Keesokan harinya, tepat pukul enam pagi, Serkan sudah ada di depan pintu rumah Guzel dan mendiang suami pertamanya. Sejak semalam, ia tidak bisa tidur karena ingin mengusir Derya jadi-jadian menggunakan semua bukti yang telah didapat.Pria itu mengulurkan tangan dan mengetuk pintu beberapa kali. Sepersekian detik kemudian, Lara membuka pintu dengan terkejut."Mas Serkan. Ada apa pagi-pagi sekali datang ke sini?" Gadis itu tersenyum cerah seperti matahari yang bersinar di pagi hari."Papa bukan mas." Serkan mengoreksi dengan nada dingin, "Di mana Guzel?" imbuhnya bertanya sambil melongok ke dalam."Mama sedang sibuk memasak di dapur," sahut Dilara ketus.Sudah lama tidak bertemu dan rasa rindunya telah terobati. Namun, kebahagiaan itu musnah begitu saja mendengar Serkan menyebut nama Guzel.Daripada berhadapan dengan Dilara, tanpa berkata lebih Serkan masuk ke dalam melewati gadis itu. Rasanya percuma berbicara dengan anak tiri yang tidak memiliki sopan santun itu. Ia takut kesalahpaha
Rigel melangkah maju bertepatan dengan Derya dan Dilara membalikkan tubuhnya. Lalu, ia menyodorkan amplop coklat berisi bukti pada Derya."Tidak. Untuk apa aku menerimanya kalau bukti itu salah. Sudah jelas-jelas aku Derya," tolak Derya sambil mengayun tangannya hingga amplop itu jatuh ke lantai."Iya, Papa benar. Ini pasti bukti yang sengaja dibuat untuk mengusir Papa dari kehidupan Lara dan Mama," kata Dilara menimpali.Tangan Dilara terkepal kuat. Meski mulut berkata seperti itu, tetapi tubuhnya bergetar dan raut wajahnya berubah khawatir. Mungkinkah bukti yang Guzel dan Serkan dapatkan benar, bahwa Derya yang ada di hadapan mereka hanya orang asing yang mengaku-ngaku?"Rigel?" panggil Serkan."Baik, Pak," jawab Rigel tegas.Pria itu lekas meraih dan membuka amplop coklat yang semula jatuh di lantai. Tangannya merogoh dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dan foto. Kemudian, menyerahkannya pada Serkan."Meski kalian sangat mirip, tetapi kalian orang yang berbeda." Serkan melangka
Bagai disambar petir di pagi hari, pernyataan pria itu membuat Guzel dan Serkan terkejut. Ibu hamil itu menoleh ke arah putrinya dengan tatapan tidak percaya. Sementara Serkan, ia tidak menginginkan kenyataan itu terkuak. Asalkan bisa kembali bersama istrinya, ia tidak mempermasalahkan Dilara dan akan mengusir anak tirinya jauh-jauh dari kehidupannya.Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Kalau sampai Guzel setres dan mempengaruhi janin yang ada di kandungannya bagaimana?"Tidak, Ma. Apa yang dia katakan tidak benar. Mana mungkin Lara berbuat hal sekejam itu." Dilara menggeleng kuat berusaha meyakinkan ibunya."Terserah kau mau percaya atau tidak, Guzel. Tapi, kau bisa menanyakan kebenarannya pada suamimu," ujar Deniz menunjuk Serkan dengan rasa percaya diri.Semua informasi pribadi, DNA, dan sidik jari saja Serkan bisa mengetahuinya dengan mudah. Jadi, ia yakin pria itu juga tahu siapa dalang di balik semua kejadian ini."Mas?" Kini, Guzel beralih menatap sang suami berusaha mencari k
"Jangan bercanda, Mas. Ini sama sekali tidak lucu." Guzel tersenyum dengan air mata yang mengerucuk deras, "Semua yang Papa Serkan katakan tidak benar bukan, Lara?" imbuhnya bertanya pada sang putri.Tatapan mata Guzel penuh harap. Ia berharap putrinya akan mengangguk dan berkata bahwa semua itu tidak benar. Namun, Dilara hanya menunduk dalam-dalam. Yang terdengar hanya suara Isak tangis. Gadis itu benar-benar malu dan tidak bisa menunjukkan wajahnya di depan sang ibu."Aku serius, Guzel. Aku punya bukti rekaman video kalau kau tidak percaya," sanggah Serkan meyakinkan.Selama ini, ia menyimpan rekaman video itu dengan baik. Takut akan membutuhkannya di saat-saat seperti ini.Mendengar ucapan sang suami dan melihat sikap putrinya membuat Guzel menilai bahwa semua itu benar. Kemudian, ia melangkah mendekat dan duduk di lantai tepat di depan putrinya."Apa yang Mas Serkan katakan tidak benar 'kan, Lara?" tanya Guzel sambil mengguncang bahu putrinya.Sayangnya, Dilara tetap bungkam dan t
