<luna, maaf saya tidak bisa mengantarmu>
<ada keperluan yang harus saya urus pagi-pagi>
Saat membaca dua pesan tersebut, Luna yang baru bangun tidur hanya mengedik. Namun saat kesadarannya terkumpul, dia menyadari bahwa jatah cuti berdukanya sudah habis.
Itu berarti, Luna akan kembali menjalani realitanya sebagai staf housekeeping.
*
Jarak dari apartemen ke hotel tempat Luna bekerja hanya sekitar satu kilometer. Meski demikian, jalan panjang yang memisahkan kedua tempat itu mengharuskannya mengambil jasa ojek online karena sedang malas berdesakan di LRT.
Sesampainya di hotel, Luna bergegas memutari gedung utama menuju pintu yang berada di dekat basement. Rute yang umum diambil staf housekeeping agar cepat sampai ke area kerja untuk mempersiapkan perlengkapan. Setelah berpapasan dengan beberapa rekannya, Luna sampai di ruang karyawan dan langsung disambut pelukan dari Dini serta Brenda.
“Kangen banget sama looo,” pekik Brenda setelah mememberikan pelukan erat. “Padahal enggak sampai seminggu cutinya, tapi lo kayak pergi berbulan-bulan.”
“Apaan, sih, Nda. Aku cuti juga bukan buat senang-senang.” Luna mengambil seragam dari loker. “Selama aku pergi, kerjaan aman, kan?”
“Tenang, anak magang yang gantiin kamu kemarin ternyata bisa diandalkan.” Kali ini, Dini yang menanggapi. “Oh ya, kami juga turut berdukacita, Luna. Sori enggak bisa ngelayat.”
Luna mengangguk paham, lalu mendekap kedua sahabatnya. “Makasih udah bantu aku juga selama aku pergi kemarin.”
“Bentar, satu lagi.” Brenda merunduk agar suaranya tak bocor keluar. “Apa bener lo juga… udah nikah sama asisten presdir kita?”
Seketika, Luna mematung. Walau Galuh tak memintanya dan Rayyi menyembunyikan pernikahan, rasanya aneh mendengar rekan kerjanya menanyakan hal tersebut. Memberi konfirmasi pun semestinya mudah seandainya pria yang dinikahinya bukan Rayyi.
Alih-alih menjawab, Luna malah berdeham sambil menyeret kedua temannya ke pojok ruangan. “Kalian dapat kabar itu dari siapa?”
“Bu Fatma, orang HRD,” sahut Brenda. “Tahu sendiri gimana lemesnya mulut dia kalau dapet kabar karyawan nikah atau cerai. Asisten presdir kita itu minggu lalu ambil cuti buat akad dan katanya lo pakai alasan yang sama.”
Perlukah Luna melaporkan Bu Fatma pada Galuh? Mungkin lain kali saat situasi dan kondisinya kondusif.
“Ya, kami….” Saat Luna memperlihatkan cincin di jari manisnya, Brenda dan Dini memekik histeris. “Omong-omong, namanya Rayyi.”
Kedua perempuan itu menggumamkan ‘oooh’ rendah sambil melempar tatapan usil pada Luna. Mereka sudah bersiap memberondongnya dengan macam-macam pertanyaan sebelum pintu terbuka lebar; menampakkan sosok Maryam, floor supervisor mereka yang berdecak tak percaya mendapati bawahannya yang sibuk bergosip.
“Ngapain kalian masih di sini? Sana kerja, ada banyak kamar yang belum dibersihkan,” bentaknya. “Luna, sebelum bertugas, ikut saya dulu ke ruangan manajer.”
*
“Sebentar, saya dipromosikan jadi supervisor?”
“Benar, kamu nanti yang menemani Bu Maryam. Ada masa percobaan dulu untuk menilai performamu sebelum resmi mengisi posisi tersebut.”
