Gemerlap lampu disko dipadu dengan suara alunan musik yang sangat kencang, menjadi salah satu alternatif yang dipilih Shenna untuk melepas penat. Menjadi pekerja kantoran sekaligus influencer, agaknya sulit dijalani secara bersamaan bagi Shenna. Namun, ia tidak bisa melepaskan salah satu pekerjaannya. Mereka sama-sama berharga bagi Shenna. Lantas ia hanya akan mengeluh sejenak, kemudian kembali menekuni pekerjaan tersebut.
Malam yang bising ini memberikan sedikit celah bagi Shenna untuk beristirahat. Jika orang lain lebih suka tempat sepi guna melepas penat, Shenna malah sebaliknya. Ia lebih suka di tempat ramai begini. Karena ia benci sepi, benci sendirian. Mengingatkan Shenna akan betapa keras dunia yang tengah ia jalani.
Shenna menegak bir dalam gelas perlahan. Ia tidak berniat untuk mabuk malam ini. Besok masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Shenna bukan sedang dalam masa di mana bisa bermalas-malasan seenaknya. Ada banyak aturan yang perlu ia patuhi. Kadang sampai membuat Shenna stres setengah mati.
Hela napas lelah milik gadis 25 tahun itu terdengar. Ia mengedarkan pandang di sekitar. Semua orang di sini bersenang-senang. Ada yang menari bersama teman-temannya, ada juga yang bersama pasangan. Entah pasangan sementara atau jangka panjang. Sementara Shenna hanya duduk diam di hadapan meja panjang, akibat kemari seorang diri. Teman-teman Shenna sibuk dan ia tidak mempunyai cukup waktu untuk mencari pasangan. Sudah 3 tahun belakangan ini Shenna melajang.
Tiba-tiba sebuah gelas kosong hadir di sebelah gelas berisi bir Shenna yang tinggal setengah. Gadis itu sontak mencari pemilik gelas kosong tersebut. Matanya langsung bertemu dengan sepasang mata biru yang menawan itu. Untuk sepersekian detik, Shenna seperti membeku. Ia bergeming. Hanyut dalam pesona mata sebiru lautan milik lelaki di hadapannya.
"Sendiri saja?" tanya si lelaki. Aksen bahasa Indonesianya cukup bagus, tetapi terdengar sangat seksi dan menggoda.
"Ya, seperti yang Anda lihat," balas Shenna. Masih belum bisa fokus sepenuhnya. Lelaki itu benar-benar tampan. Rahang tegas, hidung mancung, kulit putih, dan rambut cenderung coklat. Perpaduan yang akan sulit Shenna temukan pada laki-laki Indonesia kebanyakan.
Lelaki itu tersenyum. Lalu menuangkan minuman pada gelasnya yang kosong. "Saya Marcel."
"Apa Anda berharap saya juga memperkenalkan diri?"
"Tentu. Siapa tahu kita bisa memulai sesuatu yang manis. Awali saja dengan bertukar nama masing-masing," kata Marcel sambil tersenyum.
Ah, gila. Shenna tidak pernah terpesona sampai parah begini. Senyum Marcel membuat jiwa Shenna memberontak. Menyuruhnya untuk tak jual mahal dan menjadi gadis ramah malam ini saja. Mungkin esok hari tak akan ada lagi kesempatan bertemu Marcel.
"Shenna."
"Shenna? Nama yang bagus. Cantik ... dan terdengar seksi."
"Really? Thank you. Marcel sounds cool too."
"I know right," kata Marcel. Tersenyum lagi. Kali ini diiringi kerlingan nakal.
Sialan. Marcel benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantung Shenna. Setelah memuji dan tersenyum begitu, Shenna makin tidak karuan saja. Faktor lama tidak mendapat gombalan receh dari pria. Mungkin juga karena si pelaku yang menggombalinya memiliki visual setara Dewa Yunani.
Sungguh, Shenna tidak melebih-lebihkan. Marcel memang setampan itu. Wajah tampannya terlihat sangat menonjol di antara mereka yang berwajah lokal. Shenna memang penggemar berat film-film Hollywood, ia berpikir kalau pesona orang Barat memiliki daya tarik tersendiri. Namun, ia tidak pernah tahu kalau daya tariknya akan sekuat ini.
