Demi menjaga kenyamanan, lantai tempat pesta gender reveal digelar ditutup. Hanya tamu-tamu undangan pihak keluarga yang dipersilakan masuk, itu pun harus memperlihatkan surat yang Naura kirimkan. Staf yang bertugas pun menerima ID card yang wajib mereka kalungkan memakai lanyard.Rayyi, yang berjaga di sekitar pintu masuk ballroom, mencuri pandang pada pintu kaca di seberang ruangan. Setelan yang dikenakannya untuk acara ini adalah sepasang kemeja baby blue dan celana putih. Outer berupa sweter pastel pink menjadi pelengkap; sesuai dress code yang diarahkan Naura.“Ternyata bagus begitu kamu pakai.” Rayyi segera berbalik ke belakang saat mendengar komentar Luna. Mengenakan dress biru berpotongan selutut, penampilannya terlihat manis dengan aksen pita pink yang dijadikan ikat rambut. “Untung high heels putihku masih muat.”‘Cantik,’ gumam Rayyi dalam hati. “Pakaianmu juga cocok untukmu.”Namun, senyum yang terkembang di wajah Luna tampak hambar. Rayyi memahami dilema yang dirasakan is
Saat pesta gender reveal berakhir, Luna bergegas meninggalkan venue untuk berganti pakaian. Sesungguhnya, Luna ingin langsung menemui Rayyi dan pulang untuk beristirahat. Tubuhnya memang lelah gara-gara tenaga yang terkuras, tetapi emosinya lebih kacau setelah dua hari nelangsa menghadapi Galuh dan Naura. Benaknya memutar ulang momen pertemuan bersama Naura. Sulit membenci sosoknya yang elegan sekaligus supel. Pantas banyak yang lebih segan padanya walau Galuh yang kini menjadi salah satu pemimpin bisnis keluarga Argadana. ‘Kalau enggak pernah pacaran denganku, apa Mas Galuh bakal jatuh cinta sama Naura?’ batinnya. ‘Dia punya segalanya dibandingkan aku.’ Luna bersandar sejenak dekat pintu lift sebelum berbelok menuju koridor. Langkahnya yang diseret seketika terhenti kala menangkap sosok berpunggung tegap berdiri di samping kamarnya. Dia sedang mengobrol dengan Brenda, tetapi posisinya membelakangi perempuan itu. “Panjang umur, tuh orangnya dateng.” Brenda menunjuk ke arah Luna. “
“Kita harus kasih ucapan terima kasih buat Bu Naura.”“Apa mengirimkan pesan menurutmu cukup?”“Kayaknya enggak. Kita harus terlihat meyakinkan, Rayyi.”Masih memandangi hadiah-hadiah menakjubkan dari Naura, Luna dan Rayyi mulai mencocokkan jadwal demi perjalanan ke Bali. Perginya Galuh ke Belanda memberikan keleluasaan pada Rayyi untuk bergerak. Sementara Luna perlu memastikan ada rekan supervisor yang dapat dipercaya mengurus sebagian tugasnya.“Bagaimana kalau kita video call?” Ide tersebut mengejutkan Rayyi yang tengah memeriksa voucher hotel. Melihat reaksi tersebut, Luna sadar sepertinya sang suami tak nyaman pura-pura bermesraan dengannya. “Umh, oke, selfie udah cukup.”“Untuk yang itu, saya bisa menyanggupi.” Rayyi beranjak dan mengambil voucher dan tiket yang tersebar di meja. “Pencahayaan dekat jendela sepertinya bagus.”Luna mengecek pencahayaan di area tersebut memakai ponselnya. Kemudian, dia mengarahkan Rayyi agar berdiri di dekat standing lamp sambil memegangi hadiah Na
