Dengan langkah pasti, Dilara menatap lurus ke depan. Raut takut yang semula ia tunjukkan sudah berganti dengan ketegasan."Tidak akan kubiarkan kau merebut Shine dan Shane," batin Dilara bertekad.Semula memang ia takut. Akan tetapi, sampai kapan ia harus terus menghindar? Bahkan jika bersembunyi ke pelosok negeri sekalipun, ia yakin Gregory bisa menemukannya. Jadi, ibu dua anak itu telah memutuskan untuk menghadapi ayah dari kedua anaknya secara langsung."Kenapa kembali? Naiklah!" tanya Serkan heran."Tidak, Pa. Setelah dipikir-pikir, tidak seharusnya Lara menghindar terus-menerus," tolak Dilara dengan langkah besar.Serkan mengangguk, lalu beralih menatap Gregory. "Tujuanmu datang ke sini mau apa?" tanyanya tanpa basa-basi."Kau bahkan belum mempersilahkanku duduk," kata Gregory tersenyum sinis.Ya. Posisi mereka saat ini masih berdiri. Mungkin karena adegan yang cukup menegangkan di saat semua orang diberi perintah untuk naik ke lantai dua."Duduklah." Serkan menatap pria itu kes
"Kau pikir aku masih menginginkanmu? Kau pikir dengan mengajakku menikah, aku dan anak-anak mau pulang bersamamu?" Dilara menunjuk-nunjuk Gregory dengan amarah yang memuncak.Jangan kira Dilara akan terkena tipu muslihatnya. Sampai kapan pun dan apa pun yang terjadi, ia tidak akan pernah mau ikut pulang ke rumah Gregory. Apalagi sudah tertanam kebencian dan pikiran negatif tentang pria itu. Jadi apa pun yang akan Gregory lakukan, Dilara berpikir bahwa itu hanya rencana untuk merebut kedua buah hatinya."Tidak peduli kau masih menginginkanku atau tidak dan mau pulang atau tidak. Aku akan tetap membawamu dan anak-anak pulang," sanggah Gregory tidak kalah menggebu.Sejak awal, niatnya hanya membawa pulang Dilara dan kedua anaknya pulang. Entah wanita itu setuju atau tidak, ia akan berpisah keras untuk mewujudkannya."Apa hakmu membawaku dan anak-anak pulang? Kau pikir aku dan anak-anak siapamu, huh?!" tanya Dilara nyalang."Kau calon istriku dan anak-anakmu adalah anakku. Jadi, aku berha
Turun dari mobil, Gregory mengedar pandangan. Tiba-tiba sebuah bola meluncur ke arahnya dan ketika menoleh pelakunya adalah Shine, putranya. Sudut bibir pria itu naik sebelah. Bukan pertama kalinya Shine menendang bola ke arah jalanan."Shine," kata Dilara mengingatkan. Kemudian, tatapan matanya beralih ke mana bola ditendang.Gregory meraih bola dan melangkah mendekat. Hal itu mampu membuat Dilara terkejut. Ia pikir, dari mana pria itu tahu keberadaannya."Lain kali, jangan menendang bola ke jalanan lagi. Kekuatan menendangnya dikurangi sedikit, bisa?" Gregory menasehati. Menyodorkan bola sambil mengusap lembut kepala putranya."Terima kasih, Uncle," balas Shine sambil menerima bola.Mendengar putra kandungnya sendiri memanggil paman membuat jantungnya berdegup nyeri. Rasanya lebih sakit dari kecelakaan dua hari yang lalu. "Secepatnya, aku akan membuat kalian memanggilku daddy," batin Gregory bertekad.Shine kembali bermain bola bersama kembarannya. Kini, giliran Dilara yang mendeka
"Iya, benar. Sebaiknya kita bawa Mommy ke rumah sakit," kata Shane menimpali.Jika datang bulan, mungkin sudah biasa dialami sang ibu. Akan tetapi, sakit perut yang dialami ibunya tidak jelas. Jika pergi ke rumah sakit dan diperiksa dokter, sakit ibunya akan segera diketahui."Tidak perlu, Sayang." Dilara tersenyum canggung. "Kalian ke sana main bola lagi dulu. Ada hal penting yang mau mommy bicarakan dengan Uncle ini sebelum kita pulang."Shine dan Shane mengangguk dan berlari ke tempat yang lebih ramai. Di sana banyak anak kecil yang bermain bola atau sekedar berkejar-kejaran. Sementara para orang tua hanya memperhatikan dari jauh. Dilara menarik tangan Gregory ke tempat yang cukup sepi. "Sebenarnya maumu apa?" tanya Dilara geram."Aku mau kau dan anak-anak," sahut Gregory mantap."Hahaha ...." Dilara tertawa sumbang sambil menyugar rambutnya ke belakang, "Tidak. Kau hanya mau merebut anak-anak dariku," imbuhnya.Sudah jelas-jelas sejak dulu Gregory sangat membencinya. Tidak pernah