"Love at first sight, huh?"
"Hah?"
Marcel tertawa. Wajah kaget Shenna tampak lucu di matanya. Gadis itu membelalakkan mata dengan ekspresi gelagapan. "Dari tadi kamu nggak berhenti memandangi saya. Naksir, ya?"
"Am I?"
"Yes, you are." Anggukan tegas dari Marcel membuat Shenna mati kutu. Tidak tahu harus memberi respon bagaimana lagi. Namun, malah ditertawakan oleh Marcel. Lelaki itu tampak sangat senang karena berhasil membuat Shenna seperti tertangkap basah. "So cute," ujarnya kemudian.
"Sudah hampir jam 3 pagi. Mau pulang dengan saya? Gratis, tanpa pungutan biaya."
"Hah?"
"Mau, kan?"
"Saya belum memutuskan!" ujar Shenna cepat. Menahan lengan kokoh Marcel yang hendak bangkit berdiri. "Saya bisa pulang sendiri, kok. Nggak perlu repot-repot. I'm okay."
"Saya yang nggak okay kalau membiarkan kamu pulang sendirian. Sekarang banyak terjadi kejahatan. Kalau kamu dijahatin orang bagaimana?"
Shenna terdiam. Meski ia memang jatuh pada pesona Marcel, tetapi akal sehatnya masih berfungsi. Perkataan Marcel barusan bukan membuat ia percaya, malah jadi ragu. Marcel memang tidak terlihat seperti penjahat. Namun, zaman sekarang banyak penjahat yang wajahnya rupawan. Bisa jadi Marcel salah satu dari mereka. Meski Shenna juga tidak yakin.
Beberapa detik kemudian Shenna bangkit berdiri. Lalu bersedekap di depan dada. Memandang wajah Marcel serius. "Bagaimana saya bisa percaya dan pulang bersama Anda? Bahkan kita baru berkenalan beberapa menit yang lalu."
"Kalau saya orang jahat, saya nggak akan bicara manis begini. Saya akan langsung seret kamu keluar dari club. Nggak akan basa-basi dulu."
"Iya juga ...."
Senyuman Marcel kembali terbit. Ia ikut berdiri, tingginya cukup untuk membuat Shenna mendongak karena perbedaan yang cukup jauh. "Saya nggak berniat macam-macam. Saya hanya ingin berbuat baik pada gadis cantik yang saya temui malam ini."
"I guess you got a license for that flirting skill."
"Am I?"
Lelaki ini benar-benar. Shenna tidak bisa menahan senyumnya lagi. "Okay, then. Drive me home."
"This way, Your Majesty."
Marcel agak membungkukan badan sambil mengulurkan sebelah tangan ke kanan, sementara sebelahnya lagi di belakang tubuh. Kontan mengundang tawa kecil dari Shenna. Gadis itu berjalan terlebih dahulu. Keluar dari tempat penuh hingar bingar ini.
Mobil Audi yang sekarang Shenna duduki seperti tidak nyata. Selama bertahun-tahun pergi ke club, baru kali ini ia bertemu lelaki seperti Marcel. Entah sebuah keberuntungan atau apa. Kebanyakan lelaki yang pernah menggoda Shenna dan menawari tumpangan untuk pulang adalah om-om hidung belang. Bukan laki-laki yang kelihatan berkelas seperti Marcel ini.
Mungkin saja Marcel merupakan kiriman Tuhan untuk Shenna. Balasan karena tiga tahun betah melajang. Bisa jadi, kan? Namun, Shenna tidak mau berharap lebih. Ini pertemuan pertama mereka. Belum tentu akan ada pertemuan kedua, ketiga, atau seterusnya.
"Daddy!"
Marcel baru saja hendak menginjak pedal gas ketika pekikan kencang itu berasal dari kursi belakang. "What the heck!"
"What are you doing, Ken?"
Sosok yang dipanggil Ken itu hanya menunjukkan cengiran lebar. Sementara Shenna kebingungan setengah mati. Padahal baru saja ia memikirkan kemungkinan untuknya dan Marcel bisa bersama. Namun, bocah yang dipanggil Ken ini membuat Shenna kembali berpikir. Apakah Ken memiliki hubungan khusus dengan Marcel? Apa lagi tadi Ken memanggil Marcel dengan sebutan Daddy. Oh, jangan bilang kalau Marcel ini ternyata seorang homoseksual dan Ken adalah sugar baby-nya.
