“Kamu cerai dari suamimu, Maya.”Aku tersentak!! Kenapa Ayah bisa memintaku melakukan hal itu? Apa ada sesuatu yang sedang disembunyikan Ayah dariku?“Kamu bisa kan penuhi permintaan ayahmu ini?” Tatapan mata sayu, sendu, penuh dengan keibaan akan sebuah jawaban yang memberi harapan jelas kulihat di wajah ayahku. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Kenapa aku seperti orang bodoh di keluargaku sendiri?“Jawab Maya! Kenapa diam saja?” lengkingan suara mamaku mengejutkanku.“Itu … Maya tak bisa menjawabnya sekarang, Ayah. Sebaiknya Ayah jangan terlalu banyak berpikir biar Ayah cepat sehat.” Ujarku hendak kembali menidurkan Ayah.“Tidak, kamu harus berjanji akan cerai dari Dendi Maya! Harus! Tolong penuhi permintaan terakhir ayahmu ini.” Cengkeraman ayahku semakin kuat dan jemari dinginnya seolah memberitahuku akan usia yang mungkin tak lama lagi baginya.“A-Ayah ….”“Maya, tolong penuhi permintaan Ayah, Nak. Ayah tak mau kamu terluka dan menderita.”Aku semakin bingung, antara harus men
“Bu-ibu, liat itu suaminya Mbak Maya lagi nyapu teras. Saya kok nggak habis pikir ya, Mbak Maya kan cantik, pintar, dari keluarga mapan, orang tuanya juga terpandang di sini. Tapi kok mau-maunya nikah sama suami orang! Maksudnya bekas suami sahabatnya.""Bu Joko hati-hati kalau ngomong. Tidak enak kalau sampai terdengar Mbak Maya. Dia baik orangnya nggak pernah nyenggol orang lain."Itulah gunjingan-gunjingan yang selalu kudengar hampir tiap pagi ketika membeli sayuran di tukang sayur keliling yang biasa mangkal di dekat rumah kami.Namaku Maya Damayanti, wanita yang bersuamikan bekas suami sahabatku, Tantri. Dan karena kata bekas itulah satu per satu masalah mulai menghampiriku."Mas kamu nggak kerja? Udah jam delapan ini," ujarku menghampiri mas Dendi yang masih asyik memegang gagang sapu membersihkan teras rumah kecil kami."Nantilah, Sayang. Baru jam delapan, belum jam sepuluh," kekehnya melanjutkan kembali kegiatannya.Entah apa yang Tantri pikirkan sampai-sampai ia meminta cer
“Aku berangkat dulu, Sayang. Udah nggak usah kamu pikirkan ucapan para ibu-ibu. Kan mereka memang seperti itu dari sananya.”'Kamu ngomong enak, Mas. Tapi aku yang kesel! Kaya suami mereka baik dan ganteng aja!’“Iya, Mas. Aku ngerti kok. Mas hati-hati di jalan, ya. kabari kalo sudah sampai kantor.”“Iya, Sayang. Mas jalan dulu, ya. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”“Lho, ketoprak Mas Dendi kok nggak dibawa?” kulihat bungkusan plastik putih dan kertas nasi bungkus masih utuh tergeletak di meja ruang tamu. “Kubawa saja dulu, nanti aku mampir ke kantor Mas Dendi saat di luar.”“Eh, Mbak Maya nggak diantar suami?”Celetukan seorang tetanggaku yang sedang membeli sayuran menghentikan langkahku.“Enggak, Bu. Mas Dendi sudah pergi lebih dulu,” sahutku ramah.“Makanya, minta beliin motor dong sama suaminya, Mbak Maya. Harga motor kan udah murah, masa DP lima ratus ribu aja suaminya nggak bisa.”Sabar … sabar … istighfar … istighfar, Maya …. batinku menahan kesal karena mulut lambe turah te
