"Akhirnya Mas sadar juga ...."
Setelah satu hari, pria yang ditemukan Kasih di tengah jalan dengan luka parah itu akhirnya siuman juga. Pria itu mengerjapkan mata, lalu meneliti sekeliling kamar, sebelum raut wajahnya berubah sedih. “Mana Kakek Xavi? Kakak siapa?” kata pria itu mencebik seperti bayi. Kasih yang sebenarnya masih trauma berdekatan dengan pria, kini terlihat bingung. Jika ditaksir, pria yang ditolongnya ini seharusnya sudah memasuki usia matang. Namun, kenapa barusan kalimat dan gesturnya justru seperti layaknya anak balita? Dan, kenapa juga pria itu memanggilnya Kakak?! “Namaku Kasih. S-sebentar, ya, aku panggil dokter dulu!” ujar Kasih, lalu berlari memanggil dokter jaga. Selama dokter memeriksa, tatapan pria itu tidak perlah lepas menatap Kasih. Hal itu membuat Kasih yang sebetulnya masih takut pada pria usai kejadian malam itu, menjadi gemetar dan tidak nyaman. “Bagaimana, Dok?” Kasih langsung bertanya usai dokter selesai memeriksa. Dokter itu menghela napas, lalu menjelaskan jika keadaan yang dialami pria itu adalah efek dari benturan yang cukup keras di kepalanya. Pria malang itu seolah mengalami hilang ingatan, dan memorinya kembali ke beberapa tahun silam, ketika pria itu masih kecil. Mendengar penuturan itu, Kasih mengerjap. Ia jadi bimbang, harus bagaimana. Namun, melihat pria yang sedari tadi selalu menyebut namanya Xavi itu masih saja menangis, Kasih pun tidak tega. Mengalahkan ketakutannya pada pria, Kasih akhirnya menghampiri pria itu. “Hei. Kamu … benar kamu bernama Xavi?” tanya Kasih ragu-ragu. Pria dewasa yang jiwanya bocah itu mengangguk cepat. “Xavier. Kak Sisi lihat Kakeknya Xavi, tidak? Kenapa Xavi sendirian di sini?” tanya pria itu bertubi-tubi. “Namaku bukan Sisi, tapi Kasih ... Ehm, begini, Xavier. Aku menemukanmu tergeletak di pinggir jalan.” Kasih mencoba menjelaskan situasinya, berharap Xavier mengerti. “Dan sekarang, aku harus menghubungi keluargamu. Apa kamu tahu ke mana aku harus menghubungi orang tuamu?” “Xavi sudah tidak punya orang tua.” Pria itu menunduk, dan terlihat sedih untuk sesaat, sebelum kemudian terlihat berbinar lagi. “Tapi, ada Kakek.” Melihat Xavier seolah tengah mencari sesuatu, Kasih seketika teringat pada ponsel yang dititipkan pria itu. “Kamu cari ini?” Kasih menunjukkan ponsel yang dititipkan Xavier sebelum pria itu tidak sadarkan diri. “Kamu menitipkannya padaku sebelum pingsan.” Raut wajah Xavier terlihat bingung. Namun kemudian, senyum pria itu terbit. “Terima kasih, Kak Sisi. Xavi bisa dimarahin Kakek kalau sampai ponsel ini hilang!” Dengan sebelah tangannya yang bebas dari infus, Xavier menarik tubuh Kasih ke pelukan, membuat gelenyar aneh dirasakan gadis itu. “A-ah, i-iya. Sama-sama.” Setelah perkenalan layaknya bocah itu, Kasih meminta izin pada Xavier untuk menghubungi kakeknya. Pria itu menolak untuk bicara sendiri pada kakeknya, karena takut dimarahi sebab sudah tidak pulang seharian. Akhirnya, Kasih menghubungi kakeknya Xavier, dan mengabari jika sang cucu tengah dirawat di rumah sakit yang tidak jauh dari kampungnya. “Kakekmu akan segera datang. Kalau