“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Rayyi Aksara bin Guntur Aksara dengan putri saya yang bernama Luna Nadiandra beserta mas kawin berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah beserta seperangkat alat salat, tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Luna Nadiandra binti Dikta Nadiandra dengan mas kawin tersebut, tunai.” “Bagaimana, para saksi, sudah sah?” “Saaah!” Ketika orang-orang di sekitarnya menggumamkan doa, Luna sadar peluangnya untuk membatalkan pernikahan ini sudah lenyap. Dengan napas tersekat, perempuan berwajah bulat itu menadahkan tangan. Alih-alih mengikuti doa selepas ijab kabul, dia merapalkan permohonan dikuatkan untuk menghadapi masa depannya yang semakin kabur. Meski di sisi lain, keputusan tersebut dapat memberikan ketenangan kepada sang ayah yang ingin menikahkannya sebelum— “Luna, boleh saya minta tanganmu?” Bisikan dari suara berat itu menyeret Luna dari lamunan. Di sampingnya, seorang pria berkulit kuning langsat menyodorkan tangan. Menunggunya. Tak ada desir, apalagi sensasi menggelitik kala jemari mereka bersentuhan. Ketika cincin terpasang di jari manisnya, Luna melakukan hal yang sama pada sang suami, Rayyi. Kemudian, penghulu menyodorkan berkas dokumen pada pasutri itu. Bukan buku nikah, melainkan surat keterangan terkait pernikahan siri. Rayyi mengambil pulpen, membaca isi surat sekilas, lalu membubuhkan tanda tangan sebelum menyerahkannya pada Luna. Setenang itukah Rayyi menghadapi situasi ini? Oh, tentu saja, dia bukan Luna yang panik mencari uang untuk biaya pengobatan kanker yang diderita ayahnya. Bukan juga orang yang terpaksa menerima penawaran Galuh untuk mengadakan pernikahan ini karena Luna tak mau dimadu olehnya. Bukan Rayyi yang bakal merasakan kehilangan hebat kalau sang ayah kelak berpulang. “Baiklah, karena acara sudah selesai, saya pamit dulu,” ujar penghulu sembari menyalami kedua mempelai, wali, dan para saksi. “Selamat menempuh hidup baru. Semoga sakinah, mawwadah, dan warahmah.” Luna tak butuh doa tersebut, tetapi tetap menyunggingkan senyum simpul. “Alhamdulillah,” gumam Dikta sambil mendekati putri dan menantunya. Jemarinya yang kini hanya tulang berbalut kulit meraih tangan mereka. “Tugas terakhir Abah sudah terpenuhi. Maaf kalau terkesan mendadak dan harus dilaksanakan sederhana.” “Abah, jangan dibahas lagi.” Perlahan, Luna menggenggam tangan ringkihnya. “Kami bawa uang buat meneruskan pengobatan. Kalau perlu, kita besok ke rumah sakit di Bandung, ya? Dokter sama kamarnya juga lebih bagus.” Sang ayah menggeleng lemah. “Daripada dipakai buat Abah, tabung saja buat kalian beli kebutuhan rumah tangga di Jakarta.” Luna meringis. “Abah—” “Udah, udah, bapakmu mau istirahat.” Sang ibu, Puspa, muncul dari arah dapur dengan secangkir teh hangat. Sembari menggerutu, dia membantu suaminya bangkit. “Sebentar lagi jam makan siang. Bantu Ambu siapkan bahan-bahan sup di dapur.” Setelah kedua orangtuanya masuk kamar, Luna menyingkirkan kain putih dari bagian belakang kepala. Tangannya tanpa sengaja mengenai wajah Rayyi dan hampir mencolok matanya. “Ma—maaf.” Cepat-cepat, Luna menarik kain tersebut. Syukurnya, Rayyi hanya mengangguk maklum. “Kalau mau istirahat, kamu masuk ke kamar aja duluan.” Lawan bicaranya menerawang sejenak. “Apa saya boleh ikut kamu ke