Hujan menyambut Luna setibanya di Braga. Jalanan yang biasanya dipadati orang-orang yang sibuk mengambil foto kini lebih lengang sekaligus muram. Seakan-akan mewakili suasana hatinya yang masih dirundung duka.
Sementara di kursi supir, Rayyi tampak fokus membawa mobil menuju sebuah hotel mewah yang berada di ujung kawasan tersebut.
“Hati-hati,” ujar Rayyi kala membukakan pintu untuk Luna. Pria itu bahkan mengulurkan tangan untuk berpegangan, tetapi dia memilih pinggiran jendela untuk menopang bobot tubuh agar tak terjatuh. “Saya akan mengantarmu ke kamar Pak Galuh. Dia menunggu kita di sana.”
“Boleh aku tahu urusan apa yang mendesak kita harus menemuinya sekarang?”
Rayyi memalingkan wajah. Respons itu menandakan satu hal: Galuh ingin menyampaikan semuanya pada Luna secara empat mata.
“Baiklah, kita—” Saat hendak melangkah salah satu bagian kepala Luna berdenyut yang lantas disusul nyeri. Namun, sebelum Rayyi sempat memberi bantuan, perempuan ini segera menepis tangannya. “Bisa kamu belikan… paracetamol?”
“Kalau paracetamol, saya selalu sedia di mobil.” Rayyi berjalan memutar untuk mengambil kotak obat-obatan di dasbor. Kemudian, dia membuka pintu penumpang di samping supir agar Luna bisa duduk. “Apa saya perlu memberitahu Pak Galuh tentang kondisimu?”
Luna menggeleng cepat sembari meminum obat yang diberikan Rayyi. Menunda hanya membuat emosi yang dipendamnya meledak di tempat dan waktu yang salah. “Beri aku lima menit, lalu kita masuk ke hotel.”
*
Kepergian sang ayah yang begitu mendadak serta pernikahan yang tak diharapkan bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik Luna. Otaknya pun memproses hal-hal trivial lebih lambat dari biasanya. Karena bagaimana mungkin dia baru menyadari hotel yang didatanginya sekarang adalah salah satu bisnis yang dikelola Galuh.
Ralat, bisnis milik keluarga istri Galuh, lebih tepatnya.
Ding! Ketika pintu lift terbuka, Rayyi mempersilakan Luna keluar terlebih dulu. Mereka berada di lantai teratas yang hanya ditempati tamu-tamu kamar kelas suite. Keduanya lalu melangkah sampai berhenti di depan kamar yang berada di ujung lorong.
Rayyi menoleh pada Luna. Hanya perasaannya atau sekilas dia menangkap kecemasan berkilat pada sorot mata pria itu?
“Apa kamu sudah siap menemui Pak Galuh?”
“Jangan bikin dia menunggu lama.” Luna meremas ujung jemarinya yang mendingin. “Aku juga ingin cepat-cepat istirahat.”
Rayyi mengangguk, lalu menekan bel dua kali. Jantung Luna berdegup kencang kala pintu terbuka perlahan dan menampakkan sosok tinggi tegap yang begitu dia benci sekaligus rindukan.
Matanya memanas kala pandangan mereka bertemu. Senyum penuh penyesalan yang terkembang di wajah pria itu pun tak menolong banyak.
“Selamat datang,” katanya. Tatapannya lantas beralih pada Rayyi. “Tolong siapkan kamar untuk Luna. Lalu, temui kami setengah jam lagi di sini.”
*
Ada banyak umpatan yang siap Luna lontarkan saat pintu kamar tertutup di belakangnya. Namun, kondisi fisiknya yang belum pulih menyekat tenggorokannya yang serak akibat terlalu lama menangis dalam diam. Menyadari kekacauan tersebut, Galuh membimbing Luna untuk duduk di sofa yang terletak di samping jendela panjang.