"Who is he?" Shenna memberanikan diri untuk bertanya. Sedikit dibubuhi nada menuntut.
"Oh, sorry. He is Kenneth. My son."
"Excuse me???" Mulut Shenna menganga lebar. Mendadak kepalanya kosong. Kemudian gadis itu menatap Ken dan Marcel bergantian. Sialan. Ia kira Marcel masih muda.
"Shit. Mengapa Anda menggoda saya padahal Anda sudah memiliki seorang anak? Apa lagi sudah sebesar ini? Like, what the hell! I'm not going with you."
"Shenna–– wait, Shenna!"
Marcel mendecak kencang. Lalu menoleh ke Ken yang malah cekikikan. Pemuda itu lantas berucap, "Oops, sorry!"
Sebuah ketidakberuntungan kembali menimpa Marcel. Seharusnya ia mengecek kursi belakang sebelum pergi kemari. Sudah tahu putra semata wayangnya itu memang jail. Sekarang Shenna dibuat lari karena kemunculannya yang tak terduga. Sial sekali. Padahal modus Marcel hampir berjalan mulus.
Sekarang Marcel harus susah payah mendapatkan kepercayaan Shenna lagi. Ia harus menjelaskan pada Shenna tentang apa yang sedang terjadi. Tidak boleh terjadi kesalahpahaman. Tidak di pertemuan pertama mereka yang sudah cukup romantis. Ayolah, ini kali pertama setelah belasan tahun bagi Marcel.
"I can't lose her," ujarnya pada diri sendiri.
Selaras dengan itu, gerbang menuju sebuah perjalanan yang tak pernah terbayangkan, terbuka. Seperti membuka kotak pandora. Dinanti oleh banyak kejutan di jalan yang akan dilewati.
Derap langkah panjang Shenna, dengan mudah dilampaui oleh Marcel. Lelaki itu segera berdiri di hadapan Shenna. Menahan pergerakan gadis tersebut. Lantas sedikit tersentak kala melihat wajah Shenna merah padam, penuh emosi. Marcel jadi sangat tidak enak hati. Ia akan memberi pelajaran pada Kenneth nanti."Saya nggak mau berantem, ya. Kalau Anda mau cari simpanan, saya bukan orang yang tepat untuk dijadikan simpanan," tegas Shenna berapi-api."Simpanan apa? Saya cuma ngajak kamu pulang bareng, kan?""Itu cuma akal-akalan!"Entah harus bagaimana Marcel membuat Shenna mengerti. Lelaki itu mendadak sakit kepala. "Begini, Shenna .... Saya ini bukan mau cari simpanan. Saya juga mengajak kamu pulang bareng nggak ada mak
"Shen, lo keliatannya ngantuk banget. Semalam balik jam berapa ngedugem?"Ujaran dari teman sejawat Shenna itu mengembalikan kesadarannya. Ia menguap lagi, untuk kali kesekian. "Jam tiga pagi, kali. Gue nggak sempet liat jam. Tadinya mau langsung tidur, tapi ternyata nggak bisa tidur sampai pagi. Jadinya, ya udah. Untung aja gue nggak mabok. Kalau mabok pasti bakalan lebih parah.""Gue beliin kopi aja, ya. Kasian banget lo ngantuk gini. Mana kerja sampai sore," kata Felisya prihatin. Mata panda Shenna begitu kentara, ditambah raut lelah yang tak dapat disembunyikan.Shenna mengangguk saja. Sekarang mereka sedang berada di cafetaria kantor, tetapi Shenna malah memanfaatkan waktunya di sana untuk menaruh kepala di atas meja. Tadi pagi tidak sempat ngopi karena persediaan kopi di aparteme
