Seharian ini Gilang tidak bisa fokus. Entah itu tentang Rara atau toko. Pikiran lelaki itu teralihkan begitu saja. Bahkan acap kali melakukan kesalahan, entah itu salah kembalian atau salah memanggil orang.Semua itu terjadi karena pengakuan Nayla yang tiba-tiba tadi pagi. Ia jadi tidak tenang meski Nayla bilang akan mengurus sendiri perasaannya. Bagi Gilang, Nayla adalah sosok adik dan rasa bersalah itu jadi berkali lipat karena tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu. Gilang merasa menjadi lelaki brengsek karena telah membuat seorang gadis sebaik Nayla menangis.Kendati demikian ia juga tidak bisa apa-apa. Cinta telah berlabuh dan pemiliknya adalah Rara. Tidak mungkin menghancurkan hati Rara meski wanita itu belum menerima secara keseluruhan. Gilang yakin, suatu saat istrinya yang mirip pucuk Gunung Everest itu akan mencair, lalu menerima cintanya. Ia juga sangat yakin bisa membangun rumah tangga harmonis bersama Rara layaknya pasangan lain. Entah dari mana datangnya, tapi keyak
Segera Gilang ke kamar mandi dan mencuci bersih buah itu. Agar memudahkan sang ibu menikmatinya."Anak-anak baik-baik saja kan, Lang. Reno, apa dia baik-baik saja. Biasanya anak itu akan menangis kalau tidak Bunda peluk."Gilang kembali menipiskan bibir. "Anak-anak baik-baik saja, Bun. Termasuk Reno. Ada banyak pengurus yang membantu."Bibir Bunda Alia yang sedikit pecah-pecah pun merekah. "Tapi tetap Bunda ingin cepat pulang.""Iya, Bunda pasti akan pulang."Tiba-tiba ponsel Lastri berbunyi, wanita sebaya dengan Bunda Alia itu pun pamit undur diri meninggalkan Gilang dan Bunda Alia di sana berdua. Gilang yang berada di sana semakin merasakan keanehan. Semakin menatap semakin yakin ia kalau ada yang tak beres. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bunda Alia.Segera Gilang duduk kembali. "Bun, Bunda benar tidak apa-apa? Katakan saja, Bun.""Memangnya bunda kenapa? Perasaan baik-baik saja. Sehat, ya walaupun kadang masih nyeri di bagian kepala dan lengan tapi tidak apa-apa. Kenapa kamu b
Malam harinya.Gilang sedang berbaring diam menatap wajah ayu Rara yang terpejam. Mengamati wajah itu dengan saksama, dan ada rasa bangga dalam hatinya. Ia mengangumi Rara. Jika diperhatikan Rara ini sangat cantik. Alisnya tebal, sama sekali tidak pernah dicukur, khas alis wanita asli. Pipinya juga mulus, tidak ada flek barang satu titik. Sementara bibir, sangat ranum berwarna merah muda. Menghipnotis, buat Gilang terus memandang wajah yang terlihat damai itu, sama sekali tidak menyiratkan muka orang galak dan keras kepala.Senyum Gilang pun merekah, tapi perlahan sirna saat mengingat pengakuan Nayla.'Aku takut kalau dia tau, tapi juga tidak yakin bisa menyembunyikan masalah ini. Rahasia tidak ada yang abadi, pasti dia akan merasa terkhianati jika tahu dari orang lain.' Gilang membatin, lalu merapikan anak rambut Rara yang berantakan tanpa menyadari kalau pergerakan yang sudah hati-hati itu membangunkan Rara."Kenapa?" tanya Rara, suaranya serak khas orang bangun tidur. Mata gadis it
***Dikarenakan Rara yang lagi belajar salat Gilang pun memutuskan menjadi imam di rumah. Kembali berjamaah ke masjid jika Rara sudah hafal baik bacaan serta doa. Untuk sekarang ia akan membimbing sampai Rara bisa salat mandiri, atau jika memungkinkan membawanya bersama untuk berjamaah ke masjid."Ra."Rara yang sedang melipat mukena menatap Gilang. "Kenapa?""Ada yang ingin aku katakan."Rara diam, menelisik ekspresi wajah Gilang yang terlihat resah. Setelah beberapa detik barulah mengangguk. "Ngomong saja, memangnya apa yang ingin kamu katakan."Aneh, bukannya ngomong Gilang malah bungkam. Jakunnya naik turun saat berserobok pandang dengan Rara. Perasaan berat pun mulai melanda. Tadinya sangat yakin ingin jujur, tapi tiba-tiba ragu."Lang?" Alis Rara naik turun."Ehm ... kita makan siang dulu."Rara yang bingung pun pasrah saja saat Gilang menuntun kursi rodanya ke ruang makan. Ia terus diam membiarkan beragam tanya membludak dalam kepal. Gilang