"Shen, lo keliatannya ngantuk banget. Semalam balik jam berapa ngedugem?"
Ujaran dari teman sejawat Shenna itu mengembalikan kesadarannya. Ia menguap lagi, untuk kali kesekian. "Jam tiga pagi, kali. Gue nggak sempet liat jam. Tadinya mau langsung tidur, tapi ternyata nggak bisa tidur sampai pagi. Jadinya, ya udah. Untung aja gue nggak mabok. Kalau mabok pasti bakalan lebih parah."
"Gue beliin kopi aja, ya. Kasian banget lo ngantuk gini. Mana kerja sampai sore," kata Felisya prihatin. Mata panda Shenna begitu kentara, ditambah raut lelah yang tak dapat disembunyikan.
Shenna mengangguk saja. Sekarang mereka sedang berada di cafetaria kantor, tetapi Shenna malah memanfaatkan waktunya di sana untuk menaruh kepala di atas meja. Tadi pagi tidak sempat ngopi karena persediaan kopi di apartemen Shenna sudah habis. Harusnya Minggu kemarin Shenna belanja keperluan sehari-hari. Akibat sibuk dengan endorsement, Shenna jadi lupa dan berangkat kerja dengan perut kosong.
Syukurlah di tempat Shenna bekerja ada cafetaria dan dekat dengan toserba. Jadi, Shenna bisa mengganjal perut sesampainya di kantor. Meski Shenna tetap tidak bertenaga sampai beberapa kali ditegur atasan. Bukan ditegur untuk dimarahi, tetapi karena takut Shenna malah pingsan selagi bekerja.
"Nih, makan roti dulu. Isi dulu perut lo baru minum kopi." Felisya menaruh segelas kopi dan sebungkus roti berukuran sedang di hadapan Shenna. Lalu menyeruput milkshake yang ia genggam menggunakan tangan kiri.
"Makasih banyak, Fel. Sorry ngerepotin." Shenna tersenyum lebar, penuh terimakasih. Beruntung sekali ia memiliki seorang teman seperti Felisya.
Selesai makan roti dan meminum kopi, Shenna jadi sedikit lebih bertenaga. Matanya juga tidak seberat tadi. Ia melakukan peregangan sejenak, sebelum bangkit berdiri guna menyusul Felisya yang sudah pergi terlebih dahulu. Pekerjaan di kantor mereka ini selalu menumpuk. Selalu ada saja yang harus pegawai di sini kerjakan. Tak jarang sebagian besar dari mereka harus lembur.
Shenna berjalan santai menuju ruangannya di lantai lima. Sesekali menyapa kolega yang ia kenal. Gadis berwajah oriental itu memiliki cukup banyak kenalan dari berbagai departemen. Hanya sebatas kenal karena masalah pekerjaan. Karena lingkup kehidupan pertemanan Shenna sangatlah sempit. Dari banyaknya pegawai di departemen tempat ia bekerja, ia hanya akrab dengan Felisya.
Sambil menunggu lift terbuka, Shenna memandang ke sekitar. Lalu kembali terfokus pada lift di hadapannya. Namun, Shenna dibuat terkejut melihat siapa yang berada di dalam lift. Rambut kecoklatan dan mata biru itu ... Marcel. Mengapa ada Marcel di sini?
Sebuah senyum muncul di wajah bule tampan itu. "Mau naik?"
"Y-ya," kata Shenna cepat. Di dalam lift ada orang lain yang asing, mungkin kenalan Marcel. Entah mengapa Shenna sekarang jadi bingung untuk bersikap. Efek tepukan Marcel masih bertahan sampai sekarang.
"Lantai berapa?"
"Lantai lima."
Tangan Marcel lantas memencet angka lima, mengantarkan Shenna ke lantai tujuannya terlebih dahulu. Dengan senyum yang tak luntur sama sekali. Sampai membuat David terheran-heran. Bosnya itu seperti sedang tidak sehat.
"Are you okay, Boss?" tanya David berbisik.
"Yes, I am. Why?" Marcel malah tersenyum makin lebar. Membuat David jadi merinding. Entah sedang ada apa sampai si bos yang biasanya tanpa ekspresi itu jadi begini.
"David, kamu duluan ke ruang rapat. Saya ada urusan sebentar."
Aneh. Begitu lift sampai di lantai lima, Marcel ikut keluar bersama Shenna. Padahal ia sedang ada urusan di lantai delapan gedung ini. Tak hanya mengundang ribuan tanya dari David, tetapi juga menyebabkan kebingungan setengah mati dari Shenna. Gadis itu menatap Marcel tak santai. Ia kira ia tidak akan bertemu lagi dengan si bule tampan ini.
"Anda sedang ada di sini?"