“Kalau aku udah punya uang banyak, kamu bebas mau menentukan konsep pernikahan sampai tempat bulan madu kita.”“Kalau aku minta jalan-jalan keliling Eropa, emangnya kamu sanggup membiayai semuanya, Mas?”“Keyword-nya di ‘uang banyak’, Sayang. Enggak ada kata sulit menyanggupi selama kamu yang minta.”Luna tersentak dari tidur, bersamaan dengan pesawat yang berguncang. Terdengar bisik-bisik cemas di sekitarnya saat peringatan turbulensi diumumkan. Sementara di sampingnya, Rayyi fokus menyimak informasi yang tengah disampaikan.“Kamu terbangun.” Pernyataan itu terdengar seperti konfirmasi dari Rayyi. “Setengah jam lagi kita sampai di Bandara Ngurah Rai. Apa kamu mau makan atau minum dulu?”“Enggak perlu—” Suara serak gara-gara kurang minum membuat Luna berdeham. “Mungkin air mineral cukup.”Rayyi menyetop pramugari yang lewat dan memesankan minuman itu. Sambil menunggu, Luna melepas bantal leher dan mengamati para penumpang di sekitarnya. Wajah-wajah yang terlihat sangat mewakili penghu
Rayyi perlu mengingatkan diri bahwa kunjungannya ke Bali hanya untuk menghargai pemberian Naura. Bulan madu pun jadi sekadar label pemanis mengingat statusnya adalah suami (sementara) untuk Luna. Tak ada yang perlu dia cemaskan, bukan?Pertanyaan itu terngiang dalam benak Rayyi saat mengikuti karyawan yang mengantarnya bersama Luna ke restoran. Mereka melewati area depan yang dipenuhi wisatawan, lalu berjalan menuju bagian belakang yang lebih tenang.Sampai kemudian, keduanya berhenti di depan jembatan yang mengarah ke gazebo yang telah dihias sedemikan rupa untuk memperlihatkan kesan romantis. Meja dengan lilin di tengah, bunga-bunga yang dipasang di tiang-tiang penyangga. Belum lagi pilihan lagunya yang lembut dan manis untuk mendukung candle light dinner.“Sesuai permintaan Pak Jo, saya akan menjadi pelayan kalian malam ini.” Karyawan bernama Wati itu mempersilakan Rayyi dan Luna duduk di meja. “Full-course dinner akan segera dihidangkan. Selamat menikmati malam romantis kalian.”B
“Apa yang kamu lakukan pada Rayyi? Kenapa kamu mengurungnya di kamar mandi?”“Berisik, Pak, berisik! Seharian dia menanyakanmu, pengen ketemu. Kamu enggak punya ponsel pula, jadi susah kuhubungi.”“Kan sudah kubilang, telepon temanku! Kami bekerja sepanjang akhir pekan di lokasi proyek konstruksi.”“Ah, malas aku! Mending jalan-jalan sama teman-teman buat keperluan reuni minggu depan.”Suara-suara itu lesap bersama bayang-bayang yang mengabur; digantikan bebunyian lain yang lebih tak beraturan. Sayup-sayup, muncul suara perempuan yang meningkahi kebisingan itu. Memanggil namanya dalam cemas.“Rayyi, sebentar lagi kita keluar,” bisiknya lirih. “Pintu lift akan dibuka. Tetap fokuskan perhatianmu pada suaraku, oke? Aku enggak akan ke mana-mana.”Di antara kesadaran yang mengawang dan tubuh yang dibasahi peluh, Rayyi hanya bisa mengangguk lemah. Perlahan, dia juga merasakan ada jemari lembut yang menggenggamnya erat.“Untuk yang di dalam, tolong mundur. Kami akan membuka pintu.” Perintah
Menyaksikan Rayyi mengalami serangan panik sempat membuat Luna terpaku di tempat. Sosok pria kaku serta formal yang selama ini dikenalnya mendadak berubah seperti bocah yang ketakutan dimarahi orangtua. Mungkin kalau tak pernah menonton drama tentang kesehatan mental, mustahil dia dapat menenangkan suaminya.Selain itu, menyaksikan kondisi kesehatan Dikta yang terus menurun secara tak langsung membantu Luna sigap mengambil tindakan. Walau benaknya kacau, dia tak boleh terlihat sama-sama panik di hadapan Rayyi.“Sekali lagi, terima kasih. Saya sendiri enggak menyangka bakal mengalami hal itu.” Selepas salat Subuh, Luna membelikan dua porsi bubur yang dijual di dekat rumah sakit. “Padahal saya sudah lama berhenti ikut konsultasi.”“It's okay, kemungkinan kambuh pasti selalu ada kalau ketemu trigger.” Luna menyerahkan alat makan untuk Rayyi. “Mumpung di rumah sakit, kamu mau sekalian ketemu psikiater?”Pria di hadapannya tampak memikirkan sesuatu, lalu menggeleng pelan. “Sebaiknya kita c