begitu, aku pamit, ya?” Usai telepon ditutup, Kasih berencana pamit. Namun, Xavier merajuk. Pria itu terus memegangi tangan Kasih. “Nggak boleh! Kak Sisi harus tetap di sini!” tolaknya, mencegah Kasih ke mana-mana. “Tapi, kakekmu akan datang, Xavi….” Gelengan diberikan pria itu berulang kali. “Kak Sisi jahat! Xavi kan, takut sendirian.” Ia kemudian menangis lagi. Helaan napas terdengar dari Kasih. Melihat Xavier yang tingkahnya sungguh persis seperti balita yang menangis, Kasih yang pada dasarnya menyukai anak-anak jadi tidak tega. “Baiklah. Aku akan menemanimu sampai Kakek datang.” Ia melirik pada nampan yang berisi makanan di samping ranjang Xavier. “Sekarang, ayo makan dulu.” “Yeay! Yeay!! Kak Sisi baik, seperti Ibu Peri!” Xavier bertepuk tangan. Ia dengan badannya yang tinggi tegap itu bahkan melompat-lompat di atas ranjang pasien, membuat kasur itu berderit. “Astaga, Xavier, berhenti! Jangan melompat, itu berbahaya!” teriak Kasih, khawatir pria kekanakan itu jatuh. Beberapa jam merawat pria balita itu, ada saja ulah Xavier yang membuat Kasih menghela napas atau geleng-geleng kepala. Kini, mereka tengah bercanda. Rasa tidak nyaman Kasih yang diakibatkan trauma karena malam itu pun, sirna. Sebab, meski Xavier adalah pria matang dan dewasa, tingkah lakunya membuat Kasih melihatnya sebagai seorang balita. Suara tawa mereka terhenti saat pintu ruang rawat Xavier diketuk. Mereka berdua sama-sama menoleh, dan melihat figure seorang pria tua berusia sekitar 70-an masuk, diikuti seorang pria lainnya. “Kakek!!!” Xavier bersorak kegirangan, dan nyaris saja berlari jika Kasih tidak mengingatkan pria balita itu perihal infusan yang ada di tangannya. Tentu, pemandangan itu tidak lepas dari pengamatan dua orang keluarga Xavier yang kini terlihat bingung melihat tingkah sang cucu. “Kakek, sepertinya ada yang aneh dengan Xavier.” Pria yang sedari tadi diam di belakang tubuh kakek Xavier itu berbicara. “Tolong panggilkan dokter, Jer,” perintah kakek Xavier yang langsung membuat pria yang bernama Jeremy itu bergegas. “Siapa tadi, Kek? Kenapa Kakek tidak datang dengan Jo?” tanya Xavier, menunjuk ke arah pintu. “Berhenti berpura-pura, Xavier! Dia itu Jeremy, kakak sepupumu.” Xavier terlihat bingung. “Jeremy? Kenapa tua sekali?” Kakek Xavier menghela napas. Ia kemudian melirik Kasih. “Apa kamu yang tadi menghubungiku?” tanyanya. “Betul, Pak. Saya Kasih.” Gadis itu menundukkan kepalanya sejenak, memberi hormat. “Dan soal Xavier, dia memang tidak berpura-pura. Dokter sudah menjelaskannya pada saya tadi.” Di samping Kasih, Xavier terlihat senyum-senyum dan hanya menganggukkan kepala. “Saya Wibowo, kakeknya Xavier.” Kakek tua itu menatap Xavier yang terlihat begitu bahagia di samping Kasih. Cucunya itu kini terlihat senyum-senyum dan menganggukkan kepala, membenarkan keterangan Kasih. Tak lama, dokter datang dan kembali menjelaskan kondisi Xavier pada Wibowo, juga Jeremy. Mata Wibowo langsung berkaca-kaca mendengar informasi tersebut. Tatapan pria tua itu kini begitu lekat pada sang cucu yang terlihat seperti saat Xavier kecil dulu. “Sebenarnya, apa