Alih-alih duduk di hadapannya, Galuh malah bersimpuh; mengejutkan Luna yang sedang menahan tangis. Tangannya yang panjang dan kokoh meraih tangan perempuan itu. Jemari mereka kemudian tanpa dikomando saling bertaut.
“Maafkan aku, Luna,” ujar Galuh. Meski penerangan agak remang, Luna dapat melihat kedua matanya yang kemerahan. “Saat Rayyi mengabari kematian ayahmu, aku—aku sangat menyesal. Seandainya aku bisa menepati janjiku untuk menikahimu….”
Janji itu, janji yang juga Galuh katakan saat bertatap muka dengan Dikta. Sayangnya, sang ayah saat itu belum menerima restu karena menganggap Galuh belum sanggup memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. ‘Biarkan putriku bekerja dulu,’ katanya mengingat Luna baru lulus kuliah.
Kesal, sedih, kecewa. Semua emosi itu bercampur sampai Luna bingung mencari kata untuk mendeskripsikannya.
“Mau gimana lagi, Mas? Kamu yang menyarankanku menikahi asistenmu sebagai pengganti karena aku menolak jadi istri keduamu.” Napas Luna tersekat sesaat. “Janjimu hanya delapan tahun, makanya aku pede bilang sama Abah bakal bawa calon suami tahun ini. Aku senang bisa membuktikan kamu udah mapan dan bertanggungjawab.
“Tapi, kamu malah memperpanjang kontrak pernikahanmu tanpa kasih penjelasan padaku.”
“Semuanya di luar rencanaku maupun Naura.” Genggaman Galuh kian menguat. “Aku juga belum bisa memberi alasannya dalam waktu terdekat. Menikahkanmu dan Rayyi adalah satu-satunya ospi yang dapat menyelamatkan kita sementara waktu.”
“Menyelamatkan kita?” Luna tersenyum getir. “Hanya menyelamatkanmu lebih tepatnya, karena aku malah malu dan kesal harus membawa pria lain untuk jadi suamiku.”
“Luna, tunggu sebentar—”
“Minggir, Mas!”
Sekuat mungkin, Luna melepaskan cengkeraman tangan Galuh dan beranjak dari kursi. Namun, pandangannya yang mengabur menyulitkannya melangkah sampai akhirnya dia tersandung kaki kursi. Kali ini, Luna tak dapat menyelamatkan diri dan membiarkan gravitasi menarik tubuhnya ke lantai.
“Luna!”
Kala matanya tertutup, Luna mendengar pintu terbuka, disusul sepasang tangan yang menangkap tubuhnya beberapa detik sebelum terhempas ke lantai marmer. Hidungnya lalu menangkap aroma parfum musk yang seharian menemaninya bepergian.
Matanya membelalak. Sesuai dugaan, bukan Galuh yang menyelamatkannya.
“Maaf, saya….” Perlahan, Rayyi membawa Luna ke kursi terdekat, sementara Galuh mengambilkan secangkir teh. “Saya hanya mau mengabarkan kamar untuk Luna sudah siap.”
“Antar aku ke sana, Rayyi.” Bersama sisa tenaga dan harga diri, Luna beranjak dari kursi. Galuh hendak mencegah, tetapi perempuan itu menatap tajam Rayyi yang kebingungan karena terjepit di antara dua pihak. “Kamu suamiku, bukan? Ayo, tunjukkan di mana aku harus beristirahat."
*
Galuh berusaha menghubungi Luna berkali-kali. Persis seperti yang dilakukannya dulu saat mengabari perjodohannya dengan Naura. ‘Kedua orangtua kami sudah menyiapkan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku maupun dia,’ dalihnya pada saat itu. Luna pun pada akhirnya harus mengorbankan hubungan mereka yang telah berjalan selama lima tahun.
Luna tak pernah menduga akan mengalaminya untuk kali kedua.
Bunyi bel mengalihkan perhatian Luna. Apakah ini usaha baru Galuh untuk membujuknya keluar? Ck, benar-benar keras kepala. Perempuan itu mengabaikannya, lalu kembali bergelung di bawah selimut.
