Bagai disambar petir di pagi hari, pernyataan pria itu membuat Guzel dan Serkan terkejut. Ibu hamil itu menoleh ke arah putrinya dengan tatapan tidak percaya. Sementara Serkan, ia tidak menginginkan kenyataan itu terkuak. Asalkan bisa kembali bersama istrinya, ia tidak mempermasalahkan Dilara dan akan mengusir anak tirinya jauh-jauh dari kehidupannya.Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Kalau sampai Guzel setres dan mempengaruhi janin yang ada di kandungannya bagaimana?"Tidak, Ma. Apa yang dia katakan tidak benar. Mana mungkin Lara berbuat hal sekejam itu." Dilara menggeleng kuat berusaha meyakinkan ibunya."Terserah kau mau percaya atau tidak, Guzel. Tapi, kau bisa menanyakan kebenarannya pada suamimu," ujar Deniz menunjuk Serkan dengan rasa percaya diri.Semua informasi pribadi, DNA, dan sidik jari saja Serkan bisa mengetahuinya dengan mudah. Jadi, ia yakin pria itu juga tahu siapa dalang di balik semua kejadian ini."Mas?" Kini, Guzel beralih menatap sang suami berusaha mencari k
"Jangan bercanda, Mas. Ini sama sekali tidak lucu." Guzel tersenyum dengan air mata yang mengerucuk deras, "Semua yang Papa Serkan katakan tidak benar bukan, Lara?" imbuhnya bertanya pada sang putri.Tatapan mata Guzel penuh harap. Ia berharap putrinya akan mengangguk dan berkata bahwa semua itu tidak benar. Namun, Dilara hanya menunduk dalam-dalam. Yang terdengar hanya suara Isak tangis. Gadis itu benar-benar malu dan tidak bisa menunjukkan wajahnya di depan sang ibu."Aku serius, Guzel. Aku punya bukti rekaman video kalau kau tidak percaya," sanggah Serkan meyakinkan.Selama ini, ia menyimpan rekaman video itu dengan baik. Takut akan membutuhkannya di saat-saat seperti ini.Mendengar ucapan sang suami dan melihat sikap putrinya membuat Guzel menilai bahwa semua itu benar. Kemudian, ia melangkah mendekat dan duduk di lantai tepat di depan putrinya."Apa yang Mas Serkan katakan tidak benar 'kan, Lara?" tanya Guzel sambil mengguncang bahu putrinya.Sayangnya, Dilara tetap bungkam dan t
"Tidak apa-apa, kalau kau belum siap membahas masalah itu. Aku akan menunggu beberapa hari lagi."Melihat reaksi istrinya membuat Serkan terpaksa untuk menunda. Meski rasanya ingin menjebloskan Dilara dan Deniz ke penjara. Namun, ia tidak bisa mengambil keputusan itu sendirian. Bahkan ia merasa harus mengikuti keputusan Guzel apa pun yang terjadi."Tidak, Mas, kita bisa membahasnya sekarang juga. Hanya saja ...."Guzel sengaja menggantung kalimatnya. Ia merasa ragu untuk mengatakan hal itu karena takut sang suami akan kecewa."Apa kau ingin membiarkan mereka berdua tanpa melaporkannya pada polisi?" tanya Serkan menebak.Mendengar pertanyaan yang suaminya lontarkan membuat Guzel mengangkat pandangan. "Apa boleh?"Ia berharap, putrinya tidak dilaporkan ke polisi meski kesalahannya tidak bisa dimaafkan. Ibu mana yang tega menjebloskan anaknya sendiri ke dalam penjara? Terlepas dari kesalahan besar yang telah diperbuat, tidak ada ibu di dunia ini yang akan melakukan hal itu. Mereka akan m
"Bagaimana, Rigel? Kau sudah melakukan apa yang telah aku perintahkan, bukan?"["Ya, Pak. Sebelumnya saya sudah menyiksanya dan sekarang saya sedang menempelkan senjata di kepala Dilara. Hanya perlu menekan pelatuk dan boom ... nyawa bajingan kecil ini akan melayang."Setelah berhasil menenangkan istrinya, Serkan langsung pergi ke ruang kerja dan menghubungi Rigel. Ia meminta asisten pribadinya itu untuk memberi Dilara pelajaran. Dan sekarang, setelah lima jam berlalu, Serkan menagih hasilnya."Bagus. Berikan ponselmu dan aku ingin mengatakan sesuatu padanya." Serkan berjalan ke arah jendela. Menatap ke arah luar di mana bulan dan bintang memamerkan kilaunya.["Baik, Pak," sahut Rigel tegas.Sepersekian detik kemudian, terdengar suara nafas yang memburu. Serkan sudah bisa menebak kalau ponsel Rigel sudah berpindah tangan pada Dilara."Halo, bajingan kecil. Bagaimana? Apa kau terkejut dengan hadiah yang aku berikan?" Serkan tersenyum menyeringai membayangkan betapa takutnya Dilara saat