yang terjadi, Xavier?” tanya Kakek Wibowo yang lebih terdengar gumaman untuk dirinya sendiri. “Kakek, di mana Jo? Xavi mau main sama Jo, Kek ….” Xavier merengek, mencari-cari sosok Johan yang biasa menemaninya bermain. “Johan ….” Wibowo menghela napas panjang. Baru saja dia juga menerima kabar soal mobil cucunya yang terperosok di bawah jembatan. Bahkan Johan menghilang. “Johan hanyut, Xavi, dan tubuhnya masih belum ditemukan.” “Jo hanyut? Bagaimana bisa? Apa dia bermain sampai ke sungai?” Logika Xavier yang berbalik ke usia balita hanya berpikir pendek. Kedua alis Jeremy terlihat menukik, heran. “Memangnya, kamu nggak ingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan?” Xavier menggeleng dengan wajah yang mulai berkaca-kaca. Ia berpikir, Jeremy kini tengah marah-marah padanya karena ekspresi keras sepupunya itu. Pria itu lantas menarik tubuh Kasih, lalu memeluk gadis itu seolah meminta perlindungan. “Xavier, jangan begini. Tidak enak dilihat kakekmu.” Dengan lembut, Kasih mencoba melepaskan belitan tangan Xavier. “Xavi takut sama Jeremy. Tolong Xavi, Kak Sisi ….” Melihat tingkah manja Xavier pada gadis penolongnya, baik Wibowo maupun Jeremy terheran-heran. Sebab, bila Xavier kembali ke masa balitanya, pria itu pasti akan sulit didekati orang yang baru ia temui. Namun dengan Kasih, pria itu seolah mendapatkan kenyamanan. “Bagaimana ini, Jeremy?” Wibowo menoleh frustrasi pada cucunya yang lain. Jeremy menatap miris ke arah sepupunya. “Sebaiknya kita bawa saja Xavier pulang untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, Kek.” “Nggak mau! Xavi nggak mau pulang!”“Xavi, sebaiknya kamu dengerin kakekmu.” Kasih turun tangan melihat penolakan keras Xavier akan rencana kakeknya.“Nggak mau!” kukuh Xavier yang masih memeluk erat Kasih. “Jo sudah hilang, sekarang hanya Kak Sisi yang jadi teman main Xavi.”Wibowo menatap miris, tetapi ia juga mulai merasa kesal. Menghadapi Xavier yang dingin, dan keras kepala di kala dewasa nyatanya lebih mudah, dibanding menghadapi kelakuannya yang bocah seperti ini. “Tapi kamu harus segera pulang, Xavi!”“Xavi nggak mau pulang. Pokoknya Xavi mau ikut Kak Sisi, tinggal di rumah Kak Sisi.”Kasih melongo mendengarnya. Ia jadi tidak enak hati pada kakek Wibowo. “Xavier, tidak baik bersikap egois,” tutur Kasih, mencoba memberi pengertian lagi pada Xavier.Pria balita itu kembali menggeleng. Ia benar-benar tidak ingin lepas dari Kasih yang telah dianggapnya Ibu Peri, juga satu-satunya teman setelah kehilangan Johan.“Kek, gimana kalau kita bawa Kasih juga?” Tiba-tiba, Jeremy memberi usulan. “Dengan keadaan Xavier yang se
Wibowo dan Jeremy saling berpandangan. Tak mereka sangka bahwa gadis cantik itu justru mengajukan perceraian."Bercerai? Tapi itu ...." Wibowo tak habis pikir dengan syarat yang diajukan oleh Kasih.Gadis itu menggeleng pelan. Ia terlihat sudah yakin akan keputusannya. "Saya tidak bisa memaksakan pernikahan ini, Kek. Tapi jika itu untuk menyembuhkan Xavier, saya setuju. Hanya saja jika setelah dia nanti ingat semuanya, saya tidak mau memaksa kehendaknya."Ucapan Kasih begitu tulus dan