Share

4 | Mendadak Dipromosikan

<luna, maaf saya tidak bisa mengantarmu>

<ada keperluan yang harus saya urus pagi-pagi>

Saat membaca dua pesan tersebut, Luna yang baru bangun tidur hanya mengedik. Namun saat kesadarannya terkumpul, dia menyadari bahwa jatah cuti berdukanya sudah habis.

Itu berarti, Luna akan kembali menjalani realitanya sebagai staf housekeeping.

*

Jarak dari apartemen ke hotel tempat Luna bekerja hanya sekitar satu kilometer. Meski demikian, jalan panjang yang memisahkan kedua tempat itu mengharuskannya mengambil jasa ojek online karena sedang malas berdesakan di LRT.

Sesampainya di hotel, Luna bergegas memutari gedung utama menuju pintu yang berada di dekat basement. Rute yang umum diambil staf housekeeping agar cepat sampai ke area kerja untuk mempersiapkan perlengkapan. Setelah berpapasan dengan beberapa rekannya, Luna sampai di ruang karyawan dan langsung disambut pelukan dari Dini serta Brenda.

“Kangen banget sama looo,” pekik Brenda setelah mememberikan pelukan erat. “Padahal enggak sampai seminggu cutinya, tapi lo kayak pergi berbulan-bulan.”

“Apaan, sih, Nda. Aku cuti juga bukan buat senang-senang.” Luna mengambil seragam dari loker. “Selama aku pergi, kerjaan aman, kan?”

“Tenang, anak magang yang gantiin kamu kemarin ternyata bisa diandalkan.” Kali ini, Dini yang menanggapi. “Oh ya, kami juga turut berdukacita, Luna. Sori enggak bisa ngelayat.”

Luna mengangguk paham, lalu mendekap kedua sahabatnya. “Makasih udah bantu aku juga selama aku pergi kemarin.”

“Bentar, satu lagi.” Brenda merunduk agar suaranya tak bocor keluar. “Apa bener lo juga… udah nikah sama asisten presdir kita?”

Seketika, Luna mematung. Walau Galuh tak memintanya dan Rayyi menyembunyikan pernikahan, rasanya aneh mendengar rekan kerjanya menanyakan hal tersebut. Memberi konfirmasi pun semestinya mudah seandainya pria yang dinikahinya bukan Rayyi.

Alih-alih menjawab, Luna malah berdeham sambil menyeret kedua temannya ke pojok ruangan. “Kalian dapat kabar itu dari siapa?”

“Bu Fatma, orang HRD,” sahut Brenda. “Tahu sendiri gimana lemesnya mulut dia kalau dapet kabar karyawan nikah atau cerai. Asisten presdir kita itu minggu lalu ambil cuti buat akad dan katanya lo pakai alasan yang sama.”

Perlukah Luna melaporkan Bu Fatma pada Galuh? Mungkin lain kali saat situasi dan kondisinya kondusif.

“Ya, kami….” Saat Luna memperlihatkan cincin di jari manisnya, Brenda dan Dini memekik histeris. “Omong-omong, namanya Rayyi.”

Kedua perempuan itu menggumamkan ‘oooh’ rendah sambil melempar tatapan usil pada Luna. Mereka sudah bersiap memberondongnya dengan macam-macam pertanyaan sebelum pintu terbuka lebar; menampakkan sosok Maryam, floor supervisor mereka yang berdecak tak percaya mendapati bawahannya yang sibuk bergosip.

“Ngapain kalian masih di sini? Sana kerja, ada banyak kamar yang belum dibersihkan,” bentaknya. “Luna, sebelum bertugas, ikut saya dulu ke ruangan manajer.”

*

“Sebentar, saya dipromosikan jadi supervisor?”

“Benar, kamu nanti yang menemani Bu Maryam. Ada masa percobaan dulu untuk menilai performamu sebelum resmi mengisi posisi tersebut.”

Luna mengerjap, lalu menoleh ke arah Maryam yang duduk di belakang. Sebagus itukah kinerjanya sampai manajer housekeeping mempromosikannya meski baru dua tahun bekerja?

“Untuk sementara, kamu pakai seragam lama dulu,” sang manajer melanjutkan. “Sebelum bekerja, tolong panggilkan Brenda dan karyawan magang yang menggantikanmu akhir pekan kemarin ke ruangan saya.”

Dengan langkah gontai, Luna berjalan beriringan bersama Maryam. Biasanya pada momen-momen seperti ini, dia akan langsung mengabari Dikta. Tangannya bahkan sudah merogoh ponsel di saku celana sebelum menyadari kenyataan yang menamparnya.

Bisa saja Luna menghubungi Puspa, tetapi dia urung kala membayangkan responsnya yang kurang antusias.

“Kamu barangkali familier dengan jobdesc saya,” Maryam mengajaknya berkeliling di lantai tempatnya bekerja untuk memulai latihan. “Floor supervisor punya tanggung jawab besar untuk menjaga kebersihan kamar sesuai standar dan prosedur hotel. Kita juga perlu memastikan para tamu nyaman menginap. Paham?”