“Tantri?” ucapku dan Mas Dendi bersamaan. Kami saling tukar pandang, Tantri, sahabat sekaligus mantan istri Mas Dendi tiba-tiba saja hadir di depan kami.“Hei, kalian apa kabar? Duh, udah lama banget ya kita nggak ketemu, ada lima tahun?” Tantri sepertinya tak berubah, ia masih tetap sama, cerewet dan gaspol.“Baik, kamu gimana juga kabarnya, Tan? Makin sukses aja, ya.” Ucap Mas Dendi merangkul ku, aku agak terkejut kenapa tiba-tiba dirangkul. Tapi, ah, sudahlah. Mungkin ia ingin menjaga perasaanku.“Maya, kamu makin kurus aja. Nggak dikasih makan apa sama Dendi. Heh, Dendi! Cukup aku aja, ya yang menderita. Jangan sahabatku!” protes Tantri memicing.“Eh … eh, enggak kok, Mas Dendi nyukupin kebutuhan aku, bahkan sangat berlebih. Udah, kamu nggak perlu khawatir, Tan. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kapan balik ke Indonesia?” tanyaku mengalihkan ucapan Tantri yang sangat memojokkan suamiku.“Kemarin. Sekarang lagi ada urusan di sini.” Kepala sahabatku menoleh ke gedung Naga Mas Abadi.Bukan
Hari ini aku mengayun langkahku ke kantor lebih awal dari biasanya. Mas Dendi pun berangkat lebih awal karena harus kembali ke Bogor urusan izin pertambangan. Kulihat, ibu-ibu yang biasa nongkrong di tukang sayur dekat rumahku sama sekali tak ada. Hah, sungguh indah sekali hari ini. Hati tenang, kuping aman, kerjaan pun jadi senang.“May, kamu dipanggil Bu Melanie tuh.”Salah seorang rekan kerjaku tiba-tiba menghampiriku saat baru saja aku meletakkan tas.Udah dateng? Cepet banget. Kulihat jam di dinding kantor pukul 08.45 menit. Padahal masih ada waktu 15 menit lagi untuk masuk. Ada apa, ya?“Pagi, Bu.” Salahku sambil menundukkan sedikit kepala sebagai rasa hormat.“Duduk!” Aku menelan saliva ku, kenapa nada bicaranya judes sekali? “Iya, Bu. Ada apa, ya?” tanyaku beranikan diri.“Bagaimana? Apa kamu sudah bicara dengan suamimu?” “S-sudah, Bu.”“Lalu, katanya?”“Akan diusahakan, Bu. Karena suami saya juga tidak ke kantor hari ini. Dia ke Bogor, ada kerjaan,”“Oh my God!!!” Bosku se
Rasa penasaranku tetap tak bisa hilang, kutelepon kembali suamiku, tapi ponselnya lagi-lagi belum aktif. “Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”“Eh, Bu Joko. Mari masuk, Bu.” Pintu rumahku kubuka lebar, menyambut tetanggaku yang sering menggunjingkan diriku.“Nggak usah, Mbak Maya. Di luar aja.” Ucap wanita yang sering pamer emasnya yang berentet layaknya toko mas berjalan. “Tadi ada yang nyariin Mbak Maya.”“Nyariin saya, Bu? Siapa?”“Nggak tahu, dua orang. Pakai jaket hitam, tinggi-tinggi lagi dan tampangnya … hiiiyy, serem,” ujar wanita ini dengan gaya lebay-nya.Jangan-jangan debt collector, batinku.“Terima kasih atas informasinya, Bu Joko. Mungkin itu teman saya yang sedang ingin bertamu, tapi sayanya nggak ada,” kilahku.“Oh, gitu. Ya, saya, sih cuma nyampein aja, Mbak.” Wanita ini dengan cepat memalingkan wajahnya sambil kipas-kipas dengan salah satu tangannya.“Yasudah, saya pulang dulu, ya, Mbak. Cuma mau sampaikan itu akan kok. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam, hmmm …. teta
“M-Mas … marah, ya?” tanyaku takut-takut.“Kenapa mesti marah? Toh, kamu pakai dana itu untuk hal yang sangat penting. Nggak apa-apa, pakai aja uang cadangan kita, toh kita bisa mengumpulkannya lagi. Yang terpenting sekarang, Bapak sembuh dan sehat.” “Kamu nggak marah, Mas? Beneran?” tanyaku lagi, memastikan jika apa yang telingaku dengar nggak salah.“Iya, nggak apa-apa, kok. Sangat tidak apa-apa, malah aku bersyukur uang cadangan kita kamu gunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat.” “Mas, boleh aku tanya sesuatu?” Terdiam sejenak, kepalaku berusaha menata kalimat yang tak membuat Mas Dendi tersinggung atau terintimidasi. “Kok malah diam. Katanya tadi mau tanya? Tanyalah, nggak perlu banyak berpikir, Maya.”“Mas berapa lama, sih kerja di Naga Mas Abadi?” tanyaku untuk memancing.“Sekitar tiga tahun. Kenapa?”“Tadi tuh aku ke kantor Mas Dendi. Terus kutanya tapi nggak ada yang tahu nama kamu. Aku kan jadi bingung, sebenarnya Mas kerja di perusahaan itu apa enggak?”Mas Dendi s
