"Aku ikut sedih karenanya," tutur Rara. Raut sedih sedikit terlihat di wajahnya yang selalu datar."Mana Reno? Apa dia sudah pulang ke panti?""Dia tidur di ruang tengah," balas Rara singkat"Oh ...." Gilang kembali melirik meja. Di sana ada kantong kresek milik salah satu toko burger yang letaknya tak jauh dari rumah.Rara yang sadar tatapan Gilang tertuju pun memilin ujung jilbabnya. Lalu, menatap ragu ke Gilang."Aku ambil uang kamu tadi," katanya pelan.Gilang diam, sengaja tidak menjawab. Baginya terlalu sayang melewatkan momen itu. Ia lebih tertarik menatap muka Rara yang merasa bersalah daripada memberinya pertanyaan. Ia memilih mendengar pengakuan gadis itu."Aku ambil segini." Rara melebarkan sebelah tangannya."Lima puluh ribu?" Gilang sengaja salah menerka. Ia sembunyikan senyum di bibir. Sebaliknya, ia justru memasang wajah serius seakan-akan tidak senang."Kamu ambil lima puluh ribu?" ulang Gilang.Bak bocah kecil, Rara menggeleng sebagai balasan. "Bukan lima puluh ribu,
***"Maaf, aku merepotkan. Ini untuk tempat sampahnya dan ini minuman dingin. Kamu pasti haus."Sikap manis Rara buat Gilang tak bisa menyembunyikan senyum. Ia acak-acak rambut Rara, lalu kembali duduk dan menenggak air itu sampai habis setengah."Aku sudah memastikannya pada Nayla, yang dia suka itu bukan aku tapi orang lain," ucap Gilang disela kegiatannya membersihkan meja."Maksud kamu?" Makin membulat mata Rara, ia tak menyangka Gilang bertanya langsung pada Nayla. Tapi bertanya langsung bukankah persentase kejujurannya itu nol persen? Mana ada wanita yang mengaku dengan begitu mudahnya.''Memangnya kamu bertanya apa?""Ya aku bertanya tentang siapa laki-laki yang dia suka, siapa yang ditaksirnya.""Terus dia jawab apa?" lanjut Rara penasaran plus gregetan."Dia bilang laki-laki itu teman kerja dan ...." Gilang menjeda kata, kenyataan Nayla menyukai laki-laki beristri terlalu pribadi untuk dibagi ke Rara."Dan?" ulang Rara. Penasaran."Intinya yang dia sukai bukan aku. Kamu salah
"Jadi kamu istrinya Gilang?" tanya Yuni, wanita lima puluhan yang merupakan pasien patah tulang lengan. Ia tak henti menatap heran Rara yang hanya duduk di kursi roda. Dan tatapan itu terasa seperti penghinaan untuk Rara."Iya, Bu Yuni. Istri saya cantik, 'kan?" balas Gilang. Rara yang ada di sebelahnya menyikut, sebagai kode agar mulut Gilang lebih baik diam saja. Dipuji cantik buat Rara kesal. Kondisinya yang seperti itu membuat ia merasa dijadikan lelucon oleh Gilang.Mana ada gadis cacat yang layak dikakatan cantik? Merepotkan iya, pikir Rara dalam diamnya. Iya benar-benar dongkol dan merasa diejek."Ibu Alia sudah cerita banyak tentang kalian. Ibu doakan semoga rumah tangga kalian langgeng sampai tua, dan cepat diberikan momongan," lanjut Ibu Yuni. Dia tersenyum. Dia juga menyadari kalau Rara terkesan tidak nyaman dengan dirinya."Amin ya Allah, terima kasih, Bu Yuni. Semoga keluarga Bu Yuni selalu sehat dan bahagia di jalan Allah." Gilang tersenyum, ia dekati Bunda Alia, lalu me
Hening, tak ada yang menjawab. Atmosfer suasana di tempat itu berubah drastis.Merasa tidak ada yang menanggapi Rukmi pun berdeham. Baru sadar kalau ucapannya membuat semua orang yang ada di sana menjadi kurang nyaman. Nayla menatap Gilang, sedang Gilang menatap Rara. Rara sendiri memilih diam dan membuang muka ke sembarang arah."Ehm, salah paham itu biasa." Yuni menimpali."Hehehe, iya. Kita juga sering kok dibilang begitu, katanya kita mirip, seperti kakak dan adik kandung. Mungkin karena dari kecil sudah dekat, jadi banyak yang menyamakan," tambah Nayla. Kalimat itu sengaja dia katakan agar Rara mendengarnya.Entahlah. Tiba-tiba Nayla suka jika Rara mendengar kata ini. Sayangnya Gilang tak mengindahkan seolah tengah menjaga perasaan istrinya.Padahal yang Nayla katakan benar 100 persen."Ya sudah, ayo makan buah." Bunda Alia pun turut berusaha mencairkan suasana.Mulanya canggung, tapi lama-lama kecanggungan itu mencair. Di ruang yang lumayan besar itu semua membagi kisah. Ada saj