Selama satu bulan penuh, Serkan dan Guzel rajin sekali membuat adik untuk Jerome. Arash yang menginginkan banyak cicit memilih pindah rumah untuk menemani cicit pertamanya. Begitu pula dengan Lunara dan Asker. Jadi, rumah itu tak lagi sepi karena mereka bertiga selalu memperebutkan Jerome."Bagaimana? Positif, kan?" tanya Arash tidak sabaran.Satu Minggu terakhir, Guzel merasa nafsu makannya meningkat pesat. Memang, ia selalu lapar karena menyusui. Namun, ia merasa bukan karena hal itu. Akhirnya, ia meminta sang suami untuk membeli alat tes kehamilan."Kenapa diam saja?" tanya Asker lebih tidak sabaran lagi."Tidak apa-apa kalau negatif. Kalian masih bisa berusaha lebih keras lagi. Untuk Jerome, biar kami yang urus," kata Lunara menenangkan.Ekspresi Guzel sangat kusut, begitu pula dengan Serkan. Hal itu membuat Lunara berpikir kalau menantunya tidak hamil. Meskipun demikian, ia tidak terlalu khawatir karena sudah ada Jerome, pewaris keluarga mereka."Tidak, Ma, bukan ini." Guzel meng
Enam bulan kemudian, lahirlah Callum Serzel Aslan. Anak kedua pasangan Guzel dan Serkan yang berjenis kelamin perempuan. Kebahagiaan keluarga mereka benar-benar tidak bisa digambarkan."Sepertinya kita harus membeli rumah baru, Yang," kata Serkan sambil melirik ke arah Arash, kakeknya. Padahal, ia berbicara pada istrinya.Rumah yang saat ini mereka tinggali hanya memiliki empat kamar. Tiga kamar sudah ada yang menempati dan hanya tersisa satu kamar untuk Jerome. Saat ini, kamar pria mungil itu dalam tahap renovasi karena Guzel dan Serkan memutuskan untuk pisah kamar dengan putra pertama mereka. Jadi, masih butuh satu kamar lagi untuk Callum nantinya."Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Arash curiga."Barangkali saja Kakek mau membelikan rumah baru yang besar dan memiliki banyak kamar," sahut Serkan nyengir kuda.Tidak lama setelah proses perayaan empat bulanan Callum ketika masih di dalam kandungan, Guzel meminta kakek dan kedua mertuanya untuk selalu tinggal bersamanya. Wanita
Di pintu masuk klub malam, terlihat seorang gadis melangkahkan kaki ke dalam. Aroma alkohol langsung menusuk indra penciumannya.Sesaat, ia menatap kerumunan orang yang tengah asik berdansa dengan liar. Sontak, kedua sudut bibirnya naik ke atas."Saatnya bersenang-senang," ujarnya sambil melangkah cepat. Tidak lupa dengan kedua tangan yang diangkat ke atas dan tubuh yang dilenggak-lenggokkan.Gadis cantik itu langsung masuk ke dalam kerumunan orang yang sedang menari. Melompat ke sana ke mari dan meliuk-liukkan tubuhnya."Huuuuu ...!" teriak Dilara.Senggol sana, senggol sini tanpa mempedulikan siapa mereka. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah kesenangan, bahkan sampai menanggapi setiap pria yang mengajaknya menari. Merapatkan tubuh satu sama lain dan saling berciuman.Semua mengenal sosok gadis itu dengan nama Dilara. Awalnya, ia adalah anak yang baik dan pendiam. Akan tetapi, luka yang membekas dalam hati mulai membuatnya menjadi liar. Ia bahkan sampai menjauh dari keluarganya.Keti
"Hei! Kenapa kau diam saja? Ayo kita menikah!" Dilara mengayun tangannya tepat di depan wajah Gregory.Gadis itu pikir, tipe pria seperti Gregory banyak disukai wanita. Jadi, ia ingin bertindak cepat untuk memilikinya. Meskipun demikian, belum tentu Gregory mau menerima lamarannya. Pria mana yang akan menerima lamaran sembarang wanita. Apalagi sikapnya seperti Dilara yang terlihat sangat murahan."Pulanglah! Ini sudah sangat larut." Alih-alih menjawab ajakan Dilara untuk menikah, Gregory justru mengusir gadis itu dengan cara halus."Oke. Aku akan pulang, tapi setelah kau menerima ajakanku untuk menikah," balas Dilara bersikeras. Itu artinya, ia tidak akan pulang jika Gregory menolak ajakannya untuk menikah.Terlihat, Gregory menghembuskan napas berat. Mimpi apa kemarin malam sampai-sampai harus bertemu dengan gadis menyebalkan seperti Dilara. Andai ia tahu akan bertemu dengan gadis sepertinya, maka ia akan berusaha keras untuk menghindar."Siapa tadi namamu?" tanya Gregory."Lara, Dil