serius. Wibowo dapat merasakan bahwa gadis itu sama sekali tak memiliki niatan buruk dengan keluarganya.Pria itu menghela napas berat. "Baiklah kalau kamu serius akan hal itu. Kakek akan menyetujui syaratnya. Tapi ... jika suatu saat ada hal yang berubah, Kakek juga tidak akan memaksa," tuturnya sembari menatap ke arah Xavier."Iya, Kek.""Baiklah. Karena kamu sudah setuju, nanti kita buat syarat itu di atas kertas. Kakek juga berutang nyawa Xavier padamu. Dan sekarang bersiaplah karena kita akan segera
Kasih menegakkan badannya dengan perasaan campur aduk. Dia duduk dan kembali menatap wajah suaminya."Masa sih dia...?" gumamnya dalam keheranan.Pikirannya melayang sejenak, membayangkan berbagai kemungkinan mengapa suara itu muncul. Gadis itu kaget saat mendengar suara dingin dan terkesan dewasa yang tiba-tiba memanggil nama lengkapnya. Padahal di dalam kamar itu hanya ada dirinya dan Xavier yang tertidur pulas. Apakah itu mungkin perasaan sedihnya saja?Ia kemudian menggeleng pelan, mencoba meyakinkan diri. "Aku pasti salah dengar," ujarnya pelan.Kasih kembali membaringkan tubuhnya di samping Xavier, merasa lega karena menganggap dia hanya salah dengar saja. Ia sendiri harus cukup beristirahat, meredakan kelelahan karena harus merawat bayi besar yang manja dan terus menempel padanya. Meski begitu, Kasih sama sekali tidak merasa keberatan.*Ternyata, malam pertama mereka berlalu begitu saja tanpa kejadian yang istimewa. Kasih dan Xavier sama-sama tenggelam dalam tidur yang lelap,
"Xavi ...." Mendengar namanya dipanggil dengan lembut, Xavier melepaskan pelukannya. Kasih pun memberikan senyuman padanya. Perlahan ibu jari Kasih mengusap lembut sudut bibir suaminya yang kotor. "Kamu harus nurut apa kata Kakek sama Kak Jeremy, ya? Nanti kita ke rumah sakit. Aku juga ikut, kok," bujuk Kasih dengan suara lembutnya yang penuh kasih sayang. "Tapi sakit, Sisi. Xavi nggak mau disuntik ... Biar Sisi aja yang rawat Xavi. Nggak mau kalau dokter," rengeknya terdengar menyedihkan. Kasih lagi-lagi menghela napas. "Hahhh. Xavier, pemeriksaannya nggak selalu disuntik, kok. Nanti kamu hanya diperiksa saja sama dokter, dilihat lukanya bagaimana. Jadi jangan takut, ya?" Pria bocah itu terdiam. Sebenarnya dia ingin menolak lagi, namun jika Ibu Perinya yang bicara, dirinya seolah enggan untuk menolak. "Kamu kan harus cepat sembuh, Xavi. Bukankah lebih baik kalau pas kita main kepalamu nggak sakit lagi?" Gadis cantik dengan rambut panjang dikepang satu itu kembali memberikan ala
Rasa sakit di kepalanya seperti peluru yang menembus ke otak, mungkin akibat dari berbagai ingatan buruk yang terekam di alam bawah sadarnya. Xavier terus mengerang dan Kasih memeluknya erat."Xavi ... Tenang, Xavi ...." Kasih berbisik mencoba menenangkan suaminya."Ahhh. Ahhhh." Suara embusan napas Xavier terdengar berat. Tubuh besar pria itu menggigil ketakutan."Tuan, sebaiknya jangan membahas soal kecelakaan itu dulu. Tuan Xavier sepertinya merasa terganggu," ucap sang dokter mengingatkan.Wibowo mengangguk. "Iya, Dok.""Sisi, sakit, Sisi ...." rintih Xavier terdengar pilu. Rasa sakit di kepalanya benar-benar mengganggu."Xavier, maafkan Kakek ...." tutur Wibowo tak tega melihat cucunya kesakitan seperti itu.Kasih dengan lembut mengusap kepala suaminya. Dia membisikkan kalimat-kalimat lembut yang menenangkan. Hingga beberapa saat kemudian Xavier perlahan mulai tenang. Pria bocah itu segera dibawa pulang kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan, Xavier tak melepaskan pelukannya pada
