“Teteh, kemarin pas nikah kenapa enggak ngabarin Ade?”
“Mau kasih kabar gimana, soalnya mendadak juga. Abah yang minta.”
“Bener kata Ambu statusnya masih nikah siri?”
Luna mendesis mendengar dua kata terakhir itu. “Waktunya mepet, Dimas. Abah enggak mempermasalahkan. Nanti Teteh sama suami juga bakal urus ke pengadilan agama buat urus buku nikah sama kebutuhan lain.”
Di ujung telepon, terdengar obrolan yang didominsi para ibu. Dimas pun menjauhkan ponsel sejenak sebelum meneruskan percakapan. “Maaf, ya, Teh, Ade datang telat sampai enggak lihat pemakaman Abah. Tapi buat keperluan tahlilah semuanya Ade yang tanggung.”
Sekesal apa pun pada Dimas, Luna tak dapat menegur, apalagi sampai membentak. Sejak dulu, sang adik punya backing kuat dari Puspa. Bagi sang ibu, anak laki-lakinya bersih dari kesalahan. Dikta bukannya tak mau menasehati, hanya saja istrinya bakal senewen dan memberikan pembelaan yang kurang masuk akal.
“Syukurlah kamu bantu-bantu Ambu. Teteh enggak bisa tinggal lama-lama karena suami dikejar banyak kerjaan.” Untuk kali pertama, Luna berterimakasih pada Rayyi dan kesibukannya sebagai asisten pribadi. “Udah dulu, ya, Teteh lagi di jalan. Kalau ada apa-apa, kabarin aja lewat chatting.”
Begitu percakapan berakhir, Luna menaruh ponsel di tas. Diliriknya Rayyi yang fokus menyusuri jalanan Jakarta Selatan. Meski kondisi fisiknya perlahan membaik, separuh jiwa Luna masih terasa hampa. Apa artinya menjalani hidup tanpa bimbingan dari seorang ayah?
Terutama selama dua tahun ke depan saat dirinya menjadi istri pura-pura Rayyi.
“Apa kamu mau masuk duluan?” Rayyi menawarkan kala mereka memasuki kawasan apartemen mewah di kawasan Kebayoran Lama. “Nanti saya kirimkan nomor unit dan kode untuk masuk.”
Mulanya, Luna ingin menerima tawaran itu, tetapi urung saat menyadari area tower apartemen yang luas. Bisa-bisa dia tersesat dan memicu kehebohan yang memalukan.
“Enggak, aku ikut kamu aja,” katanya. “Apa Mas Galuh udah kasih kabar?”
“Saya belum cek ponsel.” Perlahan, Rayyi menempatkan mobilnya tak jauh dari lift. “Sebaiknya kita ke atas dulu, lalu saya akan menghubungi Pak Galuh.”
*
Unit apartemen yang akan Luna huni bersama Rayyi rupanya adalah gabungan dua unit dengan sekat berupa pintu geser di tengah ruangan. Luna menempati bagian kiri yang lebih luas, sementara Rayyi berada di bagian kanan.
Kedua unit sama-sama mengusung desain interior minimalis dengan sentuhan mewah dari lantai marmer. Jendela-jendela panjang yang mengarah ke balkon menampakkan gedung-gedung pencakar langit yang menjadi ciri khas city view Jakarta. Pemandangan yang sering kali Luna jadikan pelarian untuk melepas tekanan di tengah padatnya pekerjaan.
“Pak Galuh sedang di jalan.” Kehadiran Rayyi mengejutkan Luna yang tengah mengamati langit malam yang baru merekah. “Saya harus ke bawah untuk mengambil makan malam. Apa kamu baik-baik saja ditinggal sendiri?”
Sebelum pernikahan ini terjadi, Luna pasti menjawab ya, semuanya akan baik-baik saja selama bersama Galuh. Momen kebersamaan mereka yang terhalang status dan kondisi finansial selalu dimanfaatkan sebaik mungkin. Pasalnya, Luna tak tahu kapan lagi Galuh dapat meluangkan waktu bersamanya.
Sekarang, entah mengapa Luna memerlukan Rayyi. Mungkin demi mempetahankan kewarasannya. Perempuan mana yang tak murka bila pria yang dicintainya malah meminta mereka menikah dengan orang lain?
“Aku—aku bisa handle Mas Galuh,” dustanya. Berharap Rayyi hanya pergi sebentar. “Silakan keluar buat ambil makananmu.”
Selang sepuluh menit sepeninggal Rayyi, Luna mendengar bel pintu berbunyi. Diaturnya napas sambil mengecek penampilan. Rambut hitam sebahunya dibiarkan tergerai, jatuh tepat di atas blus biru navy selutut. Sekilas terlalu simpel untuk seorang penghuni apartemen mewah, tetapi dia tak mau terlalu memusingkannya.
