"Lang, aku ....""Abang!"Suara teriakan Nayla dari kejauhan membuat Gilang menoleh. Gadis itu tampak berlari tergopoh-gopoh menyusul Gilang dan Rara yang hendak naik ke mobil."Ada apa Nay?" Gilang mengernyit heran. "Apa terjadi sesuatu dengan Bunda?" tanya lelaki itu ikut panik. Pasalnya Nayla berlari seperti orang kesetanan. Jelas pikiran Gilang jadi kemana-mana karena hal itu. Nayla merekahkan senyum. "Maaf sudah membuat khawatir. Bunda masih baik-baik saja. Bang. Tapi ini ponsel Abang ketinggalan. Makanya Nayla susul sebelum pergi." Wanita itu masih setengah ngos-ngosan saat menyodorkan ponselnya."Astagfirullahallazim! Kok aku bisa lupa ya, Nay?" Gilang menepuk jidat lalu menerima ponsel yang diulurkan Nayla. Sejenak pandangan mereka saling bertemu, dan itu membuat Rara mendengkus sebal seraya membuang muka.Dasar lelaki bodoh! Sudah jelas-jelas dia suka kepadamu. Masa iya kamu tidak menyadarinya, Lang, batin Rara dalam hati. Entah kenapa mendadak berapi-api."Makasih banget y
***Sesampainya di rumah, keadaan Rara dan Gilang masih saling bersitegang. Gilang masih kesal soal ucapan Rara di rumah sakit tadi. Terus terang saja Gilang tak terima dengan pemikiran Rara. Bagi lelaki itu, hubungannya dengan Nayla layaknya adik dan kakak. Apalagi mereka dibesarkan bersama-sama sejak kecil."Lang, aku ....""Jangan ngomong kalau hanya mau membahas soal cerai, aku tidak ingin mendengar pembahasan yang sangat dibenci oleh Tuhanku!" tegas Gilang tak mau bantahan. Lelaki itu membaringkan Rara ke ranjang, lantas memberinya selimut. Perhatian seperti biasa. Cuma, kali ini agak menahan sedikit gemuruh dalam dada. Pasalnya Rara terus saja menyuruhnya menikahi Nayla dan ia agak kesal dengan itu."Jadi sekarang lebih baik kamu tidur," lanjut lelaki itu lagi."Kalau aku tidak mau?" tantang Rara sambil menaik turunkan alisnha. Ia memberikan sorot mata berani seperti biasa."Maka aku akan buat kamu bergadang sampai pagi! Bagaimana ... masih berani melanggar perintah?"Kalimat am
"Kenapa ini? Kenapa hatiku jadi tidak nyaman begini?" batin Rara dalam hati.Rara tahu ada yang tak beres, tapi menampik semua itu. Ia tanamkan dalam kepala bahwa Gilang itu hanya membual, tentang cinta dan lain-lain itu hanya bualan saja. Seumur hidup ia tak pernah mempercayai apa itu cinta selain orang tuanya. Yang ada hanya simbiosis mutualisme. Memberi dan menerima manfaat."Sudahlah, berhenti membual. Aku tidak suka. Lebih baik kamu keluar. Aku mau tidur.""Bukankah kamu bilang tadi tidak ingin tidur?" Gilang makin menjadi."Gilang! Berhenti membual, aku itu tidak ada rasa ke kamu. Lebih baik kamu cari perempuan yang benar-benar cinta kamu. Aku itu tidak ada rasa.""Benarkah? Mungkin kamu tidak merasakannya karena tidak tahu." Gilang ambil tangan Rara. Rara tentu menarik diri, tapi Gilang dengan sedikit memaksa menarik tangan Rara lagi dan meletakkan ke dada.Dup-dup-dup-dup.Rara membola. Ritme jantung Gilang hampir sama dengan detak jantungnya."Jika sama itu artinya cinta," la