"Tidak apa-apa, kalau kau belum siap membahas masalah itu. Aku akan menunggu beberapa hari lagi."Melihat reaksi istrinya membuat Serkan terpaksa untuk menunda. Meski rasanya ingin menjebloskan Dilara dan Deniz ke penjara. Namun, ia tidak bisa mengambil keputusan itu sendirian. Bahkan ia merasa harus mengikuti keputusan Guzel apa pun yang terjadi."Tidak, Mas, kita bisa membahasnya sekarang juga. Hanya saja ...."Guzel sengaja menggantung kalimatnya. Ia merasa ragu untuk mengatakan hal itu karena takut sang suami akan kecewa."Apa kau ingin membiarkan mereka berdua tanpa melaporkannya pada polisi?" tanya Serkan menebak.Mendengar pertanyaan yang suaminya lontarkan membuat Guzel mengangkat pandangan. "Apa boleh?"Ia berharap, putrinya tidak dilaporkan ke polisi meski kesalahannya tidak bisa dimaafkan. Ibu mana yang tega menjebloskan anaknya sendiri ke dalam penjara? Terlepas dari kesalahan besar yang telah diperbuat, tidak ada ibu di dunia ini yang akan melakukan hal itu. Mereka akan m
"Bagaimana, Rigel? Kau sudah melakukan apa yang telah aku perintahkan, bukan?"["Ya, Pak. Sebelumnya saya sudah menyiksanya dan sekarang saya sedang menempelkan senjata di kepala Dilara. Hanya perlu menekan pelatuk dan boom ... nyawa bajingan kecil ini akan melayang."Setelah berhasil menenangkan istrinya, Serkan langsung pergi ke ruang kerja dan menghubungi Rigel. Ia meminta asisten pribadinya itu untuk memberi Dilara pelajaran. Dan sekarang, setelah lima jam berlalu, Serkan menagih hasilnya."Bagus. Berikan ponselmu dan aku ingin mengatakan sesuatu padanya." Serkan berjalan ke arah jendela. Menatap ke arah luar di mana bulan dan bintang memamerkan kilaunya.["Baik, Pak," sahut Rigel tegas.Sepersekian detik kemudian, terdengar suara nafas yang memburu. Serkan sudah bisa menebak kalau ponsel Rigel sudah berpindah tangan pada Dilara."Halo, bajingan kecil. Bagaimana? Apa kau terkejut dengan hadiah yang aku berikan?" Serkan tersenyum menyeringai membayangkan betapa takutnya Dilara saat
Selama satu bulan penuh, Serkan dan Guzel rajin sekali membuat adik untuk Jerome. Arash yang menginginkan banyak cicit memilih pindah rumah untuk menemani cicit pertamanya. Begitu pula dengan Lunara dan Asker. Jadi, rumah itu tak lagi sepi karena mereka bertiga selalu memperebutkan Jerome."Bagaimana? Positif, kan?" tanya Arash tidak sabaran.Satu Minggu terakhir, Guzel merasa nafsu makannya meningkat pesat. Memang, ia selalu lapar karena menyusui. Namun, ia merasa bukan karena hal itu. Akhirnya, ia meminta sang suami untuk membeli alat tes kehamilan."Kenapa diam saja?" tanya Asker lebih tidak sabaran lagi."Tidak apa-apa kalau negatif. Kalian masih bisa berusaha lebih keras lagi. Untuk Jerome, biar kami yang urus," kata Lunara menenangkan.Ekspresi Guzel sangat kusut, begitu pula dengan Serkan. Hal itu membuat Lunara berpikir kalau menantunya tidak hamil. Meskipun demikian, ia tidak terlalu khawatir karena sudah ada Jerome, pewaris keluarga mereka."Tidak, Ma, bukan ini." Guzel meng
Enam bulan kemudian, lahirlah Callum Serzel Aslan. Anak kedua pasangan Guzel dan Serkan yang berjenis kelamin perempuan. Kebahagiaan keluarga mereka benar-benar tidak bisa digambarkan."Sepertinya kita harus membeli rumah baru, Yang," kata Serkan sambil melirik ke arah Arash, kakeknya. Padahal, ia berbicara pada istrinya.Rumah yang saat ini mereka tinggali hanya memiliki empat kamar. Tiga kamar sudah ada yang menempati dan hanya tersisa satu kamar untuk Jerome. Saat ini, kamar pria mungil itu dalam tahap renovasi karena Guzel dan Serkan memutuskan untuk pisah kamar dengan putra pertama mereka. Jadi, masih butuh satu kamar lagi untuk Callum nantinya."Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Arash curiga."Barangkali saja Kakek mau membelikan rumah baru yang besar dan memiliki banyak kamar," sahut Serkan nyengir kuda.Tidak lama setelah proses perayaan empat bulanan Callum ketika masih di dalam kandungan, Guzel meminta kakek dan kedua mertuanya untuk selalu tinggal bersamanya. Wanita