****Sesuai kesepakatan untuk malam itu Nayla menggantikan Lasmi menjaga Bunda Alia. Sedang Lasmi, yang merupakan orang kepercayaan Bunda Alia diminta kembali ke panti untuk menjaga anak-anak. Sementara Gilang, ia tak bisa menginap karena Rara juga membutuhkan perawatan. Apalagi semua yang ada di rumah itu bergantung pada Gilang. Tanpa Gilang Rara tak bisa melakukan apa-apa."Bun, aku sama Rara pamit pulang, ya. Besok ke sini lagi," ucap Gilang.Bunda Alia hanya memberi ulasan bibir. "Kamu hati-hati menyetirnya. Jangan ngebut.""Baik Bunda … bunda juga cepat sehat di sini," ujar lelaki itu.Setelah berpamitan dengan semua orang Gilang pun mendorong kursi roda Rara tanpa menyadari kalau ponselnya tertinggal."Loh, itu kan hape Gilang," tegur Bunda Alia. Ponsel Gilang tertimpa nampan. Jadi tak terlihat. Gilang sendiri juga lupa tidak mengecek barang-barangnya sebelum pergi meninggalkan ruangan itu."Mana, Bun?" Nayla mendekat dan melihat memang ponsel Gilang ada di sana."Cepat antar, N
"Lang, aku ....""Abang!"Suara teriakan Nayla dari kejauhan membuat Gilang menoleh. Gadis itu tampak berlari tergopoh-gopoh menyusul Gilang dan Rara yang hendak naik ke mobil."Ada apa Nay?" Gilang mengernyit heran. "Apa terjadi sesuatu dengan Bunda?" tanya lelaki itu ikut panik. Pasalnya Nayla berlari seperti orang kesetanan. Jelas pikiran Gilang jadi kemana-mana karena hal itu. Nayla merekahkan senyum. "Maaf sudah membuat khawatir. Bunda masih baik-baik saja. Bang. Tapi ini ponsel Abang ketinggalan. Makanya Nayla susul sebelum pergi." Wanita itu masih setengah ngos-ngosan saat menyodorkan ponselnya."Astagfirullahallazim! Kok aku bisa lupa ya, Nay?" Gilang menepuk jidat lalu menerima ponsel yang diulurkan Nayla. Sejenak pandangan mereka saling bertemu, dan itu membuat Rara mendengkus sebal seraya membuang muka.Dasar lelaki bodoh! Sudah jelas-jelas dia suka kepadamu. Masa iya kamu tidak menyadarinya, Lang, batin Rara dalam hati. Entah kenapa mendadak berapi-api."Makasih banget y
***Sesampainya di rumah, keadaan Rara dan Gilang masih saling bersitegang. Gilang masih kesal soal ucapan Rara di rumah sakit tadi. Terus terang saja Gilang tak terima dengan pemikiran Rara. Bagi lelaki itu, hubungannya dengan Nayla layaknya adik dan kakak. Apalagi mereka dibesarkan bersama-sama sejak kecil."Lang, aku ....""Jangan ngomong kalau hanya mau membahas soal cerai, aku tidak ingin mendengar pembahasan yang sangat dibenci oleh Tuhanku!" tegas Gilang tak mau bantahan. Lelaki itu membaringkan Rara ke ranjang, lantas memberinya selimut. Perhatian seperti biasa. Cuma, kali ini agak menahan sedikit gemuruh dalam dada. Pasalnya Rara terus saja menyuruhnya menikahi Nayla dan ia agak kesal dengan itu."Jadi sekarang lebih baik kamu tidur," lanjut lelaki itu lagi."Kalau aku tidak mau?" tantang Rara sambil menaik turunkan alisnha. Ia memberikan sorot mata berani seperti biasa."Maka aku akan buat kamu bergadang sampai pagi! Bagaimana ... masih berani melanggar perintah?"Kalimat am
"Kenapa ini? Kenapa hatiku jadi tidak nyaman begini?" batin Rara dalam hati.Rara tahu ada yang tak beres, tapi menampik semua itu. Ia tanamkan dalam kepala bahwa Gilang itu hanya membual, tentang cinta dan lain-lain itu hanya bualan saja. Seumur hidup ia tak pernah mempercayai apa itu cinta selain orang tuanya. Yang ada hanya simbiosis mutualisme. Memberi dan menerima manfaat."Sudahlah, berhenti membual. Aku tidak suka. Lebih baik kamu keluar. Aku mau tidur.""Bukankah kamu bilang tadi tidak ingin tidur?" Gilang makin menjadi."Gilang! Berhenti membual, aku itu tidak ada rasa ke kamu. Lebih baik kamu cari perempuan yang benar-benar cinta kamu. Aku itu tidak ada rasa.""Benarkah? Mungkin kamu tidak merasakannya karena tidak tahu." Gilang ambil tangan Rara. Rara tentu menarik diri, tapi Gilang dengan sedikit memaksa menarik tangan Rara lagi dan meletakkan ke dada.Dup-dup-dup-dup.Rara membola. Ritme jantung Gilang hampir sama dengan detak jantungnya."Jika sama itu artinya cinta," la