Beberapa saat lalu, ketika Bella sedang fokus memperbaiki pekerjaanya. Dari arah berlawanan terlihat Tristan yang sedang menuju ke arahnya. Mulanya, Tristan berencana untuk mencari Ronald, namun ternyata malah Bella yang dijumpainya.Tristan berjalan perlahan, namun Bella yang sedang fokus tak mengindahkan satu-satunya sosok yang berada didepannya walau agak jauh saat ini. Bahkan mungkin jika ada pencuri pun Bella tak menyadarinya karena sedang fokus mengejar deadline.“Bulan madu? Berlibur? Apa itu? Hanya omong kosong! Buktinya saat ini aku sudah kembali bekerja rodi!” rutuk Bella, yang samar-samar terdengar oleh Tristan dari kejauhan.“Ya, walaupun gajinya besar. Namun rasanya badanku seperti remuk! Ditambah aku tak bisa tidur karena kamarku direbut oleh wanita sialan itu! Bisa-bisanya dalam dua hari ini pekerjaannya hanya makan dan tidur saja. Bahkan aku yang istrinya pun bekerja dengan keras seperti ini! Sebenarnya apa sih hubungan mereka berdua?!” Bella tak sadar saat ini Trista
Detik demi detik terlewati, tanpa sadar sudah beberapa belas menit sosok dua anak manusia yang masih saling menutup mulutnya rapat-rapat saling memandang. Namun ada yang berbeda dari tatapan tersebut, si Pria menatap wanita dihadapannya dengan tatapan benci sementara si Wanita justru menatap si Pria dengan menggoda.Viona mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, menatap lekat-lekat ruangan besar yang hanya diisi satu orang saja. Kemudian ia kembali menatap Sean, tiba-tiba pikiran liarnya bergejolak. “Bagaimana ya rasanya jika aku bisa memiliki Sean seutuhnya? Wajahnya … tubuhnya … kekayaannya! Ah, membayangkannya saja sungguh menyenangkan!” ucap Viona dengan lantang. “Lihatlah! Putra mahkota Wiratama yang disegani semua orang! Aku dapat melihat celahnya, sesungguhnya ia hanyalah bocah kecil yang penuh luka dan kesepian. Uh malangnya!” Viona duduk di sofa di dalam ruangan Sean, sementara pria itu berdiri di dekat jendela, masih menatap Viona dengan tajam seolah macan yang akan menerka
Ronald terdiam selama beberapa saat, ia menundukkan kepalanya dan menatap lantai. Jujur saja, ia tak berani memandang wajah Sean yang diselimuti amarah dan kekecewaan yang besar itu. Bagaimana tidak, Sean yang masih memiliki secercah harapan untuk Ronald kini telah sirna.“Apa alasanmu melakukan itu, Ronald?” tukas Sean, “Berani-beraninya kamu mengkhianatiku! Menusukku dari belakang!”“Bukan begitu, Sean! Tolong dengarkan dulu penjelasanku!” ucap Ronald, “sebelumnya maafkan aku yang telah menutupi semuanya darimu, jujur itu memang salahku. Namun, aku tak bermaksud selamanya menutupi fakta ini darimu. Aku hanya melakukan penyelidikan mandiri, aku ingin mengungkap faktanya!”“Fakta? Mungkin maksudmu adalah menutupi semua kesalahan ayahmu, bukan begitu?!” Sean berjalan menuju ke samping jendela, ia menatap kendaraan yang sedang berlalu lalang di jalanan yang ramai.Sementara di sisi lain Ronald tak menjawab, karena apa yang dikatakan Sean betul, bahwa Ronald menutupi fakta bahwa ayahnya
Irwan menengadah, tak terlihat raut cemas dalam wajahnya. “Kau tak tahu apa-apa, bocah! Kau tak akan pernah tahu! Hahaha!”“Kau!” Ronald menendang kursi tersebut, membuat Irwan terjengkang. “Jangan pernah macam-macam dengan Wiratama! Atau kau akan menanggung akibatnya!”“Aku tak peduli! Hahaha!” Irwan membelalakkan matanya, raut wajahnya berubah menakutkan. Urat-urat wajahnya menegang dan tawanya menggelegar ke seluruh penjuru rumah yang kosong tanpa perabotan apapun di dalamnya. “Kau! Mau membunuhku? Aku tak takut! Wiratama? Aku tak takut pada mereka! Aku tak punya apapun yang tersisa! Ambillah! Kau ambil saja nyawaku sekalian!” pekik Irwan.Ronald mengeram, ia mengepalkan tangannya hingga buku kukunya memutih. “Baiklah, jika kau tak mau membuka suara, apa aku harus menaruhkan anak dan istrimu juga?!”“Anak istriku?” ucap Irwan, “Kau sepertinya hanya orang bodoh yang tak tahu apa-apa! Istri dan anakku yang telah meninggalkanku, mereka sudah mati tiga hari yang lalu, bodoh! Hahaha! Ka