Luna mengangguk cepat. “Lalu, apa Ibu punya aturan khusus yang perlu saya lakukan?”

Entah mengapa, senyum penuh arti yang tersungging di wajahnya mengintimidasi Luna. “Saya dengar, kamu baru menikah dengan asisten presdir. Selamat, ya. Tapi, saya harap kamu tetap profesional meski suamimu bekerja di sini juga.”

Pesan tersirat dalam ucapan itu dapat langsung Luna pahami. Seandainya Maryam tahu dia dan Rayyi bukan tipe pasutri baru yang tak bisa saling berjauhan....

"Satu lagi, saya kurang suka karyawan yang bentar-bentar cek ponsel, bentar-bentar terima telepon selama bekerja,” Maryam menegaskan. “Jadi, tolong, aktifkan mode Silent atau sekalian matikan selama kamu bertugas. Sudah paham sampai di sini, Luna?”

*

<aku harap kamu menikmati posisi barumu>

Kala membaca pengirim pesan tersebut, Luna serta-merta mendengkus. Apa kemampuan berpikirknya belum benar-benar pulih? Tentu saja hanya Galuh yang punya kuasa dan akses untuk meminta departemen housekeeping mempromosikannya.

<mas seharusnya enggak usah melangkah sejauh ini>

<aku nyaman bekerja sebagai housekeeper>

Tak lama berselang, ponselnya bergetar. Galuh malah meneleponnya.

“Angkat, dong. Siapa tahu suami lo pengen kangen-kangenan,” celetuk Brenda yang disambut kekehan Dini. “Kami maklum, pengantin baru maunya nempel mulu. Asal jangan bertingkah nyebelin aja.”

Tanpa pikir panjang, Luna menekan tombol Reject dan menyalakan mode Airplane. “Ih, Rayyi bukan tipe cowok cringe. Lagian aku juga harus fokus adaptasi sama posisi baru.”

Brenda dan Dini saling bertukar pandang. “Kalau lo resmi jadi supervisor, apa kita masih bisa kongko bareng?”

“Bisalah, cuma mungkin… enggak bakal sebebas dulu.”

Benar saja. Luna menghabiskan sisa waktu kerjanya dengan mengamati Maryam. Sesekali, dia membantu sambil mencoba menerapkan skill yang diperlukan sebagai floor supervisor. Kesibukan tersebut berhasil mengalihkan atensinya sampai tak menyadari jam pulang kerjanya ikuti bergeser.

“Besok pagi, tolong datang lebih awal,” pesan Maryam sebelum pulang. “Cek kamar-kamar yang akan ditempati tamu dari luar negeri yang akan menghadiri konferensi.”

Luna menyanggupi lewat anggukan, lalu bersandar di loker untuk istirahat sejenak. Dia berharap saat bangun besok pagi tubuhnya tak akan ngilu dan sakit.

Pintu yang mendadak terbuka seketika mengejutkan Luna. Dia lantas berdiri; bersiap-siap seandainya Maryam yang datang untuk ‘setor’ tumpukan tugas. Namun, kala kepala Rayyi menyembul dari balik pintu, perempuan itu mengembuskan napas lega.

“Ternyata benar kata teman-temanmu, kamu masih di sini.” Pria itu menunggunya di ambang pintu. “Ayo, saya antar kamu pulang.”

Ajakan itu terdengar konyol di telinganya. “Kamu bisa pulang duluan, enggak perlu tunggu aku. Lagian, aku masih harus beres-beres.”

Sang lawan bicara mengulas senyum kikuk. Dia menoleh sebentar ke luar untuk mengecek situasi, lalu menghampiri Luna yang lanjut beristirahat.

“Pak Galuh yang meminta saya menemuimu,” Rayyi menyampaikannya sembali menunduk. “Katanya, saya harus menemanimu, termasuk antar jemput kerja sampai belanja.”

“Mas Galuh bilang gitu ke kamu?” Tawa getirnya mengejutkan Rayyi. “Padahal harusnya kamu yang melakukan tugas-tugas tadi buat dia.”

“Sebagai asisten pribadi, sudah jadi tanggung jawab saya mengikuti arahan Pak Galuh.”

“Termasuk mengiyakan permintaannya buat menikahiku?”

Hening. Rayyi memilih bergeming di tempat duduknya, sementara Luna mengemas barang bawaannya dan berganti pakaian. Selain gaji bulanan yang besar, adakah penawaran lain dari Galuh yang membuat pria itu begitu manut?

“Jangan terlalu memikirkan pertanyaanku tadi. Aku enggak peduli sama kesepakatanmu dan Mas Galuh.” Ucapan itu berhasil menarik Rayyi dari lamunan. Pria itu mengangguk, lalu beranjak dari kursinya. “Tapi next time kalau ketemu dia, tolong bilang enggak perlu kasih bantuan berlebih atau rahasianya malah cepat terbongkar.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status