berada di ruang terbuka makanya istrinya itu menahan diri. Bisa jadi lain cerita jika mereka telah tiba di rumah.Diam-diam Gilang memperhatikan dan mengamati. Saat ini yang dilakukan istrinya itu hanya diam, diam yang lumayan lama. Sejak berjumpa dua tetangga julid sampai ke taman nyaris tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir istrinya itu, beda sekali saat mereka keluar pagar tadi. Gilang yakin celotehan dua tetangga tadi menyebabkan sesuatu yang besar bergejolak dalam dada gadis itu. Cuma sedang berusaha untuk menahan saja.Maka dari itu Gilang terus memeras otak, berpikir keras bagaimana caranya mengembalikan mood Rara yang
***"Aku mau pulang!" Rara berseru lantang.Mata Gilang mengerjap."Aku mau pulang ke rumah kamu," lanjut Rara. Gilang masih bingung mencerna."Aku mau pulang sekarang. Malam ini. Aku tidak ingin di sini. Aku tidak sanggup melihat tatapan mencemooh tetangga."Gilang masih diam."Setelah aku pikir rumahmu lebih nyaman dibanding rumah Mama. Aku mau pulang ke rumahmu."Bak bunga di musim semi, bibir Gilang merekah dengan indahnya. Ia bersyukur Rara perlahan menerima dan terbiasa dengannya meski penuh kesederhanaan."Ya sudah, ayo kita pulang. Kita pamit ke Mama dan Papa, baru setelah itu berkemas.""Ya, lebih cepat lebih baik!" dengkus Rara.Gilang tersenyum. Ada rasa bahagia di hati karena tanpa Rara sadari, wanita itu telah menganggap rumah Gilang sebagai rumahnya.Pukul sebelas malam Rara tiba di rumah sederhana Gilang. Rumah sederhana yang entah kenapa memberi sedikit ketenangan untuk gadis itu. Tidak seperti rumah orang tuanya. Di sana ada saja yang berbisik sumbang, entah itu pemban
"Reno?" Gilang berjongkok mensejajarkan diri dengan bocah delapan tahun."Kamu kenapa nangis?" tanya Gilang lagi, tangannya mengusap pipi Reno.Sesenggukan, bocah itu pun mulai bercerita. Tapi bukan dengan lisan karena ia merupakan anak tunawicara. Bocah itu berkomunikasi dengan cara menggerakkan kedua belah tangan sambil sesekali menyentuh wajah. Air matanya tetap berlinang.Rara yang tak paham diam saja, berbeda dengan Gilang yang seketika berubah raut mukanya. Lelaki itu berdiri."Ra, kamu tunggu rumah! Aku harus ke panti sekarang! Bunda jatuh dan pingsan!" serunya.Rara hanya mampu diam melihat Gilang yang kelabakan. Suaminya itu segera ke bufet dan mengambil kunci, setelahnya bergegas ke garasi dan mengeluarkan mobil."Reno. Abang titip Kak Rara, ya. Habis dari rumah sakit nanti Abang ke sini," ucap Gilang sembari menggerakkan kedua belah tangan. Dia kembali berkomunikasi dengan Reno menggunakan bahasa isyarat."Ra, aku tinggal, ya. Nanti aku hubungi. Assalamualaikum."Dalam bebe
****Gilang cuma diam menatap kasihan Bunda pada Alia. Kakinya diperban begitu juga kepala. Tidak ada luka berat, tapi tetap harus dipantau. Dokter menyarankan agar Bunda Alia menjalani rawat inap beberapa hari di rumah sakit lantaran kepala di bagian depan terbentur dan ada beberapa jahitan."Dan kamu Nayla, berhenti menangis. Bunda masih hidup," lanjutnya lagi.Nayla yang berdiri di sudut ruangan pun menghamburkan diri. Sejak tadi ia menahan tangisan dan saat ini tangisan itu pecah. Tak mampu gadis itu menahan sesak. Rasa takut kehilangan buatnya menggila. Ia terus sesenggukan di dada Bunda Alia."Sudahlah, Nay. Kita tidak boleh meratap. Insya Allah Bunda akan baik-baik saja. Iya kan, Bun?" ujar Gilang yang berusaha menenangkan Nayla. Pasalnya di sana tidak hanya ada mereka, ada dua pasien lain lagi. Gilang takut tangis Nayla mengganggu orang lain."Iya, Bunda sudah mendingan. Lebih baik kalian semua pulang. Biar Lastri saja yang menemani Bunda di sini. Ngomong-ngomong di mana Lastr
[Aku lapar. Aku ambil uang di laci warung dan pesan makanan. Tidak apa, kan?]Ajaib memang, hanya beberapa kalimat pesan yang ditulis Rara mampu membuat perasaan Gilang membaik. Cekatan tangan lelaki itu mengetik pesan.