Menjaga jarak dari Luna, seperti yang diperintahkan Galuh, semestinya mudah bagi Rayyi. Selama bertahun-tahun, pria itu hanya mengenalnya sebagai karyawan housekeeping yang punya hubungan spesial dengan atasan. Setelah mengetahui kisah yang terjadi di antara mereka, Rayyi pun merasa tak sepantasnya dia ikut campur urusan keduanya. Masalahnya, Luna tanpa sengaja masuk ke ranah pribadi Rayyi. Dia menyaksikannya mengalami serangan panik, sesuatu yang telah lama dia tutup. Padahal selama ini kesehatan mentalnya terarsip rapi dalam catatan psikiater yang menanganinya… juga kartu As yang malah Galuh salah gunakan untuk melancarkan serangan. “Rayyi.” Angela melongok dari celah pintu meeting room. “Bilang ke bagian kitchen buat nyiapin lunch. Klien Pak Galuh pengin makan di restoran.” “Huh, pertemuannya belum selesai?” “Sebentar lagi beres. Ini bagian dari ucapan terima kasih.” Sang sekretaris mengedipkan mata. Itu menandakan satu hal: rapatnya mencapai kesepakatan yang diharapkan. “Buruan
“Aduh, pangling pisan lihat kamu sekarang, Galuh. Bener, kan, kata Ambu. Kamu bakal jadi orang sukses! Sayang almarhum suami enggak mau dengar—”“Ambu, enggak boleh bicara gitu! Kejadiannya udah lama juga.”“Tapi, Ambu yakin bapakmu bakal nyesel pernah ngerendahin Galuh di depan keluarga.”“Cukup, Ambu, tolong hormati pria yang aku pilih jadi suamiku sekarang!”Seketika, ruangan menjadi hening. Luna, dengan napas tersengal, memandangi satu per satu figur yang menempati meja makan. Dari Rayyi yang duduk di hadapannya, lalu Galuh di samping sang suami, dan berakhir pada Puspa di sebelahnya.Makan malam yang awalnya canggung karena kehadiran mendadak Puspa makin tak mengenakan kala Galuh ikut bergabung. Luna yakin pria itu sengaja menerima ajakan ibunya untuk memperkeruh suasana. Apakah ancaman di kamar hotel tempo hari belum cukup baginya?“Pak Galuh sendiri ada keperluan apa kemari?” Rayyi mengambilalih percakapan. Diam-diam, Luna berterimakasih padanya.“Oh, ya, tadi aku mau menanyaka
“Kamu enggak perlu sampai keluar uang juga buat beliin tiket Ambu. Biar aku yang urus.”“Enggak apa-apa, Luna. Ini hari Minggu. Perjalanan ke Bandung pasti lebih macet, jadi saya belikan tiket kereta cepat supaya Ambu enggak kelamaan di jalan.”Meski sedang di luar kota, Puspa tetap bangun sebelum Subuh untuk salat. Kemudian, tanpa bertanya pada Luna maupun Rayyi, perempuan itu menyediakan sarapan untuk mereka. Suasana hatinya membaik walau irit bicara.“Bu, nanti saya antarkan ke stasiun, ya,” Rayyi membuka pembicaraan saat mereka berkumpul di meja makan. “Pulangnya pakai kereta cepat. Cuma sejam kurang kalau ke Bandung.”Mata Puspa membulat. “Kereta yang berhentinya di stasiun deket masjid besar itu?”“Iya. Ibu nanti bisa, kan, naik feeder? Atau—”“Enggak usah, Ambu mau jalan-jalan dulu begitu sampai di Bandung.” Wajahnya seketika semringah. Puspa bahkan sampai menggenggam tangan Rayyi. “Makasih, mantu Ambu yang paling baik.”Luna memutar bola matanya. Padahal baru kemarin mereka ri
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Rayyi Aksara bin Guntur Aksara dengan putri saya yang bernama Luna Nadiandra beserta mas kawin berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah beserta seperangkat alat salat, tunai.”“Saya terima nikah dan kawinnya Luna Nadiandra binti Dikta Nadiandra dengan mas kawin tersebut, tunai.”“Bagaimana, para saksi, sudah sah?”“Saaah!”Ketika orang-orang di sekitarnya menggumamkan doa, Luna sadar peluangnya untuk membatalkan pernikahan ini sudah lenyap.Dengan napas tersekat, perempuan berwajah bulat itu menadahkan tangan. Alih-alih mengikuti doa selepas ijab kabul, dia merapalkan permohonan dikuatkan untuk menghadapi masa depannya yang semakin kabur. Meski di sisi lain, keputusan tersebut dapat memberikan ketenangan kepada sang ayah yang ingin menikahkannya sebelum—“Luna, boleh saya minta tanganmu?”Bisikan dari suara berat itu menyeret Luna dari lamunan. Di sampingnya, seorang pria berkulit kuning langsat menyodorkan tangan. Menunggunya. Tak ada
