"Oh iya, Lang. Soal usul kamu waktu itu. Apa kita bisa melakukanya dalam waktu dekat ini?" tanya Rara sembari memasang mukena."Usul yang mana?" tanya Gilang balik. Lelaki itu menggelar sajadah."Soal bagi kue dan minta maaf sama tetangga. Aku ingin segera melakukannya. Takut tidak sempat. Ajal tidak tahu kapan sampainya.""Masya Allah." Gilang tersenyum bahagia. Bersyukur. Dalam semalam Rara telah berubah banyak."Insya Allah, kita akan melakukan itu secepatnya. Niat baik tidak boleh ditunda," lanjutnya.Rara balas senyum Gilang lalu membuang muka. Tiba-tiba saja merasa amat malu dipandang seperti itu.Setelah memeriksa semuanya Gilang pun mulai ikamah dan entah kenapa Rara memulai merasakan hatinya berdebar tak karuan. Sedih, hati bagai tersayat. Puncaknya ketika Gilang mulai membaca Al-Fatihah. Rara mulai tubuh gemetar, air tergenang begitu saja. Teringat semua dosa yang ia lakukan selama ini. Umbar aurat ke sana kemari, sombong, riya' dan angkuh. Semua sikap dan perilaku buruk ter
***"Makanya jangan jail," sungut Rara."Baiklah, aku menyerah." Gilang membuka bajunya. Di depan Rara ia copot semua. Hanya menyisakan bokser saja. Setelah itu baju basah dia masukkan dalam mesin cuci.Rara yang melihatnya menelan ludah, lalu memalingkan muka. Merasa malu sendiri."Jangan marah. Aku cuma bercanda. Sudah lama tidak main air," jelas lelaki itu tanpa tahu alasan Rara memalingkan muka. Ia pikir Rara marah karenanya.Padahal bukan itu. Rara tiba-tiba gugup melihat tubuh Gilang. Matanya seperti tersihit atas keindahan yang belum pernah terjamah itu.Bagus sekali badannya, pikir Rara sambil menelan ludah."Sudahlah. Aku mau kedalam. Lapar." Rara melengos pergi melewati Gilang. Pelan dia tekan dada dan merasa detaknya makin menggila. "Sepertinya aku punya masalah jantung. Secepatnya harus konsultasi."Di meja makan."Apa yang kamu pikirkan?" tanya Rara. Diam-diaman di meja makan tidak menyenangkan menurutnya. Biasa Gilang akan menggoda, kadang juga mengedip genit. Tapi saat
Gilang yang baru tiba memandang Nayla yang sedang duduk di kursi panjang. Gadis itu berada di taman panti sembari melihat anak-anak yang bermain. Anak-anak yang belum mencapai usia SD itu sedang tertawa bermain pasir. Beberapa ada yang main lompat tali. Terlihat lucu, sesekali Nayla tersenyum dibuatnya."Mereka menggemaskan, 'kan?" ucap Gilang, lantas menjatuhkan bokong di kursi yang sama dengan Nayla. Kursi panjang yang memberikan jarak yang lumayan untuk keduanya. Jika diisi orang dewasa mungkin akan muat empat orang lagi."Iya, Bang. Mereka gemesin."Nayla sambut kedatangan Gilang dengan senyum memesona. Perasaan yang sulit digambarkan. Gadis itu tahu mendamba suami orang itu salah makanya berusaha keras mengubur rasa itu.Sayang, usahanya seperti sia-sia. Ambyar dalam sekejap mata. Karena aaat melihat Gilang ada di depan mata tetap memberikan efek juga ke ke dirinya. Efek yang sangat besar. Tiba-tiba hati bergemuruh dengan detak jantung tak seirama, bagai godam yang dipalu terus m
***Kali ini Gilang mengangguk, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi dengan mata yang tetap dibiarkan terpejam. Kedua sudut bibirnya tertarik. Gelagat yang buat Nayla makin bingung karena heran. Tingkah Gilang tidak seperti biasa."Nay, kamu ingat tidak kalau kamu pernah nangis kejer gara-gara es krim kamu jatuh?" tanya Gilang, melenceng jauh dari pertanyaan yang Nayla berikan."Tentu saja aku ingat. Aku menjatuhkannya dan menyesal. Dan Bang Gilang kasih aku es krim karena Abang tidak suka cokelat. Iya kan?" kenang Nayla, sedikit bersemangat. Sejujurnya karena kejadian itulah rasa itu mulai ada. Padahal dulu ia dan Gilang masih sangat kecil. Ia berusia delapan tahun dan Gilang dua belas tahun. Saat itu Nayla yang baru datang ke panti menganggap Gilang adalah penyelamat. Penyelamat yang terus ia ikuti."Sebenarnya aku suka es krim, Nay. Coklat paling enak dibanding rasa yang lain," lanjut Gilang.Nayla terbeku. Ia tatap lekat Gilang yang mulai membuka mata."Aku memberikannya k
Seharian