seperti tengah menyembunyikan sesuatu
Hari dimana Bunda Alia keluar rumah sakit pun tiba. Gilang dan pengurus panti sedang bersiap menyambutnya. Sementara Rara, gadis itu juga bersiap karena akan pulang ke rumah orang tuanya besok. Rencana untuk berbagi makanan dan meminta maaf secara langsung ke tetangga didukung penuh oleh orang tua Rara. Mereka bahkan antusias menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Rara dan Gilang hanya disuruh datang. Soal bingkisan dan lain-lain Ibu Mira dan Pak Herlambang yang siapkan. Setelah membagikan bingkisan dan meminta maaf rencananya mereka akan berlibur ke salah satu villa milik keluar Rara.Merekah senyum Rara. Merasa bahagia saja karena bisa liburan bersama keluarga setelah sekian lama. Sejak insiden kecelakaan yang merenggut fungsi kaki ia jadi tidak bersemangat untuk bepergian. Dan entah kenapa ajakan Ibu Mira menariknya. Antusias hebat Rara saat memikirkan itu. Senyumnya pun makin merekah karena telah yakin akan menerima Gilang. Setelah dipikir-pikir ia memang jatuh hati pada Gilan
***"Aku katakan kamu itu ....""Kenapa, kamu akan mengatakan kalau aku tidak pantas dengannya!" sergah Rara.Kontan Nayla menggelengkan kepala, tangannya juga melibas berkali-kali. "Jangan salah paham, sebenarnya aku ....""Jangan lanjutkan karena aku pun sudah tahu, kamu menyukainya, 'kan? Cintamu begitu dalam padanya, lalu kenapa?"Nayla menunduk lagi. Air matanya berlinang. "Maaf, aku memang menyukainya. Sejak kecil sudah menyukainya. Bisa dikatakan Bang Gilang duniaku.""Lalu, kamu ingin marah padaku karena merebut duniamu, begitu?""Bukan begitu. Tolong jangan salah paham. Aku hanya ingin mengatakan kalau Bang Gilang itu sangat mencintaimu. Tatapannya berbeda saat menatapku dan menatapmu. Jadi aku putuskan menyerah."Rara tak bisa berkata, ada ya perempuan macam Nayla."Maafkan aku, aku bahkan pernah kepikiran untuk menjadi yang kedua.""Apa? Kamu ingin menjadi madu?" teriak Rara, melengking suaranya."Tolong jangan salah paham. Itu hanya pikiran buruk saja. Dan aku tidak akan m
***Sesal kemudian memang tidak berguna. Itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan perasaan Gilang. Karena pengakuan Nayla tadi sore ia dan Rara jadi saling diam. Gilang menyayangkan, andai ingat untuk mengaku, pasti tidak akan terjadi kesalahpahaman seperti ini. Namun, mau marah pun juga percuma, nasi telah jadi bubur. Ia sama sekali lupa pasal pengakuan yang sudah ada di ujung lidah. Karena kedatangan Ibu Mira dan Pak Herlambang fokusnya jadi teralihkan. Ia malah sibuk berbelanja untuk menjamu. Saat mertuanya pulang ia malah lupa bicara saking lelahnya.Tadi, sebisa mungkin ia jelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Ia pun sudah mengatakan kalau hanya menganggap Nayla adik. Sayang, Rara tetap bungkam. Tak ingin bicara, sepatah kata pun tidak ada yang keluar dari mulutnya sejak pertengkaran mereka tadi sore.Kecewa, tentu saja itu yang Rara rasa. Saking kecewanya tak ada yang kata mampu mewakili. Rara merasa terkhianati, bukannya cerita pasal pengakuan Nayla, suaminya itu justru di
***"Tapi aku sudah berdosa, Bun. Aku buat mereka bertengkar."Sesaat Bunda Alia mengerjapkan. "Maksud kamu?""Tadi sore aku bertemu Rara. Aku hanya ingin minta maaf karena menyukai Bang Gilang. Niatku ke sana itu hanya untuk minta maaf dan minta dia perlakukan Bang Gilang dengan baik. Aku tidak menyangka dia malah marah-marah dan ... dan aku terpancing. Aku bilang akan rebut Bang Gilang kalau dia masih seperti itu.""Nayla ...." Bunda Alia menyayangkan tindakan Nayla, tapi juga tidak bisa apa-apa. Semua telah terjadi."Bunda pasti marah kan sama aku? Bang Gilang juga sepertinya marah. Aku diusir dari rumahnya."Bunda Alia menarik napas panjang, lalu mengusap kepala Nayla. "Jangan menarik kesimpulan. Kita tahu Gilang, dia tidak akan marah. Mungkin dia hanya ingin kamu pergi dan memberi dia ruang untuk berbicara dengan istrinya."Nayla tak menyahut. Yang dilakukannya hanya diam menunduk makin dalam."Gi