Kasih tanpa sadar mendorong tubuh suaminya. Tubuhnya gemetaran takut saat teringat dengan kejadian buruk di sebuah hotel mewah."Sisi, ada apa, Sisi?" tanya Xavier terlihat panik.Napas Kasih tersengal-sengal. Gadis itu kemudian tersadar dan kini dia melihat wajah polos Xavier yang tengah mencoba menenangkannya."Jangan takut, Sisi. Ada Xavi di sini ...." ucap pria itu dengan lembut.Kasih mengatur napasnya dan gadis itu mulai tenang. Kedua mata dia pejamkan sejenak. Samar-samar tercium aroma wangi bunga mawar yang begitu dekat dengannya. Kasih membuka kedua matanya lagi lalu dia menyentuh bagian atas telinga kanannya.'Ternyata dia hanya menyematkan bunga mawar ini ....' gumamnya dalam hati. Merasa tersentuh dengan tindakan bocah Xavier."Sisi?" panggil Xavier lagi karena istrinya hanya diam saja."Ah ... Aku nggak papa, Xavi. Aku hanya kaget. Ternyata kamu mau memasangkan bunga ini, ya?" tanya gadis itu."Iya, Sisi." Xavier mengangguk. "Sisi terlihat cantik kalau ada mawarnya," puji
"Xavi ...!" Terdengar Kasih berteriak di dalam kamarnya. Gadis itu berlari menghampiri Xavier yang malah tertawa kegirangan. Suasana di dalam kamar pun cukup gaduh. Suara langkah kaki terdengar begitu jelas milik pasangan suami istri yang tak biasa tersebut."Xavi, berhenti!" seru Kasih lagi."Tangkap aku!" Xavier malah meledek istrinya. Pria itu tanpa diduga membuka pintu kamar dan berlari kabur, menghindar dari kejaran Kasih."Astaga ...." Kasih menghela napas. Gadis itu harus menyusul suaminya. Jika Xavier bertubuh kecil, mungkin saja ia bisa mengejarnya. Namun pria itu bertubuh bongsor dan juga memiliki otot-otot atletis. Meski pikirannya anak-anak, tapi kekuatannya sama dengan satu orang pria dewasa.Suara langkah kaki yang berlarian kini terdengar menuruni anak-anak tangga. Xavier terus tertawa. "Xavi! Jangan lari di tangga!" teriak Kasih. Ia khawatir jika suaminya jatuh dari tangga. Bisa semakin parah nanti luka di kepalanya yang baru saja sembuh.Xavier malah meledek istriny
"Kasih, jangan menolak." Wibowo kembali membujuk."Tapi, Kakek. Biaya kuliah di kampus Bhumi Raya mahal. Sebenarnya saya pernah mendapatkan beasiswa di sana, hanya saja saya gagal mendapatkannya," cicit Kasih merasa tak enak hati. Ia sudah hidup enak di rumah mewah Xavier dengan segala fasilitasnya, dan jika harus berkuliah dengan biaya Kakek Wibowo, itu hal yang menurutnya berlebihan untuk membalas budi.Wibowo mengerti sekarang. Cucu menantunya bukanlah gadis yang mengincar kekayaan suaminya. Pria itu pun memiliki sebuah ide. "Jangan khawatir, Kasih. Kuliahmu ditanggung dengan beasiswa. Jadi isi saja data dirimu dan pilihlah jurusan yang kamu inginkan," bujuk pria tua itu lagi.Kasih diam memikirkan jawaban atas tawaran tersebut. "Jadi saya akan mendapatkan beasiswa?"Wibowo mengangguk membenarkan."Ka-kalau begitu baiklah, Kakek. Saya akan mengisi data ini dan menyerahkannya ke Kakek," ucap Kasih akhirnya setuju."Jadi Sisi mau kuliah?" tanya Xavier sembari menatap wajah cantik ist