[Nay, ada yang ingin Abang tanyakan. Bisa luangkan waktu sebentar untuk bertemu?]Nayla termangu sesaat setelah membaca pesan yang Gilang kirim. Ada rasa yang bergejolak dalam dada. Rasa yang sulit dijabarkan. Menggumpal seperti benang kusut, antara senang, sedih, dan takut.Kira-kira Abang mau ngomong apa, ya? Apa dia mau cerita soal hubungannya yang buruk? Atau jangan-jangan dia tahu, ah bingung !!!Pikiran Nayla mulai kemana-mana. Ini adalah pertama kalinya Gilang mengajaknya bertemu pasca menikahi Rara.Nayla senang karena akan bertemu Gilang terlepas apa yang ingin lelaki itu katakan. Namun, hatinya juga was was, takut Gilang mengetahui kenyataan. Nayla juga sedih jika sampai Gilang tahu dan responnya negatif. Kalau sudah begitu tidak ada kesempatan untuk berjumpa lagi. Sudah kadung malu, pasti Nayla tak akan mampu hidup di sekitar Gilang.Sayangnya rasa cinta yang tertanam membuat Nayla tak bisa menahan diri. Ulasan bibir pun ia ukir tanpa sadar. Gadis itu merasakan hatinya ditu
***"Mengaku saja, Nak. Bunda akan mendengar. Bunda tahu kamu, kamu besar sama Bunda." Bunda Alia mengangkat tangannya dan mengusap pucuk kepala Nayla yang masih terbalut jilbab. "Apa yang mengirim pesan adalah orang yang kamu suka? Kalau iya kenalkan pada Bunda, biar bunda dapat menilai apakah lelaki itu pantas untukmu atau tidak," ujar Bunda Alia.Nayla mengangguk pelan, disusul helaan napas panjang setelah itu. Gelagat itu sudah bisa ditebak Bunda Alia. Ada yang tak beres dengan anak asuhnya itu. Hubungan asmara Nayla pasti sedang tidak baik-baik saja."Apa hubungan kalian tidak baik?" Bunda Alia masih penasaran dan mulai menerka siapa laki-laki yang buat Nayla nelangsa. Akhir-akhir ini ia merasakan keanehan itu. Nayla terlihat tak bersemangat dan selalu murung."Hubungan kalian tidak baik?" ulangnya.Hal itu membuar Nayla mengangguk lagi dengan perasaan sedih."Biarkan bunda bertanya, apa dia laki-laki baik? Sebaik apa? Apa kamu sudah mengenal dia?""Aku tak pernah melihat laki-la
***"Masalahnya bukan kesenjangan sosial, Bun. Tapi ….""Tapi apa, Nay?" Bunda Alia menatap Nayla perasaan. Gadis itu diam sejenak. Seolah enggan melanjutkan pembahasan soal ini. Bagi Nayla hal ini terlalu sensitif jika dibicarakan dengan orang lain."Dia sudah berkeluarga. Makanya aku kubur rapat-rapat perasaan ini."Tersentaklah Bunda Alia, wanita itu tak menyangka kalau sang anak menyukai suami orang. Tadinya dia pikir cinta Nayla bertepuk sebelah tangan karena alasan kasta. Nyatanya tidak. Nayla menyukai lelaki yang ditakdirkan bukan untuk dirinya."Istigfar, Nay. Kamu pasti sangat menderita," ucap Bunda Alia lagi. Prihatin. Mencintai suami orang itu berat karena tidak boleh. Otomatis Nayla meredam dan memendam cinta itu seorang diri.Nayla hanya diam membiarkan air matanya makin menganak sungai."Bunda, apa menurut Bunda aku harus memperjuangkannya? Bukankah laki-laki boleh beristri lebih dari satu? Bunda, aku rela menjadi yang kedua asalkan dia mau. Aku akan mengabdi pada suamik
"Maaf, Bun. Aku tidak bisa menyebut namanya," balas Nayla lirih, setelahnya diam beberapa saat sebelum akhirnya berani mengangkat kepala. Matanya yang sembab berserobok pandang dengan Bunda Alia."Nay?" Bunda Alia menatap iba sang putri."Aku akan mengatasinya sendiri, Bun. Perasaan ini akan aku kubur. Aku tidak akan menjadi orang ketiga di rumah tangga dia walau aku tahu seburuk apa hubungan mereka," lanjut gadis itu lagi. Terdengar penuh kemantapan. Keyakinan yang berpadu dengan kesedihan.Bunda Alia mengangguk pelan, lalu menyeka jejak kesedihan Nayla dengan tangannya. "Bunda yakin pasti kamu kuat, Nak. Nayla anak Bunda itu anak yang paling kuat di panti ini. Percayalah, jodoh tidak akan kemana. Jika dia bukan ditakdirkan untuk kamu, maka mau dikejar seperti apa pun tidak akan bisa. Justru sebaliknya, jika dia jodohmu, dia akan datang dengan sendirinya. Ingat, Allah senantiasa ada untuk hambanya yang ingin berada di jalan yang benar," ucap Bunda Alia.Nayla tersenyum getir. Membena