dapur?” “Enggak perlu, bisa-bisa aku kena ceramah Ambu kalau kamu bantu masak.” “Saya bukan mau membantumu,” sahut Rayyi yang membuat Luna malu. “Saya butuh tempat di luar area rumah untuk menelepon atasan.” Tak perlu penjelasan tambahan saat Luna menyadari adanya penakanan pada atasan. “Dari dapur, kamu bisa ke area belakang rumah lewat pintu dekat rak piring.” “Terima kasih.” Keduanya berdiri canggung kala hampir berjalan beriringan menuju dapur. Rayyi mempersilakan Luna mendahuluinya sembari mengecek ponsel. Namun, belum sampai kakinya meninggalkan ruangan tengah, pekikan Ambu seketika mengoyak ketenangan rumah. “Astagfirullah, Abaaah!” * Parongpong, seperti kawasan lain di Kabupaten Bandung Barat, mengalami perubahan yang cukup signifikan sejak kali terakhir Luna menginjakkan kaki di sana. Masih ada bentangan sawah dan kebun di sejumlah titik, tetapi sebagian di antaranya telah menjelma jadi tempat wisata kekinian. Meski begitu, ada satu lokasi yang tampak tak pernah tersentuh kemajuan zaman: pemakaman di samping perkebunan teh. Satu-satunya perubahan yang terjadi hanya bertambahnya jumlah nisan yang menempatinya. Termasuk nisan milik makam Dikta. Di bawah sinar matahari pagi, Luna mengamati warga setempat menyiapkan liang lahat untuk sang ayah. Di sampingnya, Puspa sesegukan tanpa air mata yang telah lama mengering. Sementara Rayyi memayungi mereka sekaligus memastikan para pelayat tak berdesakan ke depan. “Luna,” bisikan Rayyi kembali mengejutkannya, “apa saya boleh membantu menurunkan jenazah ayahmu?” Sebelum Luna sempat menanggapi, Puspa, di tengah isaknya, menyahut cepat, “Kamu menantunya, memang sebaiknya kamu ikut turun.” Maka saat keranda Dikta dipindahkan ke samping liang kubur, Rayyi bergabung bersama warga sekitar untuk memindahkannya. Pemandangan itu terlihat tak nyata bagi Luna. Rayyi memperlakukan Dikta seperti ayahnya sendiri. Hati-hati, dia memastikan setiap jengkal tubuhnya tak terbentur. Kemudian setelah menempatkannya di dasar, pria itu membisikkan sesuatu pada ustaz yang menjadi saksi pernikahan mereka kemarin. Keduanya lantas bertukar tempat, lalu, tanpa Luna duga, Rayyi mengumandangkan azan terakhir untuk Dikta. Pada saat itu pula Luna merasakan sekujur tubuhnya begetar. Lemas. Kemudian, hal terakhir yang diingatnya adalah pandangan mengabur yang diikuti tangis memilukan. * “Baik, Pak. Kami akan berangkat selepas makan siang.” Setelah timbul tenggelam di antara kesadaran yang mengawang, Luna akhirnya mampu menguatkan dirinya untuk terjaga. Pada beberapa menit pertama, perempuan itu menyimak percakapan Rayyi dengan seseorang yang kemudian disadarinya adalah Galuh. Ingin sekali dia merebut ponsel suaminya, tetapi pria itu keburu menoleh padanya. “Apa kamu tidak keberatan kita pergi ke Braga hari ini?” “Braga?” Kepalanya berdenyut. Luna kira mereka akan langsung bertolak ke Jakarta. “Buat apa kita ke sana? Kamu ada kerjaan?” Ekor mata Rayyi mengerling ke arah pintu kamar yang tertutup rapat, lalu menjawab setengah berbisik, “Pak Galuh ingin menemui kita.” Luna membelalak. Sesungguhnya, dia berat harus meninggalkan rumah secepat ini. Selain masih memproses kepergian Dikta, ada Puspa yang pasti memerlukan bantuannya untuk mengurus tahlilan dan keperluan lain selama beberapa hari ke depan. Di sisi lain, hatinya tak bisa