Ketika membuka pintu, beberapa tangkai bunga putih menyambut Luna. Di baliknya, wajah Galuh menyembul; berhiaskan senyum yang tak pernah gagal meluluhkan pertahanannya.
“Anggrek bulan.” Galuh menyerahkan tanaman hias itu pada Luna. “Kubeli khusus dari teman yang sudah lama jadi kolektor bunga.”
Meski awalnya ragu, Luna menerima anggrek itu. Satu hal yang belum berubah dari Galuh adalah mengingat hal-hal favoritnya. Padahal Luna sudah lama membuang keinginan merawat bunga ini, tetapi siapa sangka….
“Terima kasih.” Meski begitu, Luna tak mau cepat luluh. “Tapi bunganya kuterima bukan karena aku memaafkanmu, Mas."
Senyum di wajah pria itu mengisut. “Aku paham kamu perlu memproses semua kejadian yang berlangsung sejak minggu lalu, terutama kematian ayahmu.”
“Silakan duduk.” Luna enggan berbasa-basi. “Biar aku siapkan minum dulu.”
“Tidak perlu, tadi aku titip pesanan sama Rayyi saat kami bertemu di lobi.” Sial, Luna jadi tak bisa mengulur waktu. “Kemarilah. Bukannya kamu ingin mendengar penjelasan tentang apartemen ini?”
*
Galuh membeli unit apartemen mewah itu empat tahun lalu, tepat dua bulan sebelum pandemi melumpuhkan bisnis perhotelan. Sempat terpikir untuk menjual, tetapi dia mengurungkannya karena potensi rugi yang besar. Pada akhirnya, Galuh menyewakan tempat itu dengan tarif sewa terjangkau sebagai sumber pemasukan tambahan.
“Saat hotel-hotel kembali dipenuhi wisatawan, apartemen ini tak lagi disewakan,” pungkas Galuh sembari memindai ruang tengah. “Hampir aku jual sebelum, yah, kamu dan Rayyi—”
“Apa Naura tahu keberadaan unit ini?” potong Luna cepat.
Galuh mengangguk walau agak ragu. “Bukan hal mudah menyembunyikan properti, tetapi dia enggak terlalu mengulik alasanku membelinya. Toh dia punya aset lebih banyak.”
‘Dasar orang kaya,’ gerutu Luna dalam hati. “Apa menurutmu enggak berlebihan? Aku bekerja sebagai housekeeper di hotel. Lalu Rayyi, meski dia asistenmu, gajinya enggak akan cukup bayar sewa bulanannya.”
“Memangnya aku minta kalian buat bayar uang sewa?” Galuh mencondongkan tubuhnya. “Semua ini kulakukan demi meyakinkan orang-orang kalau kamu dan Rayyi adalah pasutri. Supaya mereka juga tidak mencurigai sesuatu di antara kita.”
Kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Galuh seketika mengurungkan Luna yang hendak melempar protes. Keningnya mengernyit.
“Mas, apa maksudmu—apa ada orang yang mencurigai kita?” Luna menarik tangan Galuh yang hampir menghindarinya. “Cuma Rayyi yang tahu tentang hubungan kita, kan?”
Pria di hadapannya menepuk-nepuk punggung tangan Luna. “Tenang, Rayyi tidak akan semudah itu membocorkan semuanya. Hanya saja keluarga Naura hampir tahu kontrak nikah yang kami buat dulu.”
Pernikahan Galuh dan Naura tak jauh berbeda dari Luna dan Rayyi. Sama-sama berstatus kontrak. Bedanya, Galuh rela menerima perjodohan atas desakan kedua pihak keluarga demi mengembangkan bisnis.
Faktor itu pula yang membuat Luna, selama hampir satu dekade, yakin bila Galuh tak akan mudah berpaling darinya.
“Aku cemas, kalau mereka terus mengikuti kecurigaan itu, hubungan kita akan ikut terendus,” Galuh meneruskan. “Makanya aku rela mengeluarkan biaya supaya pernikahan kalian terlihat meyakinkan.”
Tidak, Luna tidak tersentuh. Keputusan yang Galuh ambil tetap menyakiti perasaannya. Malah setelah mendengar pengakuan tersebut, dia yakin menetap di apartemen semewah ini tak akan menenangkan hati dan pikirannya.
“Biar aku yang buka,” ujar Luna kala mendengar bel pintu berbunyi. Laparnya sudah hilang, tetapi dia butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari Galuh.
