"Apa?! Bagaimana bisa?" tanya Dilara terkejut.Masalah Gregory saja belum tahu bagaimana cara menyelesaikannya dan sekarang sudah muncul masalah baru. Kenapa tiba-tiba masalah datang berturut-turut?["Aku juga tidak tahu. Aku pikir, kau berhutang pada mereka dan belum membayar," ujar tetangga sebelah menebak."Tidak. Aku tidak pernah berhutang dan sampai sekarang tidak memiliki hutang apa pun pada orang lain."Selama hidup, Dilara merasa tidak pernah meminjam uang atau barang apa pun pada orang lain. Selama ini hidupnya selalu berkecukupan meski jauh dari orang tuanya.["Tapi kenapa mereka mengobrak-abrik isi rumahmu?" tanya tetangga sebelah heran.Tiba-tiba, terdengar suara barang yang dilempar. Entah apa itu, Dilara bisa mendengarnya. Bahkan suara pecahan kaca pun terdengar sangat jelas di telinganya."Aku juga tidak tahu, tapi apa kau melihat wajah orang yang mengobrak-abrik rumahku?" Dilara terlihat kebingungan memikirkan siapa orang yang mengacak-acak rumahnya.["Tidak. Aku tidak
"Ada apa mencari putriku?" tanya Serkan sambil berkacak pinggang. Ia berdiri tepat di hadapan Gregory."Bukan urusanmu. Di mana dia sekarang?" Gregory menatap Serkan malas."Bagaimana bisa bukan urusanku? Lara putriku dan aku berhak atas segala urusannya," tanya Serkan sambil meneliti setiap jengkal tubuh Gregory.Bagaimana bisa ada orang sekejam Gregory? Membiarkan Dilara seorang diri dalam keadaan perut membesar. Namun setelah diingat-ingat, Serkan sadar bahkan ketika perut Dilara masih rata pun pria itu tidak peduli. Hal itu ia ketahui ketika mencari tahu tentang Gregory setelah Shine dan Shane lahir."Kenapa dia menatapku seperti ini? Apa jangan-jangan dia mengenaliku?" batin Gregory bertanya-tanya."Dia memang putrimu, tapi dia istriku. Jadi, aku lebih berhak atas dia," bohong Gregory.Jujur, ia sama sekali tidak ingat tentang siapa Dilara. Hanya berusaha menyambung-nyambungkan potongan kecil yang terlihat cocok untuk disatukan."Hahaha ... istri? Sejak kapan? Kau bahkan tidak pe
"Ma." Dilara menyentuh jemari sang ibu dan meremasnya. "Bagaimana ini, Ma? Lara tidak mau kehilangan Shine dan Shane. Mereka hidup Lara, Ma."Air mata Dilara meluruh begitu saja. Rasa takut akan kehilangan dua putranya menyeruak di dada. Apa jadinya jika nafasnya direnggut paksa oleh Gregory? Meskipun pria itu ayah dari anak-anaknya, tetapi ia merasa tidak ada hak karena memang sejak awal tidak menginginkannya.Guzel merengkuh tubuh putrinya. Seumur-umur, ia tidak pernah melihat Dilara serapuh ini."Mas." Wanita itu menatap sendu suaminya.Serkan balas menatap istrinya dan mengangguk. "Kalian tidak perlu khawatir." Ia menatap Dilara serius, "Shine dan Shane akan aman di sini. Tidak akan papa biarkan Gregory menyentuh, apalagi sampai membawa pergi cucu-cucu papa," imbuhnya dengan tangan yang terkepal kuat."Terima kasih, Pa," ucap Dilara, kemudian menghembuskan napas lega.Sementara di sisi lain, Gregory sedang duduk di pinggiran tempat tidur. Ia menunduk sambil mencengkeram rambut kar
"Silahkan masuk, tapi Tuan dan Nyonya sedang pergi," kata asisten rumah tangga mempersilahkan.Hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit, Gregory sudah sampai di kediaman Serkan dan Guzel. Hal itu terjadi karena Satya mengendarai mobil tanpa menggunakan rem. Seperti pembalap yang dengan mudah meliuk-liuk tanpa mengkhawatirkan apa pun.Mendengar ucapan asisten rumah tangga membuat Gregory terdiam. Kemudian, ia bertanya, "Memangnya mereka pergi ke mana dan sejak kapan?""Pergi piknik pukul tujuh tadi. Silahkan duduk, Tuan." Asisten rumah tangga menjawab dan mempersilahkan Gregory duduk."Oh. Kira-kira tuanmu pulang pukul berapa?" tanya Gregory seolah tidak sabar menunggu."Biasanya, sih, sekitar pukul sepuluh," sahut wanita paruh baya itu terlihat berpikir sejenak.Gregory menarik ujung kemeja di pergelangan tangan kiri dan memeriksa waktu yang terpampang di arloji. Sekarang pukul sepuluh kurang dan itu tandanya ia akan segera bertemu dengan Dilara dan si kembar."Ngomong-ngomong
