Share

2 | Janji Basi

Hujan menyambut Luna setibanya di Braga. Jalanan yang biasanya dipadati orang-orang yang sibuk mengambil foto kini lebih lengang sekaligus muram. Seakan-akan mewakili suasana hatinya yang masih dirundung duka.

Sementara di kursi supir, Rayyi tampak fokus membawa mobil menuju sebuah hotel mewah yang berada di ujung kawasan tersebut.

“Hati-hati,” ujar Rayyi kala membukakan pintu untuk Luna. Pria itu bahkan mengulurkan tangan untuk berpegangan, tetapi dia memilih pinggiran jendela untuk menopang bobot tubuh agar tak terjatuh. “Saya akan mengantarmu ke kamar Pak Galuh. Dia menunggu kita di sana.”

“Boleh aku tahu urusan apa yang mendesak kita harus menemuinya sekarang?”

Rayyi memalingkan wajah. Respons itu menandakan satu hal: Galuh ingin menyampaikan semuanya pada Luna secara empat mata.

“Baiklah, kita—” Saat hendak melangkah salah satu bagian kepala Luna berdenyut yang lantas disusul nyeri. Namun, sebelum Rayyi sempat memberi bantuan, perempuan ini segera menepis tangannya. “Bisa kamu belikan… paracetamol?”

“Kalau paracetamol, saya selalu sedia di mobil.” Rayyi berjalan memutar untuk mengambil kotak obat-obatan di dasbor. Kemudian, dia membuka pintu penumpang di samping supir agar Luna bisa duduk. “Apa saya perlu memberitahu Pak Galuh tentang kondisimu?”

Luna menggeleng cepat sembari meminum obat yang diberikan Rayyi. Menunda hanya membuat emosi yang dipendamnya meledak di tempat dan waktu yang salah. “Beri aku lima menit, lalu kita masuk ke hotel.”

*

Kepergian sang ayah yang begitu mendadak serta pernikahan yang tak diharapkan bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik Luna. Otaknya pun memproses hal-hal trivial lebih lambat dari biasanya. Karena bagaimana mungkin dia baru menyadari hotel yang didatanginya sekarang adalah salah satu bisnis yang dikelola Galuh.

Ralat, bisnis milik keluarga istri Galuh, lebih tepatnya.

Ding! Ketika pintu lift terbuka, Rayyi mempersilakan Luna keluar terlebih dulu. Mereka berada di lantai teratas yang hanya ditempati tamu-tamu kamar kelas suite. Keduanya lalu melangkah sampai berhenti di depan kamar yang berada di ujung lorong.

Rayyi menoleh pada Luna. Hanya perasaannya atau sekilas dia menangkap kecemasan berkilat pada sorot mata pria itu?

“Apa kamu sudah siap menemui Pak Galuh?”

“Jangan bikin dia menunggu lama.” Luna meremas ujung jemarinya yang mendingin. “Aku juga ingin cepat-cepat istirahat.”

Rayyi mengangguk, lalu menekan bel dua kali. Jantung Luna berdegup kencang kala pintu terbuka perlahan dan menampakkan sosok tinggi tegap yang begitu dia benci sekaligus rindukan.

Matanya memanas kala pandangan mereka bertemu. Senyum penuh penyesalan yang terkembang di wajah pria itu pun tak menolong banyak.

“Selamat datang,” katanya. Tatapannya lantas beralih pada Rayyi. “Tolong siapkan kamar untuk Luna. Lalu, temui kami setengah jam lagi di sini.”

*

Ada banyak umpatan yang siap Luna lontarkan saat pintu kamar tertutup di belakangnya. Namun, kondisi fisiknya yang belum pulih menyekat tenggorokannya yang serak akibat terlalu lama menangis dalam diam. Menyadari kekacauan tersebut, Galuh membimbing Luna untuk duduk di sofa yang terletak di samping jendela panjang.

Alih-alih duduk di hadapannya, Galuh malah bersimpuh; mengejutkan Luna yang sedang menahan tangis. Tangannya yang panjang dan kokoh meraih tangan perempuan itu. Jemari mereka kemudian tanpa dikomando saling bertaut.

“Maafkan aku, Luna,” ujar Galuh. Meski penerangan agak remang, Luna dapat melihat kedua matanya yang kemerahan. “Saat Rayyi mengabari kematian ayahmu, aku—aku sangat menyesal. Seandainya aku bisa menepati janjiku untuk menikahimu….”

Janji itu, janji yang juga Galuh katakan saat bertatap muka dengan Dikta. Sayangnya, sang ayah saat itu belum menerima restu karena menganggap Galuh belum sanggup memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. ‘Biarkan putriku bekerja dulu,’ katanya mengingat Luna baru lulus kuliah.

Kesal, sedih, kecewa. Semua emosi itu bercampur sampai Luna bingung mencari kata untuk mendeskripsikannya.

“Mau gimana lagi, Mas? Kamu yang menyarankanku menikahi asistenmu sebagai pengganti karena aku menolak jadi istri keduamu.” Napas Luna tersekat sesaat. “Janjimu hanya delapan tahun, makanya aku pede bilang sama Abah bakal bawa calon suami tahun ini. Aku senang bisa membuktikan kamu udah mapan dan bertanggungjawab.

“Tapi, kamu malah memperpanjang kontrak pernikahanmu tanpa kasih penjelasan padaku.”

