Share

7 | Permainan Takdir

“Ternyata benar dugaanku, kamu yang nyuruh Rayyi.”

“Lantas, aku harus bagaimana lagi, Luna? Kamu memblokir semua kontakku.”

Luna mengecek situasi di sekitar mereka. Saat Rayyi pamit meninggalkannya, Galuh serta-merta membawa perempuan itu ke area yang lebih sepi. Meski begitu, tak menutup kemungkinan ada telinga-telinga yang mencuri dengar. Apalagi isi pembicaraan mereka berpotensi memicu gosip besar.

“Soalnya kamu nyebelin, Mas!” Luna menekankan telunjuknya pada lengan atas Galuh. “Tiba-tiba kasih promosi dengan dalih performaku bagus—”

“Harus berapa kali aku bilang, kenyataannya memang kinerjamu di atas rata-rata.”

“Tapi, kamu sadar jabatan itu bakal lebih sering mempertemukan kita, kan?” balas Luna semakin sengit. “Mas, aku—aku mungkin bakal suka cita menerimanya kalau statusku sekarang bukan istri Rayyi. Pernah enggak kamu bayangkan bakal seheboh apa pembicaraan di hotel seandainya mereka menangkap basah kita lagi berduaan?”

Giliran Galuh yang celingak-celinguk mengamati keadaan di antara dua rak berisi peralatan makan. Sementara itu, Luna berharap ada karyawan supermarket atau pengunjung lain yang masuk ke lorong tempat mereka bertemu. Dengan kondisi mental yang belum stabil selepas kepergian Dikta, menghadapi Galuh jadi terasa jauh lebih sulit baginya.

Namun, Galuh belum mau menyerah. Pria itu malah menggeser troli yang menghalangi keduanya untuk mendekati Luna.

“Aku tak pernah bermaksud menyinggung perasaanmu, sungguh,” bisik Galuh dengan kepala tertunduk. “Apa saja akan kulakukan demi menebus rasa bersalahku padamu dan ayahmu.”

“Abah enggak akan hidup lagi hanya karena kamu kasih aku gaji besar.” Mata Luna memanas. Bisa-bisanya pria itu mengiba atas nama Dikta. “Sekarang, aku cuma pengin menenangkan diri, Mas. Jadi tolong setelah pernikahan dan promosi kemarin, jangan ambil keputusan besar lain secara sepihak.”

Bibir Galuh terbuka, hendak menyuarakan pendapat. Akan tetapi, denting dari ponselnya menyelamatkan Luna.

Pria itu mengatupkan rahang kala membaca pesan yang tertera. Kemudian, dia menarik kembali troli milik Luna.

“Pergilah. Cari Rayyi di dekat tempat roti,” katanya, tampak dongkol. Sebelum Galuh berubah pikiran, Luna menyambar troli dan bergerak cepat menuju lokasi yang disebutkan.

*

Tempat roti yang dimaksud adalah area kafe kecil yang berada di dekat kasir. Sembari menerka-nerka maksud perintah Galuh, mengambil barang-barang yang dibutuhkannya di sepanjang rak yang dilewati. ‘Sekalian langung bayar,’ batinnya.

Di belokan terakhir, Luna mengecek satu per satu pengunjung yang berseliweran dekat kafe. Cukup mudah menemukan Rayyi berkat tinggi badannya yang setara Galuh. Lega seketika mengaliri tubuh… sampai dia mendapati seorang perempuan cantik berambut panjang yang tengah berbincang bersama suaminya.

Luna hampir mundur, tetapi Rayyi lebih cepat menyadari kehadirannya. Pria itu tersenyum singkat, lalu mengangguk pelan sebagai isyarat untuk menghampirinya.

Sayangnya, perempuan cantik tadi berlalu terlebih dulu. Luna lalu mempercepat langkah menuju tempat Rayyi bersama trolinya.

“Kenalanmu?” Luna melayangkan basa-basi. Kalaupun ternyata sosok itu adalah kekasih Rayyi, dia juga tak mempermasalahkan.

Rayyi menggeleng cepat dan mengambilalih troli Luna. “Biar saya yang bayar. Kamu tunggu saja sambil ngopi atau makan roti.”

Antrean yang mengular di sebagian besar kasir serta-merta menahan protes Luna. Diliriknya deretan roti baru matang serta macam-macam minuman yang dijual di kafe. Secangkir kopi mungkin bisa menenangkan pikirannya sampai belanjaannya selesai dihitung.

*

Perjalanan menuju apartemen terasa lebih canggung ketimbang pagi tadi. Diamnya Rayyi mengirimkan ketegangan. Terlihat dari cengkeraman tangannya yang kuat serta jemarinya yang sesekali meremas kuat kemudi hingga menampakkan urat nadi.

‘Apa dia kesal agenda akhir pakannya diganggu?’ Luna bertanya-tanya. ‘Atau sama-sama dongkol dijebak Mas Galuh?’

