"Kenapa ini? Kenapa hatiku jadi tidak nyaman begini?" batin Rara dalam hati.Rara tahu ada yang tak beres, tapi menampik semua itu. Ia tanamkan dalam kepala bahwa Gilang itu hanya membual, tentang cinta dan lain-lain itu hanya bualan saja. Seumur hidup ia tak pernah mempercayai apa itu cinta selain orang tuanya. Yang ada hanya simbiosis mutualisme. Memberi dan menerima manfaat."Sudahlah, berhenti membual. Aku tidak suka. Lebih baik kamu keluar. Aku mau tidur.""Bukankah kamu bilang tadi tidak ingin tidur?" Gilang makin menjadi."Gilang! Berhenti membual, aku itu tidak ada rasa ke kamu. Lebih baik kamu cari perempuan yang benar-benar cinta kamu. Aku itu tidak ada rasa.""Benarkah? Mungkin kamu tidak merasakannya karena tidak tahu." Gilang ambil tangan Rara. Rara tentu menarik diri, tapi Gilang dengan sedikit memaksa menarik tangan Rara lagi dan meletakkan ke dada.Dup-dup-dup-dup.Rara membola. Ritme jantung Gilang hampir sama dengan detak jantungnya."Jika sama itu artinya cinta," la
[Nay, ada yang ingin Abang tanyakan. Bisa luangkan waktu sebentar untuk bertemu?]Nayla termangu sesaat setelah membaca pesan yang Gilang kirim. Ada rasa yang bergejolak dalam dada. Rasa yang sulit dijabarkan. Menggumpal seperti benang kusut, antara senang, sedih, dan takut.Kira-kira Abang mau ngomong apa, ya? Apa dia mau cerita soal hubungannya yang buruk? Atau jangan-jangan dia tahu, ah bingung !!!Pikiran Nayla mulai kemana-mana. Ini adalah pertama kalinya Gilang mengajaknya bertemu pasca menikahi Rara.Nayla senang karena akan bertemu Gilang terlepas apa yang ingin lelaki itu katakan. Namun, hatinya juga was was, takut Gilang mengetahui kenyataan. Nayla juga sedih jika sampai Gilang tahu dan responnya negatif. Kalau sudah begitu tidak ada kesempatan untuk berjumpa lagi. Sudah kadung malu, pasti Nayla tak akan mampu hidup di sekitar Gilang.Sayangnya rasa cinta yang tertanam membuat Nayla tak bisa menahan diri. Ulasan bibir pun ia ukir tanpa sadar. Gadis itu merasakan hatinya ditu
***"Mengaku saja, Nak. Bunda akan mendengar. Bunda tahu kamu, kamu besar sama Bunda." Bunda Alia mengangkat tangannya dan mengusap pucuk kepala Nayla yang masih terbalut jilbab. "Apa yang mengirim pesan adalah orang yang kamu suka? Kalau iya kenalkan pada Bunda, biar bunda dapat menilai apakah lelaki itu pantas untukmu atau tidak," ujar Bunda Alia.Nayla mengangguk pelan, disusul helaan napas panjang setelah itu. Gelagat itu sudah bisa ditebak Bunda Alia. Ada yang tak beres dengan anak asuhnya itu. Hubungan asmara Nayla pasti sedang tidak baik-baik saja."Apa hubungan kalian tidak baik?" Bunda Alia masih penasaran dan mulai menerka siapa laki-laki yang buat Nayla nelangsa. Akhir-akhir ini ia merasakan keanehan itu. Nayla terlihat tak bersemangat dan selalu murung."Hubungan kalian tidak baik?" ulangnya.Hal itu membuar Nayla mengangguk lagi dengan perasaan sedih."Biarkan bunda bertanya, apa dia laki-laki baik? Sebaik apa? Apa kamu sudah mengenal dia?""Aku tak pernah melihat laki-la
***"Masalahnya bukan kesenjangan sosial, Bun. Tapi ….""Tapi apa, Nay?" Bunda Alia menatap Nayla perasaan. Gadis itu diam sejenak. Seolah enggan melanjutkan pembahasan soal ini. Bagi Nayla hal ini terlalu sensitif jika dibicarakan dengan orang lain."Dia sudah berkeluarga. Makanya aku kubur rapat-rapat perasaan ini."Tersentaklah Bunda Alia, wanita itu tak menyangka kalau sang anak menyukai suami orang. Tadinya dia pikir cinta Nayla bertepuk sebelah tangan karena alasan kasta. Nyatanya tidak. Nayla menyukai lelaki yang ditakdirkan bukan untuk dirinya."Istigfar, Nay. Kamu pasti sangat menderita," ucap Bunda Alia lagi. Prihatin. Mencintai suami orang itu berat karena tidak boleh. Otomatis Nayla meredam dan memendam cinta itu seorang diri.Nayla hanya diam membiarkan air matanya makin menganak sungai."Bunda, apa menurut Bunda aku harus memperjuangkannya? Bukankah laki-laki boleh beristri lebih dari satu? Bunda, aku rela menjadi yang kedua asalkan dia mau. Aku akan mengabdi pada