"Mimpiku bukan urusanmu!" "Ya sudah kalau begitu. Sebentar lagi azan subuh, aku akan ...." Tergantung begitu saja lisan Gilang. Menggantung lumayan lama. Tak hanya lisan, matanya pun tak mengerjap sama sekali. Ia kaget bercampur bingung, Rara tiba-tiba menahan pergelangan tangannya. Mereka berbagi pandangan."Bantu aku," lirih Rara setelah beberapa detik meyakinkan hati.Gilang pun tersenyum, lalu melepas pergelangan tangan Rara, setelahnya melepas sarung."Kamu mau ke kamar mandi?" terka Gilang.Rara menggeleng pelan, lalu menunduk menekuki jemari yang saling menggamit."Aku ... tolong ajarkan aku solat."Gilang cengo. Masih mencoba mencerna."Ra, k-kamu bilang apa?" Tergagap lisan Gilang. Lantaran masih belum percaya. Gadis yang selalu menolak dan galak saat diajak salat malah minta diajarkan salat."Ajari aku salat," ulang Rara, lebih mantap lagi."Ra, kamu serius?""Ya, aku serius."Gilang kembali duduk, lalu mengarahkan mata Rara untuk menatapnya. "Coba ulangi lagi.""Tolong aja
***Rara terdiam, agak aneh menurutnya Gilang ini. Namun, ketika teringat betapa sederhana dan bijaknya Gilang, ia pun tidak berani menyela."Tapi paling tidak kita rayakan, Lang. Sebagai istri aku rasanya tidak enak kalau hanya menghabiskan hari kelahiranmu dengan hanya berdiam diri."Gilang memegang dagunya. Ia mulai berpikir."Bagaimana kalau pesan kue?" usul Rara. Matanya berbinar.Sayangnya usul itu mendapat gelengan kepala."Lalu maunya apa?" Rara kembali cemberut."Bagaimana kalau masak. Aku ingin mencicipi masakanmu," balas Gilang."Masak?"Gilang mengiakan dengan anggukan."Emang mau masakan apa?" tanya Rara lagi.Gilang pun terlihat berpikir. "Buatkan aku sayur asem dan ikan asin saja, bagaimana?""Cuma itu?" Rara benar-benar tidak habis pikir."Jangan bilang cuma, kamu tau menu itu sukses buatku nambah tiga kali.""Masa cuma itu.""Tapi aku maunya itu, bagaimana?"Mulanya Rara ragu, tapi setelah melihat Gilang yang tampak sangat berharap ia pun mengiakan dengan anggukan."W
Setahun kemudian.Rumah tangga Gilang dan Rara semakin membaik dari waktu ke waktu. Layaknya rumah tangga pada umumnya, di rumah sederhana Gilang itu selalu ada canda, tawa, kadang ada sedikit pertengkaran kecil antara mereka.Namun, itu tak jadi pemicu keretakan. Justru sebaliknya, mereka saling memahami antara lain, membuat rumah tangga mereka kian kokoh.Satu tahun itu pula Gilang berhasil menunjukkan keseriusan. Cinta yang tulus membuatnya tak pernah lelah maupun mengeluh dengan kondisi Rara yang cacat. Justru, rasa sayang serta peduli untuk Rara makin menggebu.Rara sendiri sama, dia terus berusaha sembuh. Kabar baiknya sekarang sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Terakhir, Rara juga sudah mulai berjalan dengan dua kaki, meskipun hanya bertahan lima langkah.Kendati demikian tak buat asanya putus. Ada Gilang yang selalu menyemangati dan itu buat Rara semangat lagi. Ia ingin cepat berjalan normal agar bisa mengimbangi langkah Gilang. Ingin seperti pasangan kebanyakan yang men