***
Saat membaca dua pesan tersebut, Luna yang baru bangun tidur hanya mengedik. Namun saat kesadarannya terkumpul, dia menyadari bahwa jatah cuti berdukanya sudah habis.Itu berarti, Luna akan kembali menjalani realitanya sebagai staf housekeeping.*Jarak dari apartemen ke hotel tempat Luna bekerja hanya sekitar satu kilometer. Meski demikian, jalan panjang yang memisahkan kedua tempat itu mengharuskannya mengambil jasa ojek online karena sedang malas berdesakan di LRT.Sesampainya di hotel, Luna bergegas memutari gedung utama menuju pintu yang berada di dekat basement. Rute yang umum diambil staf housekeeping agar cepat sampai ke area kerja untuk mempersiapkan perlengkapan. Setelah berpapasan dengan beberapa rekannya, Luna sampai di ruang karyawan dan langsung disambut pelukan dari Dini serta Brenda.“Kangen banget sama looo,” pekik Brenda setelah mememberikan pelukan erat. “Padahal enggak sampai se
Ketika tak sengaja menangkap Galuh mengecup pipi Luna di ruang kerjanya, Rayyi tak menduga momen tersebut bakal membawanya pada sebuah kesepakatan besar.Kadang, Rayyi bertanya-tanya, apakah keputusannya menerima tawaran Galuh untuk menjadi asisten pribadinya adalah sebuah kekeliruan? Salahkah dia mengambilnya demi bertahan hidup, terutama setelah ayahnya ditahan karena kasus korupsi yang menjebaknya sebagai tersangka?“Mas Rayyi, permisi,” panggil seorang pria berseragam yang tengah mengetuk jendela mobilnya. “Ini area parkir buat petugas. Silakan pindah ke dekat pintu keluar.”“Oh, maaf. Saya pasti tidak lihat tandanya.” Padahal Rayyi rutin mampir ke sini, tetapi baru sekarang dia melamun sampai salah ambil tempat parkir. Maka setelah membawa mobilnya ke area yang tepat, pria itu meluangkan waktu untuk menyisihkan pikiran-pikiran yang mengusiknya sejak pagi.Pasalnya, Rayyi tak mau membuat sang ayah cemas.*“Waduh, bawa apa kamu hari ini? Apa enggak kebanyakan?”“Cuma donat sama ro
Selama menjadi asisten pribadi Galuh, Rayyi senantiasa bersiap sebelum matahari menampakkan diri di ufuk timur. Selain menghindari kemacetan ibu kota, dia harus menyiapkan keperluan sang atasan di rumahnya. Kadang, Rayyi menemaninya seharian, di lain waktu dia diterjunkan untuk menjalankan misi-misi tertentu.Kepindahannya ke apartemen baru bersama Luna pun tak mengubah banyak rutinitas tersebut.Pagi ini, selepas salat Subuh, Rayyi sudah membereskan perlengkapan kerja. Diambilnya jas yang tersimpai di kursi, lalu melangkah keluar untuk menyantap sarapan ala kadarnya. Setelah mencuci piring, pria itu mengambil sepatu di rak. Tepat saat tangannya hendak membuka pintu, sebuah pesan dari Galuh masuk ke ponsel.Keningnya mengernyit. Matanya lantas mengerling ke pintu yang dijadikan sekat.Bukannya menjawab lewat pesan, Galuh malah meneloponnya. Rayyi mengembuskan napas panjang sebelum men
“Ternyata benar dugaanku, kamu yang nyuruh Rayyi.”“Lantas, aku harus bagaimana lagi, Luna? Kamu memblokir semua kontakku.”Luna mengecek situasi di sekitar mereka. Saat Rayyi pamit meninggalkannya, Galuh serta-merta membawa perempuan itu ke area yang lebih sepi. Meski begitu, tak menutup kemungkinan ada telinga-telinga yang mencuri dengar. Apalagi isi pembicaraan mereka berpotensi memicu gosip besar.“Soalnya kamu nyebelin, Mas!” Luna menekankan telunjuknya pada lengan atas Galuh. “Tiba-tiba kasih promosi dengan dalih performaku bagus—”“Harus berapa kali aku bilang, kenyataannya memang kinerjamu di atas rata-rata.”“Tapi, kamu sadar jabatan itu bakal lebih sering mempertemukan kita, kan?” balas Luna semakin sengit. “Mas, aku—aku mungkin bakal suka cita menerimanya kalau statusku sekarang bukan istri Rayyi. Pernah enggak kamu bayangkan bakal seheboh apa pembicaraan di hotel seandainya mereka menangkap basah kita lagi berduaan?”Giliran Galuh yang celingak-celinguk mengamati keadaan d
