Dua jam usai kepergian Xavier, perlahan Kasih mulai menggeliat. Ia membuka kedua matanya, dan mendapati cahaya yang masuk menerobos tirai di satu sisi kamar.“Ugh, di mana ini?” Gadis itu mengucek matanya perlahan. Rasa kantuk yang semalam menggelayutinya mulai hilang usai tidur malam yang sangat panjang.Namun, entah kenapa, Kasih justru merasakan tubuhnya begitu kelelahan, seperti ia habis melalui olahraga berat semalam.Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengingat-ingat, apa yang terjadi semalam hingga….“Ya ampun!” ia terpekik ketika mendapati tubuhnya sudah polos tak berpakaian. Tidak langsung mempercayai penilaiannya, ia pun lantas bergerak, hendak memeriksa sprei yang ditidurinya.“Ahh!” Ringisan keluar dari bibirnya, mana kala merasakan sakit di bagian pangkal paha.Kesadaran Kasih mulai sepenuhnya kembali. Mendadak, ia mulai ketakutan. Bayang-bayang kejadian tak menyenangkan, di mana ia dikepung tiga pria asing semalam kembali terbayang.“Apa yang….” Kasih membungkam mulutnya sendir
"Kamu mungkin tidak ingat, karena dalam kondisi mabuk di sini, Kasih!”Seseorang berteriak lagi, menentang keyakinan Kasih yang kukuh bila ia difitnah.“Baru juga lulus SMA, sudah mabuk-mabukan! Bukankah katanya dia siswa berprestasi dan dapat beasiswa? Apa sekolahnya tidak tahu, kalau tenyata siswa kebanggaannya justru mencoreng nama baik sekolah?”Kasih langsung menoleh ke arah orang yang berbicara kalimat barusan. Dengan mata berkaca-kaca, ia masih mencoba membela diri. "Tapi, Bu ... Saya tidak mabuk. Saya bahkan tidak pernah menyentuh alkohol sedikit pun."Tanpa diduga, Bulik kemudian mendengus. “Alah, nggak usah membela diri, Kasih! Lagaknya kayak nggak pernah minum-minum!” Wanita setengah baya itu langsung menatap para tetangga. “Padahal setiap malam dia mabuk-mabukan. Saya sendiri yang sering memergokinya.”"Bulik ...." Kasih menoleh dengan tatapan kaget. Mengapa buliknya malah menambahkan berita bohong tersebut? Kepalanya menggeleng cepat. "Kenapa Bulik bohong!”"Kamu yang bohong!”
Seolah diburu-buru, hari itu juga Kasih langsung diminta keluar oleh keluarga buliknya.“Huh, menyusahkan!” keluh Arina yang kini menyeret koper besar berisi pakaian dan barang-barang Kasih. Ia lalu melemparkan koper besar itu ke arah Kasih. "Nih, barang-barangmu. Sekarang, cepat pergi dari sini!" Kasih masih bersedih, terlebih, ia tidak menyangka jika keluarga buliknya nampak kompak untuk mengusirnya. "Jujurlah padaku, Rin. Bukankah kamu sendiri yang menjebakku?" ungkap Kasih dengan pandangan nanar.Arina melipat kedua tangannya di depan dada. "Jangan sembarangan. Aku hanya ikut merayakan ulang tahunmu saja," jawabnya ketus dan tentunya tak mau disalahkan."Kamu jangan berbohong, Arina! Gara-gara kamu–""Diam kamu, Kasih! Dasar anak nggak tahu diri. Masih untung kamu itu nggak mencelakai Arina. Sekarang juga, kamu pergi dari sini sebelum para warga menyeretmu dengan paksa!" bentak Nilam dengan tatapan matanya yang melotot. Wanita itu tidak terima anak kesayangannya dihina keponakan yang
"Rin. Kenapa belum berangkat ...?" Nilam menyusul putrinya karena mendengar suara. Namun, ucapannya terjeda ketika melihat dua orang pria asing yang tak dikenal berdiri di depan rumah. "Eh? Ada tamu? Cari siapa, Mas?" tanya Nilam berubah ramah. Xavier beralih menatap wanita paruh baya di hadapannya. Tatapannya masih saja tajam. "Bu, mereka mencari Kasih," bisik Arina pada sang ibu. Nilam membulatkan kedua matanya lalu menatap kembali pada dua pria asing itu. "Oh. Mencari Kasih? Tapi ... Kasih sudah tidak tinggal di sini ...." jawabnya dengan senyuman ramah. Mencoba menutupi kegelisahannya karena telah berhasil mengusir sang keponakan. Xavier tak merubah ekspresi wajahnya yang dingin. "Di mana dia sekarang?" Nilam gelagapan. Tampak wajah itu mulai memucat. Aura menyeramkan yang terpancar dari pria tampan berjas hitam itu begitu kuat dirasakan. Belum pernah sebelumnya Nilam bertemu dengan seseorang beraura menyeramkan seperti itu. "Ah. Emmm. Apa tidak se-sebaiknya Anda berdua masu