Hujan menyambut Luna setibanya di Braga. Jalanan yang biasanya dipadati orang-orang yang sibuk mengambil foto kini lebih lengang sekaligus muram. Seakan-akan mewakili suasana hatinya yang masih dirundung duka.Sementara di kursi supir, Rayyi tampak fokus membawa mobil menuju sebuah hotel mewah yang berada di ujung kawasan tersebut.“Hati-hati,” ujar Rayyi kala membukakan pintu untuk Luna. Pria itu bahkan mengulurkan tangan untuk berpegangan, tetapi dia memilih pinggiran jendela untuk menopang bobot tubuh agar tak terjatuh. “Saya akan mengantarmu ke kamar Pak Galuh. Dia menunggu kita di sana.”“Boleh aku tahu urusan apa yang mendesak kita harus menemuinya sekarang?”Rayyi memalingkan wajah. Respons itu menandakan satu hal: Galuh ingin menyampaikan semuanya pada Luna secara empat mata.“Baiklah, kita—” Saat hendak melangkah salah satu bagian kepala Luna berdenyut yang lantas disusul nyeri. Namun, sebelum Rayyi sempat memberi bantuan, perempuan ini segera menepis tangannya. “Bisa kamu be
“Teteh, kemarin pas nikah kenapa enggak ngabarin Ade?”“Mau kasih kabar gimana, soalnya mendadak juga. Abah yang minta.”“Bener kata Ambu statusnya masih nikah siri?”Luna mendesis mendengar dua kata terakhir itu. “Waktunya mepet, Dimas. Abah enggak mempermasalahkan. Nanti Teteh sama suami juga bakal urus ke pengadilan agama buat urus buku nikah sama kebutuhan lain.”Di ujung telepon, terdengar obrolan yang didominsi para ibu. Dimas pun menjauhkan ponsel sejenak sebelum meneruskan percakapan. “Maaf, ya, Teh, Ade datang telat sampai enggak lihat pemakaman Abah. Tapi buat keperluan tahlilah semuanya Ade yang tanggung.”Sekesal apa pun pada Dimas, Luna tak dapat menegur, apalagi sampai membentak. Sejak dulu, sang adik punya backing kuat dari Puspa. Bagi sang ibu, anak laki-lakinya bersih dari kesalahan. Dikta bukannya tak mau menasehati, hanya saja istrinya bakal senewen dan memberikan pembelaan yang kurang masuk akal.“Syukurlah kamu bantu-bantu Ambu. Teteh enggak bisa tinggal lama-lama
Saat membaca dua pesan tersebut, Luna yang baru bangun tidur hanya mengedik. Namun saat kesadarannya terkumpul, dia menyadari bahwa jatah cuti berdukanya sudah habis.Itu berarti, Luna akan kembali menjalani realitanya sebagai staf housekeeping.*Jarak dari apartemen ke hotel tempat Luna bekerja hanya sekitar satu kilometer. Meski demikian, jalan panjang yang memisahkan kedua tempat itu mengharuskannya mengambil jasa ojek online karena sedang malas berdesakan di LRT.Sesampainya di hotel, Luna bergegas memutari gedung utama menuju pintu yang berada di dekat basement. Rute yang umum diambil staf housekeeping agar cepat sampai ke area kerja untuk mempersiapkan perlengkapan. Setelah berpapasan dengan beberapa rekannya, Luna sampai di ruang karyawan dan langsung disambut pelukan dari Dini serta Brenda.“Kangen banget sama looo,” pekik Brenda setelah mememberikan pelukan erat. “Padahal enggak sampai se
Ketika tak sengaja menangkap Galuh mengecup pipi Luna di ruang kerjanya, Rayyi tak menduga momen tersebut bakal membawanya pada sebuah kesepakatan besar.Kadang, Rayyi bertanya-tanya, apakah keputusannya menerima tawaran Galuh untuk menjadi asisten pribadinya adalah sebuah kekeliruan? Salahkah dia mengambilnya demi bertahan hidup, terutama setelah ayahnya ditahan karena kasus korupsi yang menjebaknya sebagai tersangka?“Mas Rayyi, permisi,” panggil seorang pria berseragam yang tengah mengetuk jendela mobilnya. “Ini area parkir buat petugas. Silakan pindah ke dekat pintu keluar.”“Oh, maaf. Saya pasti tidak lihat tandanya.” Padahal Rayyi rutin mampir ke sini, tetapi baru sekarang dia melamun sampai salah ambil tempat parkir. Maka setelah membawa mobilnya ke area yang tepat, pria itu meluangkan waktu untuk menyisihkan pikiran-pikiran yang mengusiknya sejak pagi.Pasalnya, Rayyi tak mau membuat sang ayah cemas.*“Waduh, bawa apa kamu hari ini? Apa enggak kebanyakan?”“Cuma donat sama ro