Share

Menikahi Asisten Sang Presdir
Menikahi Asisten Sang Presdir
Penulis: Erlin Natawiria

1 | Meninggalkan dan Ditinggalkan

“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Rayyi Aksara bin Guntur Aksara dengan putri saya yang bernama Luna Nadiandra beserta mas kawin berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah beserta seperangkat alat salat, tunai.”

“Saya terima nikah dan kawinnya Luna Nadiandra binti Dikta Nadiandra dengan mas kawin tersebut, tunai.”

“Bagaimana, para saksi, sudah sah?”

“Saaah!”

Ketika orang-orang di sekitarnya menggumamkan doa, Luna sadar peluangnya untuk membatalkan pernikahan ini sudah lenyap.

Dengan napas tersekat, perempuan berwajah bulat itu menadahkan tangan. Alih-alih mengikuti doa selepas ijab kabul, dia merapalkan permohonan dikuatkan untuk menghadapi masa depannya yang semakin kabur. Meski di sisi lain, keputusan tersebut dapat memberikan ketenangan kepada sang ayah yang ingin menikahkannya sebelum—

“Luna, boleh saya minta tanganmu?”

Bisikan dari suara berat itu menyeret Luna dari lamunan. Di sampingnya, seorang pria berkulit kuning langsat menyodorkan tangan. Menunggunya. Tak ada desir, apalagi sensasi menggelitik kala jemari mereka bersentuhan. Ketika cincin terpasang di jari manisnya, Luna melakukan hal yang sama pada sang suami, Rayyi.

Kemudian, penghulu menyodorkan berkas dokumen pada pasutri itu. Bukan buku nikah, melainkan surat keterangan terkait pernikahan siri. Rayyi mengambil pulpen, membaca isi surat sekilas, lalu membubuhkan tanda tangan sebelum menyerahkannya pada Luna.

Setenang itukah Rayyi menghadapi situasi ini? Oh, tentu saja, dia bukan Luna yang panik mencari uang untuk biaya pengobatan kanker yang diderita ayahnya. Bukan juga orang yang terpaksa menerima penawaran Galuh untuk mengadakan pernikahan ini karena Luna tak mau dimadu olehnya.

Bukan Rayyi yang bakal merasakan kehilangan hebat kalau sang ayah kelak berpulang.

“Baiklah, karena acara sudah selesai, saya pamit dulu,” ujar penghulu sembari menyalami kedua mempelai, wali, dan para saksi. “Selamat menempuh hidup baru. Semoga sakinah, mawwadah, dan warahmah.”

Luna tak butuh doa tersebut, tetapi tetap menyunggingkan senyum simpul.

“Alhamdulillah,” gumam Dikta sambil mendekati putri dan menantunya. Jemarinya yang kini hanya tulang berbalut kulit meraih tangan mereka. “Tugas terakhir Abah sudah terpenuhi. Maaf kalau terkesan mendadak dan harus dilaksanakan sederhana.”

“Abah, jangan dibahas lagi.” Perlahan, Luna menggenggam tangan ringkihnya. “Kami bawa uang buat meneruskan pengobatan. Kalau perlu, kita besok ke rumah sakit di Bandung, ya? Dokter sama kamarnya juga lebih bagus.”

Sang ayah menggeleng lemah. “Daripada dipakai buat Abah, tabung saja buat kalian beli kebutuhan rumah tangga di Jakarta.”

Luna meringis. “Abah—”

“Udah, udah, bapakmu mau istirahat.” Sang ibu, Puspa, muncul dari arah dapur dengan secangkir teh hangat. Sembari menggerutu, dia membantu suaminya bangkit. “Sebentar lagi jam makan siang. Bantu Ambu siapkan bahan-bahan sup di dapur.”

Setelah kedua orangtuanya masuk kamar, Luna menyingkirkan kain putih dari bagian belakang kepala. Tangannya tanpa sengaja mengenai wajah Rayyi dan hampir mencolok matanya.

“Ma—maaf.” Cepat-cepat, Luna menarik kain tersebut. Syukurnya, Rayyi hanya mengangguk maklum. “Kalau mau istirahat, kamu masuk ke kamar aja duluan.”

Lawan bicaranya menerawang sejenak. “Apa saya boleh ikut kamu ke dapur?”

“Enggak perlu, bisa-bisa aku kena ceramah Ambu kalau kamu bantu masak.”

“Saya bukan mau membantumu,” sahut Rayyi yang membuat Luna malu. “Saya butuh tempat di luar area rumah untuk menelepon atasan.”

Tak perlu penjelasan tambahan saat Luna menyadari adanya penakanan pada atasan. “Dari dapur, kamu bisa ke area belakang rumah lewat pintu dekat rak piring.”

“Terima kasih.”

Keduanya berdiri canggung kala hampir berjalan beriringan menuju dapur. Rayyi mempersilakan Luna mendahuluinya sembari mengecek ponsel. Namun, belum sampai kakinya meninggalkan ruangan tengah, pekikan Ambu seketika mengoyak ketenangan rumah.