Selang dua menit kemudian, bel berbunyi lagi. Luna sempat tergoda untuk mengecek, tetapi masih mampu bertahan agar tak meninggalkan ranjang. Namun, pada percobaan ketiga, Luna menyerah demi bisa mendapatkan waktu istirahat yang dibutuhkan.
“Apa, sih, yang kamu—” Luna terkesiap kala mendapati sosok yang berdiri di depan kamar adalah Rayyi. “Ya ampun, kukira Mas Galuh. Kenapa kamu enggak telepon aku dulu?”
“Sudah, tapi sepertinya teleponmu sedang tidak aktif.”
Luna mengusap wajah; menyembunyikan malunya. Demi menghindari gangguan Galuh, dia mematikan perangkat tersebut.
“Lalu, ada perlu apa kamu sampai menyusulku ke sini?”
“Pak Galuh ingin memastikan kondisimu baik-baik saja.” Tentu, pria itu bakal mengutus asistennya sebagai upaya terakhir. “Besok pagi, dia juga akan pulang ke Jakarta karena ada meeting penting yang harus dikejar.”
Jika Galuh pergi, berarti Rayyi kemungkinan besar ikut untuk mengurus kebutuhan kerja.
“Aku bisa ke Jakarta sendiri seandainya Mas Galuh perlu kamu buat ngurus kerjaan.”
Rayyi menatapnya kebingungan. “Saya tidak akan ikut Pak Galuh. Justru dia meminta saya menemanimu pulang ke, umh, apartemen yang sudah disiapkan.”
Rencana apa lagi yang Galuh siapkan untuknya? Apakah pernikahannya dengan Rayyi belum cukup menyiksa?
“Apartemen dari Pak Galuh,” Rayyi meneruskan, “letaknya dekat dengan hotel tempatmu bekerja. Saya juga akan tinggal di sana.”
“Kita tinggal satu atap?” Luna ternganga. Meski status mereka suami istri, ganjil rasanya mendapati fakta mereka harus menetap di apartemen yang sama. “Di mana dia sekarang? Apa masih di kamarnya? Biar aku—”
“Luna, sebentar.” Dengan cepat, Rayyi menahan langkah Luna sampai mereka hampir bertubrukan. “Pak Galuh sedang tidak bisa diganggu. Untuk membahas tentang apartemen, dia akan menemui kita langsung di unit itu.”
Benar-benar merepotkan. “Sesibuk apa dia malam ini? Siapa yang dia temui?”
Tiba-tiba, wajah Rayyi mengeras. Matanya mengawasi lorong menuju kamar Galuh.
“Tadi sore, keluarga Bu Naura datang,” jawabnya yang serta-merta membungkam mulut Luna. “Untuk itu, Pak Galuh meminta saya mengawasimu dan menemanimu sampai kita ke Jakarta besok siang.”