Luna mengerjap, lalu menoleh ke arah Maryam yang duduk di belakang. Sebagus itukah kinerjanya sampai manajer housekeeping mempromosikannya meski baru dua tahun bekerja?
“Untuk sementara, kamu pakai seragam lama dulu,” sang manajer melanjutkan. “Sebelum bekerja, tolong panggilkan Brenda dan karyawan magang yang menggantikanmu akhir pekan kemarin ke ruangan saya.”
Dengan langkah gontai, Luna berjalan beriringan bersama Maryam. Biasanya pada momen-momen seperti ini, dia akan langsung mengabari Dikta. Tangannya bahkan sudah merogoh ponsel di saku celana sebelum menyadari kenyataan yang menamparnya.
Bisa saja Luna menghubungi Puspa, tetapi dia urung kala membayangkan responsnya yang kurang antusias.
“Kamu barangkali familier dengan jobdesc saya,” Maryam mengajaknya berkeliling di lantai tempatnya bekerja untuk memulai latihan. “Floor supervisor punya tanggung jawab besar untuk menjaga kebersihan kamar sesuai standar dan prosedur hotel. Kita juga perlu memastikan para tamu nyaman menginap. Paham?”
Luna mengangguk cepat. “Lalu, apa Ibu punya aturan khusus yang perlu saya lakukan?”
Entah mengapa, senyum penuh arti yang tersungging di wajahnya mengintimidasi Luna. “Saya dengar, kamu baru menikah dengan asisten presdir. Selamat, ya. Tapi, saya harap kamu tetap profesional meski suamimu bekerja di sini juga.”
Pesan tersirat dalam ucapan itu dapat langsung Luna pahami. Seandainya Maryam tahu dia dan Rayyi bukan tipe pasutri baru yang tak bisa saling berjauhan....
"Satu lagi, saya kurang suka karyawan yang bentar-bentar cek ponsel, bentar-bentar terima telepon selama bekerja,” Maryam menegaskan. “Jadi, tolong, aktifkan mode Silent atau sekalian matikan selama kamu bertugas. Sudah paham sampai di sini, Luna?”
*
<aku harap kamu menikmati posisi barumu>
Kala membaca pengirim pesan tersebut, Luna serta-merta mendengkus. Apa kemampuan berpikirknya belum benar-benar pulih? Tentu saja hanya Galuh yang punya kuasa dan akses untuk meminta departemen housekeeping mempromosikannya.
<mas seharusnya enggak usah melangkah sejauh ini>
<aku nyaman bekerja sebagai housekeeper>
Tak lama berselang, ponselnya bergetar. Galuh malah meneleponnya.
“Angkat, dong. Siapa tahu suami lo pengen kangen-kangenan,” celetuk Brenda yang disambut kekehan Dini. “Kami maklum, pengantin baru maunya nempel mulu. Asal jangan bertingkah nyebelin aja.”
Tanpa pikir panjang, Luna menekan tombol Reject dan menyalakan mode Airplane. “Ih, Rayyi bukan tipe cowok cringe. Lagian aku juga harus fokus adaptasi sama posisi baru.”
Brenda dan Dini saling bertukar pandang. “Kalau lo resmi jadi supervisor, apa kita masih bisa kongko bareng?”
“Bisalah, cuma mungkin… enggak bakal sebebas dulu.”
Benar saja. Luna menghabiskan sisa waktu kerjanya dengan mengamati Maryam. Sesekali, dia membantu sambil mencoba menerapkan skill yang diperlukan sebagai floor supervisor. Kesibukan tersebut berhasil mengalihkan atensinya sampai tak menyadari jam pulang kerjanya ikuti bergeser.
“Besok pagi, tolong datang lebih awal,” pesan Maryam sebelum pulang. “Cek kamar-kamar yang akan ditempati tamu dari luar negeri yang akan menghadiri konferensi.”