Dari semenjak kejadian tadi siang, Rara menjadi lebih banyak diam. Gilang sendiri juga belum berani cerita apa-apa. Pria itu masih berusaha menyusun kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Rara Nantinya."Ra, kamu baik-baik aja 'kan?" Gilang melongok ke kamar. Tampak Rara tengah duduk sembari membaca buku bertema islami dengan posisi kaki selonjoran."Itu pertanyaan kamu yang ke empat kali. Memangnya kamu tidak bosen?" balas Rara tanpa menatap.Diperlakukan seperti membuat Gilang salah tingkah. Kelakuannya saat ini makin tambah belingsatan saja."Ra, kamu baca apa?" Gilang mendekat, matanya seketika membola saat mengetahui halamaan buku yang Rara baca. "Kamu ngapain baca begituan?" tanya Gilang spontan."Memangnya kenapa? Aku hanya penasaran saja dengan hukum poligami. Ternyata poligami sangat indah jika dijalani sesuai kaidah. Aku tidak menyangka pahala istri yang dipoligami sangat besar!"Mendengar itu, Gilang makin tambah misuh-misuh. Ia berebut buku tersebut lantas menaruhnya ke
Pemandangan yang baru saja dilihat membuat Rara memutuskan untuk menutup pintu mobil. Di titik ini, Rara merasa harga dirinya dijatuhkan seketika. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana suaminya itu dipeluk oleh wanita lain, akan tetapi ia tidak bisa berlari untuk sekadar mencegah, apalagi sampai membuat perhitungan kepada Nayla.Dari jendela mobil juga, Rara melihat Nayla yang terus menyeret koper lalu hilang di balik pintu gerbang. Setelah itu ia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu terlihat memapah Bunda Alia masuk ke dalam rumah.Kini tinggallah Rara di dalam mobil seorang diri. Kesunyian halaman di panti asuhan saat ini sukses menambahkan momen sakit di hati Rara semakin menggebu-gebu. Ia menangis. Hatinya menjerit atas semua yang baru saja ia saksikan.Rara bukan mempermasalahkan pelukan perpisahan yang dilakukan oleh Nayla, tapi Rara menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua itu terjadi. Bahkan untuk sekadar menyusul Gilang saja, Rara tak mampu melakukannya
Gilang baru saja hendak menurunkan Rara dari mobil saat suara ribut-ribut terdengar di pelataran panti. Lelaki itu gagas menoleh, dari kejauhan ia melihat Bunda Alya sedang terlibat cekcok dengan Nayla. Sepertinya perdebatan mereka cukup serius. Gilang pun segera meminta izin pada Rara agar melerai keduanya terlebih dahulu."Ra, kamu di mobil sebentar ya! Kayaknya Bunda lagi bertengkar sama Nayla. Aku pisahin mereka dulu."Saking paniknya, Gilang gagas berlari tanpa menunggu jawaban Rara terlebih dahulu. Di sofa mobil yang pintunya sudah terbuka, Rara hanya dapat menatap punggung Gilang yang semakin menjauh darinya. Ia juga menatap kursi roda yang baru saja dibentangkan oleh Gilang. Namun, sayang, Rara tidak bisa menggapai benda yang sangat dibutuhkannya tersebut karena posisinya terlalu jauh.Sementara Gilang. Lelaki itu berlari secara membabi buta. Lalu berdiri di tengah-tengah mereka." Ada apa ini?" seru Gilang sambil menatap Bunda Alya dan Nayla secara bergantian, bahkan ia lupa
***"Gawat, Ra! Gawat!"Gilang masuk ke kamar begitu saja saat Rara sedang asik membaca buku panduan salat. Wanita itu sedang menghafalkan beberapa hafalan doa dan tata cara salat tahajud saat Gilang mendekat dengan mimik wajah cemas."Ada apa? Kenapa kamu cemas begitu?""Nayla Ra … Nayla ….""Nayla kenapa?" Rara memekik.Hati Rara sedikit tercubit melihat Gilang begitu mencemaskan Nayla. Namun, ia tepis segala perasaan tidak baik itu karena Nayla dan Gilang memiliki ikatan persaudaraan yang cukup kuat meski bukan saudi kandung."Anak panti bilang Bunda Alia bertengkar dengan Nayla. Ternyata kepergiannya Nayla ke Singapur terlalu