***
“Teteh, kemarin pas nikah kenapa enggak ngabarin Ade?”“Mau kasih kabar gimana, soalnya mendadak juga. Abah yang minta.”“Bener kata Ambu statusnya masih nikah siri?”Luna mendesis mendengar dua kata terakhir itu. “Waktunya mepet, Dimas. Abah enggak mempermasalahkan. Nanti Teteh sama suami juga bakal urus ke pengadilan agama buat urus buku nikah sama kebutuhan lain.”Di ujung telepon, terdengar obrolan yang didominsi para ibu. Dimas pun menjauhkan ponsel sejenak sebelum meneruskan percakapan. “Maaf, ya, Teh, Ade datang telat sampai enggak lihat pemakaman Abah. Tapi buat keperluan tahlilah semuanya Ade yang tanggung.”Sekesal apa pun pada Dimas, Luna tak dapat menegur, apalagi sampai membentak. Sejak dulu, sang adik punya backing kuat dari Puspa. Bagi sang ibu, anak laki-lakinya bersih dari kesalahan. Dikta bukannya tak mau menasehati, hanya saja istrinya bakal senewen dan memberikan pembelaan yang kurang masuk akal.“Syukurlah kamu bantu-bantu Ambu. Teteh enggak bisa tinggal lama-lama
Saat membaca dua pesan tersebut, Luna yang baru bangun tidur hanya mengedik. Namun saat kesadarannya terkumpul, dia menyadari bahwa jatah cuti berdukanya sudah habis.Itu berarti, Luna akan kembali menjalani realitanya sebagai staf housekeeping.*Jarak dari apartemen ke hotel tempat Luna bekerja hanya sekitar satu kilometer. Meski demikian, jalan panjang yang memisahkan kedua tempat itu mengharuskannya mengambil jasa ojek online karena sedang malas berdesakan di LRT.Sesampainya di hotel, Luna bergegas memutari gedung utama menuju pintu yang berada di dekat basement. Rute yang umum diambil staf housekeeping agar cepat sampai ke area kerja untuk mempersiapkan perlengkapan. Setelah berpapasan dengan beberapa rekannya, Luna sampai di ruang karyawan dan langsung disambut pelukan dari Dini serta Brenda.“Kangen banget sama looo,” pekik Brenda setelah mememberikan pelukan erat. “Padahal enggak sampai se
Ketika tak sengaja menangkap Galuh mengecup pipi Luna di ruang kerjanya, Rayyi tak menduga momen tersebut bakal membawanya pada sebuah kesepakatan besar.Kadang, Rayyi bertanya-tanya, apakah keputusannya menerima tawaran Galuh untuk menjadi asisten pribadinya adalah sebuah kekeliruan? Salahkah dia mengambilnya demi bertahan hidup, terutama setelah ayahnya ditahan karena kasus korupsi yang menjebaknya sebagai tersangka?“Mas Rayyi, permisi,” panggil seorang pria berseragam yang tengah mengetuk jendela mobilnya. “Ini area parkir buat petugas. Silakan pindah ke dekat pintu keluar.”“Oh, maaf. Saya pasti tidak lihat tandanya.” Padahal Rayyi rutin mampir ke sini, tetapi baru sekarang dia melamun sampai salah ambil tempat parkir. Maka setelah membawa mobilnya ke area yang tepat, pria itu meluangkan waktu untuk menyisihkan pikiran-pikiran yang mengusiknya sejak pagi.Pasalnya, Rayyi tak mau membuat sang ayah cemas.*“Waduh, bawa apa kamu hari ini? Apa enggak kebanyakan?”“Cuma donat sama ro