[Ambillah, beli makanan secukupnya. Jangan banyak-banyak. Pelaku mubazir itu temannya setan.]Bibir Gilang menipis saat membaca pesan balasan Rara. Padahal pesan itu hanya emoticon jempol. Pesan singkat yang entah kenapa membuatnya merasa ketiban gula. Manis."Siapa, Bang? Apa Rara?" tanya Nayla. Saat ini ia mensejajarkan diri dengan Gilang. Mereka berdua memutuskannya mengikuti permintaan Bunda Alia.Gilang menoleh sebentar, lantas menjawab, "Iya. Dia yang kirim pesan. Dia izin ambil uang.""Oh ...." Rara diam merasakan dada yang kembali berdenyut dan mengerut. Melihat muka berseri dan senyum bahagia Gilang buatnya nelangsa sampai tulang-tulang melemah.Meski demikian gadis yang memiliki lesung pipi itu berusaha kuat. Tegar, sama seperti Nayla yang biasa, yang bisa me
***Gilang mengembuskan napas panjang. "Terserah kamu saja. Tapi Abang tetap ingin tahu siapa dia? Siapa laki-laki yang kamu suka? Apa dia menyukai kamu juga? Kalian tidak diam-diam pacaran, 'kan?"Diberondong pertanyaan begitu buat kaki Nayla tremor. Ia mulai bingung untuk berkilah."Nay, sekali lagi Abang tekankan, Abang bukan ingin ikut campur. Cuma mau tau saja. Apa dia laki-laki baik?"Nayla menelan ludah, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling guna menentramkan rasa gugup. Ia pun memilih duduk di kursi tunggu."Dia hanya salah satu kenalan. Kita kenal di tempat kerja dan kita tidak pacaran. Hubungan kita murni rekan kerja."Bohong! Ingin Nayla meneriakkan satu kata itu. Ingin mulut mengatakan kalau lelaki yang ada di hati adalah Gilang sendiri. Lelaki yang selalu ia tikung di sepertiga malam. Nama lelaki yang selalu bertahta di hati."Apa dia suami orang?" tanya Gilang hati-hati setelah sukses merebahkan diri di sebelah Nayla.Telak, pertanyaan itu buat Nayla menelan ludah. Ge
"Aku ikut sedih karenanya," tutur Rara. Raut sedih sedikit terlihat di wajahnya yang selalu datar."Mana Reno? Apa dia sudah pulang ke panti?""Dia tidur di ruang tengah," balas Rara singkat"Oh ...." Gilang kembali melirik meja. Di sana ada kantong kresek milik salah satu toko burger yang letaknya tak jauh dari rumah.Rara yang sadar tatapan Gilang tertuju pun memilin ujung jilbabnya. Lalu, menatap ragu ke Gilang."Aku ambil uang kamu tadi," katanya pelan.Gilang diam, sengaja tidak menjawab. Baginya terlalu sayang melewatkan momen itu. Ia lebih tertarik menatap muka Rara yang merasa bersalah daripada memberinya pertanyaan. Ia memilih mendengar pengakuan gadis itu."Aku ambil segini." Rara melebarkan sebelah tangannya."Lima puluh ribu?" Gilang sengaja salah menerka. Ia sembunyikan senyum di bibir. Sebaliknya, ia justru memasang wajah serius seakan-akan tidak senang."Kamu ambil lima puluh ribu?" ulang Gilang.Bak bocah kecil, Rara menggeleng sebagai balasan. "Bukan lima puluh ribu,
***"Maaf, aku merepotkan. Ini untuk tempat sampahnya dan ini minuman dingin. Kamu pasti haus."Sikap manis Rara buat Gilang tak bisa menyembunyikan senyum. Ia acak-acak rambut Rara, lalu kembali duduk dan menenggak air itu sampai habis setengah."Aku sudah memastikannya pada Nayla, yang dia suka itu bukan aku tapi orang lain," ucap Gilang disela kegiatannya membersihkan meja."Maksud kamu?" Makin membulat mata Rara, ia tak menyangka Gilang bertanya langsung pada Nayla. Tapi bertanya langsung bukankah persentase kejujurannya itu nol persen? Mana ada wanita yang mengaku dengan begitu mudahnya.''Memangnya kamu bertanya apa?""Ya aku bertanya tentang siapa laki-laki yang dia suka, siapa yang ditaksirnya.""Terus dia jawab apa?" lanjut Rara penasaran plus gregetan."Dia bilang laki-laki itu teman kerja dan ...." Gilang menjeda kata, kenyataan Nayla menyukai laki-laki beristri terlalu pribadi untuk dibagi ke Rara."Dan?" ulang Rara. Penasaran."Intinya yang dia sukai bukan aku. Kamu salah