"Ma." Dilara menyentuh jemari sang ibu dan meremasnya. "Bagaimana ini, Ma? Lara tidak mau kehilangan Shine dan Shane. Mereka hidup Lara, Ma."Air mata Dilara meluruh begitu saja. Rasa takut akan kehilangan dua putranya menyeruak di dada. Apa jadinya jika nafasnya direnggut paksa oleh Gregory? Meskipun pria itu ayah dari anak-anaknya, tetapi ia merasa tidak ada hak karena memang sejak awal tidak menginginkannya.Guzel merengkuh tubuh putrinya. Seumur-umur, ia tidak pernah melihat Dilara serapuh ini."Mas." Wanita itu menatap sendu suaminya.Serkan balas menatap istrinya dan mengangguk. "Kalian tidak perlu khawatir." Ia menatap Dilara serius, "Shine dan Shane akan aman di sini. Tidak akan papa biarkan Gregory menyentuh, apalagi sampai membawa pergi cucu-cucu papa," imbuhnya dengan tangan yang terkepal kuat."Terima kasih, Pa," ucap Dilara, kemudian menghembuskan napas lega.Sementara di sisi lain, Gregory sedang duduk di pinggiran tempat tidur. Ia menunduk sambil mencengkeram rambut kar
"Silahkan masuk, tapi Tuan dan Nyonya sedang pergi," kata asisten rumah tangga mempersilahkan.Hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit, Gregory sudah sampai di kediaman Serkan dan Guzel. Hal itu terjadi karena Satya mengendarai mobil tanpa menggunakan rem. Seperti pembalap yang dengan mudah meliuk-liuk tanpa mengkhawatirkan apa pun.Mendengar ucapan asisten rumah tangga membuat Gregory terdiam. Kemudian, ia bertanya, "Memangnya mereka pergi ke mana dan sejak kapan?""Pergi piknik pukul tujuh tadi. Silahkan duduk, Tuan." Asisten rumah tangga menjawab dan mempersilahkan Gregory duduk."Oh. Kira-kira tuanmu pulang pukul berapa?" tanya Gregory seolah tidak sabar menunggu."Biasanya, sih, sekitar pukul sepuluh," sahut wanita paruh baya itu terlihat berpikir sejenak.Gregory menarik ujung kemeja di pergelangan tangan kiri dan memeriksa waktu yang terpampang di arloji. Sekarang pukul sepuluh kurang dan itu tandanya ia akan segera bertemu dengan Dilara dan si kembar."Ngomong-ngomong
Dengan langkah pasti, Dilara menatap lurus ke depan. Raut takut yang semula ia tunjukkan sudah berganti dengan ketegasan."Tidak akan kubiarkan kau merebut Shine dan Shane," batin Dilara bertekad.Semula memang ia takut. Akan tetapi, sampai kapan ia harus terus menghindar? Bahkan jika bersembunyi ke pelosok negeri sekalipun, ia yakin Gregory bisa menemukannya. Jadi, ibu dua anak itu telah memutuskan untuk menghadapi ayah dari kedua anaknya secara langsung."Kenapa kembali? Naiklah!" tanya Serkan heran."Tidak, Pa. Setelah dipikir-pikir, tidak seharusnya Lara menghindar terus-menerus," tolak Dilara dengan langkah besar.Serkan mengangguk, lalu beralih menatap Gregory. "Tujuanmu datang ke sini mau apa?" tanyanya tanpa basa-basi."Kau bahkan belum mempersilahkanku duduk," kata Gregory tersenyum sinis.Ya. Posisi mereka saat ini masih berdiri. Mungkin karena adegan yang cukup menegangkan di saat semua orang diberi perintah untuk naik ke lantai dua."Duduklah." Serkan menatap pria itu kes
"Kau pikir aku masih menginginkanmu? Kau pikir dengan mengajakku menikah, aku dan anak-anak mau pulang bersamamu?" Dilara menunjuk-nunjuk Gregory dengan amarah yang memuncak.Jangan kira Dilara akan terkena tipu muslihatnya. Sampai kapan pun dan apa pun yang terjadi, ia tidak akan pernah mau ikut pulang ke rumah Gregory. Apalagi sudah tertanam kebencian dan pikiran negatif tentang pria itu. Jadi apa pun yang akan Gregory lakukan, Dilara berpikir bahwa itu hanya rencana untuk merebut kedua buah hatinya."Tidak peduli kau masih menginginkanku atau tidak dan mau pulang atau tidak. Aku akan tetap membawamu dan anak-anak pulang," sanggah Gregory tidak kalah menggebu.Sejak awal, niatnya hanya membawa pulang Dilara dan kedua anaknya pulang. Entah wanita itu setuju atau tidak, ia akan berpisah keras untuk mewujudkannya."Apa hakmu membawaku dan anak-anak pulang? Kau pikir aku dan anak-anak siapamu, huh?!" tanya Dilara nyalang."Kau calon istriku dan anak-anakmu adalah anakku. Jadi, aku berha