Saat langit malam menyelimuti Badung, Luna mulai berkemas untuk pulang besok. Sangat disayangkan kunjungan ini tak berjalan sesuai harapan. Di sisi lain, dia dapat terlepas dari gangguan Galuh untuk sesaat.“Rayyi ke mana, sih. Katanya mau cari makan di luar.” Setengah jam lalu, pria itu pamit keluar. Kondisinya yang belum pulih total serta-merta membuat Luna cemas. Bagaimana kalau dia—Ponselnya berbunyi. Panggilan masuk dari Rayyi.“Luna, apa kamu masih di kamar?” Pria itu bertanya. “Saya di depan hotel, mau ajak kamu makan di luar.”“Heh, bukannya kamu lagi cari makan?”“Tadinya begitu, tapi saya pikir lebih baik kita jalan-jalan sekalian. Ini hari terakhir kita di Bali,” sahutnya penuh semangat. “Kebetulan saya dapat sewa motor dekat sini.”Benar juga. Paling tidak, mereka punya momen menyenangkan walau sekadar memutari area wisata dan mencoba kuliner khas Bali di warung-warung tradisional.“Oke, sebentar lagi aku turun. See you.” Setelah itu, Luna menyambar kemeja, tas selempang,
“Kamu enggak perlu sampai keluar uang juga buat beliin tiket Ambu. Biar aku yang urus.”“Enggak apa-apa, Luna. Ini hari Minggu. Perjalanan ke Bandung pasti lebih macet, jadi saya belikan tiket kereta cepat supaya Ambu enggak kelamaan di jalan.”Meski sedang di luar kota, Puspa tetap bangun sebelum Subuh untuk salat. Kemudian, tanpa bertanya pada Luna maupun Rayyi, perempuan itu menyediakan sarapan untuk mereka. Suasana hatinya membaik walau irit bicara.“Bu, nanti saya antarkan ke stasiun, ya,” Rayyi membuka pembicaraan saat mereka berkumpul di meja makan. “Pulangnya pakai kereta cepat. Cuma sejam kurang kalau ke Bandung.”Mata Puspa membulat. “Kereta yang berhentinya di stasiun deket masjid besar itu?”“Iya. Ibu nanti bisa, kan, naik feeder? Atau—”“Enggak usah, Ambu mau jalan-jalan dulu begitu sampai di Bandung.” Wajahnya seketika semringah. Puspa bahkan sampai menggenggam tangan Rayyi. “Makasih, mantu Ambu yang paling baik.”Luna memutar bola matanya. Padahal baru kemarin mereka ri
“Aduh, pangling pisan lihat kamu sekarang, Galuh. Bener, kan, kata Ambu. Kamu bakal jadi orang sukses! Sayang almarhum suami enggak mau dengar—”“Ambu, enggak boleh bicara gitu! Kejadiannya udah lama juga.”“Tapi, Ambu yakin bapakmu bakal nyesel pernah ngerendahin Galuh di depan keluarga.”“Cukup, Ambu, tolong hormati pria yang aku pilih jadi suamiku sekarang!”Seketika, ruangan menjadi hening. Luna, dengan napas tersengal, memandangi satu per satu figur yang menempati meja makan. Dari Rayyi yang duduk di hadapannya, lalu Galuh di samping sang suami, dan berakhir pada Puspa di sebelahnya.Makan malam yang awalnya canggung karena kehadiran mendadak Puspa makin tak mengenakan kala Galuh ikut bergabung. Luna yakin pria itu sengaja menerima ajakan ibunya untuk memperkeruh suasana. Apakah ancaman di kamar hotel tempo hari belum cukup baginya?“Pak Galuh sendiri ada keperluan apa kemari?” Rayyi mengambilalih percakapan. Diam-diam, Luna berterimakasih padanya.“Oh, ya, tadi aku mau menanyaka