Luna menyanggupi lewat anggukan, lalu bersandar di loker untuk istirahat sejenak. Dia berharap saat bangun besok pagi tubuhnya tak akan ngilu dan sakit.
Pintu yang mendadak terbuka seketika mengejutkan Luna. Dia lantas berdiri; bersiap-siap seandainya Maryam yang datang untuk ‘setor’ tumpukan tugas. Namun, kala kepala Rayyi menyembul dari balik pintu, perempuan itu mengembuskan napas lega.
“Ternyata benar kata teman-temanmu, kamu masih di sini.” Pria itu menunggunya di ambang pintu. “Ayo, saya antar kamu pulang.”
Ajakan itu terdengar konyol di telinganya. “Kamu bisa pulang duluan, enggak perlu tunggu aku. Lagian, aku masih harus beres-beres.”
Sang lawan bicara mengulas senyum kikuk. Dia menoleh sebentar ke luar untuk mengecek situasi, lalu menghampiri Luna yang lanjut beristirahat.
“Pak Galuh yang meminta saya menemuimu,” Rayyi menyampaikannya sembali menunduk. “Katanya, saya harus menemanimu, termasuk antar jemput kerja sampai belanja.”
“Mas Galuh bilang gitu ke kamu?” Tawa getirnya mengejutkan Rayyi. “Padahal harusnya kamu yang melakukan tugas-tugas tadi buat dia.”
“Sebagai asisten pribadi, sudah jadi tanggung jawab saya mengikuti arahan Pak Galuh.”
“Termasuk mengiyakan permintaannya buat menikahiku?”
Hening. Rayyi memilih bergeming di tempat duduknya, sementara Luna mengemas barang bawaannya dan berganti pakaian. Selain gaji bulanan yang besar, adakah penawaran lain dari Galuh yang membuat pria itu begitu manut?
“Jangan terlalu memikirkan pertanyaanku tadi. Aku enggak peduli sama kesepakatanmu dan Mas Galuh.” Ucapan itu berhasil menarik Rayyi dari lamunan. Pria itu mengangguk, lalu beranjak dari kursinya. “Tapi next time kalau ketemu dia, tolong bilang enggak perlu kasih bantuan berlebih atau rahasianya malah cepat terbongkar.”
***
Ketika tak sengaja menangkap Galuh mengecup pipi Luna di ruang kerjanya, Rayyi tak menduga momen tersebut bakal membawanya pada sebuah kesepakatan besar.Kadang, Rayyi bertanya-tanya, apakah keputusannya menerima tawaran Galuh untuk menjadi asisten pribadinya adalah sebuah kekeliruan? Salahkah dia mengambilnya demi bertahan hidup, terutama setelah ayahnya ditahan karena kasus korupsi yang menjebaknya sebagai tersangka?“Mas Rayyi, permisi,” panggil seorang pria berseragam yang tengah mengetuk jendela mobilnya. “Ini area parkir buat petugas. Silakan pindah ke dekat pintu keluar.”“Oh, maaf. Saya pasti tidak lihat tandanya.” Padahal Rayyi rutin mampir ke sini, tetapi baru sekarang dia melamun sampai salah ambil tempat parkir. Maka setelah membawa mobilnya ke area yang tepat, pria itu meluangkan waktu untuk menyisihkan pikiran-pikiran yang mengusiknya sejak pagi.Pasalnya, Rayyi tak mau membuat sang ayah cemas.*“Waduh, bawa apa kamu hari ini? Apa enggak kebanyakan?”“Cuma donat sama ro
