Turun dari mobil, Gregory mengedar pandangan. Tiba-tiba sebuah bola meluncur ke arahnya dan ketika menoleh pelakunya adalah Shine, putranya. Sudut bibir pria itu naik sebelah. Bukan pertama kalinya Shine menendang bola ke arah jalanan."Shine," kata Dilara mengingatkan. Kemudian, tatapan matanya beralih ke mana bola ditendang.Gregory meraih bola dan melangkah mendekat. Hal itu mampu membuat Dilara terkejut. Ia pikir, dari mana pria itu tahu keberadaannya."Lain kali, jangan menendang bola ke jalanan lagi. Kekuatan menendangnya dikurangi sedikit, bisa?" Gregory menasehati. Menyodorkan bola sambil mengusap lembut kepala putranya."Terima kasih, Uncle," balas Shine sambil menerima bola.Mendengar putra kandungnya sendiri memanggil paman membuat jantungnya berdegup nyeri. Rasanya lebih sakit dari kecelakaan dua hari yang lalu. "Secepatnya, aku akan membuat kalian memanggilku daddy," batin Gregory bertekad.Shine kembali bermain bola bersama kembarannya. Kini, giliran Dilara yang mendeka
"Iya, benar. Sebaiknya kita bawa Mommy ke rumah sakit," kata Shane menimpali.Jika datang bulan, mungkin sudah biasa dialami sang ibu. Akan tetapi, sakit perut yang dialami ibunya tidak jelas. Jika pergi ke rumah sakit dan diperiksa dokter, sakit ibunya akan segera diketahui."Tidak perlu, Sayang." Dilara tersenyum canggung. "Kalian ke sana main bola lagi dulu. Ada hal penting yang mau mommy bicarakan dengan Uncle ini sebelum kita pulang."Shine dan Shane mengangguk dan berlari ke tempat yang lebih ramai. Di sana banyak anak kecil yang bermain bola atau sekedar berkejar-kejaran. Sementara para orang tua hanya memperhatikan dari jauh. Dilara menarik tangan Gregory ke tempat yang cukup sepi. "Sebenarnya maumu apa?" tanya Dilara geram."Aku mau kau dan anak-anak," sahut Gregory mantap."Hahaha ...." Dilara tertawa sumbang sambil menyugar rambutnya ke belakang, "Tidak. Kau hanya mau merebut anak-anak dariku," imbuhnya.Sudah jelas-jelas sejak dulu Gregory sangat membencinya. Tidak pernah
Kepala Dilara mendadak sakit dan telinganya berdengung. Shine dan Shane memang mirip sekali dengan Gregory, tetapi ia tidak menyangka Shane akan mempertanyakan hal itu."Kenapa Mommy diam saja?" tanya Shane sambil mengguncang lengan ibunya."O-om Gregory bukan siapa-siapa, kok. Iya, dia bukan siapa-siapa cuma teman Mommy dulu ketika di universitas," sahut Dilara gelagapan."Oh begitu. Tapi Mommy ....""Kenapa, Sayang?" tanya Dilara.Jantungnya kembali berdetak kencang setelah beberapa detik menghembuskan napas lega. Tidak tahu apa yang akan putranya tanyakan lagi, yang pasti ia harus siap."Besok 'kan hari Senin. Jadi, apa kami akan pergi ke sekolah?" Raut wajah Shane berubah muram."Iya dong, Sayang. Memangnya kenapa, kok, pertanyaannya aneh sekali?"Pertanyaan putranya terdengar sangat aneh. Jika diartikan, kesannya Shane tidak ingin pergi sekolah."Besok ada acara di sekolah dan mengharuskan para ayah untuk hadir, tapi kami tidak memiliki ayah.Jari, bisakah kita tidak pergi ke seko
Terdengar suara debuman orang terjatuh. Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara membuka mata perlahan. Kemudian, ia menunduk dan mencari sosok Gregory."Astaga, Om Greg!" Dilara melihat Gregory terjerambab di aspal sambil memegangi lengan. Mungkin posisi jatuhnya lengan yang menopang seluruh beban tubuh. Lalu, ia bergegas menghampiri pria itu dan memapahnya."Kenapa ada motor tidak menghindar?" omel Dilara."Kenapa aku harus menghindar? Nyawaku tidak lebih penting dari kepercayaanmu padaku, Lara." Gregory menatap Dilara dengan senyum tipis terbit di wajah tampannya."Apa kau gila?!" geram Dilara sambil mendorong tubuh Gregory.Sontak, pria itu terjatuh sambil memekik kesakitan. Sudah terserempet motor dan tubuhnya terasa sakit. Kini, ia justru didorong hingga terjatuh."Kenapa kau kejam sekali?" keluh Gregory dengan raut tidak enak."Apa kau lupa, kalau kau jauh lebih kejam dariku?" tanya Dilara sinis.Dibandingkan dengan apa yang ia lakukan, kekejaman Gregory padanya jauh lebih
