Share

3 | Apartemen Bersama

“Teteh, kemarin pas nikah kenapa enggak ngabarin Ade?”

“Mau kasih kabar gimana, soalnya mendadak juga. Abah yang minta.”

“Bener kata Ambu statusnya masih nikah siri?”

Luna mendesis mendengar dua kata terakhir itu. “Waktunya mepet, Dimas. Abah enggak mempermasalahkan. Nanti Teteh sama suami juga bakal urus ke pengadilan agama buat urus buku nikah sama kebutuhan lain.”

Di ujung telepon, terdengar obrolan yang didominsi para ibu. Dimas pun menjauhkan ponsel sejenak sebelum meneruskan percakapan. “Maaf, ya, Teh, Ade datang telat sampai enggak lihat pemakaman Abah. Tapi buat keperluan tahlilah semuanya Ade yang tanggung.”

Sekesal apa pun pada Dimas, Luna tak dapat menegur, apalagi sampai membentak. Sejak dulu, sang adik punya backing kuat dari Puspa. Bagi sang ibu, anak laki-lakinya bersih dari kesalahan. Dikta bukannya tak mau menasehati, hanya saja istrinya bakal senewen dan memberikan pembelaan yang kurang masuk akal.

“Syukurlah kamu bantu-bantu Ambu. Teteh enggak bisa tinggal lama-lama karena suami dikejar banyak kerjaan.” Untuk kali pertama, Luna berterimakasih pada Rayyi dan kesibukannya sebagai asisten pribadi. “Udah dulu, ya, Teteh lagi di jalan. Kalau ada apa-apa, kabarin aja lewat chatting.”

Begitu percakapan berakhir, Luna menaruh ponsel di tas. Diliriknya Rayyi yang fokus menyusuri jalanan Jakarta Selatan. Meski kondisi fisiknya perlahan membaik, separuh jiwa Luna masih terasa hampa. Apa artinya menjalani hidup tanpa bimbingan dari seorang ayah?

Terutama selama dua tahun ke depan saat dirinya menjadi istri pura-pura Rayyi.

“Apa kamu mau masuk duluan?” Rayyi menawarkan kala mereka memasuki kawasan apartemen mewah di kawasan Kebayoran Lama. “Nanti saya kirimkan nomor unit dan kode untuk masuk.”

Mulanya, Luna ingin menerima tawaran itu, tetapi urung saat menyadari area tower apartemen yang luas. Bisa-bisa dia tersesat dan memicu kehebohan yang memalukan.

“Enggak, aku ikut kamu aja,” katanya. “Apa Mas Galuh udah kasih kabar?”

“Saya belum cek ponsel.” Perlahan, Rayyi menempatkan mobilnya tak jauh dari lift. “Sebaiknya kita ke atas dulu, lalu saya akan menghubungi Pak Galuh.”

*

Unit apartemen yang akan Luna huni bersama Rayyi rupanya adalah gabungan dua unit dengan sekat berupa pintu geser di tengah ruangan. Luna menempati bagian kiri yang lebih luas, sementara Rayyi berada di bagian kanan.

Kedua unit sama-sama mengusung desain interior minimalis dengan sentuhan mewah dari lantai marmer. Jendela-jendela panjang yang mengarah ke balkon menampakkan gedung-gedung pencakar langit yang menjadi ciri khas city view Jakarta. Pemandangan yang sering kali Luna jadikan pelarian untuk melepas tekanan di tengah padatnya pekerjaan.

“Pak Galuh sedang di jalan.” Kehadiran Rayyi mengejutkan Luna yang tengah mengamati langit malam yang baru merekah. “Saya harus ke bawah untuk mengambil makan malam. Apa kamu baik-baik saja ditinggal sendiri?”

Sebelum pernikahan ini terjadi, Luna pasti menjawab ya, semuanya akan baik-baik saja selama bersama Galuh. Momen kebersamaan mereka yang terhalang status dan kondisi finansial selalu dimanfaatkan sebaik mungkin. Pasalnya, Luna tak tahu kapan lagi Galuh dapat meluangkan waktu bersamanya.

Sekarang, entah mengapa Luna memerlukan Rayyi. Mungkin demi mempetahankan kewarasannya. Perempuan mana yang tak murka bila pria yang dicintainya malah meminta mereka menikah dengan orang lain?

“Aku—aku bisa handle Mas Galuh,” dustanya. Berharap Rayyi hanya pergi sebentar. “Silakan keluar buat ambil makananmu.”