Selama menjadi asisten pribadi Galuh, Rayyi senantiasa bersiap sebelum matahari menampakkan diri di ufuk timur. Selain menghindari kemacetan ibu kota, dia harus menyiapkan keperluan sang atasan di rumahnya. Kadang, Rayyi menemaninya seharian, di lain waktu dia diterjunkan untuk menjalankan misi-misi tertentu.Kepindahannya ke apartemen baru bersama Luna pun tak mengubah banyak rutinitas tersebut.Pagi ini, selepas salat Subuh, Rayyi sudah membereskan perlengkapan kerja. Diambilnya jas yang tersimpai di kursi, lalu melangkah keluar untuk menyantap sarapan ala kadarnya. Setelah mencuci piring, pria itu mengambil sepatu di rak. Tepat saat tangannya hendak membuka pintu, sebuah pesan dari Galuh masuk ke ponsel.Keningnya mengernyit. Matanya lantas mengerling ke pintu yang dijadikan sekat.Bukannya menjawab lewat pesan, Galuh malah meneloponnya. Rayyi mengembuskan napas panjang sebelum men
“Ternyata benar dugaanku, kamu yang nyuruh Rayyi.”“Lantas, aku harus bagaimana lagi, Luna? Kamu memblokir semua kontakku.”Luna mengecek situasi di sekitar mereka. Saat Rayyi pamit meninggalkannya, Galuh serta-merta membawa perempuan itu ke area yang lebih sepi. Meski begitu, tak menutup kemungkinan ada telinga-telinga yang mencuri dengar. Apalagi isi pembicaraan mereka berpotensi memicu gosip besar.“Soalnya kamu nyebelin, Mas!” Luna menekankan telunjuknya pada lengan atas Galuh. “Tiba-tiba kasih promosi dengan dalih performaku bagus—”“Harus berapa kali aku bilang, kenyataannya memang kinerjamu di atas rata-rata.”“Tapi, kamu sadar jabatan itu bakal lebih sering mempertemukan kita, kan?” balas Luna semakin sengit. “Mas, aku—aku mungkin bakal suka cita menerimanya kalau statusku sekarang bukan istri Rayyi. Pernah enggak kamu bayangkan bakal seheboh apa pembicaraan di hotel seandainya mereka menangkap basah kita lagi berduaan?”Giliran Galuh yang celingak-celinguk mengamati keadaan d
Seragam floor supervisor untuk Luna sudah tersedia saat masuk di hari Senin. Setelan lengkapnya berupa kemeja putih polos dengan aksen renda yang dipasangkan bersama blazer dan celana bahan hitam. Maryam juga menyerahkan rok selutut hitam sebagai bawahan alternatif yang hanya dikenakan untuk event khusus.“Name tag-mu.” Sang senior menyerahkan plat kecil berwarna keemasan pada Luna. Namanya tertulis dalam warna hitam dan pilihan huruf elegan. “Ganti pakaianmu dan tata rambutmu sesuai arahan saya kemarin. Setelah itu, instruksikan timmu untuk pengecekan kamar di lantai tujuh.”Jika tak ada Brenda, Luna yang lupa membeli sepasang sepatu baru bakal repot cari pinjaman high heels. Sesungguhnya dia tak enak menghadapi sahabat-sahabatnya setelah menerima promosi ini, tetapi mereka terus mendukungnya.“Rezeki newlyweds kata orang-orang mah,” celetuk Dini saat Brenda menyerahkan sepatu miliknya sebelum Luna menemui Maryam. “Siapa tahu kita ikut ketempelen, hehe.”“Ketempelan rezeki dapet prom
“Kamu masuk duluan saja, saya menyusul.”“Kalau mau balik ke hotel juga enggak apa-apa, aku bisa naik ojek biar cepet.”“Bu Maryam hanya mengizinkanmu pergi dan kembali asalkan bersama saya,” Rayyi menjelaskan. “Urusan saya sebentar. Mau salat dulu di musala.”Alih-alih langsung mencari toko yang Brenda tunjukan padanya, Luna malah mengamati Rayyi berjalan cepat menuju tanda Musala yang berada di samping sebuah toko es krim. Padahal waktu Zuhur masih panjang, mengapa pria itu terkesan buru-buru—Sekonyong-konyong, Luna mengingat obrolannya bersama Dikta selepas kunjungan pertama Galuh. Dia masih gusar gara-gara sikap sang ayah yang kurag bersahabat, tetapi berusaha membuka telinga untuk mendengar alasannya.“Waktu melamar Ambu, Abah secara finansial memang bisa dikatakan kurang mapan. Orangtua mana yang rela melepas anak perempuannya pada pria yang kerja serabutan?” Dikta mulai bercerita.“Tapi, Abah berikhtiar juga pada Allah. Sambil mencari kerja, Abah tingkatkan ibadah,” katanya. “