berdusta. Di tengah kesedihan dan kekecewaan, bertemu Galuh pasti dapat meredam gejolak emosinya yang tak keruan. “Aku—” Luna meringis saat menopang tubuhnya untuk duduk. “Aku harus tanya Ambu dulu. Dia bakal kerepotan seandainya kita pergi hari ini.” “Soal itu,” Rayyi berdeham, “saya sudah mengurusnya. Ibumu memberi izin. Katanya, adikmu yang dari Singapura pulang sore nanti bersama istrinya, jadi mereka yang akan membantu.” Jemari Luna mencengkeram sprei kasur. Dimas. Adiknya yang selama lima tahun terakhir bekerja di Singapura dan menikah dengan perempuan asal negara tersebut. Adiknya yang tak pernah salah di mata Puspa. Adiknya yang selalu mendapat puja-puji keluarga besar. Adiknya yang seharusnya mengafani dan mengazani ayah mereka kemarin. “Luna, apa kamu butuh sesuatu?” Ketika Luna mendongak, pandangannya berserobok dengan Rayyi. Sulit dipercaya pria di hadapannya itu menjadi satu-satunya sosok yang dapat diandalkan sekarang. Sementara mereka yang selama bertahun-tahun menyebut dirinya ‘keluarga’ justru menganggap keberadaannya bak hantu. Sekuat apa pun keinginan Luna untuk tinggal, menjauhi orang-orang yang tak menghargainya menjadi pilihan terbaik saat ini. ‘Maafkan aku, Abah,’ batinnya. ‘Satu hari nanti, akan kembali menemui Abah sebagai sosok yang dapat dibanggakan.’ ***Hujan menyambut Luna setibanya di Braga. Jalanan yang biasanya dipadati orang-orang yang sibuk mengambil foto kini lebih lengang sekaligus muram. Seakan-akan mewakili suasana hatinya yang masih dirundung duka.Sementara di kursi supir, Rayyi tampak fokus membawa mobil menuju sebuah hotel mewah yang berada di ujung kawasan tersebut.“Hati-hati,” ujar Rayyi kala membukakan pintu untuk Luna. Pria itu bahkan mengulurkan tangan untuk berpegangan, tetapi dia memilih pinggiran jendela untuk menopang bobot tubuh agar tak terjatuh. “Saya akan mengantarmu ke kamar Pak Galuh. Dia menunggu kita di sana.”“Boleh aku tahu urusan apa yang mendesak kita harus menemuinya sekarang?”Rayyi memalingkan wajah. Respons itu menandakan satu hal: Galuh ingin menyampaikan semuanya pada Luna secara empat mata.“Baiklah, kita—” Saat hendak melangkah salah satu bagian kepala Luna berdenyut yang lantas disusul nyeri. Namun, sebelum Rayyi sempat memberi bantuan, perempuan ini segera menepis tangannya. “Bisa kamu be
“Teteh, kemarin pas nikah kenapa enggak ngabarin Ade?”“Mau kasih kabar gimana, soalnya mendadak juga. Abah yang minta.”“Bener kata Ambu statusnya masih nikah siri?”Luna mendesis mendengar dua kata terakhir itu. “Waktunya mepet, Dimas. Abah enggak mempermasalahkan. Nanti Teteh sama suami juga bakal urus ke pengadilan agama buat urus buku nikah sama kebutuhan lain.”Di ujung telepon, terdengar obrolan yang didominsi para ibu. Dimas pun menjauhkan ponsel sejenak sebelum meneruskan percakapan. “Maaf, ya, Teh, Ade datang telat sampai enggak lihat pemakaman Abah. Tapi buat keperluan tahlilah semuanya Ade yang tanggung.”Sekesal apa pun pada Dimas, Luna tak dapat menegur, apalagi sampai membentak. Sejak dulu, sang adik punya backing kuat dari Puspa. Bagi sang ibu, anak laki-lakinya bersih dari kesalahan. Dikta bukannya tak mau menasehati, hanya saja istrinya bakal senewen dan memberikan pembelaan yang kurang masuk akal.“Syukurlah kamu bantu-bantu Ambu. Teteh enggak bisa tinggal lama-lama
