****Gilang cuma diam menatap kasihan Bunda pada Alia. Kakinya diperban begitu juga kepala. Tidak ada luka berat, tapi tetap harus dipantau. Dokter menyarankan agar Bunda Alia menjalani rawat inap beberapa hari di rumah sakit lantaran kepala di bagian depan terbentur dan ada beberapa jahitan."Dan kamu Nayla, berhenti menangis. Bunda masih hidup," lanjutnya lagi.Nayla yang berdiri di sudut ruangan pun menghamburkan diri. Sejak tadi ia menahan tangisan dan saat ini tangisan itu pecah. Tak mampu gadis itu menahan sesak. Rasa takut kehilangan buatnya menggila. Ia terus sesenggukan di dada Bunda Alia."Sudahlah, Nay. Kita tidak boleh meratap. Insya Allah Bunda akan baik-baik saja. Iya kan, Bun?" ujar Gilang yang berusaha menenangkan Nayla. Pasalnya di sana tidak hanya ada mereka, ada dua pasien lain lagi. Gilang takut tangis Nayla mengganggu orang lain."Iya, Bunda sudah mendingan. Lebih baik kalian semua pulang. Biar Lastri saja yang menemani Bunda di sini. Ngomong-ngomong di mana Lastr
[Aku lapar. Aku ambil uang di laci warung dan pesan makanan. Tidak apa, kan?]Ajaib memang, hanya beberapa kalimat pesan yang ditulis Rara mampu membuat perasaan Gilang membaik. Cekatan tangan lelaki itu mengetik pesan.[Ambillah, beli makanan secukupnya. Jangan banyak-banyak. Pelaku mubazir itu temannya setan.]Bibir Gilang menipis saat membaca pesan balasan Rara. Padahal pesan itu hanya emoticon jempol. Pesan singkat yang entah kenapa membuatnya merasa ketiban gula. Manis."Siapa, Bang? Apa Rara?" tanya Nayla. Saat ini ia mensejajarkan diri dengan Gilang. Mereka berdua memutuskannya mengikuti permintaan Bunda Alia.Gilang menoleh sebentar, lantas menjawab, "Iya. Dia yang kirim pesan. Dia izin ambil uang.""Oh ...." Rara diam merasakan dada yang kembali berdenyut dan mengerut. Melihat muka berseri dan senyum bahagia Gilang buatnya nelangsa sampai tulang-tulang melemah.Meski demikian gadis yang memiliki lesung pipi itu berusaha kuat. Tegar, sama seperti Nayla yang biasa, yang bisa me
***Gilang mengembuskan napas panjang. "Terserah kamu saja. Tapi Abang tetap ingin tahu siapa dia? Siapa laki-laki yang kamu suka? Apa dia menyukai kamu juga? Kalian tidak diam-diam pacaran, 'kan?"Diberondong pertanyaan begitu buat kaki Nayla tremor. Ia mulai bingung untuk berkilah."Nay, sekali lagi Abang tekankan, Abang bukan ingin ikut campur. Cuma mau tau saja. Apa dia laki-laki baik?"Nayla menelan ludah, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling guna menentramkan rasa gugup. Ia pun memilih duduk di kursi tunggu."Dia hanya salah satu kenalan. Kita kenal di tempat kerja dan kita tidak pacaran. Hubungan kita murni rekan kerja."Bohong! Ingin Nayla meneriakkan satu kata itu. Ingin mulut mengatakan kalau lelaki yang ada di hati adalah Gilang sendiri. Lelaki yang selalu ia tikung di sepertiga malam. Nama lelaki yang selalu bertahta di hati."Apa dia suami orang?" tanya Gilang hati-hati setelah sukses merebahkan diri di sebelah Nayla.Telak, pertanyaan itu buat Nayla menelan ludah. Ge
"Aku ikut sedih karenanya," tutur Rara. Raut sedih sedikit terlihat di wajahnya yang selalu datar."Mana Reno? Apa dia sudah pulang ke panti?""Dia tidur di ruang tengah," balas Rara singkat"Oh ...." Gilang kembali melirik meja. Di sana ada kantong kresek milik salah satu toko burger yang letaknya tak jauh dari rumah.Rara yang sadar tatapan Gilang tertuju pun memilin ujung jilbabnya. Lalu, menatap ragu ke Gilang."Aku ambil uang kamu tadi," katanya pelan.Gilang diam, sengaja tidak menjawab. Baginya terlalu sayang melewatkan momen itu. Ia lebih tertarik menatap muka Rara yang merasa bersalah daripada memberinya pertanyaan. Ia memilih mendengar pengakuan gadis itu."Aku ambil segini." Rara melebarkan sebelah tangannya."Lima puluh ribu?" Gilang sengaja salah menerka. Ia sembunyikan senyum di bibir. Sebaliknya, ia justru memasang wajah serius seakan-akan tidak senang."Kamu ambil lima puluh ribu?" ulang Gilang.Bak bocah kecil, Rara menggeleng sebagai balasan. "Bukan lima puluh ribu,