Seragam floor supervisor untuk Luna sudah tersedia saat masuk di hari Senin. Setelan lengkapnya berupa kemeja putih polos dengan aksen renda yang dipasangkan bersama blazer dan celana bahan hitam. Maryam juga menyerahkan rok selutut hitam sebagai bawahan alternatif yang hanya dikenakan untuk event khusus.“Name tag-mu.” Sang senior menyerahkan plat kecil berwarna keemasan pada Luna. Namanya tertulis dalam warna hitam dan pilihan huruf elegan. “Ganti pakaianmu dan tata rambutmu sesuai arahan saya kemarin. Setelah itu, instruksikan timmu untuk pengecekan kamar di lantai tujuh.”Jika tak ada Brenda, Luna yang lupa membeli sepasang sepatu baru bakal repot cari pinjaman high heels. Sesungguhnya dia tak enak menghadapi sahabat-sahabatnya setelah menerima promosi ini, tetapi mereka terus mendukungnya.“Rezeki newlyweds kata orang-orang mah,” celetuk Dini saat Brenda menyerahkan sepatu miliknya sebelum Luna menemui Maryam. “Siapa tahu kita ikut ketempelen, hehe.”“Ketempelan rezeki dapet prom
“Kamu masuk duluan saja, saya menyusul.”“Kalau mau balik ke hotel juga enggak apa-apa, aku bisa naik ojek biar cepet.”“Bu Maryam hanya mengizinkanmu pergi dan kembali asalkan bersama saya,” Rayyi menjelaskan. “Urusan saya sebentar. Mau salat dulu di musala.”Alih-alih langsung mencari toko yang Brenda tunjukan padanya, Luna malah mengamati Rayyi berjalan cepat menuju tanda Musala yang berada di samping sebuah toko es krim. Padahal waktu Zuhur masih panjang, mengapa pria itu terkesan buru-buru—Sekonyong-konyong, Luna mengingat obrolannya bersama Dikta selepas kunjungan pertama Galuh. Dia masih gusar gara-gara sikap sang ayah yang kurag bersahabat, tetapi berusaha membuka telinga untuk mendengar alasannya.“Waktu melamar Ambu, Abah secara finansial memang bisa dikatakan kurang mapan. Orangtua mana yang rela melepas anak perempuannya pada pria yang kerja serabutan?” Dikta mulai bercerita.“Tapi, Abah berikhtiar juga pada Allah. Sambil mencari kerja, Abah tingkatkan ibadah,” katanya. “
Menjadi putri tunggal pemilik Hotel Cempaka Argadana menempatkan Naura sebagai ahli waris yang diincar banyak pihak. Dari sesama kalangan pebisnis, konglomerat, hingga selebritas. Tentu kedua orangtuanya menyadari hal tersebut, sehingga mereka mengambil langkah awal untuk mengamankan posisi pendamping hidupnya.Galuh Devantara adalah nama yang akhirnya muncul ke publik. Pernikahan sejoli tersebut digelar di tiga negara: Indonesia, Singapura, dan Belanda. Walau hanya kalangan tertenu yang menerima undangan, hajat besar itu masih jadi perbincangan hangat.Sudah lebih dari delapan tahun sejak resepsi megah itu berlangsung, tetapi Rayyi samar-samar mengingat pemberitaannya yang disiarkan di sejumlah stasiun televisi. Mulanya, dia ragu bila Galuh yang dimaksud adalah kakak tingkatnya di universitas sampai kemudian melihat potret profilnya tercetak di sebuah majalah bisnis.Siapa sangka Rayyi bakal bekerja untuknya setahun kemudian.“Rayyi, siapa yang menemani Bu Naura keliling hotel?” Ange
“Bisa kita belok dulu ke drive thru? Aku mau beli makanan.”Rayyi membelokkan mobilnya menuju restoran cepat saji dekat apartemen. Dibiarkannya Luna memesan hingga membayar makanannya. Pria itu menahan dirinya agar tak membuka obrolan menilai dari suasana hati Luna yang belum membaik.Pertahanan itu sayangnya runtuh kala Rayyi terpaksa mengerem demi menghindari tabrakan dengan pengendara motor. Akibatnya, sebagian french fries milik Luna berhamburan mengenai kaki mereka."Luna, maaf.” Cepat-cepat, Rayyi menepikan mobilnya. “Biar saya belikan gantinya.”“Enggak perlu, masih bisa dimakan.” Luna memasukkan potongan kentang yang bersih ke kantung, sementara yang terinjak dipisahkan untuk dibuang ke tempat sampah. “Kamu harus muter jauh kalau kira balik ke restoran.”“Saya bisa pesankan online—”“Rayyi.” Luna menaruh makanannya di atas dasbor. “Aku capek. Kita pulang aja, ya?”Rayyi mengangguk dan membawa mobilnya ke jalan. Kenapa juga dia terkesan mendesak saat Luna sudah menolak? Apa gar