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Satu minggu kemudian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini si kembar sedang berbaring mengapit ibunya di kamar tamu, tempat Dilara menghabiskan malam selama tinggal di rumah Gregory."Mommy, Shine rindu Daddy," rengek Shine."Shane juga, Mommy," kata Shane menimpali."Iya, Sayang, mommy tahu." Dilara menatap kedua putranya sendu secara bergantian.Ia tahu betul bagaimana perasaan Shine dan Shane. Setiap saat mereka akan mempertanyakan perihal ayahnya. Tidak berhenti menatap ponsel dengan gelisah hanya menunggu ayah mereka menelepon atau melakukan panggilan video. Tidak fokus dalam bermain dan terlihat lesu. Tidak nafsu makan, bahkan lebih sering melamun."Bukankah sudah waktunya Daddy pulang? Tapi kenapa sudah semalam ini belum juga sampai?" Shine mengangkat kepala menatap sang ibu.Sejak pertama kali Gregory pergi, pria mungil itu sibuk menghitung hari. Rasanya tidak sabar ingin berkumpul bersama sang ayah dan bermanja-manja."Iya, benar. Seharusnya Daddy pulang sejak p
"Menjauh, menjauh dariku!" Dilara menggerak-gerakkan kepalanya tidak sudi."Diam atau kau akan menyesal, Lara!" ancam Gregory.Sontak, Dilara langsung terdiam. Sementara itu, Gregory merapikan rambutnya yang berantakan. Pada kesempatan ini, Dilara menyentuh dada bidang Gregory dan mendorongnya. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai pria itu berbuat nekat. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkannya."Aku memang bilang begitu, tapi kau tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku." Gregory mendekatkan wajahnya setelah tersenyum menyeringai. Ia tidak bisa menahan lagi untuk tidak mengecup bibir merah Dilara."Oke-oke, aku mengaku salah. Sekarang berbaringlah dan aku akan menemanimu tidur dengan tenang," ujar Dilara menyerah.Selain mengalah, tidak ada yang bisa Dilara lakukan. Posisinya tidak ada yang menguntungkan dan justru ia akan menyesal jika salah bertindak."Tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," tolak Gregory tanpa bergerak sedikit pun."Astaga, Om Greg. Berbaringlah
"Lepas, turunkan aku! Turunkan aku, Om Greg!" teriak Dilara histeris. Tangannya bergerak memukuli Gregory dan kakinya diayun kuat-kuat.Tanpa menghiraukan pergerakan Dilara, Gregory masuk ke dalam kamar mandi. Meletakkan wanita itu di wastafel dan tersenyum lembut."Sebentar ya, mommy-nya anak-anak. Daddy-nya anak-anak akan menyiapkan air hangat agar kau bisa berendam dengan nyaman."Dengan napas yang memburu, Dilara merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Mengingat pikiran kotornya membuat pipinya memerah. Padahal Gregory tidak melakukan apa pun selain membawanya ke kamar mandi."Tidak perlu. Aku tidak ingin berendam. Lebih baik kau keluar sekarang," sanggah Dilara ketus."Ya sudah, terserah kau saja. Kalau begitu, aku keluar dulu," pamit Gregory.Pria itu langsung keluar dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin sekali melakukan hal liar dengan Dilara di kamar mandi, tetapi belum berani. Jadi, ia hanya bisa membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil membayangkan ma