Turun dari mobil, Gregory mengedar pandangan. Tiba-tiba sebuah bola meluncur ke arahnya dan ketika menoleh pelakunya adalah Shine, putranya. Sudut bibir pria itu naik sebelah. Bukan pertama kalinya Shine menendang bola ke arah jalanan."Shine," kata Dilara mengingatkan. Kemudian, tatapan matanya beralih ke mana bola ditendang.Gregory meraih bola dan melangkah mendekat. Hal itu mampu membuat Dilara terkejut. Ia pikir, dari mana pria itu tahu keberadaannya."Lain kali, jangan menendang bola ke jalanan lagi. Kekuatan menendangnya dikurangi sedikit, bisa?" Gregory menasehati. Menyodorkan bola sambil mengusap lembut kepala putranya."Terima kasih, Uncle," balas Shine sambil menerima bola.Mendengar putra kandungnya sendiri memanggil paman membuat jantungnya berdegup nyeri. Rasanya lebih sakit dari kecelakaan dua hari yang lalu. "Secepatnya, aku akan membuat kalian memanggilku daddy," batin Gregory bertekad.Shine kembali bermain bola bersama kembarannya. Kini, giliran Dilara yang mendeka
"Iya, benar. Sebaiknya kita bawa Mommy ke rumah sakit," kata Shane menimpali.Jika datang bulan, mungkin sudah biasa dialami sang ibu. Akan tetapi, sakit perut yang dialami ibunya tidak jelas. Jika pergi ke rumah sakit dan diperiksa dokter, sakit ibunya akan segera diketahui."Tidak perlu, Sayang." Dilara tersenyum canggung. "Kalian ke sana main bola lagi dulu. Ada hal penting yang mau mommy bicarakan dengan Uncle ini sebelum kita pulang."Shine dan Shane mengangguk dan berlari ke tempat yang lebih ramai. Di sana banyak anak kecil yang bermain bola atau sekedar berkejar-kejaran. Sementara para orang tua hanya memperhatikan dari jauh. Dilara menarik tangan Gregory ke tempat yang cukup sepi. "Sebenarnya maumu apa?" tanya Dilara geram."Aku mau kau dan anak-anak," sahut Gregory mantap."Hahaha ...." Dilara tertawa sumbang sambil menyugar rambutnya ke belakang, "Tidak. Kau hanya mau merebut anak-anak dariku," imbuhnya.Sudah jelas-jelas sejak dulu Gregory sangat membencinya. Tidak pernah
Kepala Dilara mendadak sakit dan telinganya berdengung. Shine dan Shane memang mirip sekali dengan Gregory, tetapi ia tidak menyangka Shane akan mempertanyakan hal itu."Kenapa Mommy diam saja?" tanya Shane sambil mengguncang lengan ibunya."O-om Gregory bukan siapa-siapa, kok. Iya, dia bukan siapa-siapa cuma teman Mommy dulu ketika di universitas," sahut Dilara gelagapan."Oh begitu. Tapi Mommy ....""Kenapa, Sayang?" tanya Dilara.Jantungnya kembali berdetak kencang setelah beberapa detik menghembuskan napas lega. Tidak tahu apa yang akan putranya tanyakan lagi, yang pasti ia harus siap."Besok 'kan hari Senin. Jadi, apa kami akan pergi ke sekolah?" Raut wajah Shane berubah muram."Iya dong, Sayang. Memangnya kenapa, kok, pertanyaannya aneh sekali?"Pertanyaan putranya terdengar sangat aneh. Jika diartikan, kesannya Shane tidak ingin pergi sekolah."Besok ada acara di sekolah dan mengharuskan para ayah untuk hadir, tapi kami tidak memiliki ayah.Jari, bisakah kita tidak pergi ke seko
Terdengar suara debuman orang terjatuh. Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara membuka mata perlahan. Kemudian, ia menunduk dan mencari sosok Gregory."Astaga, Om Greg!" Dilara melihat Gregory terjerambab di aspal sambil memegangi lengan. Mungkin posisi jatuhnya lengan yang menopang seluruh beban tubuh. Lalu, ia bergegas menghampiri pria itu dan memapahnya."Kenapa ada motor tidak menghindar?" omel Dilara."Kenapa aku harus menghindar? Nyawaku tidak lebih penting dari kepercayaanmu padaku, Lara." Gregory menatap Dilara dengan senyum tipis terbit di wajah tampannya."Apa kau gila?!" geram Dilara sambil mendorong tubuh Gregory.Sontak, pria itu terjatuh sambil memekik kesakitan. Sudah terserempet motor dan tubuhnya terasa sakit. Kini, ia justru didorong hingga terjatuh."Kenapa kau kejam sekali?" keluh Gregory dengan raut tidak enak."Apa kau lupa, kalau kau jauh lebih kejam dariku?" tanya Dilara sinis.Dibandingkan dengan apa yang ia lakukan, kekejaman Gregory padanya jauh lebih