Beberapa hari sudah Bapak berada di rumah sakit. Dan selama itu pula ibuku selalu menghubungiku atau mengirim pesan supaya dibelikan makanan, minuman, dibawakan baju, serta barang-barang lainnya yang sebenarnya bisa dilimpahkan ke adikku. Pekerjaanku pun menjadi tak keurus karena harus bolak-balik rumah sakit, sementara Mas Dendi sekarang sering ke luar kota karena urusan izin pertambangan dan survey lapangan.“Maya, kamu belum kirim uang juga untuk adikmu? Dia sudah mau ujian, kenapa belum kirim?”“Nanti Maya kirim, Bu. Tapi tidak sekarang, keperluan Maya juga banyak,” ujarku saat menjenguk Bapak.“Alasan! Bilang aja kalau kamu nggak mau keluar uang untuk adikmu! Ingat ya, Maya! Kami, Bapak dan Ibu sudah keluar uang banyak untuk menikahkan kamu dengan Dendi! Jadi, sudah sepatutnya uang yang kamu terima dari Dendi digunakan untuk membantu keluargamu!”“Astagfirullah, Ibu … kenapa Ibu bisa ngomong begitu? Jadi, Ibu menikahkan Maya dengan Mas Dendi karena terpaksa?” Emosiku benar-benar
“Kamu cerai dari suamimu, Maya.”Aku tersentak!! Kenapa Ayah bisa memintaku melakukan hal itu? Apa ada sesuatu yang sedang disembunyikan Ayah dariku?“Kamu bisa kan penuhi permintaan ayahmu ini?” Tatapan mata sayu, sendu, penuh dengan keibaan akan sebuah jawaban yang memberi harapan jelas kulihat di wajah ayahku. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Kenapa aku seperti orang bodoh di keluargaku sendiri?“Jawab Maya! Kenapa diam saja?” lengkingan suara mamaku mengejutkanku.“Itu … Maya tak bisa menjawabnya sekarang, Ayah. Sebaiknya Ayah jangan terlalu banyak berpikir biar Ayah cepat sehat.” Ujarku hendak kembali menidurkan Ayah.“Tidak, kamu harus berjanji akan cerai dari Dendi Maya! Harus! Tolong penuhi permintaan terakhir ayahmu ini.” Cengkeraman ayahku semakin kuat dan jemari dinginnya seolah memberitahuku akan usia yang mungkin tak lama lagi baginya.“A-Ayah ….”“Maya, tolong penuhi permintaan Ayah, Nak. Ayah tak mau kamu terluka dan menderita.”Aku semakin bingung, antara harus men
Aku tiba di depan rumah setelah setengah jam berada di atas aspal. Kulihat, rumahku tampak sepi seperti biasa tapi kenapa perasaanku semakin tak enak?“Makasih, Nan. Kamu mending balik aja ke kantor. Toh percuma kalau kamu tetap keluar, nggak ada yang akan backing kamu,” ucapku perlahn turun dari mobil.“Iya, Mbak. Saya juga rencana mau langsung balik ke kantor karena ada beberapa video yang harus diedit.”Aku mengangguk dan tak lama Adnan meninggalkanku. Napasku sangat sesak dan berat, entah sudah berapa lama aku tak menginjakkan kaki di rumah ini. Semenjak menikah, baru dua kali aku menyambangi rumah di mana aku dilahirkan.Bismillah, semoga tak ada apa-apa.Saat kubuka pagar besi pendek yang mulai karatan, terdengar lengkingan suara mamaku yang terdengar parau memanggil ayahku. Tanpa pikir panjang aku masuk dan melihat ayahku sedang digotong oleh mama dan adikku, Gita.“Astagfirullah, Ayah!” aku pun segera membantu menggotong ayahku ke tempat tidur.“Ayah ini bandel banget, sih kal