"Bekerja," jawab Marcel. Namun, malah menambah kebingungan dalam diri Shenna. Pasalnya Shenna baru kali ini berpapasan dengan Marcel.
"Bekerja? Anda nggak sedang membohongi saya, kan?" Shenna melempar tatapan menyelidik pada Marcel. Menuntut sebuah penjelasan gamblang mengenai presensinya di gedung ini.
"Saya bekerja, Shenna. Saya nggak bohong. Buat apa saya bohong? Apa kamu pikir saya jauh-jauh ke sini untuk menguntit kamu?"
"Bukan itu maksud saya!"
Sial. Shenna ketahuan sedang berpikir yang tidak-tidak. Sungguh, Shenna setekerjut itu mendapati Marcel berada di gedung tempatnya bekerja. Mengapa dari sekian banyak tempat, mereka harus bertemu di tempat seperti ini?
"Saya betulan ada pekerjaan. Mungkin saya belum perkenalkan diri saya secara lengkap tadi malam ... ah, atau tadi pagi? Kan, sudah dini hari."
"Let's not talk about it," tekan Shenna.
Beberapa pasang mata yang kepo dengan kegiatan mereka membuat Shenna tidak nyaman. Tidak baik kalau setelah ini ada rumor yang menyebar di kantor. Shenna benci menjadi bahan gosip. Telinganya ini cukup tajam untuk mendengar bisikan orang-orang mengenai dirinya, dan sulit untuk menahan emosi ketika mendengar mereka bicara soal berita palsu.
"Saya ada rapat, Shenna. Kebetulan hari ini papasan dengan kamu. Biasanya saya cuma bisa lihat kamu dari jauh."
"Hah?"
"Sudah seminggu belakangan ini saya kemari. Masalah pekerjaan."
Perkataan Marcel barusan seperti mantra yang membuat Shenna berhenti bergerak. Matanya membulat kaget. Lalu dua belah bibir merahnya sedikit terbuka. "Oh ... begitu?"
Kekehan Marcel terurai. Disusul dengan uluran tangannya, bergerak mengusak surai hitam legam milik Shenna. Yang lagi-lagi dilakukan tanpa aba-aba. Memicu ketidaknormalan pada degup jantung Shenna. Juga pipinya yang mendadak terasa panas. Namun, setelah itu Marcel malah pergi. Meninggalkan Shenna yang jiwanya seperti melayang di awang-awang.
Sentuhan yang Marcel berikan memberikan efek begitu dahsyat pada diri Shenna. Ia sampai tidak bisa mengerti alasan pasti mengapa dirinya memberi respon demikian. Tangan gadis itu lantas menyentuh bagian di mana tadi tangan Marcel bertengger.
"Haduh. Kenapa gue kayak gini, sih?" monolognya.
Lama ia berdiri di sana. Sampai tanpa sadar sepuluh menit berlalu. Hanya untuk menatap lift yang sudah berganti penumpang. Selagi dalam kepalanya terus berputar memori berisi potret tampan Marcel. Lelaki itu mungkin akan membuatnya gila kalau begini terus.
Seminggu sudah sejak kejadian di club waktu itu. Shenna tetap menjalani rutinitas seperti biasa, meski kadang selalu ada sekelebat pikiran tentang Marcel. Namun, ia berusaha untuk mengabaikan itu semua. Menjalani keseharian seperti biasa. Seperti saat sebelum bertemu dengan Marcel. Shenna tidak mau menganggap perlakuan Marcel sebagai sesuatu yang spesial. Lebih tepatnya, ia tidak ada waktu untuk itu. Ada lebih banyak hal yang harus Shenna lakukan.Minggu pagi Shenna sengaja bangun telat. Memberi diri sendiri waktu tidur lebih lama. Karena saat hari kerja ia jarang sekali bisa mempertahankan pola tidur yang sehat. Shenna sering terjaga sampai dini hari dan tidak mendapat cukup waktu tidur. Agak menyedihkan memang, tetapi tuntutan pekerjaan yang mengharuskan.Biasanya saat weekend, Shenna akan aktif di sosial media. Membuat postingan berisi endorsement. H
Seusai makan dan sedikit merecoki Shenna, Kenneth memohon untuk diantar pulang. Tentu saja mendapat penolakan dari Shenna. Namun, bukan Kenneth namanya kalau tidak memiliki cara meluluhkan Shenna. Butuh perjuangan keras agar Shenna mau mengantarnya pulang. Shenna terus bersikeras tak mau karena Kenneth terlalu berlebihan sampai minta diantar pulang. Padahal sama saja, mereka akan naik taksi online. Shenna tidak punya kendaraan pribadi. Sehari-hari pun naik taksi atau ojek online.Akan merepotkan kalau Shenna harus mengantar Kenneth. Selain itu, juga buang-buang waktu dan uang. Sungguh, Shenna benci harus terlibat dengan putra semata wayang Marcel ini. Baru saja ia memberikan simpati, sudah dibuat kesal lagi."Ayo, dong. Masa tega biarin gue pulang sendiri? Gimana kalau gue diculik orang?" Kenneth memohon untuk yang kesekian kali."Nggak akan ada yang mau culik lo."&nb