Beberapa hari telah berlalu. Di kediaman Xavier dan Kasih sudah mulai kembali tenang. Kali ini Xavier tak akan membiarkan siapa pun menyentuh keluarganya."Kakek dengar kamu diculik, Kasih. Bagaimana keadaanmu?" tanya Wibowo di sela-sela makan malam yang diadakan di kediaman Xavier."Aku baik-baik saja, Kek," sahut Kasih sembari tersenyum."Benarkah?""Iya. Kakek jangan khawatir. Xavi selalu menjagaku dengan baik. Bahkan pelakunya sudah ditangkap," jawab wanita cantik itu."Syukurlah kalau begitu." Wibowo terlihat lega mendengarnya. Pria itu kemudian menatap sang cucu."Kakek tidak perlu khawatir. Orang-orang yang telah berani menyentuh Kasih sudah berada di tempat yang benar," ujarnya dengan tatapan tegasnya.Wibowo mengangguk. "Kakek percaya padamu, Xavier. Kamu ternyata benar-benar mirip dengan ayahmu. Sampai akhir hayat pun William melindungi ibumu dengan baik. Meski akhirnya takdir berkata lain dan Tuhan mempersatukan mereka di tempat yang baru," paparnya teringat dengan sang put
Xavier pulang dari kantornya dengan ekspresi lesu. Pria itu langsung mencari sang istri yang tengah duduk di taman belakang, menikmati suasana sore yang indah."Sayang," panggil Xavier yang berjalan mendekati istrinya."Ah ... Xavi ...." sahut Kasih dengan senyuman cerah yang langsung menghangatkan hati sang pria dingin."Aku mencarimu, ternyata kamu di sini," ucap pria tampan itu yang kemudian duduk di sebelah Kasih."Aku hanya sedang menikmati waktu senggang ku, Xavi. Dan kamu sudah mandi?""Kenapa? Apa kamu mau memandikanku?" goda Xavier. Pria itu kemudian memeluk dan mencium pipi Kasih dengan lembut."Haha. Kamu kan sudah besar, Xavi.""Iya, iya. Aku sudah besar. Dan sebentar lagi aku akan memiliki anak denganmu," bisiknya sembari mengusap lembut perut Kasih yang terasa semakin membesar."Iya. Semoga anak kita sehat, ya, Xavi?""Aamiin."Kasih menoleh menatap wajah suaminya. "Tapi sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa wajahmu terlihat murung?" tanyanya sembari mengusap pipi Xavier d
Kejadian penculikan tersebut membuat Xavier semakin posesif pada istrinya. Pria itu kini meminta orang kepercayaannya untuk mengawasi Kasih di mana pun wanita itu berada."Pokoknya jangan sampai kalian mengalihkan perhatian kalian dari istriku! Kalian harus bisa melindunginya! Aku juga sudah membayar kalian untuk bekerja dengan benar!" tegas Xavier sebelum pria itu memasuki mobilnya."Baik, Tuan," jawab dua orang bodyguard yang diberi tugas dengan patuh."Xavi ... Apakah masih lama?" tanya Kasih yang sudah duduk menunggu di dalam mobil."Ah. Tidak. Aku segera ke sana," ucap Xavier. Lalu pria itu kembali menatap kedua bodyguard-nya. "Dan satu hal lagi. Tangkap orang yang bekerja sama dengan perempuan kurang ajar itu!""Baik, Tuan."Setelah mendengar jawaban dari dua bodyguard-nya, Xavier segera masuk ke dalam mobil. Pria itu akan memastikan istrinya baik-baik saja saat tiba di kampus. Untuk sementara, Xavier masih mencari keberadaan pelaku lain di balik penculikan istrinya. Setidaknya