Selang sepuluh menit sepeninggal Rayyi, Luna mendengar bel pintu berbunyi. Diaturnya napas sambil mengecek penampilan. Rambut hitam sebahunya dibiarkan tergerai, jatuh tepat di atas blus biru navy selutut. Sekilas terlalu simpel untuk  seorang penghuni apartemen mewah, tetapi dia tak mau terlalu memusingkannya.

Ketika membuka pintu, beberapa tangkai bunga putih menyambut Luna. Di baliknya, wajah Galuh menyembul; berhiaskan senyum yang tak pernah gagal meluluhkan pertahanannya.

“Anggrek bulan.” Galuh menyerahkan tanaman hias itu pada Luna. “Kubeli khusus dari teman yang sudah lama jadi kolektor bunga.”

Meski awalnya ragu, Luna menerima anggrek itu. Satu hal yang belum berubah dari Galuh adalah mengingat hal-hal favoritnya. Padahal Luna sudah lama membuang keinginan merawat bunga ini, tetapi siapa sangka….

“Terima kasih.” Meski begitu, Luna tak mau cepat luluh. “Tapi bunganya kuterima bukan karena aku memaafkanmu, Mas."

Senyum di wajah pria itu mengisut. “Aku paham kamu perlu memproses semua kejadian yang berlangsung sejak minggu lalu, terutama kematian ayahmu.”

“Silakan duduk.” Luna enggan berbasa-basi. “Biar aku siapkan minum dulu.”

“Tidak perlu, tadi aku titip pesanan sama Rayyi saat kami bertemu di lobi.” Sial, Luna jadi tak bisa mengulur waktu. “Kemarilah. Bukannya kamu ingin mendengar penjelasan tentang apartemen ini?”

*

Galuh membeli unit apartemen mewah itu empat tahun lalu, tepat dua bulan sebelum pandemi melumpuhkan bisnis perhotelan. Sempat terpikir untuk menjual, tetapi dia mengurungkannya karena potensi rugi yang besar. Pada akhirnya, Galuh menyewakan tempat itu dengan tarif sewa terjangkau sebagai sumber pemasukan tambahan.

“Saat hotel-hotel kembali dipenuhi wisatawan, apartemen ini tak lagi disewakan,” pungkas Galuh sembari memindai ruang tengah. “Hampir aku jual sebelum, yah, kamu dan Rayyi—”

“Apa Naura tahu keberadaan unit ini?” potong Luna cepat.

Galuh mengangguk walau agak ragu. “Bukan hal mudah menyembunyikan properti, tetapi dia enggak terlalu mengulik alasanku membelinya. Toh dia punya aset lebih banyak.”

‘Dasar orang kaya,’ gerutu Luna dalam hati. “Apa menurutmu enggak berlebihan? Aku bekerja sebagai housekeeper di hotel. Lalu Rayyi, meski dia asistenmu, gajinya enggak akan cukup bayar sewa bulanannya.”

“Memangnya aku minta kalian buat bayar uang sewa?” Galuh mencondongkan tubuhnya. “Semua ini kulakukan demi meyakinkan orang-orang kalau kamu dan Rayyi adalah pasutri. Supaya mereka juga tidak mencurigai sesuatu di antara kita.”

Kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Galuh seketika mengurungkan Luna yang hendak melempar protes. Keningnya mengernyit.

“Mas, apa maksudmu—apa ada orang yang mencurigai kita?” Luna menarik tangan Galuh yang hampir menghindarinya. “Cuma Rayyi yang tahu tentang hubungan kita, kan?”

Pria di hadapannya menepuk-nepuk punggung tangan Luna. “Tenang, Rayyi tidak akan semudah itu membocorkan semuanya. Hanya saja keluarga Naura hampir tahu kontrak nikah yang kami buat dulu.”

Pernikahan Galuh dan Naura tak jauh berbeda dari Luna dan Rayyi. Sama-sama berstatus kontrak. Bedanya, Galuh rela menerima perjodohan atas desakan kedua pihak keluarga demi mengembangkan bisnis.

Faktor itu pula yang membuat Luna, selama hampir satu dekade, yakin bila Galuh tak akan mudah berpaling darinya.

“Aku cemas, kalau mereka terus mengikuti kecurigaan itu, hubungan kita akan ikut terendus,” Galuh meneruskan. “Makanya aku rela mengeluarkan biaya supaya pernikahan kalian terlihat meyakinkan.”

Tidak, Luna tidak tersentuh. Keputusan yang Galuh ambil tetap menyakiti perasaannya. Malah setelah mendengar pengakuan tersebut, dia yakin menetap di apartemen semewah ini tak akan menenangkan hati dan pikirannya.

“Biar aku yang buka,” ujar Luna kala mendengar bel pintu berbunyi. Laparnya sudah hilang, tetapi dia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari Galuh.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status