Menjadi putri tunggal pemilik Hotel Cempaka Argadana menempatkan Naura sebagai ahli waris yang diincar banyak pihak. Dari sesama kalangan pebisnis, konglomerat, hingga selebritas. Tentu kedua orangtuanya menyadari hal tersebut, sehingga mereka mengambil langkah awal untuk mengamankan posisi pendamping hidupnya.Galuh Devantara adalah nama yang akhirnya muncul ke publik. Pernikahan sejoli tersebut digelar di tiga negara: Indonesia, Singapura, dan Belanda. Walau hanya kalangan tertenu yang menerima undangan, hajat besar itu masih jadi perbincangan hangat.Sudah lebih dari delapan tahun sejak resepsi megah itu berlangsung, tetapi Rayyi samar-samar mengingat pemberitaannya yang disiarkan di sejumlah stasiun televisi. Mulanya, dia ragu bila Galuh yang dimaksud adalah kakak tingkatnya di universitas sampai kemudian melihat potret profilnya tercetak di sebuah majalah bisnis.Siapa sangka Rayyi bakal bekerja untuknya setahun kemudian.“Rayyi, siapa yang menemani Bu Naura keliling hotel?” Ange
“Bisa kita belok dulu ke drive thru? Aku mau beli makanan.”Rayyi membelokkan mobilnya menuju restoran cepat saji dekat apartemen. Dibiarkannya Luna memesan hingga membayar makanannya. Pria itu menahan dirinya agar tak membuka obrolan menilai dari suasana hati Luna yang belum membaik.Pertahanan itu sayangnya runtuh kala Rayyi terpaksa mengerem demi menghindari tabrakan dengan pengendara motor. Akibatnya, sebagian french fries milik Luna berhamburan mengenai kaki mereka."Luna, maaf.” Cepat-cepat, Rayyi menepikan mobilnya. “Biar saya belikan gantinya.”“Enggak perlu, masih bisa dimakan.” Luna memasukkan potongan kentang yang bersih ke kantung, sementara yang terinjak dipisahkan untuk dibuang ke tempat sampah. “Kamu harus muter jauh kalau kira balik ke restoran.”“Saya bisa pesankan online—”“Rayyi.” Luna menaruh makanannya di atas dasbor. “Aku capek. Kita pulang aja, ya?”Rayyi mengangguk dan membawa mobilnya ke jalan. Kenapa juga dia terkesan mendesak saat Luna sudah menolak? Apa gar
Dua pesan dari Rayyi masuk tepat saat Luna mengambil tasnya.Dipindainya bagian unit yang ditempati Rayyi. Sepi. Barangkali pria itu masuk ke kamar setelah memberitahu di mana tasnya ditaruh. Sebenarnya, Luna merasa bersalah karena seharian senewen pada Rayyi yang hanya mengikuti arahan Galuh.Uh, mengingat namanya saja serta-merta membuat Luna mual.Di ballroom tadi, sembari memegangi Naura, Galuh menebar senyum yang, mengutip seorang karyawati di depannya, cool dan cocok dengan figurnya yang gagah. Sementara wajah sang istri berseri-seri kala membahas acara yang akan diselenggarakan minggu depan.Sebuah pesta gender reveal anak kedua mereka.“Enak, ya, jadi Bu Naura. Hamil empat bulan masih kelihatan singset,” bisik Brenda. “Mau perawatan atau diet yang menunya mahal enggak perlu pusing mikirin bujet. Tinggal gesek kartu sana-sini, tagihan biar suami yang bayar.”“Aku juga kalau punya suami setajir sama seganteng Pak Galuh bakal milih resign buat fokus jadi ibu rumah tangga,” Dini m