Ronald membuka buku catatan usang itu, di dalamnya terlihat goresan tinta yang sudah setengah memudar. Ia memicingkan matanya kala mengeja sebuah nama yang sudah ia hafal betul, Mardie Setya. Di pojok kanan bawah terdapat goresan garis yang menampilkan sebuah tanda tangan. “Tunggu, bukankah ini tanda tangan Ayah?! Mengapa?!”Ronald membaca satu demi satu halaman pada buku itu, terlihat lokasi, tanggal dan tahun tertera di ujung kanan atas. Sementara di bawahnya terlihat catatan-catatan kecil mengenai kegiatan yang dilakukan. Mulanya Ronald hanya membacanya sekilas, namun tepat pada halaman ke sepuluh tertulis tanggal 11 Agustus tahun 2008, isi dari catatan itu mulai terasa aneh. Terlihat tulisan tangan yang sedikit berantakan seperti ditulis secara terburu-buru dan juga isi catatan yang memuat kata-kata keji, penuh umpatan dan juga dendam. Mardie menulis bahwa ia merasa sakit hati pada Chandra dan berniat memberi majikannya itu pelajaran. Kemudian satu minggu selanjutnya dalam catata
Tanpa terasa hari pun berlalu, Bella belum memutuskan untuk kembali ke mansion, ia masih bermalam di apartemennya. Disamping itu, ia juga sibuk menyelidiki Viona bersama Ronald setelah selesai bekerja. Mulanya Bella merasa khawatir ia takut Sean akan curiga padanya dan menyusul atau bahkan mengancamnya. Namun setelah Sean mencoba melakukan panggilan padanya kemarin, tak ada lagi kabar darinya. Bahkan Sean tak masuk hari ini, Bella yang masuk kerja seperti biasanya merasa terkejut dengan ketidakhadiran Sean yang sudah tersohor Tiran dalam pekerjaan.Bella beberapa kali memberikan report pekerjaan, mengirim jadwal dan sebagainya kepada email Sean namun suaminya itu tak membalas pesannya sama sekali. “Ada apa dengannya? Dia sungguh aneh sekali. Bahkan dia tidak menanyaiku lagi tentang alasan mengapa aku tidak kembali ke mansion, apakah karena sosok Viona itu?”“Ah sudahlah! Aku harus fokus pada acara besok yaitu perayaan hari jadi Wiratama. Persiapan sudah 90%, tinggal aku memantau ke lo
Malam hari sebelumnya Sean termenung di dalam kamar tidurnya, setelah menghabiskan makan malam yang tak menyenangkan bersama Viona, ia masih terngiang-ngiang atas ucapan wanita itu.“Sebetulnya, seberapa dalam rahasia yang wanita itu ketahui? Siapa dia?!” rutuk Sean kesal. Ia dihadapkan pada situasi kebingungan, masalah yang bertubi-tubi ditambah pekerjaan yang menumpuk dan project-project dalam waktu dekat membuat kepalanya terasa akan pecah. Di dalam keheningan malam, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Sean terperanjat, dengan cepat ia mencari ponselnya yang ia buang ke sembarang arah di atas kasur tadi. Sean berharap bahwa itu adalah panggilan dari Bella, namun nihil, ternyata itu adalah panggilan telepon dari kakeknya, Thomas.“Sean! Bagaimana persiapan hari jadi perusahaan? Jangan sampai gagal! Karena kakek akan mengundang media-media ternama dan juga para pejabat pemerintahan,” ucap Thomas dari balik telepon.Sean memijat pelipisnya yang nampak pe
Hari ini seharusnya menjadi momen bahagia bagi seorang Arabella, karena hari ini bertepatan dengan perayaan anniversarry ke dua tahun hubungannya dengan Axel, tunangannya. Namun sejak pagi Axel tak ada menghubunginya sekalipun, bahkan pria itu tak membalas satu pun panggilan yang Bella tujukan padanya. Merasa khawatir, Bella bergegas untuk mengunjungi apartemen Axel untuk memastikan kondisi pria tersebut.Selang beberapa puluh menit kemudian tibalah Bella di apartemen Axel menggunakan taxi online, ia memiliki card cadangan untuk unit apartemen tunangannya tersebut. Saat ia sudah berada di dekat pintu, sayup-sayup terdengar suara tak lazim dari dalam kamar. Bella merapatkan telinganya pada daun pintu dan benar saja, terdengar lenguhan antara sepasang pria dan Wanita yang suaranya ia hafal betul. “Axel …” gumam Bella, “tidak mungkin!” Bella mengeluarkan card untuk membuka pintu, dengan sekali dorongan ia membanting pintu dan betapa mengejutkannya, Bella melihat Axel dengan Irena yang m