Dengan langkah pasti, Dilara menatap lurus ke depan. Raut takut yang semula ia tunjukkan sudah berganti dengan ketegasan."Tidak akan kubiarkan kau merebut Shine dan Shane," batin Dilara bertekad.Semula memang ia takut. Akan tetapi, sampai kapan ia harus terus menghindar? Bahkan jika bersembunyi ke pelosok negeri sekalipun, ia yakin Gregory bisa menemukannya. Jadi, ibu dua anak itu telah memutuskan untuk menghadapi ayah dari kedua anaknya secara langsung."Kenapa kembali? Naiklah!" tanya Serkan heran."Tidak, Pa. Setelah dipikir-pikir, tidak seharusnya Lara menghindar terus-menerus," tolak Dilara dengan langkah besar.Serkan mengangguk, lalu beralih menatap Gregory. "Tujuanmu datang ke sini mau apa?" tanyanya tanpa basa-basi."Kau bahkan belum mempersilahkanku duduk," kata Gregory tersenyum sinis.Ya. Posisi mereka saat ini masih berdiri. Mungkin karena adegan yang cukup menegangkan di saat semua orang diberi perintah untuk naik ke lantai dua."Duduklah." Serkan menatap pria itu kes
"Kau pikir aku masih menginginkanmu? Kau pikir dengan mengajakku menikah, aku dan anak-anak mau pulang bersamamu?" Dilara menunjuk-nunjuk Gregory dengan amarah yang memuncak.Jangan kira Dilara akan terkena tipu muslihatnya. Sampai kapan pun dan apa pun yang terjadi, ia tidak akan pernah mau ikut pulang ke rumah Gregory. Apalagi sudah tertanam kebencian dan pikiran negatif tentang pria itu. Jadi apa pun yang akan Gregory lakukan, Dilara berpikir bahwa itu hanya rencana untuk merebut kedua buah hatinya."Tidak peduli kau masih menginginkanku atau tidak dan mau pulang atau tidak. Aku akan tetap membawamu dan anak-anak pulang," sanggah Gregory tidak kalah menggebu.Sejak awal, niatnya hanya membawa pulang Dilara dan kedua anaknya pulang. Entah wanita itu setuju atau tidak, ia akan berpisah keras untuk mewujudkannya."Apa hakmu membawaku dan anak-anak pulang? Kau pikir aku dan anak-anak siapamu, huh?!" tanya Dilara nyalang."Kau calon istriku dan anak-anakmu adalah anakku. Jadi, aku berha
Turun dari mobil, Gregory mengedar pandangan. Tiba-tiba sebuah bola meluncur ke arahnya dan ketika menoleh pelakunya adalah Shine, putranya. Sudut bibir pria itu naik sebelah. Bukan pertama kalinya Shine menendang bola ke arah jalanan."Shine," kata Dilara mengingatkan. Kemudian, tatapan matanya beralih ke mana bola ditendang.Gregory meraih bola dan melangkah mendekat. Hal itu mampu membuat Dilara terkejut. Ia pikir, dari mana pria itu tahu keberadaannya."Lain kali, jangan menendang bola ke jalanan lagi. Kekuatan menendangnya dikurangi sedikit, bisa?" Gregory menasehati. Menyodorkan bola sambil mengusap lembut kepala putranya."Terima kasih, Uncle," balas Shine sambil menerima bola.Mendengar putra kandungnya sendiri memanggil paman membuat jantungnya berdegup nyeri. Rasanya lebih sakit dari kecelakaan dua hari yang lalu. "Secepatnya, aku akan membuat kalian memanggilku daddy," batin Gregory bertekad.Shine kembali bermain bola bersama kembarannya. Kini, giliran Dilara yang mendeka
"Iya, benar. Sebaiknya kita bawa Mommy ke rumah sakit," kata Shane menimpali.Jika datang bulan, mungkin sudah biasa dialami sang ibu. Akan tetapi, sakit perut yang dialami ibunya tidak jelas. Jika pergi ke rumah sakit dan diperiksa dokter, sakit ibunya akan segera diketahui."Tidak perlu, Sayang." Dilara tersenyum canggung. "Kalian ke sana main bola lagi dulu. Ada hal penting yang mau mommy bicarakan dengan Uncle ini sebelum kita pulang."Shine dan Shane mengangguk dan berlari ke tempat yang lebih ramai. Di sana banyak anak kecil yang bermain bola atau sekedar berkejar-kejaran. Sementara para orang tua hanya memperhatikan dari jauh. Dilara menarik tangan Gregory ke tempat yang cukup sepi. "Sebenarnya maumu apa?" tanya Dilara geram."Aku mau kau dan anak-anak," sahut Gregory mantap."Hahaha ...." Dilara tertawa sumbang sambil menyugar rambutnya ke belakang, "Tidak. Kau hanya mau merebut anak-anak dariku," imbuhnya.Sudah jelas-jelas sejak dulu Gregory sangat membencinya. Tidak pernah