“Kamu enggak perlu sampai keluar uang juga buat beliin tiket Ambu. Biar aku yang urus.”“Enggak apa-apa, Luna. Ini hari Minggu. Perjalanan ke Bandung pasti lebih macet, jadi saya belikan tiket kereta cepat supaya Ambu enggak kelamaan di jalan.”Meski sedang di luar kota, Puspa tetap bangun sebelum Subuh untuk salat. Kemudian, tanpa bertanya pada Luna maupun Rayyi, perempuan itu menyediakan sarapan untuk mereka. Suasana hatinya membaik walau irit bicara.“Bu, nanti saya antarkan ke stasiun, ya,” Rayyi membuka pembicaraan saat mereka berkumpul di meja makan. “Pulangnya pakai kereta cepat. Cuma sejam kurang kalau ke Bandung.”Mata Puspa membulat. “Kereta yang berhentinya di stasiun deket masjid besar itu?”“Iya. Ibu nanti bisa, kan, naik feeder? Atau—”“Enggak usah, Ambu mau jalan-jalan dulu begitu sampai di Bandung.” Wajahnya seketika semringah. Puspa bahkan sampai menggenggam tangan Rayyi. “Makasih, mantu Ambu yang paling baik.”Luna memutar bola matanya. Padahal baru kemarin mereka ri
“Aduh, pangling pisan lihat kamu sekarang, Galuh. Bener, kan, kata Ambu. Kamu bakal jadi orang sukses! Sayang almarhum suami enggak mau dengar—”“Ambu, enggak boleh bicara gitu! Kejadiannya udah lama juga.”“Tapi, Ambu yakin bapakmu bakal nyesel pernah ngerendahin Galuh di depan keluarga.”“Cukup, Ambu, tolong hormati pria yang aku pilih jadi suamiku sekarang!”Seketika, ruangan menjadi hening. Luna, dengan napas tersengal, memandangi satu per satu figur yang menempati meja makan. Dari Rayyi yang duduk di hadapannya, lalu Galuh di samping sang suami, dan berakhir pada Puspa di sebelahnya.Makan malam yang awalnya canggung karena kehadiran mendadak Puspa makin tak mengenakan kala Galuh ikut bergabung. Luna yakin pria itu sengaja menerima ajakan ibunya untuk memperkeruh suasana. Apakah ancaman di kamar hotel tempo hari belum cukup baginya?“Pak Galuh sendiri ada keperluan apa kemari?” Rayyi mengambilalih percakapan. Diam-diam, Luna berterimakasih padanya.“Oh, ya, tadi aku mau menanyaka
Menjaga jarak dari Luna, seperti yang diperintahkan Galuh, semestinya mudah bagi Rayyi. Selama bertahun-tahun, pria itu hanya mengenalnya sebagai karyawan housekeeping yang punya hubungan spesial dengan atasan. Setelah mengetahui kisah yang terjadi di antara mereka, Rayyi pun merasa tak sepantasnya dia ikut campur urusan keduanya. Masalahnya, Luna tanpa sengaja masuk ke ranah pribadi Rayyi. Dia menyaksikannya mengalami serangan panik, sesuatu yang telah lama dia tutup. Padahal selama ini kesehatan mentalnya terarsip rapi dalam catatan psikiater yang menanganinya… juga kartu As yang malah Galuh salah gunakan untuk melancarkan serangan. “Rayyi.” Angela melongok dari celah pintu meeting room. “Bilang ke bagian kitchen buat nyiapin lunch. Klien Pak Galuh pengin makan di restoran.” “Huh, pertemuannya belum selesai?” “Sebentar lagi beres. Ini bagian dari ucapan terima kasih.” Sang sekretaris mengedipkan mata. Itu menandakan satu hal: rapatnya mencapai kesepakatan yang diharapkan. “Buruan