Menjaga jarak dari Luna, seperti yang diperintahkan Galuh, semestinya mudah bagi Rayyi. Selama bertahun-tahun, pria itu hanya mengenalnya sebagai karyawan housekeeping yang punya hubungan spesial dengan atasan. Setelah mengetahui kisah yang terjadi di antara mereka, Rayyi pun merasa tak sepantasnya dia ikut campur urusan keduanya. Masalahnya, Luna tanpa sengaja masuk ke ranah pribadi Rayyi. Dia menyaksikannya mengalami serangan panik, sesuatu yang telah lama dia tutup. Padahal selama ini kesehatan mentalnya terarsip rapi dalam catatan psikiater yang menanganinya… juga kartu As yang malah Galuh salah gunakan untuk melancarkan serangan. “Rayyi.” Angela melongok dari celah pintu meeting room. “Bilang ke bagian kitchen buat nyiapin lunch. Klien Pak Galuh pengin makan di restoran.” “Huh, pertemuannya belum selesai?” “Sebentar lagi beres. Ini bagian dari ucapan terima kasih.” Sang sekretaris mengedipkan mata. Itu menandakan satu hal: rapatnya mencapai kesepakatan yang diharapkan. “Buruan
Mengunjungi Guntur menjadi momen yang selalu Rayyi nantikan. Selain untuk melepas penat, dia juga dapat memastikan kondisi sang ayah. Sejauh ini, pria itu jarang mengeluh. Berbagai aktivitas yang dijadwalkan pun membuat kondisi kesehatannya lebih stabil.Akan tetapi, peringatan Galuh tadi pagi membuat Rayyi kalut. Alih-alih lega mengetahui tebakannya tepat sasaran, dia malah cemas. Kalau kata orang-orang: overthinking. Jika sang atasan dapat memicu serangan paniknya ‘kambuh’, Rayyi tak bisa membayangkan tindakan apa yang akan dijatuhkannya pada Guntur.“Wajahmu pucat, Rayyi. Sudah makan sebelum ke sini?” Guntur memiringkan kepala; mengecek kondisi putranya yang mampir lebih cepat dari jadwal.“Sudah,” jawab Rayyi sekenanya. Namun, tanggapan itu memerlukan penjelasan agar ayahnya tak ikut cemas. “Mungkin gara-gara kelelahan. Pak Galuh seminggu terakhir di Belanda, bertemu keluarga istrinya. Jadi, saya yang pegang beberapa pekerjaannya.”“Tapi jangan sampai lupa makan juga.” Sang ayah m
“Luna, apa kamu sedang ada masalah?”Untuk sesaat, Luna lega mendapati Rayyi di dekatnya. Bahkan kalau bisa dia ingin berlindung dalam pelukan itu lebih lama. Namun, sebuah suara dari dasar benaknya seketika mengingatkan Luna pada sesuatu: Rayyi hanya pria yang dinikahi demi menyelamatkan harga dirinya di depan keluarga.“Astaga, maaf, aku refleks.” Cepat-cepat, Luna melepas dekapannya. Akan tetapi, ekspresi khawatir masih tercetak di wajah Rayyi. “Kamu habis dari mana?”“Menemui seseorang,” jawab Rayyi sekenanya. “Hei, kamu belum menjawab pertanyaan saya. Kenapa kamu tiba-tiba—”Luna menempelkan telunjuknya pada bibir Rayyi, lalu celingak-celinguk untuk mengecek situasi sekitar. Sepi, hanya beberapa karyawan dan tamu yang lalu lalang di basement. Meski demikian, bukan berarti Luna dapat melepas kewaspadaannya.Lantas, perlukah dia menceritakan apa yang Galuh lakukan pada Rayyi?“Aku—yah, sesuatu terjadi.” Luna memalingkan wajah; tak mau Rayyi mendapati pipinya yang memerah. “Mungkin
“Heh, mau ke mana lo? Bentar lagi juga udah masuk jam makan siang.”“Kalian duluan aja. Bu Maryam minta aku buat ngecek kamar di lantai 12.”Brenda hanya geleng-geleng kepala, lalu menarik Dini memasuki lift. Sebenarnya berat bagi Luna menolak ajakan tersebut karena dia juga lapar. Di sisi lain, perempuan itu juga malas harus berkelit dengan Maryam.Karena lift sedang padat, Luna memilih tangga menuju lantai 12. Menurut keterangan Maryam, ada lima kamar yang sebentar lagi bakal diisi para peserta seminar. Diingatnya lagi nomor-nomor yang disebutkan sebelum mengeceknya saat sampai di lantai tujuan.Mendekati makan siang, beberapa tamu terlihat menarik koper untuk check-out. Ada pula yang keluar untuk mencari hidangan. Kadang, Luna berpapasan dengan staf yang membawakan pesanan khusus room service. Sisanya adalah cerita-cerita penuh kejutan yang berakhir di pantri atau grup khusus housekeeping.Langkah Luna terhenti di kamar nomor 121. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada dua pegawai ya