Selama menjadi asisten pribadi Galuh, Rayyi senantiasa bersiap sebelum matahari menampakkan diri di ufuk timur. Selain menghindari kemacetan ibu kota, dia harus menyiapkan keperluan sang atasan di rumahnya. Kadang, Rayyi menemaninya seharian, di lain waktu dia diterjunkan untuk menjalankan misi-misi tertentu.Kepindahannya ke apartemen baru bersama Luna pun tak mengubah banyak rutinitas tersebut.Pagi ini, selepas salat Subuh, Rayyi sudah membereskan perlengkapan kerja. Diambilnya jas yang tersimpai di kursi, lalu melangkah keluar untuk menyantap sarapan ala kadarnya. Setelah mencuci piring, pria itu mengambil sepatu di rak. Tepat saat tangannya hendak membuka pintu, sebuah pesan dari Galuh masuk ke ponsel.Keningnya mengernyit. Matanya lantas mengerling ke pintu yang dijadikan sekat.Bukannya menjawab lewat pesan, Galuh malah meneloponnya. Rayyi mengembuskan napas panjang sebelum men
“Ternyata benar dugaanku, kamu yang nyuruh Rayyi.”“Lantas, aku harus bagaimana lagi, Luna? Kamu memblokir semua kontakku.”Luna mengecek situasi di sekitar mereka. Saat Rayyi pamit meninggalkannya, Galuh serta-merta membawa perempuan itu ke area yang lebih sepi. Meski begitu, tak menutup kemungkinan ada telinga-telinga yang mencuri dengar. Apalagi isi pembicaraan mereka berpotensi memicu gosip besar.“Soalnya kamu nyebelin, Mas!” Luna menekankan telunjuknya pada lengan atas Galuh. “Tiba-tiba kasih promosi dengan dalih performaku bagus—”“Harus berapa kali aku bilang, kenyataannya memang kinerjamu di atas rata-rata.”“Tapi, kamu sadar jabatan itu bakal lebih sering mempertemukan kita, kan?” balas Luna semakin sengit. “Mas, aku—aku mungkin bakal suka cita menerimanya kalau statusku sekarang bukan istri Rayyi. Pernah enggak kamu bayangkan bakal seheboh apa pembicaraan di hotel seandainya mereka menangkap basah kita lagi berduaan?”Giliran Galuh yang celingak-celinguk mengamati keadaan d
Seragam floor supervisor untuk Luna sudah tersedia saat masuk di hari Senin. Setelan lengkapnya berupa kemeja putih polos dengan aksen renda yang dipasangkan bersama blazer dan celana bahan hitam. Maryam juga menyerahkan rok selutut hitam sebagai bawahan alternatif yang hanya dikenakan untuk event khusus.“Name tag-mu.” Sang senior menyerahkan plat kecil berwarna keemasan pada Luna. Namanya tertulis dalam warna hitam dan pilihan huruf elegan. “Ganti pakaianmu dan tata rambutmu sesuai arahan saya kemarin. Setelah itu, instruksikan timmu untuk pengecekan kamar di lantai tujuh.”Jika tak ada Brenda, Luna yang lupa membeli sepasang sepatu baru bakal repot cari pinjaman high heels. Sesungguhnya dia tak enak menghadapi sahabat-sahabatnya setelah menerima promosi ini, tetapi mereka terus mendukungnya.“Rezeki newlyweds kata orang-orang mah,” celetuk Dini saat Brenda menyerahkan sepatu miliknya sebelum Luna menemui Maryam. “Siapa tahu kita ikut ketempelen, hehe.”“Ketempelan rezeki dapet prom
“Kamu masuk duluan saja, saya menyusul.”“Kalau mau balik ke hotel juga enggak apa-apa, aku bisa naik ojek biar cepet.”“Bu Maryam hanya mengizinkanmu pergi dan kembali asalkan bersama saya,” Rayyi menjelaskan. “Urusan saya sebentar. Mau salat dulu di musala.”Alih-alih langsung mencari toko yang Brenda tunjukan padanya, Luna malah mengamati Rayyi berjalan cepat menuju tanda Musala yang berada di samping sebuah toko es krim. Padahal waktu Zuhur masih panjang, mengapa pria itu terkesan buru-buru—Sekonyong-konyong, Luna mengingat obrolannya bersama Dikta selepas kunjungan pertama Galuh. Dia masih gusar gara-gara sikap sang ayah yang kurag bersahabat, tetapi berusaha membuka telinga untuk mendengar alasannya.“Waktu melamar Ambu, Abah secara finansial memang bisa dikatakan kurang mapan. Orangtua mana yang rela melepas anak perempuannya pada pria yang kerja serabutan?” Dikta mulai bercerita.“Tapi, Abah berikhtiar juga pada Allah. Sambil mencari kerja, Abah tingkatkan ibadah,” katanya. “