Mengunjungi Guntur menjadi momen yang selalu Rayyi nantikan. Selain untuk melepas penat, dia juga dapat memastikan kondisi sang ayah. Sejauh ini, pria itu jarang mengeluh. Berbagai aktivitas yang dijadwalkan pun membuat kondisi kesehatannya lebih stabil.Akan tetapi, peringatan Galuh tadi pagi membuat Rayyi kalut. Alih-alih lega mengetahui tebakannya tepat sasaran, dia malah cemas. Kalau kata orang-orang: overthinking. Jika sang atasan dapat memicu serangan paniknya ‘kambuh’, Rayyi tak bisa membayangkan tindakan apa yang akan dijatuhkannya pada Guntur.“Wajahmu pucat, Rayyi. Sudah makan sebelum ke sini?” Guntur memiringkan kepala; mengecek kondisi putranya yang mampir lebih cepat dari jadwal.“Sudah,” jawab Rayyi sekenanya. Namun, tanggapan itu memerlukan penjelasan agar ayahnya tak ikut cemas. “Mungkin gara-gara kelelahan. Pak Galuh seminggu terakhir di Belanda, bertemu keluarga istrinya. Jadi, saya yang pegang beberapa pekerjaannya.”“Tapi jangan sampai lupa makan juga.” Sang ayah m
“Luna, apa kamu sedang ada masalah?”Untuk sesaat, Luna lega mendapati Rayyi di dekatnya. Bahkan kalau bisa dia ingin berlindung dalam pelukan itu lebih lama. Namun, sebuah suara dari dasar benaknya seketika mengingatkan Luna pada sesuatu: Rayyi hanya pria yang dinikahi demi menyelamatkan harga dirinya di depan keluarga.“Astaga, maaf, aku refleks.” Cepat-cepat, Luna melepas dekapannya. Akan tetapi, ekspresi khawatir masih tercetak di wajah Rayyi. “Kamu habis dari mana?”“Menemui seseorang,” jawab Rayyi sekenanya. “Hei, kamu belum menjawab pertanyaan saya. Kenapa kamu tiba-tiba—”Luna menempelkan telunjuknya pada bibir Rayyi, lalu celingak-celinguk untuk mengecek situasi sekitar. Sepi, hanya beberapa karyawan dan tamu yang lalu lalang di basement. Meski demikian, bukan berarti Luna dapat melepas kewaspadaannya.Lantas, perlukah dia menceritakan apa yang Galuh lakukan pada Rayyi?“Aku—yah, sesuatu terjadi.” Luna memalingkan wajah; tak mau Rayyi mendapati pipinya yang memerah. “Mungkin
“Heh, mau ke mana lo? Bentar lagi juga udah masuk jam makan siang.”“Kalian duluan aja. Bu Maryam minta aku buat ngecek kamar di lantai 12.”Brenda hanya geleng-geleng kepala, lalu menarik Dini memasuki lift. Sebenarnya berat bagi Luna menolak ajakan tersebut karena dia juga lapar. Di sisi lain, perempuan itu juga malas harus berkelit dengan Maryam.Karena lift sedang padat, Luna memilih tangga menuju lantai 12. Menurut keterangan Maryam, ada lima kamar yang sebentar lagi bakal diisi para peserta seminar. Diingatnya lagi nomor-nomor yang disebutkan sebelum mengeceknya saat sampai di lantai tujuan.Mendekati makan siang, beberapa tamu terlihat menarik koper untuk check-out. Ada pula yang keluar untuk mencari hidangan. Kadang, Luna berpapasan dengan staf yang membawakan pesanan khusus room service. Sisanya adalah cerita-cerita penuh kejutan yang berakhir di pantri atau grup khusus housekeeping.Langkah Luna terhenti di kamar nomor 121. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada dua pegawai ya