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Satu minggu kemudian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini si kembar sedang berbaring mengapit ibunya di kamar tamu, tempat Dilara menghabiskan malam selama tinggal di rumah Gregory."Mommy, Shine rindu Daddy," rengek Shine."Shane juga, Mommy," kata Shane menimpali."Iya, Sayang, mommy tahu." Dilara menatap kedua putranya sendu secara bergantian.Ia tahu betul bagaimana perasaan Shine dan Shane. Setiap saat mereka akan mempertanyakan perihal ayahnya. Tidak berhenti menatap ponsel dengan gelisah hanya menunggu ayah mereka menelepon atau melakukan panggilan video. Tidak fokus dalam bermain dan terlihat lesu. Tidak nafsu makan, bahkan lebih sering melamun."Bukankah sudah waktunya Daddy pulang? Tapi kenapa sudah semalam ini belum juga sampai?" Shine mengangkat kepala menatap sang ibu.Sejak pertama kali Gregory pergi, pria mungil itu sibuk menghitung hari. Rasanya tidak sabar ingin berkumpul bersama sang ayah dan bermanja-manja."Iya, benar. Seharusnya Daddy pulang sejak p
"Menjauh, menjauh dariku!" Dilara menggerak-gerakkan kepalanya tidak sudi."Diam atau kau akan menyesal, Lara!" ancam Gregory.Sontak, Dilara langsung terdiam. Sementara itu, Gregory merapikan rambutnya yang berantakan. Pada kesempatan ini, Dilara menyentuh dada bidang Gregory dan mendorongnya. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai pria itu berbuat nekat. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkannya."Aku memang bilang begitu, tapi kau tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku." Gregory mendekatkan wajahnya setelah tersenyum menyeringai. Ia tidak bisa menahan lagi untuk tidak mengecup bibir merah Dilara."Oke-oke, aku mengaku salah. Sekarang berbaringlah dan aku akan menemanimu tidur dengan tenang," ujar Dilara menyerah.Selain mengalah, tidak ada yang bisa Dilara lakukan. Posisinya tidak ada yang menguntungkan dan justru ia akan menyesal jika salah bertindak."Tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," tolak Gregory tanpa bergerak sedikit pun."Astaga, Om Greg. Berbaringlah
"Lepas, turunkan aku! Turunkan aku, Om Greg!" teriak Dilara histeris. Tangannya bergerak memukuli Gregory dan kakinya diayun kuat-kuat.Tanpa menghiraukan pergerakan Dilara, Gregory masuk ke dalam kamar mandi. Meletakkan wanita itu di wastafel dan tersenyum lembut."Sebentar ya, mommy-nya anak-anak. Daddy-nya anak-anak akan menyiapkan air hangat agar kau bisa berendam dengan nyaman."Dengan napas yang memburu, Dilara merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Mengingat pikiran kotornya membuat pipinya memerah. Padahal Gregory tidak melakukan apa pun selain membawanya ke kamar mandi."Tidak perlu. Aku tidak ingin berendam. Lebih baik kau keluar sekarang," sanggah Dilara ketus."Ya sudah, terserah kau saja. Kalau begitu, aku keluar dulu," pamit Gregory.Pria itu langsung keluar dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin sekali melakukan hal liar dengan Dilara di kamar mandi, tetapi belum berani. Jadi, ia hanya bisa membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil membayangkan ma
