Tujuh tahun kemudian.Pukul empat sore, terlihat dua anak laki-laki sedang bermain sepak bola di taman. Meski keadaan sekitar sangat ramai, tetapi mereka mampu mendominasi tempat itu."Jangan menendang bola ke arah jalanan, Shine," kata Dilara mengingatkan."Iya, Mommy," balas Shine."Shane juga, jangan terlalu keras menendang bolanya takut terkena pengunjung lain," kata Dilara mengingatkan pada anak keduanya."Shane mengerti, Mommy," balas Shane mengulas senyuman.Dilara duduk di kursi taman sambil memperhatikan anak kembarnya bermain sepak bola. Setiap akhir pekan, ia akan membawa kedua putranya keluar sekedar bermain di taman dan berbaur dengan anak lainnya."Shine haus, Mommy." Pria mungil itu berlari mendekat ke arah ibunya."Ini, Sayang." Dilara menyodorkan botol minum, "Duduk dulu sebelum minum," imbuhnya mengingatkan.Shine pun duduk dan mulai meneguk air. Setelah merasa cukup, ia kembali berlari ke sana kemari lagi mengejar bola."Shane!" teriak Dilara."Maaf, Mommy," ujar Sh
"Jadi, maksudmu mereka itu anakku?" tanya Gregory tidak habis pikir.Menikah saja belum bagaimana bisa ia memiliki anak. Bahkan selama bertahun-tahun meski banyak wanita yang mendekatinya tidak ada yang mampu membuatnya bergairah."Hehehe ... iya, Bos." Satya tersenyum canggung.Sebenarnya ia juga ragu. Hampir sepuluh tahun lebih bekerja dengan Gregory, meski banyak wanita yang mendekat, tetap tidak sekalipun melihat bosnya tergoda. Hanya saja, kemiripan wajah mereka membuatnya berpikir seperti itu."Jangan asal menebak. Mungkin itu hanya sebuah kebetulan atau mungkin menurutmu saja mirip dan tidak bagi orang lain," kata Gregory terdengar masuk akal."Iya, Bos," balas Satya."Ya sudah, kembali fokus berkendara. Jangan sampai kau berpikir hal yang tidak-tidak dan membuat kita mengalami kecelakaan."Suasana kembali hening. Satya kembali fokus mengendarai mobil dan Gregory sibuk menatap lurus ke depan. Entah mengapa perasaannya tiba-tiba berubah tidak enak dan ia tidak tahu apa alasannya
Baru saja hendak melangkah keluar setelah membuka pintu, Dilara dan kedua anaknya berpapasan dengan Gregory. Sontak, wanita itu langsung memeluk Shine dan Shane erat. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan membuat Gregory bingung."Bukankah dia ... wanita yang di taman waktu itu," bisik Gregory dalam hati menatap Dilara lekat.Tatapan mata sepasang masa lalu itu bertemu. Arti dari tatapan mata keduanya jelas berbeda. Yang satu ketakutan dan yang satu penasaran."Ayo, Sayang!" kata Dilara dengan nada terburu.Mereka bertiga berjalan melewati Gregory yang membeku menatap pantulan wajahnya dalam diri Shine dan Shane. Ia pikir, kenapa dua anak kecil itu terlihat sangat mirip dengannya?"Tunggu!" teriak Gregory.Sayangnya, reaksi atas apa yang menimpanya benar-benar terlambat. Ia terlalu lama berdiri di depan pintu dan sosok Dilara juga si kembar sudah lama menghilang.Pria itu bergegas keluar dan mencari di area sekitar. Akan tetapi, ia tetap tidak menemukan mereka. Lalu, mengetuk mobilnya d
"Apa?! Bagaimana bisa?" tanya Dilara terkejut.Masalah Gregory saja belum tahu bagaimana cara menyelesaikannya dan sekarang sudah muncul masalah baru. Kenapa tiba-tiba masalah datang berturut-turut?["Aku juga tidak tahu. Aku pikir, kau berhutang pada mereka dan belum membayar," ujar tetangga sebelah menebak."Tidak. Aku tidak pernah berhutang dan sampai sekarang tidak memiliki hutang apa pun pada orang lain."Selama hidup, Dilara merasa tidak pernah meminjam uang atau barang apa pun pada orang lain. Selama ini hidupnya selalu berkecukupan meski jauh dari orang tuanya.["Tapi kenapa mereka mengobrak-abrik isi rumahmu?" tanya tetangga sebelah heran.Tiba-tiba, terdengar suara barang yang dilempar. Entah apa itu, Dilara bisa mendengarnya. Bahkan suara pecahan kaca pun terdengar sangat jelas di telinganya."Aku juga tidak tahu, tapi apa kau melihat wajah orang yang mengobrak-abrik rumahku?" Dilara terlihat kebingungan memikirkan siapa orang yang mengacak-acak rumahnya.["Tidak. Aku tidak