“Astagfirullah, Abaaah!”

*

Parongpong, seperti kawasan lain di Kabupaten Bandung Barat, mengalami perubahan yang cukup signifikan sejak kali terakhir Luna menginjakkan kaki di sana. Masih ada bentangan sawah dan kebun di sejumlah titik, tetapi sebagian di antaranya telah menjelma jadi tempat wisata kekinian.

Meski begitu, ada satu lokasi yang tampak tak pernah tersentuh kemajuan zaman: pemakaman di samping perkebunan teh. Satu-satunya perubahan yang terjadi hanya bertambahnya jumlah nisan yang menempatinya.

Termasuk nisan milik makam Dikta.

Di bawah sinar matahari pagi, Luna mengamati warga setempat menyiapkan liang lahat untuk sang ayah. Di sampingnya, Puspa sesegukan tanpa air mata yang telah lama mengering. Sementara Rayyi memayungi mereka sekaligus memastikan para pelayat tak berdesakan ke depan.

“Luna,” bisikan Rayyi kembali mengejutkannya, “apa saya boleh membantu menurunkan jenazah ayahmu?”

Sebelum Luna sempat menanggapi, Puspa, di tengah isaknya, menyahut cepat, “Kamu menantunya, memang sebaiknya kamu ikut turun.”

Maka saat keranda Dikta dipindahkan ke samping liang kubur, Rayyi bergabung bersama warga sekitar untuk memindahkannya. Pemandangan itu terlihat tak nyata bagi Luna. Rayyi memperlakukan Dikta seperti ayahnya sendiri. Hati-hati, dia memastikan setiap jengkal tubuhnya tak terbentur. Kemudian setelah menempatkannya di dasar, pria itu membisikkan sesuatu pada ustaz yang menjadi saksi pernikahan mereka kemarin.

Keduanya lantas bertukar tempat, lalu, tanpa Luna duga, Rayyi mengumandangkan azan terakhir untuk Dikta.

Pada saat itu pula Luna merasakan sekujur tubuhnya begetar. Lemas. Kemudian, hal terakhir yang diingatnya adalah pandangan mengabur yang diikuti tangis memilukan.

*

“Baik, Pak. Kami akan berangkat selepas makan siang.”

Setelah timbul tenggelam di antara kesadaran yang mengawang, Luna akhirnya mampu menguatkan dirinya untuk terjaga. Pada beberapa menit pertama, perempuan itu menyimak percakapan Rayyi dengan seseorang yang kemudian disadarinya adalah Galuh. Ingin sekali dia merebut ponsel suaminya, tetapi pria itu keburu menoleh padanya.

“Apa kamu tidak keberatan kita pergi ke Braga hari ini?”

“Braga?” Kepalanya berdenyut. Luna kira mereka akan langsung bertolak ke Jakarta. “Buat apa kita ke sana? Kamu ada kerjaan?”

Ekor mata Rayyi mengerling ke arah pintu kamar yang tertutup rapat, lalu menjawab setengah berbisik, “Pak Galuh ingin menemui kita.”

Luna membelalak. Sesungguhnya, dia berat harus meninggalkan rumah secepat ini. Selain masih memproses kepergian Dikta, ada Puspa yang pasti memerlukan bantuannya untuk mengurus tahlilan dan keperluan lain selama beberapa hari ke depan.

Di sisi lain, hatinya tak bisa berdusta. Di tengah kesedihan dan kekecewaan, bertemu Galuh pasti dapat meredam gejolak emosinya yang tak keruan.

“Aku—” Luna meringis saat menopang tubuhnya untuk duduk. “Aku harus tanya Ambu dulu. Dia bakal kerepotan seandainya kita pergi hari ini.”

“Soal itu,” Rayyi berdeham, “saya sudah mengurusnya. Ibumu memberi izin. Katanya, adikmu yang dari Singapura pulang sore nanti bersama istrinya, jadi mereka yang akan membantu.”

Jemari Luna mencengkeram sprei kasur. Dimas. Adiknya yang selama lima tahun terakhir bekerja di Singapura dan menikah dengan perempuan asal negara tersebut. Adiknya yang tak pernah salah di mata Puspa. Adiknya yang selalu mendapat puja-puji keluarga besar.

Adiknya yang seharusnya mengafani dan mengazani ayah mereka kemarin.

“Luna, apa kamu butuh sesuatu?”

Ketika Luna mendongak, pandangannya berserobok dengan Rayyi. Sulit dipercaya pria di hadapannya itu menjadi satu-satunya sosok yang dapat diandalkan sekarang. Sementara mereka yang selama bertahun-tahun menyebut dirinya ‘keluarga’ justru menganggap keberadaannya bak hantu.

Sekuat apa pun keinginan Luna untuk tinggal, menjauhi orang-orang yang tak menghargainya menjadi pilihan terbaik saat ini.

‘Maafkan aku, Abah,’ batinnya. ‘Satu hari nanti, akan kembali menemui Abah sebagai sosok yang dapat dibanggakan.’

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status