mendadak, dan tanpa sepengetahuan Bunda.""Kok bisa, Lang?""Entahlah, Ra! Anak panti bilang Nayla mau berangkat sore nanti, dia juga bilang kalau Nayla sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan menerima dana sebesar 150 juta.""Astagfirullahallazim. Kamu serius, Lang? Aku takutnya Nayla itu ditipu. Perusahaan mana yang berani memberi DP sebanyak itu?""Maka d
"Tapi Bunda—" Nayla mendongak dengan tatapan tidak senang. Mendengar nama Gilang disebut, hatinya serasa melompat dari tempat. Inilah yang membuat Nayla terpukul karena lagi-lagi harus dibayangi nama Gilang ketika tinggal di sini.Dengan pergi ke tempat yang jauh, Nayla bisa fokus melupakan Gilang sepenuhnya."Maaf Nay, bukannya Bunda bermaksud menyeret Gilang ke dalam hidupmu lagi. Bunda tahu maksud kamu baik ingin melupakan cinta yang salah, tapi tolong tunggu sebentar, biarkan bunda berdiskusi dengan Gilang terlebih dahulu sebelum kamu berangkat," kata Bunda."Tapi sore nanti Nayla harus pergi karantina ke asrama, Bu. Sekalipun Bunda dan Abang berdiskusi, Nay tetap akan berangkat.""Tahan dulu ya, Nay!" Bunda Alia mengelus puncak kepala gadis itu. Namun, Nayla menepiskan dengan gerakan agak keras."Maaf, Bun! Untuk kali ini Nay tidak bisa menuruti permintaan Bunda.."Sambil menahan tangis yang hendak pecah lagi, Nayla gagas berlari meninggalkan ruangan Bunda. Untuk kali ini Nayla a
****Entah kenapa Bunda Alia tidak senang mendengarnya. Wanita itu terlihat menggeleng samar. "Bunda tidak mau menerima uang itu, Nay. Sebaiknya kamu pulangkan saja uang itu dan tetaplah tinggal di sini. bagaimana pun juga kamu jauh lebih berharga dari uang itu. Apalah artinya uang jika kamu tidak ada," kata Bunda Alia serius.Nada larangan itu membuat Nayla memandang Bunda Alia dengan memelas. "Tapi Nay sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Bun. Nanti sore Nay akan dijemput untuk karantina dan belajar di asrama. Nay tidak bisa menolak karena kesepakatan ini sudah terjadi ," ujar Nayla."Kamu lancang Nay!" Bunda Alia memekik marah. "Seharusnya kamu bicarakan ini pada Bunda ataupun Abang!"Wanita itu meraup wajahnya. Terlihat frustrasi sekali. "Singapur itu jauh, Nay! Bagaimana kalau kamu tidak betah di sana? Uang seratus lima puluh juta itu banyak. Itu pasti merupakan pemberat agar kamu tetap bekerja di sana!""Tidak, Bunda. Itu hanyalah uang gaji Nay selama satu tahun!""Ngeyel kamu
Tak banyak yang Nayla bicarakan dengan Gilang dan Rara pasca mendadak ia mengatakan ingin pergi ke Singapur. Selepas itu, Nayla pamit untuk pulang. Keadaan jiwanya saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan berada di sana hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga.Sesampainya di rumah, Nayla gagas masuk ke kamar. Ia membereskan barang-barang untuk persiapan bekerja di Singapur. Tidak langsung ke sana, nantinya Nayla akan dijemput oleh seseorang, di antar ke asrama untuk mengurus beberapa surat keberangkatan sambil belajar penyesuaian diri sebelum berangkat menjadi TKI di sana.Dulunya Nayla pernah mencoba kuliah di jurusan keperawatan. Namun terhenti di tengah jalan karena terhalang biaya. Namun tak lama kemudian, pihak kampus mendatangi Nayla, menyuruh wanita lanjut kuliah dengan full beasiswa asalkan ia mau kuliah di jurusan tata boga. Akhirnya Nayla melanjutkan kuliahnya.Dari bekal itu, sekarang Nayla memberanikan diri mendaftarkan sebagai perawat orang sakit. Mirip pemba