****Sesuai kesepakatan untuk malam itu Nayla menggantikan Lasmi menjaga Bunda Alia. Sedang Lasmi, yang merupakan orang kepercayaan Bunda Alia diminta kembali ke panti untuk menjaga anak-anak. Sementara Gilang, ia tak bisa menginap karena Rara juga membutuhkan perawatan. Apalagi semua yang ada di rumah itu bergantung pada Gilang. Tanpa Gilang Rara tak bisa melakukan apa-apa."Bun, aku sama Rara pamit pulang, ya. Besok ke sini lagi," ucap Gilang.Bunda Alia hanya memberi ulasan bibir. "Kamu hati-hati menyetirnya. Jangan ngebut.""Baik Bunda … bunda juga cepat sehat di sini," ujar lelaki itu.Setelah berpamitan dengan semua orang Gilang pun mendorong kursi roda Rara tanpa menyadari kalau ponselnya tertinggal."Loh, itu kan hape Gilang," tegur Bunda Alia. Ponsel Gilang tertimpa nampan. Jadi tak terlihat. Gilang sendiri juga lupa tidak mengecek barang-barangnya sebelum pergi meninggalkan ruangan itu."Mana, Bun?" Nayla mendekat dan melihat memang ponsel Gilang ada di sana."Cepat antar, N
"Lang, aku ....""Abang!"Suara teriakan Nayla dari kejauhan membuat Gilang menoleh. Gadis itu tampak berlari tergopoh-gopoh menyusul Gilang dan Rara yang hendak naik ke mobil."Ada apa Nay?" Gilang mengernyit heran. "Apa terjadi sesuatu dengan Bunda?" tanya lelaki itu ikut panik. Pasalnya Nayla berlari seperti orang kesetanan. Jelas pikiran Gilang jadi kemana-mana karena hal itu. Nayla merekahkan senyum. "Maaf sudah membuat khawatir. Bunda masih baik-baik saja. Bang. Tapi ini ponsel Abang ketinggalan. Makanya Nayla susul sebelum pergi." Wanita itu masih setengah ngos-ngosan saat menyodorkan ponselnya."Astagfirullahallazim! Kok aku bisa lupa ya, Nay?" Gilang menepuk jidat lalu menerima ponsel yang diulurkan Nayla. Sejenak pandangan mereka saling bertemu, dan itu membuat Rara mendengkus sebal seraya membuang muka.Dasar lelaki bodoh! Sudah jelas-jelas dia suka kepadamu. Masa iya kamu tidak menyadarinya, Lang, batin Rara dalam hati. Entah kenapa mendadak berapi-api."Makasih banget y
***Sesampainya di rumah, keadaan Rara dan Gilang masih saling bersitegang. Gilang masih kesal soal ucapan Rara di rumah sakit tadi. Terus terang saja Gilang tak terima dengan pemikiran Rara. Bagi lelaki itu, hubungannya dengan Nayla layaknya adik dan kakak. Apalagi mereka dibesarkan bersama-sama sejak kecil."Lang, aku ....""Jangan ngomong kalau hanya mau membahas soal cerai, aku tidak ingin mendengar pembahasan yang sangat dibenci oleh Tuhanku!" tegas Gilang tak mau bantahan. Lelaki itu membaringkan Rara ke ranjang, lantas memberinya selimut. Perhatian seperti biasa. Cuma, kali ini agak menahan sedikit gemuruh dalam dada. Pasalnya Rara terus saja menyuruhnya menikahi Nayla dan ia agak kesal dengan itu."Jadi sekarang lebih baik kamu tidur," lanjut lelaki itu lagi."Kalau aku tidak mau?" tantang Rara sambil menaik turunkan alisnha. Ia memberikan sorot mata berani seperti biasa."Maka aku akan buat kamu bergadang sampai pagi! Bagaimana ... masih berani melanggar perintah?"Kalimat am
"Kenapa ini? Kenapa hatiku jadi tidak nyaman begini?" batin Rara dalam hati.Rara tahu ada yang tak beres, tapi menampik semua itu. Ia tanamkan dalam kepala bahwa Gilang itu hanya membual, tentang cinta dan lain-lain itu hanya bualan saja. Seumur hidup ia tak pernah mempercayai apa itu cinta selain orang tuanya. Yang ada hanya simbiosis mutualisme. Memberi dan menerima manfaat."Sudahlah, berhenti membual. Aku tidak suka. Lebih baik kamu keluar. Aku mau tidur.""Bukankah kamu bilang tadi tidak ingin tidur?" Gilang makin menjadi."Gilang! Berhenti membual, aku itu tidak ada rasa ke kamu. Lebih baik kamu cari perempuan yang benar-benar cinta kamu. Aku itu tidak ada rasa.""Benarkah? Mungkin kamu tidak merasakannya karena tidak tahu." Gilang ambil tangan Rara. Rara tentu menarik diri, tapi Gilang dengan sedikit memaksa menarik tangan Rara lagi dan meletakkan ke dada.Dup-dup-dup-dup.Rara membola. Ritme jantung Gilang hampir sama dengan detak jantungnya."Jika sama itu artinya cinta," la