"Kenapa Om Gregory ada di sini, Mom?" Shane menatap Gregory heran. "Daddy mana?"Setelah menerima kabar bahwa Gregory akan segera sampai, Dilara membawa kedua anaknya keluar. Mereka menunggu di gerbang masuk sekolah dan mendapati Gregory datang menghampiri."Iya, Mom. Daddy kami bukan Om Gregory 'kan?" tanya Shine memastikan.Ibunya bilang, ayah mereka akan segera sampai dan yang mereka temui saat ini Gregory. Jika pria itu bukan ayahnya, lalu kenapa Gregory datang ke sekolah?"Mmm ... I-itu ... a-anu ...."Dilara mendadak gelagapan. Dari nada bicara kedua anaknya seolah tidak menyukai kehadiran Gregory di sana. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa belum siap memperkenalkan si kembar pada ayah kandungnya."Halo, anak-anak," sapa Gregory.Ekspresi wajahnya terlihat gugup. Tangannya bergerak saling meremas. Jantungnya pun berdegup kencang tidak terkendali. Sikapnya saat ini berbanding terbalik dengan apa yang ia lakukan ketika di rumah."Halo, Om. Kenapa Om Gregory ada di sini?" Shine bal
Mendengar ejekan itu, Gregory mengepalkan tangan dengan gigi yang dieratkan. Menatap kedua putranya bergantian dan memenangkan dengan cara tersenyum. Hari ini adalah hari pertama di mana dirinya diakui sebagai ayah. Jadi, ia akan berusaha menahannya agar tidak meledak."Daddy," rengek Shine."Iya, Sayang. Kenapa?"Shine melirik ke arah kembarannya dan mendapat peringatan untuk tetap diam. Shane memelototi Shine karena mengerti apa yang akan dikatakan."Tidak, tidak jadi," sungut Shine lesu."Kenapa diam saja? Apa kau benar-benar hasil memungut di jalan?""Sial!" umpat Gregory dalam hati."Sepertinya memang hasil mungut di jalan," ujar pria itu lagi dengan tawa yang menggema.Sepertinya pria itu tidak akan puas sebelum mendapat jawaban. Ia terus menguji kesabaran Gregory tanpa melihat tempat. Sontak, Gregory pun berdiri sambil merapikan pakaian. Lalu, membalikkan badan dan menatap semua orang satu per satu."Siapa yang berbicara tadi?" tanyanya dingin."Aku. Kenapa?" Seorang pria dari
"Jadi, Lara mengenal pria brengsek ini?" Gregory menatap Dilara lekat berusaha mencari kebenaran, "Atau jangan-jangan mereka ada hubungan makanya si brengsek mengejekku?" batinnya berkecamuk.Dilara menundukkan kepala sekedar memberi hormat. "Maaf, Papa Roy. Sudah siang dan aku harus pergi bekerja," ujarnya."Aku rasa belum. Apa kau berusaha menghindar?" Si pengejek terlihat tidak suka dengan sikap Dilara.Selama si kembar belajar di sekolah itu, selama itu pula pria itu menyukai Dilara. Berusaha keras mendekati dan merebut hati Dilara. Sayangnya, wanita itu tidak bergeming atas perhatian-perhatian yang diberikan."Tidak sama sekali. Hari ini ada reservasi penting dan seluruh karyawan diharuskan untuk datang satu jam lebih awal. Jadi ... maaf," sanggah Dilara menjelaskan."Apa karena laki-laki ini kau menolak setiap aku lamar?" Papa Roy merasa belum puas dengan jawaban yang Dilara lontarkan.Mendengar ucapan Papa Roy membuat Gregory tersentak kaget. Ternyata ada pria yang berusaha mer
Gregory menatap Shane dengan terkejut. Manik mata dan mulutnya terbuka lebar. Tidak lupa dengan jantungnya yang berdegup kencang diiringi rasa takut. Bagaimana kalau Dilara benar-benar menyukai Jhon? Lalu, apa yang harus ia lakukan?"Apa benar yang kau katakan?" tanya Gregory memastikan."Shane rasa begitu. Soalnya setiap kali dekat dengan Uncle Jhon, Mommy selalu terlihat bahagia. Bahkan dulu Shane pernah berharap kalau Uncle Jhon bisa jadi daddy kami," sahut pria mungil itu menjelaskan."Iya, Shine juga," kata Shine menimpali sambil mengangguk.Jika bukan karena Jhon, mungkin mereka tidak akan diizinkan menempati sebuah meja di tengah ramainya pengunjung di setiap harinya. Meja itu seolah sudah Jhon siapkan untuk si kembar agar Dilara merasa aman dan nyaman meski wanita itu sibuk bekerja di dapur."Apa yang membuat kalian berharap pria itu menjadi ayah kalian?" tanya Gregory sambil menggertakkan gigi. Sepolos itukah kedua putranya?Tidak disangka, obrolan pertama dengan kedua putran