"Mama." Dilara berlari keluar dan langsung memeluk ibunya, "Apa Mama sudah memutuskan untuk tinggal di sini bersama Lara dan Papa?" imbuhnya bertanya."Iya," sahut Guzel singkat. Ia membalas pelukan putrinya dengan manik mata yang menggerilya meneliti isi rumah."Ngomong-ngomong, Mama ke sini sama siapa?" tanya Dilara sambil menjauhkan tubuhnya.Manik mata gadis itu meneliti area luar rumah. Berharap bisa melihat sosok ayah tirinya dengan raut sedih. Namun sayang, pria itu justru tidak ada di sana."Papa Serkan." Guzel malas berbicara panjang lebar takut Derya jadi-jadian mendengarnya."Apa?!" teriak Dilara terkejut."Kenapa ekspresimu berlebihan begitu?" Guzel melangkah masuk ke dalam sambil menarik koper. Menoleh ke kanan dan kiri mencari sosok pria yang mengaku sebagai suami pertamanya."Dia ada di mana?" lanjutnya."Dia siapa? Apa maksud Mama, Papa?" Alih-alih menjawab, Dilara justru balik bertanya."Iya, Sayang. Memangnya siapa lagi?" sahut Guzel malas.Kakinya melangkah masuk k
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Derya dingin.Melihat Guzel ada di sana, harusnya pria itu bertanya atau sekedar menunjukkan rasa bahagianya. Namun, ia justru terlihat sangat cuek. Berbeda sekali dengan sikapnya waktu itu ketika pertama kali Guzel pulang."Tidak. Aku lihat, rambut, kumis, dan jenggotmu sudah terlalu panjang. Apa tidak sebaiknya kau cukur?"Sebenarnya, tidak terpikirkan oleh Guzel untuk berkata seperti itu. Ia hanya sudah tidak sabar melihat pria itu menikmati ayam kecap buatannya. Akan tetapi, sikapnya itu justru membuat pria jadi-jadian curiga."Baiklah, tapi aku ingin kau yang mencukur rambutku," kata Derya sambil tersenyum."Aku tidak bisa melakukannya, Mas. Nanti siang pergi ke tukang cukur langganan saja."Meski ia bisa sekalipun, ia tidak akan pernah melakukannya. Apalagi ada kamera tersembunyi dan alat sadap yang bisa mendengar setiap percakapannya. Ia yakin, Serkan sedang melihat dan mendengar adegan ini. Jadi, ia tidak ingin membuat sang suami marah
"I-iya," sahut Guzel sambil perlahan memencet tombol merah tanpa berpamitan.Ia benar-benar takut Derya jadi-jadian akan mendengar pembicaraannya dan semua rencana yang telah ia buat gagal. Lalu, bagaimana bisa ia menendang pria itu keluar dari rumahnya jika hal itu sampai terjadi?"Apa kau sudah selesai? Kalau sudah, ayo kita pulang," tanya Derya dengan raut biasa.Melihat ekspresi datar pria yang sangat mirip dengan mendiang suami pertamanya, membuat Guzel menghembuskan napas lega. Memasukkan ponselnya ke dalam sling bag sebelum dicurigai."Iya, sudah." Guzel bergegas melangkah mendekat, "Ayo kita pulang!" imbuhnya melangkah lebih dulu.Akhirnya, Derya berjalan mengikuti Guzel dari belakang. Perlahan, ia mensejajarkan langkahnya dan meraih tangan Guzel hingga menggenggam.Awalnya Guzel cukup terkejut, tetapi ia berusaha sedatar mungkin. Tidak mungkin jika ia menolak dan membuat pria itu curiga.***Empat hari berlalu dan Guzel belum menemukan bukti lain. Derya jadi-jadian terlihat b
Keesokan harinya, tepat pukul enam pagi, Serkan sudah ada di depan pintu rumah Guzel dan mendiang suami pertamanya. Sejak semalam, ia tidak bisa tidur karena ingin mengusir Derya jadi-jadian menggunakan semua bukti yang telah didapat.Pria itu mengulurkan tangan dan mengetuk pintu beberapa kali. Sepersekian detik kemudian, Lara membuka pintu dengan terkejut."Mas Serkan. Ada apa pagi-pagi sekali datang ke sini?" Gadis itu tersenyum cerah seperti matahari yang bersinar di pagi hari."Papa bukan mas." Serkan mengoreksi dengan nada dingin, "Di mana Guzel?" imbuhnya bertanya sambil melongok ke dalam."Mama sedang sibuk memasak di dapur," sahut Dilara ketus.Sudah lama tidak bertemu dan rasa rindunya telah terobati. Namun, kebahagiaan itu musnah begitu saja mendengar Serkan menyebut nama Guzel.Daripada berhadapan dengan Dilara, tanpa berkata lebih Serkan masuk ke dalam melewati gadis itu. Rasanya percuma berbicara dengan anak tiri yang tidak memiliki sopan santun itu. Ia takut kesalahpaha