"Apa yang kau lakukan, Om Greg?! bentak Dilara panik. Ia bergegas duduk dan menjauh sedangkan Gregory tetap berbaring.Raut wajahnya menunjukkan rasa takut yang teramat. Bagaimana tidak? Pria itu memintanya untuk menemani tidur. Pria dan wanita dewasa di dalam kamar di malam hari, kalau bukan untuk melakukan hal itu lalu apa lagi?"Astaga, Lara! Sikapmu ini seolah aku memintamu untuk melayaniku," ujar Gregory menggeleng tidak habis pikir."Lalu, apa lagi? Bukankah itu yang ada di isi kepalamu?" tanya Dilara nyalang."Astaga." Gregory mendesah keras sambil mencengkeram rambutnya frustasi.Kalau boleh, memang ia ingin melakukannya. Namun, tidak sekarang melainkan nanti setelah Dilara benar-benar mau menerima dan menikah dengannya."Kemarilah!" Gregory menepuk-nepuk kasur sebelahnya."Tidak!" tolak Dilara tegas. Duduk bersandar kepala ranjang sambil memeluk lututnya."Mau ke mari atau aku paksa?" ancam Gregory.Dilara menggeleng cepat. Napasnya bergerak cepat dengan tubuh bergetar yang s
Tidak ingin membiarkan Gregory berbuat lebih dan mempermalukannya, Dilara menyentuh dada bidang pria itu dan mendorongnya menjauh. Menatap si kembar bergantian sebelum memusatkan atensinya pada pria tidak tahu malu itu. Dengan napas yang tersengal dan dada yang bergerak naik turun, bola matanya memerah juga membola. "Apa yang Om Greg lakukan?" tanya Dilara berbisik sambil menggertakkan gigi menahan amarah."Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya melakukan sesuatu yang memang ingin aku lakukan," sahut Gregory malas.Ia berkata tidak melakukan apa-apa, tetapi mengatakan sesuatu yang memang ingin sekali dilakukan."Lakukan apa pun sesuka hatimu dan jangan lakukan itu padaku," ujar Dilara geram. Wanita itu mengusap bibirnya kasar berusaha menghapus jejak bibir lembab ayah kedua anaknya. Ia benar-benar tidak menyangka Gregory akan berbuat tidak tahu malu seperti itu padanya."Tidak bisa. Aku tipe pria setia dan tidak bisa menyentuh wanita lain yang tidak aku cintai," tolak Gregory tegas."Cu
["Jangan gila, Om Greg!""Ya sudah, aku bangunkan anak-anak dan langsung menjemputmu."["Tidak, jangan."Tidak mungkin ia membiarkan Gregory membangunkan Shine dan Shane yang sedang tidur. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan dirinya menginap di rumah pria itu. Kalau tidak menginap, anak-anak akan marah karena tidak ada ibunya di sana setelah bangun nanti."Jadi, aku harus bagaimana sekarang?" tanya Gregory berpura-pura bingung.["Oke. Kau suruh supir saja untuk menjemputku.""Lalu? Kau akan menginap di sini atau mau diantar pulang?" Gregory berusaha menekan kuat-kuat kebahagiaannya dengan bersikap datar. Pasalnya ia sudah tahu pilihan apa yang akan Dilara ambil. Jika bukan memilih menginap, lalu apa lagi?["Aku akan menginap, tapi kau tidak boleh macam-macam.""Tidak akan. Ya sudah, akan kukirim supir untukmu."Sepersekian detik, Dilara mengakhiri panggilan. Saat ini, Gregory berusaha menekan rasa bahagianya. Melip
["Hari ini aku tidak bisa pulang tepat waktu karena rekan kerja lawan shift-ku tidak masuk. Jadi, bisakah kau mengurus anak-anak untuk malam ini saja?""Tidak masalah. Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau--."["Aku tahu. Untuk masalah ini, kita bicarakan nanti malam saja setelah pekerjaanku selesai."Awalnya, Dilara memang ingin membicarakan tentang hal itu. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka justru terjadi dan ia terpaksa harus meminta tolong pada Gregory sebelum membahasnya."Baiklah. Jadi, apa aku perlu membawa anak-anak pulang sekarang atau nanti?"Gregory pikir, apa bedanya sekarang dan nanti pukul lima. Lagi pula, si kembar akan tetap ikut bersamanya pulang ke rumah selama beberapa jam.["Terserah kau saja, tapi menurutku sekarang lebih baik karena anak-anak terlihat sangat kelelahan.""Oke. Kalau begitu, aku dan anak-anak pulang dulu. Kau kabari saja satu jam sebelum pulang agar aku tidak terlambat menjemput."["Ya. Titip salam buat anak-anak. Aku tidak bisa ke depa