Menjadi putri tunggal pemilik Hotel Cempaka Argadana menempatkan Naura sebagai ahli waris yang diincar banyak pihak. Dari sesama kalangan pebisnis, konglomerat, hingga selebritas. Tentu kedua orangtuanya menyadari hal tersebut, sehingga mereka mengambil langkah awal untuk mengamankan posisi pendamping hidupnya.Galuh Devantara adalah nama yang akhirnya muncul ke publik. Pernikahan sejoli tersebut digelar di tiga negara: Indonesia, Singapura, dan Belanda. Walau hanya kalangan tertenu yang menerima undangan, hajat besar itu masih jadi perbincangan hangat.Sudah lebih dari delapan tahun sejak resepsi megah itu berlangsung, tetapi Rayyi samar-samar mengingat pemberitaannya yang disiarkan di sejumlah stasiun televisi. Mulanya, dia ragu bila Galuh yang dimaksud adalah kakak tingkatnya di universitas sampai kemudian melihat potret profilnya tercetak di sebuah majalah bisnis.Siapa sangka Rayyi bakal bekerja untuknya setahun kemudian.“Rayyi, siapa yang menemani Bu Naura keliling hotel?” Ange
“Kamu enggak perlu sampai keluar uang juga buat beliin tiket Ambu. Biar aku yang urus.”“Enggak apa-apa, Luna. Ini hari Minggu. Perjalanan ke Bandung pasti lebih macet, jadi saya belikan tiket kereta cepat supaya Ambu enggak kelamaan di jalan.”Meski sedang di luar kota, Puspa tetap bangun sebelum Subuh untuk salat. Kemudian, tanpa bertanya pada Luna maupun Rayyi, perempuan itu menyediakan sarapan untuk mereka. Suasana hatinya membaik walau irit bicara.“Bu, nanti saya antarkan ke stasiun, ya,” Rayyi membuka pembicaraan saat mereka berkumpul di meja makan. “Pulangnya pakai kereta cepat. Cuma sejam kurang kalau ke Bandung.”Mata Puspa membulat. “Kereta yang berhentinya di stasiun deket masjid besar itu?”“Iya. Ibu nanti bisa, kan, naik feeder? Atau—”“Enggak usah, Ambu mau jalan-jalan dulu begitu sampai di Bandung.” Wajahnya seketika semringah. Puspa bahkan sampai menggenggam tangan Rayyi. “Makasih, mantu Ambu yang paling baik.”Luna memutar bola matanya. Padahal baru kemarin mereka ri
“Aduh, pangling pisan lihat kamu sekarang, Galuh. Bener, kan, kata Ambu. Kamu bakal jadi orang sukses! Sayang almarhum suami enggak mau dengar—”“Ambu, enggak boleh bicara gitu! Kejadiannya udah lama juga.”“Tapi, Ambu yakin bapakmu bakal nyesel pernah ngerendahin Galuh di depan keluarga.”“Cukup, Ambu, tolong hormati pria yang aku pilih jadi suamiku sekarang!”Seketika, ruangan menjadi hening. Luna, dengan napas tersengal, memandangi satu per satu figur yang menempati meja makan. Dari Rayyi yang duduk di hadapannya, lalu Galuh di samping sang suami, dan berakhir pada Puspa di sebelahnya.Makan malam yang awalnya canggung karena kehadiran mendadak Puspa makin tak mengenakan kala Galuh ikut bergabung. Luna yakin pria itu sengaja menerima ajakan ibunya untuk memperkeruh suasana. Apakah ancaman di kamar hotel tempo hari belum cukup baginya?“Pak Galuh sendiri ada keperluan apa kemari?” Rayyi mengambilalih percakapan. Diam-diam, Luna berterimakasih padanya.“Oh, ya, tadi aku mau menanyaka