***"Maaf, aku merepotkan. Ini untuk tempat sampahnya dan ini minuman dingin. Kamu pasti haus."Sikap manis Rara buat Gilang tak bisa menyembunyikan senyum. Ia acak-acak rambut Rara, lalu kembali duduk dan menenggak air itu sampai habis setengah."Aku sudah memastikannya pada Nayla, yang dia suka itu bukan aku tapi orang lain," ucap Gilang disela kegiatannya membersihkan meja."Maksud kamu?" Makin membulat mata Rara, ia tak menyangka Gilang bertanya langsung pada Nayla. Tapi bertanya langsung bukankah persentase kejujurannya itu nol persen? Mana ada wanita yang mengaku dengan begitu mudahnya.''Memangnya kamu bertanya apa?""Ya aku bertanya tentang siapa laki-laki yang dia suka, siapa yang ditaksirnya.""Terus dia jawab apa?" lanjut Rara penasaran plus gregetan."Dia bilang laki-laki itu teman kerja dan ...." Gilang menjeda kata, kenyataan Nayla menyukai laki-laki beristri terlalu pribadi untuk dibagi ke Rara."Dan?" ulang Rara. Penasaran."Intinya yang dia sukai bukan aku. Kamu salah
"Jadi kamu istrinya Gilang?" tanya Yuni, wanita lima puluhan yang merupakan pasien patah tulang lengan. Ia tak henti menatap heran Rara yang hanya duduk di kursi roda. Dan tatapan itu terasa seperti penghinaan untuk Rara."Iya, Bu Yuni. Istri saya cantik, 'kan?" balas Gilang. Rara yang ada di sebelahnya menyikut, sebagai kode agar mulut Gilang lebih baik diam saja. Dipuji cantik buat Rara kesal. Kondisinya yang seperti itu membuat ia merasa dijadikan lelucon oleh Gilang.Mana ada gadis cacat yang layak dikakatan cantik? Merepotkan iya, pikir Rara dalam diamnya. Iya benar-benar dongkol dan merasa diejek."Ibu Alia sudah cerita banyak tentang kalian. Ibu doakan semoga rumah tangga kalian langgeng sampai tua, dan cepat diberikan momongan," lanjut Ibu Yuni. Dia tersenyum. Dia juga menyadari kalau Rara terkesan tidak nyaman dengan dirinya."Amin ya Allah, terima kasih, Bu Yuni. Semoga keluarga Bu Yuni selalu sehat dan bahagia di jalan Allah." Gilang tersenyum, ia dekati Bunda Alia, lalu me
Hening, tak ada yang menjawab. Atmosfer suasana di tempat itu berubah drastis.Merasa tidak ada yang menanggapi Rukmi pun berdeham. Baru sadar kalau ucapannya membuat semua orang yang ada di sana menjadi kurang nyaman. Nayla menatap Gilang, sedang Gilang menatap Rara. Rara sendiri memilih diam dan membuang muka ke sembarang arah."Ehm, salah paham itu biasa." Yuni menimpali."Hehehe, iya. Kita juga sering kok dibilang begitu, katanya kita mirip, seperti kakak dan adik kandung. Mungkin karena dari kecil sudah dekat, jadi banyak yang menyamakan," tambah Nayla. Kalimat itu sengaja dia katakan agar Rara mendengarnya.Entahlah. Tiba-tiba Nayla suka jika Rara mendengar kata ini. Sayangnya Gilang tak mengindahkan seolah tengah menjaga perasaan istrinya.Padahal yang Nayla katakan benar 100 persen."Ya sudah, ayo makan buah." Bunda Alia pun turut berusaha mencairkan suasana.Mulanya canggung, tapi lama-lama kecanggungan itu mencair. Di ruang yang lumayan besar itu semua membagi kisah. Ada saj
****Sesuai kesepakatan untuk malam itu Nayla menggantikan Lasmi menjaga Bunda Alia. Sedang Lasmi, yang merupakan orang kepercayaan Bunda Alia diminta kembali ke panti untuk menjaga anak-anak. Sementara Gilang, ia tak bisa menginap karena Rara juga membutuhkan perawatan. Apalagi semua yang ada di rumah itu bergantung pada Gilang. Tanpa Gilang Rara tak bisa melakukan apa-apa."Bun, aku sama Rara pamit pulang, ya. Besok ke sini lagi," ucap Gilang.Bunda Alia hanya memberi ulasan bibir. "Kamu hati-hati menyetirnya. Jangan ngebut.""Baik Bunda … bunda juga cepat sehat di sini," ujar lelaki itu.Setelah berpamitan dengan semua orang Gilang pun mendorong kursi roda Rara tanpa menyadari kalau ponselnya tertinggal."Loh, itu kan hape Gilang," tegur Bunda Alia. Ponsel Gilang tertimpa nampan. Jadi tak terlihat. Gilang sendiri juga lupa tidak mengecek barang-barangnya sebelum pergi meninggalkan ruangan itu."Mana, Bun?" Nayla mendekat dan melihat memang ponsel Gilang ada di sana."Cepat antar, N