Kasih mencoba melepaskan ikatannya. Sejak tadi ia tidak melawan karena takut pada keadaan kehamilannya. Namun ternyata Arina memilih nekat."Jangan macam-macam!" seru Kasih."Kenapa? Kamu takut? Nyatanya suami kamu nggak dateng, tuh. Lagian ... Siapa juga yang mau sama cewek bekas," cela Arina merendahkan sepupu tirinya lagi."Ughhh ...."Gadis itu berjalan semakin mendekat. Saat itu juga, tanpa mereka berdua sadari, datanglah segerombolan orang."Berhenti di situ!" Suara tegas dan dingin itu terdengar dari arah pintu masuk.Xavier datang tepat waktu. Pria itu pun berlari menerjang Arina dan berhasil menjauhkannya dari Kasih yang masih terikat."Argh!" Arina memekik kesakitan saat tubuhnya yang lebih kecil didorong dengan kuat. Lalu datanglah beberapa orang lagi yang mulai menangkapnya."Lepas!" teriaknya mencoba melepaskan diri.Sementara Xavier berhasil melepaskan istrinya dan segera menggendong wanita itu dengan kedua tangannya."Bawa dia dan kita akan memberikan hukuman yang setim
"Tahan Nona Kasih dan mintalah orang di rumah untuk membawakan mobil lain ...." pinta sang sopriypribadi Xavier. Dari suaranya terdengar ia sedang kesakitan."A-apa?! Jadi yang barusan ...." gumam sang bodyguard mulai panik. "Sial!" umpatnya."Selamatkan Nona Kasih ...." ucap sang sopir lagi."Baiklah. Kamu juga bertahanlah dan minta bantuan yang lain. Aku akan segera menghubungi yang lainnya untuk mencari mobil itu dan menyelamatkan Nona!" serunya.Setelah mendapatkan laporan tersebut, mereka segera mencari keberadaan mobil sang Nona Muda. Laporan pun terdengar sampai ke telinga Xavier dengan cepat."Berengsek! Aku tidak akan mengampuni siapa pun yang melukai istriku! Segera tangkap orang itu!" titah Xavier dengan amarah yang memuncak.Pria tampan itu segera bangkit dari tempat duduknya untuk ikut mencari keberadaan Kasih. Beberapa anak buahnya pun dikerahkan untuk mencari keberadaan mobil yang ditugaskan untuk menjemput sang istri."Sialan! Bagaimana bisa kalian kecolongan seperti i
"Sisi, ini hari terakhir kamu ujian, kan?" tanya Xavier saat dia dan Kasih sedang bersiap di dalam kamar."Iya. Kenapa?" tanya wanita itu sembari mengepang rambutnya yang panjang dan hitam.Xavier berjalan mendekat. Pria itu kemudian berlutut di samping sang istri yang sedang duduk di depan meja rias."Nanti malam kita makan di restoran biasa, ya?" ajak pria itu dengan senyuman lembut yang memesona.Kasih segera memasang pita merah muda di ujung rambutnya. Wanita itu pun tersenyum tak kalah manis. "Iya.""Bagus." Xavier meraih tangan sang istri dan menempelkannya pada salah satu pipi. Diciumnya telapak tangan yang halus itu dengan lembut."Xavi ... Kamu kebiasaan, deh," protes Kasih merasa geli. Ada rasa basah di telapak tangannya."Memangnya kenapa? Aku hanya melakukan ini denganmu," sahut Xavier yang kemudian mencium punggung tangan istrinya."Dasar, Om!" ejek wanita itu.Salah satu alis Xavier terangkat. "Apa maksudmu meledekku lagi, ha? Apa kamu sengaja mau dihukum pagi ini dan ng