Menjaga jarak dari Luna, seperti yang diperintahkan Galuh, semestinya mudah bagi Rayyi. Selama bertahun-tahun, pria itu hanya mengenalnya sebagai karyawan housekeeping yang punya hubungan spesial dengan atasan. Setelah mengetahui kisah yang terjadi di antara mereka, Rayyi pun merasa tak sepantasnya dia ikut campur urusan keduanya. Masalahnya, Luna tanpa sengaja masuk ke ranah pribadi Rayyi. Dia menyaksikannya mengalami serangan panik, sesuatu yang telah lama dia tutup. Padahal selama ini kesehatan mentalnya terarsip rapi dalam catatan psikiater yang menanganinya… juga kartu As yang malah Galuh salah gunakan untuk melancarkan serangan. “Rayyi.” Angela melongok dari celah pintu meeting room. “Bilang ke bagian kitchen buat nyiapin lunch. Klien Pak Galuh pengin makan di restoran.” “Huh, pertemuannya belum selesai?” “Sebentar lagi beres. Ini bagian dari ucapan terima kasih.” Sang sekretaris mengedipkan mata. Itu menandakan satu hal: rapatnya mencapai kesepakatan yang diharapkan. “Buruan
Mengunjungi Guntur menjadi momen yang selalu Rayyi nantikan. Selain untuk melepas penat, dia juga dapat memastikan kondisi sang ayah. Sejauh ini, pria itu jarang mengeluh. Berbagai aktivitas yang dijadwalkan pun membuat kondisi kesehatannya lebih stabil.Akan tetapi, peringatan Galuh tadi pagi membuat Rayyi kalut. Alih-alih lega mengetahui tebakannya tepat sasaran, dia malah cemas. Kalau kata orang-orang: overthinking. Jika sang atasan dapat memicu serangan paniknya ‘kambuh’, Rayyi tak bisa membayangkan tindakan apa yang akan dijatuhkannya pada Guntur.“Wajahmu pucat, Rayyi. Sudah makan sebelum ke sini?” Guntur memiringkan kepala; mengecek kondisi putranya yang mampir lebih cepat dari jadwal.“Sudah,” jawab Rayyi sekenanya. Namun, tanggapan itu memerlukan penjelasan agar ayahnya tak ikut cemas. “Mungkin gara-gara kelelahan. Pak Galuh seminggu terakhir di Belanda, bertemu keluarga istrinya. Jadi, saya yang pegang beberapa pekerjaannya.”“Tapi jangan sampai lupa makan juga.” Sang ayah m
“Luna, apa kamu sedang ada masalah?”Untuk sesaat, Luna lega mendapati Rayyi di dekatnya. Bahkan kalau bisa dia ingin berlindung dalam pelukan itu lebih lama. Namun, sebuah suara dari dasar benaknya seketika mengingatkan Luna pada sesuatu: Rayyi hanya pria yang dinikahi demi menyelamatkan harga dirinya di depan keluarga.“Astaga, maaf, aku refleks.” Cepat-cepat, Luna melepas dekapannya. Akan tetapi, ekspresi khawatir masih tercetak di wajah Rayyi. “Kamu habis dari mana?”“Menemui seseorang,” jawab Rayyi sekenanya. “Hei, kamu belum menjawab pertanyaan saya. Kenapa kamu tiba-tiba—”Luna menempelkan telunjuknya pada bibir Rayyi, lalu celingak-celinguk untuk mengecek situasi sekitar. Sepi, hanya beberapa karyawan dan tamu yang lalu lalang di basement. Meski demikian, bukan berarti Luna dapat melepas kewaspadaannya.Lantas, perlukah dia menceritakan apa yang Galuh lakukan pada Rayyi?“Aku—yah, sesuatu terjadi.” Luna memalingkan wajah; tak mau Rayyi mendapati pipinya yang memerah. “Mungkin
“Heh, mau ke mana lo? Bentar lagi juga udah masuk jam makan siang.”“Kalian duluan aja. Bu Maryam minta aku buat ngecek kamar di lantai 12.”Brenda hanya geleng-geleng kepala, lalu menarik Dini memasuki lift. Sebenarnya berat bagi Luna menolak ajakan tersebut karena dia juga lapar. Di sisi lain, perempuan itu juga malas harus berkelit dengan Maryam.Karena lift sedang padat, Luna memilih tangga menuju lantai 12. Menurut keterangan Maryam, ada lima kamar yang sebentar lagi bakal diisi para peserta seminar. Diingatnya lagi nomor-nomor yang disebutkan sebelum mengeceknya saat sampai di lantai tujuan.Mendekati makan siang, beberapa tamu terlihat menarik koper untuk check-out. Ada pula yang keluar untuk mencari hidangan. Kadang, Luna berpapasan dengan staf yang membawakan pesanan khusus room service. Sisanya adalah cerita-cerita penuh kejutan yang berakhir di pantri atau grup khusus housekeeping.Langkah Luna terhenti di kamar nomor 121. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada dua pegawai ya