Kepala Dilara mendadak sakit dan telinganya berdengung. Shine dan Shane memang mirip sekali dengan Gregory, tetapi ia tidak menyangka Shane akan mempertanyakan hal itu."Kenapa Mommy diam saja?" tanya Shane sambil mengguncang lengan ibunya."O-om Gregory bukan siapa-siapa, kok. Iya, dia bukan siapa-siapa cuma teman Mommy dulu ketika di universitas," sahut Dilara gelagapan."Oh begitu. Tapi Mommy ....""Kenapa, Sayang?" tanya Dilara.Jantungnya kembali berdetak kencang setelah beberapa detik menghembuskan napas lega. Tidak tahu apa yang akan putranya tanyakan lagi, yang pasti ia harus siap."Besok 'kan hari Senin. Jadi, apa kami akan pergi ke sekolah?" Raut wajah Shane berubah muram."Iya dong, Sayang. Memangnya kenapa, kok, pertanyaannya aneh sekali?"Pertanyaan putranya terdengar sangat aneh. Jika diartikan, kesannya Shane tidak ingin pergi sekolah."Besok ada acara di sekolah dan mengharuskan para ayah untuk hadir, tapi kami tidak memiliki ayah.Jari, bisakah kita tidak pergi ke seko
Terdengar suara debuman orang terjatuh. Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara membuka mata perlahan. Kemudian, ia menunduk dan mencari sosok Gregory."Astaga, Om Greg!" Dilara melihat Gregory terjerambab di aspal sambil memegangi lengan. Mungkin posisi jatuhnya lengan yang menopang seluruh beban tubuh. Lalu, ia bergegas menghampiri pria itu dan memapahnya."Kenapa ada motor tidak menghindar?" omel Dilara."Kenapa aku harus menghindar? Nyawaku tidak lebih penting dari kepercayaanmu padaku, Lara." Gregory menatap Dilara dengan senyum tipis terbit di wajah tampannya."Apa kau gila?!" geram Dilara sambil mendorong tubuh Gregory.Sontak, pria itu terjatuh sambil memekik kesakitan. Sudah terserempet motor dan tubuhnya terasa sakit. Kini, ia justru didorong hingga terjatuh."Kenapa kau kejam sekali?" keluh Gregory dengan raut tidak enak."Apa kau lupa, kalau kau jauh lebih kejam dariku?" tanya Dilara sinis.Dibandingkan dengan apa yang ia lakukan, kekejaman Gregory padanya jauh lebih
"Kenapa Om Gregory ada di sini, Mom?" Shane menatap Gregory heran. "Daddy mana?"Setelah menerima kabar bahwa Gregory akan segera sampai, Dilara membawa kedua anaknya keluar. Mereka menunggu di gerbang masuk sekolah dan mendapati Gregory datang menghampiri."Iya, Mom. Daddy kami bukan Om Gregory 'kan?" tanya Shine memastikan.Ibunya bilang, ayah mereka akan segera sampai dan yang mereka temui saat ini Gregory. Jika pria itu bukan ayahnya, lalu kenapa Gregory datang ke sekolah?"Mmm ... I-itu ... a-anu ...."Dilara mendadak gelagapan. Dari nada bicara kedua anaknya seolah tidak menyukai kehadiran Gregory di sana. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa belum siap memperkenalkan si kembar pada ayah kandungnya."Halo, anak-anak," sapa Gregory.Ekspresi wajahnya terlihat gugup. Tangannya bergerak saling meremas. Jantungnya pun berdegup kencang tidak terkendali. Sikapnya saat ini berbanding terbalik dengan apa yang ia lakukan ketika di rumah."Halo, Om. Kenapa Om Gregory ada di sini?" Shine bal
Mendengar ejekan itu, Gregory mengepalkan tangan dengan gigi yang dieratkan. Menatap kedua putranya bergantian dan memenangkan dengan cara tersenyum. Hari ini adalah hari pertama di mana dirinya diakui sebagai ayah. Jadi, ia akan berusaha menahannya agar tidak meledak."Daddy," rengek Shine."Iya, Sayang. Kenapa?"Shine melirik ke arah kembarannya dan mendapat peringatan untuk tetap diam. Shane memelototi Shine karena mengerti apa yang akan dikatakan."Tidak, tidak jadi," sungut Shine lesu."Kenapa diam saja? Apa kau benar-benar hasil memungut di jalan?""Sial!" umpat Gregory dalam hati."Sepertinya memang hasil mungut di jalan," ujar pria itu lagi dengan tawa yang menggema.Sepertinya pria itu tidak akan puas sebelum mendapat jawaban. Ia terus menguji kesabaran Gregory tanpa melihat tempat. Sontak, Gregory pun berdiri sambil merapikan pakaian. Lalu, membalikkan badan dan menatap semua orang satu per satu."Siapa yang berbicara tadi?" tanyanya dingin."Aku. Kenapa?" Seorang pria dari