Di lampu merah terakhir, barulah Rayyi melepas tangan dari kemudi. Kedua pundaknya perlahan turun bersama napan panjang yang dia embuskan.

“Kamu enggak apa-apa?” Rasa penasaran akhirnya mengalahkan Luna. “Butuh bantuan?”

Rayyi buru-buru menegakkan punggungnya. “Tidak, terima kasih. Hanya saja, saya harus segera pergi ke tempat lain. Jadi, saya hanya bisa mengantar kamu sampai depan apartemen.”

That’s okay,” ujar Luna walau ragu hal itu yang sedang suaminya pikirkan. “Aku juga enggak masalah turun di sini, lagian belanjaanku enggak terlalu banyak.”

“Jangan, tetap bakal berat, karena kamu harus naik jembatan penyeberangan,” Rayyi menyanggah, lalu membawa mobilnya menuju apartemen. “Saya tak akan lama, mungkin sekitar satu atau dua jam di luar.”

Sebenarnya, Rayyi mau pulang besok pagi pun tak masalah bagi Luna. Status suami-istri yang mereka sandang mereka saja berdasarkan kontrak. Untuk apa pula saling mengabari kalau mereka tinggal di satu unit apartemen saja pakai sekat.

*

<uang yang kamu kasih kemarin hampir abis>

<dimas lagi banyak kebutuhan, istrinya mau lahiran lagi>

<kamu punya pegangan buat ambu pinjam?>

“Ambu,” Luna memutuskan menelepon Puspa demi mencegah kesalahpahaman. “Uang berduka dari pelayat udah habis?”

“Habislah, kurang bisa diandelin juga, yang nyumbang cuma seadanya,” sungut Puspa. “Dimas sempat kasih, tapi enggak sampai setengah dari punya kamu.”

“Uangnya mau dipakai apa lagi? Dibilangin kemarin simpen sebagian buat modal dagang bubur ayam.”

Sang ibu menggeram pelan. “Buat tahlilan 40 hari bapakmu, Luna! Kalau kamu enggak punya pegangan, biar Ambu yang telepon suamimu.”

“Ambu, jangan bikin repot R—Mas Rayyi.” Luna berhenti memotong wortel, lalu menaruh pisau di samping talenan. “Tunggu aku gajian minggu depan, nanti kutransfer biayanya.”

Galuh pasti tak bakal pikir panjang bila Puspa meminta bantuan dana. Sang ibu bahkan tak perlu melakukannya, sebab pria itu pasti bakal menyediakan rekening khusus untuk mengirim uang setiap bulan. Dia sudah menjanjikannya pada Luna kalau mereka suatu hari menikah.

Namun, takdir membawa Luna pada pria lain.

Tentu, Luna sungkan meminta pada Rayyi. Dengan pernikahan rasa kontrak bisnis, kurang etis meminta jatah bulanan kepada pria itu. Penghasilan dari pekerjananya mampu mencukupi kehidupannya dengan Puspa.

Pada saat itu pula, Luna menyadari sesuatu.

“Ck, benar-benar licik kamu, Mas.” Diraihnya pisau untuk lanjut memotong wortel. “Kamu juga pasti memperhitungkan hal ini. Menaikkan gajiku supaya bisa bantu-bantu Ambu.”

Tak dinyana, Galuh adalah jembatan yang Luna perlukan untuk memperbaiki hubungan dengan Puspa. Saat Dikta melayangkan berbagai keraguan, hanya sang ibu yang membela pria itu kala Luna membawanya ke Parongpong.

“Abah waktu lamar Ambu juga belum jadi apa-apa!” seru Puspa saat itu. “Aki*nya Luna tetep kasih izin dan restu nikah karena percaya Abah bakal kerja keras sampai mampu hidupin keluarga. Galuh pasti bisa kayak gitu.”

“Zamannya udah beda, Ambu,” Dikta bersikeras. “Cari kerjaan sekarang susah, ngandelin nafkah dari kepala keluarga juga belum tentu cukup. Tunggu sampai Luna sama Galuh sama-sama pegang penghasilan stabil, baru Abah kasih restu yang mereka minta!”

Walau tak pernah menunjukannya langsung, harga diri Galuh pasti hancur menerima penolakan dari Dikta. Sampai-sampai dia bersedia dinikahkan dengan jodoh yang diatur orangtuanya supaya cepat dianggap mapan. Luna pun perlu ikut berkorban dengan menunggunya selama bertahun-tahun.

“Kenapa takdir kita serumit ini, Mas,” ucap Luna, lirih. Dibiarkannya tetes-tetes air mata menderas menjadi tangis. Potongan sayur yang disiapkannya untuk membuat sup pun turut tergenang dalam kesedihannya. “Kenapa kita harus memutari banyak jalan untuk bersatu?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status