"Apa yang kau lakukan, Om Greg?! bentak Dilara panik. Ia bergegas duduk dan menjauh sedangkan Gregory tetap berbaring.Raut wajahnya menunjukkan rasa takut yang teramat. Bagaimana tidak? Pria itu memintanya untuk menemani tidur. Pria dan wanita dewasa di dalam kamar di malam hari, kalau bukan untuk melakukan hal itu lalu apa lagi?"Astaga, Lara! Sikapmu ini seolah aku memintamu untuk melayaniku," ujar Gregory menggeleng tidak habis pikir."Lalu, apa lagi? Bukankah itu yang ada di isi kepalamu?" tanya Dilara nyalang."Astaga." Gregory mendesah keras sambil mencengkeram rambutnya frustasi.Kalau boleh, memang ia ingin melakukannya. Namun, tidak sekarang melainkan nanti setelah Dilara benar-benar mau menerima dan menikah dengannya."Kemarilah!" Gregory menepuk-nepuk kasur sebelahnya."Tidak!" tolak Dilara tegas. Duduk bersandar kepala ranjang sambil memeluk lututnya."Mau ke mari atau aku paksa?" ancam Gregory.Dilara menggeleng cepat. Napasnya bergerak cepat dengan tubuh bergetar yang s
Tidak ingin membiarkan Gregory berbuat lebih dan mempermalukannya, Dilara menyentuh dada bidang pria itu dan mendorongnya menjauh. Menatap si kembar bergantian sebelum memusatkan atensinya pada pria tidak tahu malu itu. Dengan napas yang tersengal dan dada yang bergerak naik turun, bola matanya memerah juga membola. "Apa yang Om Greg lakukan?" tanya Dilara berbisik sambil menggertakkan gigi menahan amarah."Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya melakukan sesuatu yang memang ingin aku lakukan," sahut Gregory malas.Ia berkata tidak melakukan apa-apa, tetapi mengatakan sesuatu yang memang ingin sekali dilakukan."Lakukan apa pun sesuka hatimu dan jangan lakukan itu padaku," ujar Dilara geram. Wanita itu mengusap bibirnya kasar berusaha menghapus jejak bibir lembab ayah kedua anaknya. Ia benar-benar tidak menyangka Gregory akan berbuat tidak tahu malu seperti itu padanya."Tidak bisa. Aku tipe pria setia dan tidak bisa menyentuh wanita lain yang tidak aku cintai," tolak Gregory tegas."Cu
["Jangan gila, Om Greg!""Ya sudah, aku bangunkan anak-anak dan langsung menjemputmu."["Tidak, jangan."Tidak mungkin ia membiarkan Gregory membangunkan Shine dan Shane yang sedang tidur. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan dirinya menginap di rumah pria itu. Kalau tidak menginap, anak-anak akan marah karena tidak ada ibunya di sana setelah bangun nanti."Jadi, aku harus bagaimana sekarang?" tanya Gregory berpura-pura bingung.["Oke. Kau suruh supir saja untuk menjemputku.""Lalu? Kau akan menginap di sini atau mau diantar pulang?" Gregory berusaha menekan kuat-kuat kebahagiaannya dengan bersikap datar. Pasalnya ia sudah tahu pilihan apa yang akan Dilara ambil. Jika bukan memilih menginap, lalu apa lagi?["Aku akan menginap, tapi kau tidak boleh macam-macam.""Tidak akan. Ya sudah, akan kukirim supir untukmu."Sepersekian detik, Dilara mengakhiri panggilan. Saat ini, Gregory berusaha menekan rasa bahagianya. Melip
["Hari ini aku tidak bisa pulang tepat waktu karena rekan kerja lawan shift-ku tidak masuk. Jadi, bisakah kau mengurus anak-anak untuk malam ini saja?""Tidak masalah. Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau--."["Aku tahu. Untuk masalah ini, kita bicarakan nanti malam saja setelah pekerjaanku selesai."Awalnya, Dilara memang ingin membicarakan tentang hal itu. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka justru terjadi dan ia terpaksa harus meminta tolong pada Gregory sebelum membahasnya."Baiklah. Jadi, apa aku perlu membawa anak-anak pulang sekarang atau nanti?"Gregory pikir, apa bedanya sekarang dan nanti pukul lima. Lagi pula, si kembar akan tetap ikut bersamanya pulang ke rumah selama beberapa jam.["Terserah kau saja, tapi menurutku sekarang lebih baik karena anak-anak terlihat sangat kelelahan.""Oke. Kalau begitu, aku dan anak-anak pulang dulu. Kau kabari saja satu jam sebelum pulang agar aku tidak terlambat menjemput."["Ya. Titip salam buat anak-anak. Aku tidak bisa ke depa