Satu pesan singkat itu serta-merta membuat Rayyi menengadah ke rumah newah yang berdiri di belakangnya. Sekitar dua jam lalu, dia menjemput Galuh di bandara. Anehnya, sang atasan hanya pulang bersama istrinya.Hal ganjil lain yang Rayyi tangkap adalah sikap Naura yang terlihat biasa saja kala mereka berpapasan. Bahkan saat Galuh pamit sebentar untuk mengurus bagasi, perempuan itu mengacungkan jempol padanya. Rayyi jadi heran, apakah insiden di hotel itu tak sampai ke telinga Naura?“Ayo, kita berangkat sekarang.” Galuh rupanya hanya berganti pakaian. “Sekitar pukul 10 kita harus mengejar meeting di Kemang.”Rayyi mengangguk patuh dan membukakan pintu untuk Galuh. Perjalanan menuju hotel pun dia gunakan untuk tidur. Jet lag-nya pasti belum benar-benar hilang. Lagipula seingat Rayyi mereka tak punya jadwal meeting seharian.‘Sudahlah,’ tepisnya sembari membelokkan mobil menuju lokasi tujuan, ‘satu hal yang pasti saya perlu bersiap untuk menghadapi pert
Bunga tidur yang mampir ke dalam tidur Rayyi malam ini berbeda dari sebelumnya.Langit yang biasanya muram kini tampak biru cerah tanpa awan. Semilir angin membelai wajah Rayyi perlahan. Seluas matanya memandang, dia hanya melihat bentangan rumput yang menari-nari; menggelitik kakinya yang tanpa sepatu.‘Saya di mana?’ batinnya. ‘Apa saya sudah—'“Rayyi.” Panggilan tersebut mengalihkan perhatian Rayyi ke arah sumber suara. Di belakangnya, seorang perempuan muda dengan sundress warna putih menatapnya dari puncak bukit. Tak butuh waktu lama juga baginya mengenali sosok tersebut.“Luna,” gumamnya pelan kala perempuan itu menghampirinya, “apa yang saya—kita lakukan di sini?”Luna mengedik. “Aku di sini buat menikmati pemandangan selagi cuacanya bagus. Butuh refreshing sebentar setelah melewati hari-hari yang melelahkan.”Pernyataan tadi terdengar familier. Ah, benar, itu adalah keluhan yang berkali-kali bergema dalam benak Rayyi setiap kali mendapatkan perintah dari Galuh. Siapa yang mendu
Luna tak menduga bakal menghabiskan sisa masa ‘bulan madu’ di Bali dengan hal-hal sederhana. Jalan-jalan naik sepeda motor jadul. Makan olahan bebek di pinggir pantai. Lalu di penghujung malam, dia dan Rayyi malah menyaksikan pesta kembang api gratis yang terletak tak jauh dari warung makan Wayan.‘Kalau kayak gini terus, aku malah enggak mau pulang,’ batinnya. Apalagi saat mengingat ada tumpukan pekerjaan yang menanti, perempuan itu rasanya ingin menguburkan diri di antara hamparan pasir.“Sensasi menonton kembang api di sini ternyata berbeda jauh dari Jakarta,” gumam Rayyi yang menengadah memandangi langit yang meriah malam itu. “Sama-sama ramai, tapi di sini saya enggak perlu menjaga orang lain.”“Emangnya selama kerja sama Mas Galuh, kamu jarang dapet jatah libur atau cuti?” Sepadat apa sebenarnya jadwal Rayyi sebagai asisten pribadi.Rayyi merapikan salah satu lengan kemejanya. “Ada, tapi saya hanya memakainya satu atau dua kali. Lagi pula, enggak ada keluarga dekat yang perlu say