Seminggu sudah sejak kejadian di club waktu itu. Shenna tetap menjalani rutinitas seperti biasa, meski kadang selalu ada sekelebat pikiran tentang Marcel. Namun, ia berusaha untuk mengabaikan itu semua. Menjalani keseharian seperti biasa. Seperti saat sebelum bertemu dengan Marcel. Shenna tidak mau menganggap perlakuan Marcel sebagai sesuatu yang spesial. Lebih tepatnya, ia tidak ada waktu untuk itu. Ada lebih banyak hal yang harus Shenna lakukan.Minggu pagi Shenna sengaja bangun telat. Memberi diri sendiri waktu tidur lebih lama. Karena saat hari kerja ia jarang sekali bisa mempertahankan pola tidur yang sehat. Shenna sering terjaga sampai dini hari dan tidak mendapat cukup waktu tidur. Agak menyedihkan memang, tetapi tuntutan pekerjaan yang mengharuskan.Biasanya saat weekend, Shenna akan aktif di sosial media. Membuat postingan berisi endorsement. H
Seusai makan dan sedikit merecoki Shenna, Kenneth memohon untuk diantar pulang. Tentu saja mendapat penolakan dari Shenna. Namun, bukan Kenneth namanya kalau tidak memiliki cara meluluhkan Shenna. Butuh perjuangan keras agar Shenna mau mengantarnya pulang. Shenna terus bersikeras tak mau karena Kenneth terlalu berlebihan sampai minta diantar pulang. Padahal sama saja, mereka akan naik taksi online. Shenna tidak punya kendaraan pribadi. Sehari-hari pun naik taksi atau ojek online.Akan merepotkan kalau Shenna harus mengantar Kenneth. Selain itu, juga buang-buang waktu dan uang. Sungguh, Shenna benci harus terlibat dengan putra semata wayang Marcel ini. Baru saja ia memberikan simpati, sudah dibuat kesal lagi."Ayo, dong. Masa tega biarin gue pulang sendiri? Gimana kalau gue diculik orang?" Kenneth memohon untuk yang kesekian kali."Nggak akan ada yang mau culik lo."&nb
"Halo, Dad?" Sungguh, sebenarnya Marcel hendak marah ketika melihat Kenneth dengan begitu tenang menyunggingkan senyum lebar. Padahal sejak tadi dirinya kebingungan mencari keberadaan pemuda tersebut. "Kamu dari mana saja sebenarnya?""Nggak dari mana-mana," kelit Kenneth. "Kamu tahu Daddy sudah cari-cari kamu dan hampir gila karena di setiap tempat yang Daddy datangi kamu nggak ada. Kamu ini kenapa? Nggak biasanya begini," ungkap Marcel. Ia menghela napas panjang. Kemudian menarik Kenneth ke dalam pelukan, "jangan ulangi lagi. Daddy nggak suka." "But, Daddy ...." "Hng?" "Ada Kak Shenna di sini." Marcel mendelik. Lalu buru-buru melepas pelukannya dari Kenneth. Benar saja, di sana memang ada Shenna. Namun, akibat terlalu khawatir pada Kenneth ia sampai tidak menyadari hal tersebut."Ah, maaf, Shenna. Saya terlalu cemas jadi tidak sempat menyapa kamu," ujar Marcel seraya menggaruk tengkuk. Mendadak kikuk. "No probs." Jujur saja
Semburat kemerahan di langit menandakan tak lama lagi, malam akan datang. Saat itulah Shenna baru dapat meninggalkan kantor. Hari ini cukup padat dan ia agak kewalahan. Ia ingin segera pulang ke apartemen, bercengkrama kembali dengan empuknya kasur. Namun, sudah 10 menit lebih Shenna berdiri di pinggir jalan, ojol yang ia pesan tak juga datang. Shenna mendecak. Kalau saja ia memiliki kendaraan pribadi, pasti tak perlu menunggu seperti ini. Wanita itu tentu ingin mempunyai kendaran sendiri, tetapi banyak pertimbangan yang Shenna pikirkan. Membayar pajak, service, isi ulang bahan bakar, dan lain-lain. Selain itu juga Shenna tidak terlalu bisa mengendarai motor ataupun mobil. Tin! Tin! Kepala Shenna segera berotasi. Sebuah mobil BMW berhenti tepat di hadapan wanita tersebut. Entah dari mana datangnya dan apa tujuannya berhenti di situ. Hingga seorang pria menyembulkan kepala dari balik jendela mobil. Senyum lebar terlukis sempurna di potret orang itu. "Sedang a