"Halo, Dad?" Sungguh, sebenarnya Marcel hendak marah ketika melihat Kenneth dengan begitu tenang menyunggingkan senyum lebar. Padahal sejak tadi dirinya kebingungan mencari keberadaan pemuda tersebut. "Kamu dari mana saja sebenarnya?""Nggak dari mana-mana," kelit Kenneth. "Kamu tahu Daddy sudah cari-cari kamu dan hampir gila karena di setiap tempat yang Daddy datangi kamu nggak ada. Kamu ini kenapa? Nggak biasanya begini," ungkap Marcel. Ia menghela napas panjang. Kemudian menarik Kenneth ke dalam pelukan, "jangan ulangi lagi. Daddy nggak suka." "But, Daddy ...." "Hng?" "Ada Kak Shenna di sini." Marcel mendelik. Lalu buru-buru melepas pelukannya dari Kenneth. Benar saja, di sana memang ada Shenna. Namun, akibat terlalu khawatir pada Kenneth ia sampai tidak menyadari hal tersebut."Ah, maaf, Shenna. Saya terlalu cemas jadi tidak sempat menyapa kamu," ujar Marcel seraya menggaruk tengkuk. Mendadak kikuk. "No probs." Jujur saja
Semburat kemerahan di langit menandakan tak lama lagi, malam akan datang. Saat itulah Shenna baru dapat meninggalkan kantor. Hari ini cukup padat dan ia agak kewalahan. Ia ingin segera pulang ke apartemen, bercengkrama kembali dengan empuknya kasur. Namun, sudah 10 menit lebih Shenna berdiri di pinggir jalan, ojol yang ia pesan tak juga datang. Shenna mendecak. Kalau saja ia memiliki kendaraan pribadi, pasti tak perlu menunggu seperti ini. Wanita itu tentu ingin mempunyai kendaran sendiri, tetapi banyak pertimbangan yang Shenna pikirkan. Membayar pajak, service, isi ulang bahan bakar, dan lain-lain. Selain itu juga Shenna tidak terlalu bisa mengendarai motor ataupun mobil. Tin! Tin! Kepala Shenna segera berotasi. Sebuah mobil BMW berhenti tepat di hadapan wanita tersebut. Entah dari mana datangnya dan apa tujuannya berhenti di situ. Hingga seorang pria menyembulkan kepala dari balik jendela mobil. Senyum lebar terlukis sempurna di potret orang itu. "Sedang a
Gemerlap lampu disko dipadu dengan suara alunan musik yang sangat kencang, menjadi salah satu alternatif yang dipilih Shenna untuk melepas penat. Menjadi pekerja kantoran sekaligus influencer, agaknya sulit dijalani secara bersamaan bagi Shenna. Namun, ia tidak bisa melepaskan salah satu pekerjaannya. Mereka sama-sama berharga bagi Shenna. Lantas ia hanya akan mengeluh sejenak, kemudian kembali menekuni pekerjaan tersebut.Malam yang bising ini memberikan sedikit celah bagi Shenna untuk beristirahat. Jika orang lain lebih suka tempat sepi guna melepas penat, Shenna malah sebaliknya. Ia lebih suka di tempat ramai begini. Karena ia benci sepi, benci sendirian. Mengingatkan Shenna akan betapa keras dunia yang tengah ia jalani.Shenna menegak bir dalam gelas perlahan. Ia tidak berniat untuk mabuk malam ini. Besok masih ada pekerjaan yang harus diseles
Derap langkah panjang Shenna, dengan mudah dilampaui oleh Marcel. Lelaki itu segera berdiri di hadapan Shenna. Menahan pergerakan gadis tersebut. Lantas sedikit tersentak kala melihat wajah Shenna merah padam, penuh emosi. Marcel jadi sangat tidak enak hati. Ia akan memberi pelajaran pada Kenneth nanti."Saya nggak mau berantem, ya. Kalau Anda mau cari simpanan, saya bukan orang yang tepat untuk dijadikan simpanan," tegas Shenna berapi-api."Simpanan apa? Saya cuma ngajak kamu pulang bareng, kan?""Itu cuma akal-akalan!"Entah harus bagaimana Marcel membuat Shenna mengerti. Lelaki itu mendadak sakit kepala. "Begini, Shenna .... Saya ini bukan mau cari simpanan. Saya juga mengajak kamu pulang bareng nggak ada mak