Ronald membuka buku catatan usang itu, di dalamnya terlihat goresan tinta yang sudah setengah memudar. Ia memicingkan matanya kala mengeja sebuah nama yang sudah ia hafal betul, Mardie Setya. Di pojok kanan bawah terdapat goresan garis yang menampilkan sebuah tanda tangan. “Tunggu, bukankah ini tanda tangan Ayah?! Mengapa?!”Ronald membaca satu demi satu halaman pada buku itu, terlihat lokasi, tanggal dan tahun tertera di ujung kanan atas. Sementara di bawahnya terlihat catatan-catatan kecil mengenai kegiatan yang dilakukan. Mulanya Ronald hanya membacanya sekilas, namun tepat pada halaman ke sepuluh tertulis tanggal 11 Agustus tahun 2008, isi dari catatan itu mulai terasa aneh. Terlihat tulisan tangan yang sedikit berantakan seperti ditulis secara terburu-buru dan juga isi catatan yang memuat kata-kata keji, penuh umpatan dan juga dendam. Mardie menulis bahwa ia merasa sakit hati pada Chandra dan berniat memberi majikannya itu pelajaran. Kemudian satu minggu selanjutnya dalam catata
Tanpa terasa hari pun berlalu, Bella belum memutuskan untuk kembali ke mansion, ia masih bermalam di apartemennya. Disamping itu, ia juga sibuk menyelidiki Viona bersama Ronald setelah selesai bekerja. Mulanya Bella merasa khawatir ia takut Sean akan curiga padanya dan menyusul atau bahkan mengancamnya. Namun setelah Sean mencoba melakukan panggilan padanya kemarin, tak ada lagi kabar darinya. Bahkan Sean tak masuk hari ini, Bella yang masuk kerja seperti biasanya merasa terkejut dengan ketidakhadiran Sean yang sudah tersohor Tiran dalam pekerjaan.Bella beberapa kali memberikan report pekerjaan, mengirim jadwal dan sebagainya kepada email Sean namun suaminya itu tak membalas pesannya sama sekali. “Ada apa dengannya? Dia sungguh aneh sekali. Bahkan dia tidak menanyaiku lagi tentang alasan mengapa aku tidak kembali ke mansion, apakah karena sosok Viona itu?”“Ah sudahlah! Aku harus fokus pada acara besok yaitu perayaan hari jadi Wiratama. Persiapan sudah 90%, tinggal aku memantau ke lo
Malam hari sebelumnya Sean termenung di dalam kamar tidurnya, setelah menghabiskan makan malam yang tak menyenangkan bersama Viona, ia masih terngiang-ngiang atas ucapan wanita itu.“Sebetulnya, seberapa dalam rahasia yang wanita itu ketahui? Siapa dia?!” rutuk Sean kesal. Ia dihadapkan pada situasi kebingungan, masalah yang bertubi-tubi ditambah pekerjaan yang menumpuk dan project-project dalam waktu dekat membuat kepalanya terasa akan pecah. Di dalam keheningan malam, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Sean terperanjat, dengan cepat ia mencari ponselnya yang ia buang ke sembarang arah di atas kasur tadi. Sean berharap bahwa itu adalah panggilan dari Bella, namun nihil, ternyata itu adalah panggilan telepon dari kakeknya, Thomas.“Sean! Bagaimana persiapan hari jadi perusahaan? Jangan sampai gagal! Karena kakek akan mengundang media-media ternama dan juga para pejabat pemerintahan,” ucap Thomas dari balik telepon.Sean memijat pelipisnya yang nampak pe
Hari ini seharusnya menjadi momen bahagia bagi seorang Arabella, karena hari ini bertepatan dengan perayaan anniversarry ke dua tahun hubungannya dengan Axel, tunangannya. Namun sejak pagi Axel tak ada menghubunginya sekalipun, bahkan pria itu tak membalas satu pun panggilan yang Bella tujukan padanya. Merasa khawatir, Bella bergegas untuk mengunjungi apartemen Axel untuk memastikan kondisi pria tersebut.Selang beberapa puluh menit kemudian tibalah Bella di apartemen Axel menggunakan taxi online, ia memiliki card cadangan untuk unit apartemen tunangannya tersebut. Saat ia sudah berada di dekat pintu, sayup-sayup terdengar suara tak lazim dari dalam kamar. Bella merapatkan telinganya pada daun pintu dan benar saja, terdengar lenguhan antara sepasang pria dan Wanita yang suaranya ia hafal betul. “Axel …” gumam Bella, “tidak mungkin!” Bella mengeluarkan card untuk membuka pintu, dengan sekali dorongan ia membanting pintu dan betapa mengejutkannya, Bella melihat Axel dengan Irena yang m