suamik
"Maaf, Bun. Aku tidak bisa menyebut namanya," balas Nayla lirih, setelahnya diam beberapa saat sebelum akhirnya berani mengangkat kepala. Matanya yang sembab berserobok pandang dengan Bunda Alia."Nay?" Bunda Alia menatap iba sang putri."Aku akan mengatasinya sendiri, Bun. Perasaan ini akan aku kubur. Aku tidak akan menjadi orang ketiga di rumah tangga dia walau aku tahu seburuk apa hubungan mereka," lanjut gadis itu lagi. Terdengar penuh kemantapan. Keyakinan yang berpadu dengan kesedihan.Bunda Alia mengangguk pelan, lalu menyeka jejak kesedihan Nayla dengan tangannya. "Bunda yakin pasti kamu kuat, Nak. Nayla anak Bunda itu anak yang paling kuat di panti ini. Percayalah, jodoh tidak akan kemana. Jika dia bukan ditakdirkan untuk kamu, maka mau dikejar seperti apa pun tidak akan bisa. Justru sebaliknya, jika dia jodohmu, dia akan datang dengan sendirinya. Ingat, Allah senantiasa ada untuk hambanya yang ingin berada di jalan yang benar," ucap Bunda Alia.Nayla tersenyum getir. Membena
"Mimpiku bukan urusanmu!" "Ya sudah kalau begitu. Sebentar lagi azan subuh, aku akan ...." Tergantung begitu saja lisan Gilang. Menggantung lumayan lama. Tak hanya lisan, matanya pun tak mengerjap sama sekali. Ia kaget bercampur bingung, Rara tiba-tiba menahan pergelangan tangannya. Mereka berbagi pandangan."Bantu aku," lirih Rara setelah beberapa detik meyakinkan hati.Gilang pun tersenyum, lalu melepas pergelangan tangan Rara, setelahnya melepas sarung."Kamu mau ke kamar mandi?" terka Gilang.Rara menggeleng pelan, lalu menunduk menekuki jemari yang saling menggamit."Aku ... tolong ajarkan aku solat."Gilang cengo. Masih mencoba mencerna."Ra, k-kamu bilang apa?" Tergagap lisan Gilang. Lantaran masih belum percaya. Gadis yang selalu menolak dan galak saat diajak salat malah minta diajarkan salat."Ajari aku salat," ulang Rara, lebih mantap lagi."Ra, kamu serius?""Ya, aku serius."Gilang kembali duduk, lalu mengarahkan mata Rara untuk menatapnya. "Coba ulangi lagi.""Tolong aja
"Oh iya, Lang. Soal usul kamu waktu itu. Apa kita bisa melakukanya dalam waktu dekat ini?" tanya Rara sembari memasang mukena."Usul yang mana?" tanya Gilang balik. Lelaki itu menggelar sajadah."Soal bagi kue dan minta maaf sama tetangga. Aku ingin segera melakukannya. Takut tidak sempat. Ajal tidak tahu kapan sampainya.""Masya Allah." Gilang tersenyum bahagia. Bersyukur. Dalam semalam Rara telah berubah banyak."Insya Allah, kita akan melakukan itu secepatnya. Niat baik tidak boleh ditunda," lanjutnya.Rara balas senyum Gilang lalu membuang muka. Tiba-tiba saja merasa amat malu dipandang seperti itu.Setelah memeriksa semuanya Gilang pun mulai ikamah dan entah kenapa Rara memulai merasakan hatinya berdebar tak karuan. Sedih, hati bagai tersayat. Puncaknya ketika Gilang mulai membaca Al-Fatihah. Rara mulai tubuh gemetar, air tergenang begitu saja. Teringat semua dosa yang ia lakukan selama ini. Umbar aurat ke sana kemari, sombong, riya' dan angkuh. Semua sikap dan perilaku buruk ter
***"Makanya jangan jail," sungut Rara."Baiklah, aku menyerah." Gilang membuka bajunya. Di depan Rara ia copot semua. Hanya menyisakan bokser saja. Setelah itu baju basah dia masukkan dalam mesin cuci.Rara yang melihatnya menelan ludah, lalu memalingkan muka. Merasa malu sendiri."Jangan marah. Aku cuma bercanda. Sudah lama tidak main air," jelas lelaki itu tanpa tahu alasan Rara memalingkan muka. Ia pikir Rara marah karenanya.Padahal bukan itu. Rara tiba-tiba gugup melihat tubuh Gilang. Matanya seperti tersihit atas keindahan yang belum pernah terjamah itu.Bagus sekali badannya, pikir Rara sambil menelan ludah."Sudahlah. Aku mau kedalam. Lapar." Rara melengos pergi melewati Gilang. Pelan dia tekan dada dan merasa detaknya makin menggila. "Sepertinya aku punya masalah jantung. Secepatnya harus konsultasi."Di meja makan."Apa yang kamu pikirkan?" tanya Rara. Diam-diaman di meja makan tidak menyenangkan menurutnya. Biasa Gilang akan menggoda, kadang juga mengedip genit. Tapi saat