"Ada apa mencari putriku?" tanya Serkan sambil berkacak pinggang. Ia berdiri tepat di hadapan Gregory."Bukan urusanmu. Di mana dia sekarang?" Gregory menatap Serkan malas."Bagaimana bisa bukan urusanku? Lara putriku dan aku berhak atas segala urusannya," tanya Serkan sambil meneliti setiap jengkal tubuh Gregory.Bagaimana bisa ada orang sekejam Gregory? Membiarkan Dilara seorang diri dalam keadaan perut membesar. Namun setelah diingat-ingat, Serkan sadar bahkan ketika perut Dilara masih rata pun pria itu tidak peduli. Hal itu ia ketahui ketika mencari tahu tentang Gregory setelah Shine dan Shane lahir."Kenapa dia menatapku seperti ini? Apa jangan-jangan dia mengenaliku?" batin Gregory bertanya-tanya."Dia memang putrimu, tapi dia istriku. Jadi, aku lebih berhak atas dia," bohong Gregory.Jujur, ia sama sekali tidak ingat tentang siapa Dilara. Hanya berusaha menyambung-nyambungkan potongan kecil yang terlihat cocok untuk disatukan."Hahaha ... istri? Sejak kapan? Kau bahkan tidak pe
"Ma." Dilara menyentuh jemari sang ibu dan meremasnya. "Bagaimana ini, Ma? Lara tidak mau kehilangan Shine dan Shane. Mereka hidup Lara, Ma."Air mata Dilara meluruh begitu saja. Rasa takut akan kehilangan dua putranya menyeruak di dada. Apa jadinya jika nafasnya direnggut paksa oleh Gregory? Meskipun pria itu ayah dari anak-anaknya, tetapi ia merasa tidak ada hak karena memang sejak awal tidak menginginkannya.Guzel merengkuh tubuh putrinya. Seumur-umur, ia tidak pernah melihat Dilara serapuh ini."Mas." Wanita itu menatap sendu suaminya.Serkan balas menatap istrinya dan mengangguk. "Kalian tidak perlu khawatir." Ia menatap Dilara serius, "Shine dan Shane akan aman di sini. Tidak akan papa biarkan Gregory menyentuh, apalagi sampai membawa pergi cucu-cucu papa," imbuhnya dengan tangan yang terkepal kuat."Terima kasih, Pa," ucap Dilara, kemudian menghembuskan napas lega.Sementara di sisi lain, Gregory sedang duduk di pinggiran tempat tidur. Ia menunduk sambil mencengkeram rambut kar
"Silahkan masuk, tapi Tuan dan Nyonya sedang pergi," kata asisten rumah tangga mempersilahkan.Hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit, Gregory sudah sampai di kediaman Serkan dan Guzel. Hal itu terjadi karena Satya mengendarai mobil tanpa menggunakan rem. Seperti pembalap yang dengan mudah meliuk-liuk tanpa mengkhawatirkan apa pun.Mendengar ucapan asisten rumah tangga membuat Gregory terdiam. Kemudian, ia bertanya, "Memangnya mereka pergi ke mana dan sejak kapan?""Pergi piknik pukul tujuh tadi. Silahkan duduk, Tuan." Asisten rumah tangga menjawab dan mempersilahkan Gregory duduk."Oh. Kira-kira tuanmu pulang pukul berapa?" tanya Gregory seolah tidak sabar menunggu."Biasanya, sih, sekitar pukul sepuluh," sahut wanita paruh baya itu terlihat berpikir sejenak.Gregory menarik ujung kemeja di pergelangan tangan kiri dan memeriksa waktu yang terpampang di arloji. Sekarang pukul sepuluh kurang dan itu tandanya ia akan segera bertemu dengan Dilara dan si kembar."Ngomong-ngomong
Dengan langkah pasti, Dilara menatap lurus ke depan. Raut takut yang semula ia tunjukkan sudah berganti dengan ketegasan."Tidak akan kubiarkan kau merebut Shine dan Shane," batin Dilara bertekad.Semula memang ia takut. Akan tetapi, sampai kapan ia harus terus menghindar? Bahkan jika bersembunyi ke pelosok negeri sekalipun, ia yakin Gregory bisa menemukannya. Jadi, ibu dua anak itu telah memutuskan untuk menghadapi ayah dari kedua anaknya secara langsung."Kenapa kembali? Naiklah!" tanya Serkan heran."Tidak, Pa. Setelah dipikir-pikir, tidak seharusnya Lara menghindar terus-menerus," tolak Dilara dengan langkah besar.Serkan mengangguk, lalu beralih menatap Gregory. "Tujuanmu datang ke sini mau apa?" tanyanya tanpa basa-basi."Kau bahkan belum mempersilahkanku duduk," kata Gregory tersenyum sinis.Ya. Posisi mereka saat ini masih berdiri. Mungkin karena adegan yang cukup menegangkan di saat semua orang diberi perintah untuk naik ke lantai dua."Duduklah." Serkan menatap pria itu kes