"Tapi harganya ...." gumam Kasih, tak bisa berhenti memikirkan harga perhiasan yang baru saja diberikan suaminya. Dia merasa takut karena perhiasan itu terlalu mahal baginya.Xavier hanya terkekeh melihat reaksi istri kecilnya yang terlihat begitu lucu dalam kebingungan. "Jangan khawatir, Sayang," ujarnya dengan lembut. "Aku tidak akan jatuh miskin hanya dengan membelikanmu kalung dan anting ini. Lagi pula, perhiasan ini sebenarnya tak ada apa-apanya dibanding jasamu yang telah menyelamatkan nyawaku sebanyak dua kali."Terbayanglah dalam benak Kasih saat ia memberanikan diri menolong Xavier dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Serta saat ia dengan nekat merebut racun pada minuman Xavier dan meneguknya."Tapi aku ikhlas melakukannya ...." sahut Kasih. Dia tak suka jika suaminya hanya berbuat baik karena ingin membalas budi saja."Iya, aku mengerti. Jadi jangan sungkan, Sisi. Mintalah padaku apa pun yang kamu mau. Aku pasti akan menurutinya," ucap Xavier sembari memeluk Kasih
"Jadi ... Kita mau ke mana?" tanya Kasih saat dalam perjalanan pulangnya dari kampus. Sang suami dengan sengaja menjemputnya."Ikut saja," jawab Xavier dengan sebuah senyuman misterius.Kasih menaikkan kedua alisnya. "Baiklah. Aku akan menurut saja," sahutnya.Mobil membawa keduanya ke sebuah toko perhiasan terbesar di kota. Kasih menoleh menatap sang suami saat mobil sudah mulai memasuki area parkir."Beli perhiasan?" tanya Kasih.Xavier menjawab dengan anggukan. "Ya. Ayo!" ajaknya sembari mengulurkan tangannya.Pasangan itu kembali menjadi pusat perhatian ketika berjalan memasuki toko perhiasan. Sambutan hangat pun diterima mulai dari pintu depan."Salamat datang, Tuan dan Nona," sambut sang manajer toko."Hm." Xavier membalas dengan anggukan."Silakan. Ada yang bisa saya bantu?" ucap pria berusia sekitar empat puluh tahunan itu dengan ramah."Aku mau membelikan perhiasan untuk istriku," jawab Xavier yang seperti biasa, selalu tegas dan dingin pada orang lain."Anda tepat sekali dat
Sebuah helaan napas terdengar dari mulut Xavier. Dia sadar bahwa sudah tidak ada jalan keluar selain jujur pada kakeknya."Itu benar, Kek," ucapnya dengan suara yang berat, tanpa berani menatap bola mata Wibowo yang tajam. Dia tahu betul bahwa kebenaran ini akan melukai hati kakeknya. Tapi, apa daya? Xavier tak ingin terus menyimpan rahasia dan berbohong pada orang yang telah membesarkannya semenjak kedua orang tuanya tiada.Sementara itu, Wibowo tampak kaget mendengar pengakuan dari cucunya. Namun, pria tua itu mencoba untuk tidak kehilangan kendali dan berusaha tetap tenang di hadapan Xavier."Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dan di mana wanita itu? Apa benar dia kekasihmu?" tanya sang kakek lagi terdengar pilu.Xavier lagi-lagi menghela napas. Pria itu menatap layar tablet sang kakek lalu menggeser pada foto sprei yang terdapat noda merah."Dia bukan kekasihku ... Di waktu itu ...." jawabnya.Kedua alis Wibowo saling bertaut. "Apa maksud kamu?"X