Mas Dendi terbelalak mendengar ucapanku. Ia dengan segera turun dari motor dan menarik tanganku.“Apaan, sih, Mas! Sakit tahu!” keluhku mencoba melepaskan tangannya.“Bilang sekali lagi!” sentaknya.“Bilang apa?” tanyaku mengalihkan pandangan.“Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut kamu, Maya!”Belum pernah aku mendengar Mas Dendi meninggikan suaranya padaku. Tapi malam ini, lengkingan suaranya benar-benar membuatku terpukul. Kenapa dia bisa bisa bicara seperti itu? Apakah aku salah jika punya pikiran aneh-aneh? Apa aku tak boleh cemburu melihat kedekatan mereka, walau aku tahu dulu mereka adalah suami dan istri, tapi hati ini tetap sakit.“Aku ingin pulang, aku lelah, Mas.” Tak ada jawaban dari suamiku. Ia langsung menyalakan kembali motornya dan menggas cukup kencang, meski bukan knalpot brong, tapi suaranya cukup mengganggu.Semoga aku selamat sampai di rumah. Mas Dendi benar-benar marah tampaknya.Benar saja, belum juga aku berpegangan pada pinggang suamiku, ia sudah tancap
“Ayo dimakan, kok cuma diliatin aja, sih. May, kamu mau yang mana? Kuambilkan, ya?” Tantri bersiap menyendokkan nasi untukku. Tapi kutolak halus karena aku tak terbiasa dilayani.“Nggak usah, Tan. Kamu kayak nggak kenal aku aja.” Senyumku.“Iya, aku tahu kamu wanita mandiri. Tapi malam ini kamu kan tamuku, jadi wajar dong kalau aku melayanimu … kalian.” Liriknya ke arah Mas Dendi yang sedari tadi mengetik di gawainya, sepertinya sedang membalas pesan yang tak henti-hentinya masuk.“Nggak apa-apa, Tan. Nanti aja, lagipula aku menunggu Mas Dendi,” ujarku melirik suamiku.“Ah, dia mah kalau udah workaholic susah, May. Dulu, aku sampai kesal karena harus nahan lapar nunggu dia selesai balas pesan, ya sama kaya gini situasinya.”Eh, apa aku nggak salah dengar kata-kata Tantri barusan. Dia … menceritakan pernikahannya yang telah kandas dengan Mas Dendi? batinku rasanya terkoyak, tercabik! Entah apa maksud Tantri mengatakan hal itu.“Kan bukan mauku kamu nunggu aku selesai dengan pekerjaanku
Keesokan paginya, aku bangun lebih dulu. Wanti-wanti jika Mas Dendi pergi seperti kemarin. Kutengok sebelah kiriku, suamiku masih terlelap di alam mimpinya, meski sudah masuk adzan Subuh.“Mas … Mas, bangun. Udah Subuh.” Kugoyangkan tubuhnya pelan.Hanya geliat pelan tubuh Mas Dendi yang merespon. Ya sudahlah, mungkin dia masih sangat lelah, maklum, orang lapangan. Kuputuskan untuk sholat lebih dulu baru kubangunkan suamiku.Qomat mulai memanggil untuk segera menunaikan Subuh. Sekitar 20 menit aku sholat, kini Mas Dendi harus bangun dan sholat. Aku memang tak sholat di kamar, karena terlalu sempit, biasanya kami sholat di ruang tamu. Saat hendak membuka pintu kamar, kudengar Mas Dendi sedang bicara dan aku yakin lewat ponsel. Tak ingin menguping, tapi aku penasaran apa yang sedang dibicarakan oleh suamiku.“Ya, tenanglah. Aku pasti akan datang.” Siapa yang menghubungi Mas Dendi pagi-pagi buta?“Mas, kamu udah bangun belum?” tanyaku langsung masuk kamar.“Eh, oh, M-Maya ….” suamiku te
“T-tidak mungkin!” Aku membulatkan kedua mata. Bukan suamiku yang keluar dari dalam mobilnya. Tapi seorang laki-laki muda nan tampan seperti Adnan.“Siapa dia, Tantri?” tanyaku yang juga ditanyakan para pencari berita.“Oh, kenalkan semua. Namanya Egi, dia adalah anak didikku yang akan segera go public. Tadinya, aku ingin mengadakan pers konferensi, tapi ternyata kuping serta mata kalian sangat jeli dan tajam, ya,” jelas Tantri sambil terkekeh.Ada rasa puas saat aku tahu suamiku tak bersama dengan Tantri dalam satu mobil. Lega rasanya, tapi aku juga penasaran apa yang mereka bicarakan sampai-sampai Mas Dendi sangat terburu-buru.“Kamu ada waktu, May besok malam?” tanya Tantri memegang jemariku tiba-tiba.“Kenapa?” tanyaku agak dingin.“Aku ingin mengundang kalian makan malam di rumahku besok.”Aku terdiam. Lama sudah aku tak menginjakkan kaki di rumah mewah Tantri, terakhir yang kuingat rumah mewahnya kusambangi saat ia menikah dengan Mas Dendi. Tapi, ada angin apa tiba-tiba Tantri