ini Gilang tidak bisa fokus. Entah itu tentang Rara atau toko. Pikiran lelaki itu teralihkan begitu saja. Bahkan acap kali melakukan kesalahan, entah itu salah kembalian atau salah memanggil orang.Semua itu terjadi karena pengakuan Nayla yang tiba-tiba tadi pagi. Ia jadi tidak tenang meski Nayla bilang akan mengurus sendiri perasaannya. Bagi Gilang, Nayla adalah sosok adik dan rasa bersalah itu jadi berkali lipat karena tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu. Gilang merasa menjadi lelaki brengsek karena telah membuat seorang gadis sebaik Nayla menangis.Kendati demikian ia juga tidak bisa apa-apa. Cinta telah berlabuh dan pemiliknya adalah Rara. Tidak mungkin menghancurkan hati Rara meski wanita itu belum menerima secara keseluruhan. Gilang yakin, suatu saat istrinya yang mirip pucuk Gunung Everest itu akan mencair, lalu menerima cintanya. Ia juga sangat yakin bisa membangun rumah tangga harmonis bersama Rara layaknya pasangan lain. Entah dari mana datangnya, tapi keyak
Segera Gilang ke kamar mandi dan mencuci bersih buah itu. Agar memudahkan sang ibu menikmatinya."Anak-anak baik-baik saja kan, Lang. Reno, apa dia baik-baik saja. Biasanya anak itu akan menangis kalau tidak Bunda peluk."Gilang kembali menipiskan bibir. "Anak-anak baik-baik saja, Bun. Termasuk Reno. Ada banyak pengurus yang membantu."Bibir Bunda Alia yang sedikit pecah-pecah pun merekah. "Tapi tetap Bunda ingin cepat pulang.""Iya, Bunda pasti akan pulang."Tiba-tiba ponsel Lastri berbunyi, wanita sebaya dengan Bunda Alia itu pun pamit undur diri meninggalkan Gilang dan Bunda Alia di sana berdua. Gilang yang berada di sana semakin merasakan keanehan. Semakin menatap semakin yakin ia kalau ada yang tak beres. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bunda Alia.Segera Gilang duduk kembali. "Bun, Bunda benar tidak apa-apa? Katakan saja, Bun.""Memangnya bunda kenapa? Perasaan baik-baik saja. Sehat, ya walaupun kadang masih nyeri di bagian kepala dan lengan tapi tidak apa-apa. Kenapa kamu b
Malam harinya.Gilang sedang berbaring diam menatap wajah ayu Rara yang terpejam. Mengamati wajah itu dengan saksama, dan ada rasa bangga dalam hatinya. Ia mengangumi Rara. Jika diperhatikan Rara ini sangat cantik. Alisnya tebal, sama sekali tidak pernah dicukur, khas alis wanita asli. Pipinya juga mulus, tidak ada flek barang satu titik. Sementara bibir, sangat ranum berwarna merah muda. Menghipnotis, buat Gilang terus memandang wajah yang terlihat damai itu, sama sekali tidak menyiratkan muka orang galak dan keras kepala.Senyum Gilang pun merekah, tapi perlahan sirna saat mengingat pengakuan Nayla.'Aku takut kalau dia tau, tapi juga tidak yakin bisa menyembunyikan masalah ini. Rahasia tidak ada yang abadi, pasti dia akan merasa terkhianati jika tahu dari orang lain.' Gilang membatin, lalu merapikan anak rambut Rara yang berantakan tanpa menyadari kalau pergerakan yang sudah hati-hati itu membangunkan Rara."Kenapa?" tanya Rara, suaranya serak khas orang bangun tidur. Mata gadis it
***Dikarenakan Rara yang lagi belajar salat Gilang pun memutuskan menjadi imam di rumah. Kembali berjamaah ke masjid jika Rara sudah hafal baik bacaan serta doa. Untuk sekarang ia akan membimbing sampai Rara bisa salat mandiri, atau jika memungkinkan membawanya bersama untuk berjamaah ke masjid."Ra."Rara yang sedang melipat mukena menatap Gilang. "Kenapa?""Ada yang ingin aku katakan."Rara diam, menelisik ekspresi wajah Gilang yang terlihat resah. Setelah beberapa detik barulah mengangguk. "Ngomong saja, memangnya apa yang ingin kamu katakan."Aneh, bukannya ngomong Gilang malah bungkam. Jakunnya naik turun saat berserobok pandang dengan Rara. Perasaan berat pun mulai melanda. Tadinya sangat yakin ingin jujur, tapi tiba-tiba ragu."Lang?" Alis Rara naik turun."Ehm ... kita makan siang dulu."Rara yang bingung pun pasrah saja saat Gilang menuntun kursi rodanya ke ruang makan. Ia terus diam membiarkan beragam tanya membludak dalam kepal. Gilang seperti tengah menyembunyikan sesuatu