Satu pesan singkat itu serta-merta membuat Rayyi menengadah ke rumah newah yang berdiri di belakangnya. Sekitar dua jam lalu, dia menjemput Galuh di bandara. Anehnya, sang atasan hanya pulang bersama istrinya.Hal ganjil lain yang Rayyi tangkap adalah sikap Naura yang terlihat biasa saja kala mereka berpapasan. Bahkan saat Galuh pamit sebentar untuk mengurus bagasi, perempuan itu mengacungkan jempol padanya. Rayyi jadi heran, apakah insiden di hotel itu tak sampai ke telinga Naura?“Ayo, kita berangkat sekarang.” Galuh rupanya hanya berganti pakaian. “Sekitar pukul 10 kita harus mengejar meeting di Kemang.”Rayyi mengangguk patuh dan membukakan pintu untuk Galuh. Perjalanan menuju hotel pun dia gunakan untuk tidur. Jet lag-nya pasti belum benar-benar hilang. Lagipula seingat Rayyi mereka tak punya jadwal meeting seharian.‘Sudahlah,’ tepisnya sembari membelokkan mobil menuju lokasi tujuan, ‘satu hal yang pasti saya perlu bersiap untuk menghadapi pert
Bunga tidur yang mampir ke dalam tidur Rayyi malam ini berbeda dari sebelumnya.Langit yang biasanya muram kini tampak biru cerah tanpa awan. Semilir angin membelai wajah Rayyi perlahan. Seluas matanya memandang, dia hanya melihat bentangan rumput yang menari-nari; menggelitik kakinya yang tanpa sepatu.‘Saya di mana?’ batinnya. ‘Apa saya sudah—'“Rayyi.” Panggilan tersebut mengalihkan perhatian Rayyi ke arah sumber suara. Di belakangnya, seorang perempuan muda dengan sundress warna putih menatapnya dari puncak bukit. Tak butuh waktu lama juga baginya mengenali sosok tersebut.“Luna,” gumamnya pelan kala perempuan itu menghampirinya, “apa yang saya—kita lakukan di sini?”Luna mengedik. “Aku di sini buat menikmati pemandangan selagi cuacanya bagus. Butuh refreshing sebentar setelah melewati hari-hari yang melelahkan.”Pernyataan tadi terdengar familier. Ah, benar, itu adalah keluhan yang berkali-kali bergema dalam benak Rayyi setiap kali mendapatkan perintah dari Galuh. Siapa yang mendu
Luna tak menduga bakal menghabiskan sisa masa ‘bulan madu’ di Bali dengan hal-hal sederhana. Jalan-jalan naik sepeda motor jadul. Makan olahan bebek di pinggir pantai. Lalu di penghujung malam, dia dan Rayyi malah menyaksikan pesta kembang api gratis yang terletak tak jauh dari warung makan Wayan.‘Kalau kayak gini terus, aku malah enggak mau pulang,’ batinnya. Apalagi saat mengingat ada tumpukan pekerjaan yang menanti, perempuan itu rasanya ingin menguburkan diri di antara hamparan pasir.“Sensasi menonton kembang api di sini ternyata berbeda jauh dari Jakarta,” gumam Rayyi yang menengadah memandangi langit yang meriah malam itu. “Sama-sama ramai, tapi di sini saya enggak perlu menjaga orang lain.”“Emangnya selama kerja sama Mas Galuh, kamu jarang dapet jatah libur atau cuti?” Sepadat apa sebenarnya jadwal Rayyi sebagai asisten pribadi.Rayyi merapikan salah satu lengan kemejanya. “Ada, tapi saya hanya memakainya satu atau dua kali. Lagi pula, enggak ada keluarga dekat yang perlu say