Rigel melangkah maju bertepatan dengan Derya dan Dilara membalikkan tubuhnya. Lalu, ia menyodorkan amplop coklat berisi bukti pada Derya."Tidak. Untuk apa aku menerimanya kalau bukti itu salah. Sudah jelas-jelas aku Derya," tolak Derya sambil mengayun tangannya hingga amplop itu jatuh ke lantai."Iya, Papa benar. Ini pasti bukti yang sengaja dibuat untuk mengusir Papa dari kehidupan Lara dan Mama," kata Dilara menimpali.Tangan Dilara terkepal kuat. Meski mulut berkata seperti itu, tetapi tubuhnya bergetar dan raut wajahnya berubah khawatir. Mungkinkah bukti yang Guzel dan Serkan dapatkan benar, bahwa Derya yang ada di hadapan mereka hanya orang asing yang mengaku-ngaku?"Rigel?" panggil Serkan."Baik, Pak," jawab Rigel tegas.Pria itu lekas meraih dan membuka amplop coklat yang semula jatuh di lantai. Tangannya merogoh dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dan foto. Kemudian, menyerahkannya pada Serkan."Meski kalian sangat mirip, tetapi kalian orang yang berbeda." Serkan melangka
Bagai disambar petir di pagi hari, pernyataan pria itu membuat Guzel dan Serkan terkejut. Ibu hamil itu menoleh ke arah putrinya dengan tatapan tidak percaya. Sementara Serkan, ia tidak menginginkan kenyataan itu terkuak. Asalkan bisa kembali bersama istrinya, ia tidak mempermasalahkan Dilara dan akan mengusir anak tirinya jauh-jauh dari kehidupannya.Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Kalau sampai Guzel setres dan mempengaruhi janin yang ada di kandungannya bagaimana?"Tidak, Ma. Apa yang dia katakan tidak benar. Mana mungkin Lara berbuat hal sekejam itu." Dilara menggeleng kuat berusaha meyakinkan ibunya."Terserah kau mau percaya atau tidak, Guzel. Tapi, kau bisa menanyakan kebenarannya pada suamimu," ujar Deniz menunjuk Serkan dengan rasa percaya diri.Semua informasi pribadi, DNA, dan sidik jari saja Serkan bisa mengetahuinya dengan mudah. Jadi, ia yakin pria itu juga tahu siapa dalang di balik semua kejadian ini."Mas?" Kini, Guzel beralih menatap sang suami berusaha mencari k
"Jangan bercanda, Mas. Ini sama sekali tidak lucu." Guzel tersenyum dengan air mata yang mengerucuk deras, "Semua yang Papa Serkan katakan tidak benar bukan, Lara?" imbuhnya bertanya pada sang putri.Tatapan mata Guzel penuh harap. Ia berharap putrinya akan mengangguk dan berkata bahwa semua itu tidak benar. Namun, Dilara hanya menunduk dalam-dalam. Yang terdengar hanya suara Isak tangis. Gadis itu benar-benar malu dan tidak bisa menunjukkan wajahnya di depan sang ibu."Aku serius, Guzel. Aku punya bukti rekaman video kalau kau tidak percaya," sanggah Serkan meyakinkan.Selama ini, ia menyimpan rekaman video itu dengan baik. Takut akan membutuhkannya di saat-saat seperti ini.Mendengar ucapan sang suami dan melihat sikap putrinya membuat Guzel menilai bahwa semua itu benar. Kemudian, ia melangkah mendekat dan duduk di lantai tepat di depan putrinya."Apa yang Mas Serkan katakan tidak benar 'kan, Lara?" tanya Guzel sambil mengguncang bahu putrinya.Sayangnya, Dilara tetap bungkam dan t
"Tidak apa-apa, kalau kau belum siap membahas masalah itu. Aku akan menunggu beberapa hari lagi."Melihat reaksi istrinya membuat Serkan terpaksa untuk menunda. Meski rasanya ingin menjebloskan Dilara dan Deniz ke penjara. Namun, ia tidak bisa mengambil keputusan itu sendirian. Bahkan ia merasa harus mengikuti keputusan Guzel apa pun yang terjadi."Tidak, Mas, kita bisa membahasnya sekarang juga. Hanya saja ...."Guzel sengaja menggantung kalimatnya. Ia merasa ragu untuk mengatakan hal itu karena takut sang suami akan kecewa."Apa kau ingin membiarkan mereka berdua tanpa melaporkannya pada polisi?" tanya Serkan menebak.Mendengar pertanyaan yang suaminya lontarkan membuat Guzel mengangkat pandangan. "Apa boleh?"Ia berharap, putrinya tidak dilaporkan ke polisi meski kesalahannya tidak bisa dimaafkan. Ibu mana yang tega menjebloskan anaknya sendiri ke dalam penjara? Terlepas dari kesalahan besar yang telah diperbuat, tidak ada ibu di dunia ini yang akan melakukan hal itu. Mereka akan m