Satu pesan singkat itu serta-merta membuat Rayyi menengadah ke rumah newah yang berdiri di belakangnya. Sekitar dua jam lalu, dia menjemput Galuh di bandara. Anehnya, sang atasan hanya pulang bersama istrinya.Hal ganjil lain yang Rayyi tangkap adalah sikap Naura yang terlihat biasa saja kala mereka berpapasan. Bahkan saat Galuh pamit sebentar untuk mengurus bagasi, perempuan itu mengacungkan jempol padanya. Rayyi jadi heran, apakah insiden di hotel itu tak sampai ke telinga Naura?“Ayo, kita berangkat sekarang.” Galuh rupanya hanya berganti pakaian. “Sekitar pukul 10 kita harus mengejar meeting di Kemang.”Rayyi mengangguk patuh dan membukakan pintu untuk Galuh. Perjalanan menuju hotel pun dia gunakan untuk tidur. Jet lag-nya pasti belum benar-benar hilang. Lagipula seingat Rayyi mereka tak punya jadwal meeting seharian.‘Sudahlah,’ tepisnya sembari membelokkan mobil menuju lokasi tujuan, ‘satu hal yang pasti saya perlu bersiap untuk menghadapi pert
Bunga tidur yang mampir ke dalam tidur Rayyi malam ini berbeda dari sebelumnya.Langit yang biasanya muram kini tampak biru cerah tanpa awan. Semilir angin membelai wajah Rayyi perlahan. Seluas matanya memandang, dia hanya melihat bentangan rumput yang menari-nari; menggelitik kakinya yang tanpa sepatu.‘Saya di mana?’ batinnya. ‘Apa saya sudah—'“Rayyi.” Panggilan tersebut mengalihkan perhatian Rayyi ke arah sumber suara. Di belakangnya, seorang perempuan muda dengan sundress warna putih menatapnya dari puncak bukit. Tak butuh waktu lama juga baginya mengenali sosok tersebut.“Luna,” gumamnya pelan kala perempuan itu menghampirinya, “apa yang saya—kita lakukan di sini?”Luna mengedik. “Aku di sini buat menikmati pemandangan selagi cuacanya bagus. Butuh refreshing sebentar setelah melewati hari-hari yang melelahkan.”Pernyataan tadi terdengar familier. Ah, benar, itu adalah keluhan yang berkali-kali bergema dalam benak Rayyi setiap kali mendapatkan perintah dari Galuh. Siapa yang mendu
Luna tak menduga bakal menghabiskan sisa masa ‘bulan madu’ di Bali dengan hal-hal sederhana. Jalan-jalan naik sepeda motor jadul. Makan olahan bebek di pinggir pantai. Lalu di penghujung malam, dia dan Rayyi malah menyaksikan pesta kembang api gratis yang terletak tak jauh dari warung makan Wayan.‘Kalau kayak gini terus, aku malah enggak mau pulang,’ batinnya. Apalagi saat mengingat ada tumpukan pekerjaan yang menanti, perempuan itu rasanya ingin menguburkan diri di antara hamparan pasir.“Sensasi menonton kembang api di sini ternyata berbeda jauh dari Jakarta,” gumam Rayyi yang menengadah memandangi langit yang meriah malam itu. “Sama-sama ramai, tapi di sini saya enggak perlu menjaga orang lain.”“Emangnya selama kerja sama Mas Galuh, kamu jarang dapet jatah libur atau cuti?” Sepadat apa sebenarnya jadwal Rayyi sebagai asisten pribadi.Rayyi merapikan salah satu lengan kemejanya. “Ada, tapi saya hanya memakainya satu atau dua kali. Lagi pula, enggak ada keluarga dekat yang perlu say