[Nay, ada yang ingin Abang tanyakan. Bisa luangkan waktu sebentar untuk bertemu?]Nayla termangu sesaat setelah membaca pesan yang Gilang kirim. Ada rasa yang bergejolak dalam dada. Rasa yang sulit dijabarkan. Menggumpal seperti benang kusut, antara senang, sedih, dan takut.Kira-kira Abang mau ngomong apa, ya? Apa dia mau cerita soal hubungannya yang buruk? Atau jangan-jangan dia tahu, ah bingung !!!Pikiran Nayla mulai kemana-mana. Ini adalah pertama kalinya Gilang mengajaknya bertemu pasca menikahi Rara.Nayla senang karena akan bertemu Gilang terlepas apa yang ingin lelaki itu katakan. Namun, hatinya juga was was, takut Gilang mengetahui kenyataan. Nayla juga sedih jika sampai Gilang tahu dan responnya negatif. Kalau sudah begitu tidak ada kesempatan untuk berjumpa lagi. Sudah kadung malu, pasti Nayla tak akan mampu hidup di sekitar Gilang.Sayangnya rasa cinta yang tertanam membuat Nayla tak bisa menahan diri. Ulasan bibir pun ia ukir tanpa sadar. Gadis itu merasakan hatinya ditu
***"Mengaku saja, Nak. Bunda akan mendengar. Bunda tahu kamu, kamu besar sama Bunda." Bunda Alia mengangkat tangannya dan mengusap pucuk kepala Nayla yang masih terbalut jilbab. "Apa yang mengirim pesan adalah orang yang kamu suka? Kalau iya kenalkan pada Bunda, biar bunda dapat menilai apakah lelaki itu pantas untukmu atau tidak," ujar Bunda Alia.Nayla mengangguk pelan, disusul helaan napas panjang setelah itu. Gelagat itu sudah bisa ditebak Bunda Alia. Ada yang tak beres dengan anak asuhnya itu. Hubungan asmara Nayla pasti sedang tidak baik-baik saja."Apa hubungan kalian tidak baik?" Bunda Alia masih penasaran dan mulai menerka siapa laki-laki yang buat Nayla nelangsa. Akhir-akhir ini ia merasakan keanehan itu. Nayla terlihat tak bersemangat dan selalu murung."Hubungan kalian tidak baik?" ulangnya.Hal itu membuar Nayla mengangguk lagi dengan perasaan sedih."Biarkan bunda bertanya, apa dia laki-laki baik? Sebaik apa? Apa kamu sudah mengenal dia?""Aku tak pernah melihat laki-la
***"Masalahnya bukan kesenjangan sosial, Bun. Tapi ….""Tapi apa, Nay?" Bunda Alia menatap Nayla perasaan. Gadis itu diam sejenak. Seolah enggan melanjutkan pembahasan soal ini. Bagi Nayla hal ini terlalu sensitif jika dibicarakan dengan orang lain."Dia sudah berkeluarga. Makanya aku kubur rapat-rapat perasaan ini."Tersentaklah Bunda Alia, wanita itu tak menyangka kalau sang anak menyukai suami orang. Tadinya dia pikir cinta Nayla bertepuk sebelah tangan karena alasan kasta. Nyatanya tidak. Nayla menyukai lelaki yang ditakdirkan bukan untuk dirinya."Istigfar, Nay. Kamu pasti sangat menderita," ucap Bunda Alia lagi. Prihatin. Mencintai suami orang itu berat karena tidak boleh. Otomatis Nayla meredam dan memendam cinta itu seorang diri.Nayla hanya diam membiarkan air matanya makin menganak sungai."Bunda, apa menurut Bunda aku harus memperjuangkannya? Bukankah laki-laki boleh beristri lebih dari satu? Bunda, aku rela menjadi yang kedua asalkan dia mau. Aku akan mengabdi pada suamik
"Maaf, Bun. Aku tidak bisa menyebut namanya," balas Nayla lirih, setelahnya diam beberapa saat sebelum akhirnya berani mengangkat kepala. Matanya yang sembab berserobok pandang dengan Bunda Alia."Nay?" Bunda Alia menatap iba sang putri."Aku akan mengatasinya sendiri, Bun. Perasaan ini akan aku kubur. Aku tidak akan menjadi orang ketiga di rumah tangga dia walau aku tahu seburuk apa hubungan mereka," lanjut gadis itu lagi. Terdengar penuh kemantapan. Keyakinan yang berpadu dengan kesedihan.Bunda Alia mengangguk pelan, lalu menyeka jejak kesedihan Nayla dengan tangannya. "Bunda yakin pasti kamu kuat, Nak. Nayla anak Bunda itu anak yang paling kuat di panti ini. Percayalah, jodoh tidak akan kemana. Jika dia bukan ditakdirkan untuk kamu, maka mau dikejar seperti apa pun tidak akan bisa. Justru sebaliknya, jika dia jodohmu, dia akan datang dengan sendirinya. Ingat, Allah senantiasa ada untuk hambanya yang ingin berada di jalan yang benar," ucap Bunda Alia.Nayla tersenyum getir. Membena