“Semuanya di luar rencanaku maupun Naura.” Genggaman Galuh kian menguat. “Aku juga belum bisa memberi alasannya dalam waktu terdekat. Menikahkanmu dan Rayyi adalah satu-satunya ospi yang dapat menyelamatkan kita sementara waktu.”

“Menyelamatkan kita?” Luna tersenyum getir. “Hanya menyelamatkanmu lebih tepatnya, karena aku malah malu dan kesal harus membawa pria lain untuk jadi suamiku.”

“Luna, tunggu sebentar—”

“Minggir, Mas!”

Sekuat mungkin, Luna melepaskan cengkeraman tangan Galuh dan beranjak dari kursi. Namun, pandangannya yang mengabur menyulitkannya melangkah sampai akhirnya dia tersandung kaki kursi. Kali ini, Luna tak dapat menyelamatkan diri dan membiarkan gravitasi menarik tubuhnya ke lantai.

“Luna!”

Kala matanya tertutup, Luna mendengar pintu terbuka, disusul sepasang tangan yang menangkap tubuhnya beberapa detik sebelum terhempas ke lantai marmer. Hidungnya lalu menangkap aroma parfum musk yang seharian menemaninya bepergian.

Matanya membelalak. Sesuai dugaan, bukan Galuh yang menyelamatkannya.

“Maaf, saya….” Perlahan, Rayyi membawa Luna ke kursi terdekat, sementara Galuh mengambilkan secangkir teh. “Saya hanya mau mengabarkan kamar untuk Luna sudah siap.”

“Antar aku ke sana, Rayyi.” Bersama sisa tenaga dan harga diri, Luna beranjak dari kursi. Galuh hendak mencegah, tetapi perempuan itu menatap tajam Rayyi yang kebingungan karena terjepit di antara dua pihak. “Kamu suamiku, bukan? Ayo, tunjukkan di mana aku harus beristirahat."

*

Galuh berusaha menghubungi Luna berkali-kali. Persis seperti yang dilakukannya dulu saat mengabari perjodohannya dengan Naura. ‘Kedua orangtua kami sudah menyiapkan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku maupun dia,’ dalihnya pada saat itu. Luna pun pada akhirnya harus mengorbankan hubungan mereka yang telah berjalan selama lima tahun.

Luna tak pernah menduga akan mengalaminya untuk kali kedua.

Bunyi bel mengalihkan perhatian Luna. Apakah ini usaha baru Galuh untuk membujuknya keluar? Ck, benar-benar keras kepala. Perempuan itu mengabaikannya, lalu kembali bergelung di bawah selimut.

Selang dua menit kemudian, bel berbunyi lagi. Luna sempat tergoda untuk mengecek, tetapi masih mampu bertahan agar tak meninggalkan ranjang. Namun, pada percobaan ketiga, Luna menyerah demi bisa mendapatkan waktu istirahat yang dibutuhkan.

“Apa, sih, yang kamu—” Luna terkesiap kala mendapati sosok yang berdiri di depan kamar adalah Rayyi. “Ya ampun, kukira Mas Galuh. Kenapa kamu enggak telepon aku dulu?”

“Sudah, tapi sepertinya teleponmu sedang tidak aktif.”

Luna mengusap wajah; menyembunyikan malunya. Demi menghindari gangguan Galuh, dia mematikan perangkat tersebut.

“Lalu, ada perlu apa kamu sampai menyusulku ke sini?”

“Pak Galuh ingin memastikan kondisimu baik-baik saja.” Tentu, pria itu bakal mengutus asistennya sebagai upaya terakhir. “Besok pagi, dia juga akan pulang ke Jakarta karena ada meeting penting yang harus dikejar.”

Jika Galuh pergi, berarti Rayyi kemungkinan besar ikut untuk mengurus kebutuhan kerja.

“Aku bisa ke Jakarta sendiri seandainya Mas Galuh perlu kamu buat ngurus kerjaan.”

Rayyi menatapnya kebingungan. “Saya tidak akan ikut Pak Galuh. Justru dia meminta saya menemanimu pulang ke, umh, apartemen yang sudah disiapkan.”

Rencana apa lagi yang Galuh siapkan untuknya? Apakah pernikahannya dengan Rayyi belum cukup menyiksa?

“Apartemen dari Pak Galuh,” Rayyi meneruskan, “letaknya dekat dengan hotel tempatmu bekerja. Saya juga akan tinggal di sana.”

“Kita tinggal satu atap?” Luna ternganga. Meski status mereka suami istri, ganjil rasanya mendapati fakta mereka harus menetap di apartemen yang sama. “Di mana dia sekarang? Apa masih di kamarnya? Biar aku—”

“Luna, sebentar.” Dengan cepat, Rayyi menahan langkah Luna sampai mereka hampir bertubrukan. “Pak Galuh sedang tidak bisa diganggu. Untuk membahas tentang apartemen, dia akan menemui kita langsung di unit itu.”

Benar-benar merepotkan. “Sesibuk apa dia malam ini? Siapa yang dia temui?”

Tiba-tiba, wajah Rayyi mengeras. Matanya mengawasi lorong menuju kamar Galuh.

“Tadi sore, keluarga Bu Naura datang,” jawabnya yang serta-merta membungkam mulut Luna. “Untuk itu, Pak Galuh meminta saya mengawasimu dan menemanimu sampai kita ke Jakarta besok siang.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status