Otak dan tanganku benar-benar tak bisa diajak kerjasama hari ini! Pekerjaanku kacau! Beberapa kali kesalahan yang harusnya tak kubuat malah banyak kulakukan. Berapa kali mataku melihat gawaimu demi menanti kabar Mas Dendi. “Mbak Maya, ini laporan yang Mbak Maya minta.” Adnan memberikanku setumpuk kertas yang entah apa isinya. “Mbak Maya … Mbak Maya!”“Apaan sih! Berisik!” sentakku ke Adnan.Laki-laki bujangan yang usianya tak jauh denganku itu langsung terkejut dan hampir jantungan.“Astaghfirullah, Mbak Maya. S-saya salah apa, kok sampai dibentak?” tanya partner kerjaku itu dengan wajah memelas.Aku diam sejenak sambil beristighfar dalam hati. “S-sorry, Nan. Mbak nggak ada maksud buat bentak kamu. Itu, Mbak lagi pusing aja tagihan banyak yang belum dibayar,” kilahku tersenyum kikuk.“Oh, sabar Mbak. insya Allah kalau kita kerja keras dan doa, keinginan akan terkabul.”Aku mengangguk. “Tadi apa yang mau kamu sampaikan?” kualihkan pembicaraan ke topik lain.“Ini, laporan yang Mbak mi
Mood-ku seketika langsung down saat bertemu dengan adikku, Gita di restoran tadi. Adnan pun selama di perjalanan menuju kantor tak banyak bicara, dan aku sangat yakin dia terkejut saat melihat ekspresi mukaku yang tak sedap dipandang.“Emm, Mbak, ini fotonya-”“Letakkan saja di sana, aku akan segera membuat laporan untuk peliputan kita hari ini,” tukasku bergelut dengan mood yang berantakan.Tak lama, ponselku berdering tanda pesan masuk. Keningku mengernyit saat tahu siapa yang mengirim pesan. Gita sedang memamerkan dirinya berfoto bersama dengan Tantri dan sengaja mengirimkannya ke grup chat keluarga besar ibuku. Ditambah dengan caption “durian runtuh hari ini, foto bareng model terkenal. Bismillah, nular suksesnya.” Disertai gambar hati yang sangat banyak.Apa dia sengaja memanasi ku? batinku sangat kesal.Tak kuhiraukan pesan yang dikirim Gita, tapi penasaran juga dengan reaksi keluarga besar ibuku yang memang dikenal gila hormat.Dan sesuai dugaanku! Tak berapa lama sejak Gita me
Aku sangat terkejut saat melihat Tantri keluar dari mobil mewah itu. Apakah dia yang memiliki restoran ini? Kulihat Adnan semangat sekali mengambil foto-foto Tantri. Aku lekas kembali ke kursi, menyiapkan segalanya. Kulihat Tantri perlahan mulai masuk ke restoran ini dikerubungi mungkin oleh fans dan pengunjung tempat ini. “Mbak, aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Dia itu Tantri kan? Model yang sedang naik daun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kok Dateng sendiri, ya?”“Apa maksudmu dia datang sendiri, Nan?” tanyaku penasaran.“Ada rumor yang mengatakan kalau sang model sedang dekat dengan salah satu pengusaha sukses Indonesia, Mbak. Tapi siapa pengusaha itu, tak ada yang tahu. Tantri itu sosok yang sangat misterius, tapi justru itulah para pencari berita semakin kepo,” jelasnya seraya melihat Tantri yang sedang melayani pemotretan para pengunjung tempat ini.Alangkah beruntungnya Tantri, tapi kenapa dia melepaskan Mas Dendi, ya? itu yang tak habis pikir olehku sampai sek