Bella membuka matanya perlahan setelah terdengar suara ketukan dari luar pintu kamarnya yang cukup keras. Tanpa sadar ia tertidur di meja kerjanya. Lehernya agak kaku dan pegal karena posisi tidurnya yang tak nyaman, semalaman suntuk ia begadang untuk menulis hal-hal apa saja yang akan ia lakukan di mulai hari ini.“Bella! Bella! Cepat buka pintunya sekarang!” Ibu mengetuk pintunya kasar, “Bella! Kamu dengar tidak? Atau mau ibu dobrak sekarang?!”Bella kemudian bangkit dari kursi dan membuka kunci pintu dengan malas, nyawanya belum terkumpul sempurna dan kantuk masih membayangi kedua bola matanya. Namun saat ia membuka pintunya tanpa aba-aba sang ibu menampar pipi kirinya dengan cukup keras, membuat rasa kantuknya hilang sekejap dan berubah menjadi amarah.“Dasar anak sialan!” ucap Ibu, “apa yang tadi malam kamu lakulan pada Irena hah?! Dasar anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu menjebaknya!”Bella mengusap-usap pipinya yang memerah dan sedikit bengkak, ia tak percaya dengan apa ya
Bella saat ini sedang melihat-lihat apartemen barunya, beruntung ia mendapat unit yang harganya masih bisa ia jangkau dengan fasilitas full furniture yang lumayan baik walaupun tidak terlalu mewah. Ukuran ruangannya memang tidak jauh berbeda dengan kamarnya dulu, tetapi itu bukan masalah, yang terpenting lokasinya saat ini berada di area jalan arteri dekat dengan pusat perkantoran. Bella merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ia berpikir sejenak untuk memulai aksinya saat ini. Cara pertama ialah harus mencari pekerjaan terlebih dahulu, pengalamannya menjadi manajer operasional saat di perusahaan ayahnya dulu mungkin saja bisa membantunya untuk mencari pekerjaan. Bella teringat masa-masa saat ia bekerja sebelumnya, ia menjadi manajer operasional sementara Irena diberi jabatan sebagai CEO, sungguh tidak adil namun mau bagaimana lagi ia tidak bisa membantah. Di perjalanan karirnya Bella memiliki pekerjaan yang sangat banyak, selain ia menjadi seorang manajer ia juga harus menghandle peker
Sean mengerjapkan matanya beberapa kali, sesekali ia memijat dahinya yang terasa pening. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, Sean baru menyadari bahwa ia tidak berada di dalam kamarnya melainkan di apartemen Ronald. Sean perlahan bangkit sembari mendudukkan diri, ia mengambil segelas air putih yang berada di atas nakas di sisi ranjang, lalu meminumnya dalam sekali teguk. Ia merasa tenggorokannya kering dan gatal. Tak lama Ronald ke luar dari dalam kamar mandi, dilihatnya Sean sudah terbangun, “Tuan Sean sudah bangun rupanya?” tanyanya menyindir, “mohon maaf sebelumnya, apa Tuan ingat kejadian kemarin malam?” Dahi Sean mengerut, berusaha mengingat-ingat kejadian beberapa jam lalu. Kedua bahunya bergedik, tidak mau ambil pusing dengan pertanyaan yang Ronald lontarkan. “Tuan, lebih baik pecat saya saja sekarang! Atau tenggelamkan saya di danau terdekat!” Ronald menjatuhkan handuk yang sebelumnya ia pakai untuk mengeringkan rambut ke lantai, “Tuan, asal anda tahu. Tuan sudah melaku
Sayup-sayup terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. Bella sesekali mengerjapkan matanya dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Jujur saja ini hari pertamanya tinggal di luar selain rumahnya sendiri, walaupun tempat tersebut tidak layak disebut rumah oleh Bella. Sambil menggeliat Bella mengucek kedua matanya dan bangkit ke arah cermin yang terletak di dekat pintu toilet. Suara ketukan dari luar tampak masih menggema, nampaknya orang dibalik pintu sangat perlu sekali terhadap Bella. “Ya, tunggu sebentar,” Bella sedikit berteriak dan merapikan penampilannya yang masih menggunakan satu set piyama. “Duh, apartemen elit, bel sulit,” rutuk Bella, pasalnya tempo lalu Bella diberitahu jika bel unitnya sedang dalam proses perbaikan, sebab sudah lama tidak ditinggali. Karena permintaan Bella untuk menempati apartemen tersebut cukup tergesa, jadi ada beberapa hal yang belum diurus secara maksimal, hal itu pula yang membuat harganya cukup miring. Bella membuka pintunya lalu terdiam sesaat,