Saat membaca dua pesan tersebut, Luna yang baru bangun tidur hanya mengedik. Namun saat kesadarannya terkumpul, dia menyadari bahwa jatah cuti berdukanya sudah habis.Itu berarti, Luna akan kembali menjalani realitanya sebagai staf housekeeping.*Jarak dari apartemen ke hotel tempat Luna bekerja hanya sekitar satu kilometer. Meski demikian, jalan panjang yang memisahkan kedua tempat itu mengharuskannya mengambil jasa ojek online karena sedang malas berdesakan di LRT.Sesampainya di hotel, Luna bergegas memutari gedung utama menuju pintu yang berada di dekat basement. Rute yang umum diambil staf housekeeping agar cepat sampai ke area kerja untuk mempersiapkan perlengkapan. Setelah berpapasan dengan beberapa rekannya, Luna sampai di ruang karyawan dan langsung disambut pelukan dari Dini serta Brenda.“Kangen banget sama looo,” pekik Brenda setelah mememberikan pelukan erat. “Padahal enggak sampai se
Ketika tak sengaja menangkap Galuh mengecup pipi Luna di ruang kerjanya, Rayyi tak menduga momen tersebut bakal membawanya pada sebuah kesepakatan besar.Kadang, Rayyi bertanya-tanya, apakah keputusannya menerima tawaran Galuh untuk menjadi asisten pribadinya adalah sebuah kekeliruan? Salahkah dia mengambilnya demi bertahan hidup, terutama setelah ayahnya ditahan karena kasus korupsi yang menjebaknya sebagai tersangka?“Mas Rayyi, permisi,” panggil seorang pria berseragam yang tengah mengetuk jendela mobilnya. “Ini area parkir buat petugas. Silakan pindah ke dekat pintu keluar.”“Oh, maaf. Saya pasti tidak lihat tandanya.” Padahal Rayyi rutin mampir ke sini, tetapi baru sekarang dia melamun sampai salah ambil tempat parkir. Maka setelah membawa mobilnya ke area yang tepat, pria itu meluangkan waktu untuk menyisihkan pikiran-pikiran yang mengusiknya sejak pagi.Pasalnya, Rayyi tak mau membuat sang ayah cemas.*“Waduh, bawa apa kamu hari ini? Apa enggak kebanyakan?”“Cuma donat sama ro
Selama menjadi asisten pribadi Galuh, Rayyi senantiasa bersiap sebelum matahari menampakkan diri di ufuk timur. Selain menghindari kemacetan ibu kota, dia harus menyiapkan keperluan sang atasan di rumahnya. Kadang, Rayyi menemaninya seharian, di lain waktu dia diterjunkan untuk menjalankan misi-misi tertentu.Kepindahannya ke apartemen baru bersama Luna pun tak mengubah banyak rutinitas tersebut.Pagi ini, selepas salat Subuh, Rayyi sudah membereskan perlengkapan kerja. Diambilnya jas yang tersimpai di kursi, lalu melangkah keluar untuk menyantap sarapan ala kadarnya. Setelah mencuci piring, pria itu mengambil sepatu di rak. Tepat saat tangannya hendak membuka pintu, sebuah pesan dari Galuh masuk ke ponsel.Keningnya mengernyit. Matanya lantas mengerling ke pintu yang dijadikan sekat.Bukannya menjawab lewat pesan, Galuh malah meneloponnya. Rayyi mengembuskan napas panjang sebelum men
“Ternyata benar dugaanku, kamu yang nyuruh Rayyi.”“Lantas, aku harus bagaimana lagi, Luna? Kamu memblokir semua kontakku.”Luna mengecek situasi di sekitar mereka. Saat Rayyi pamit meninggalkannya, Galuh serta-merta membawa perempuan itu ke area yang lebih sepi. Meski begitu, tak menutup kemungkinan ada telinga-telinga yang mencuri dengar. Apalagi isi pembicaraan mereka berpotensi memicu gosip besar.“Soalnya kamu nyebelin, Mas!” Luna menekankan telunjuknya pada lengan atas Galuh. “Tiba-tiba kasih promosi dengan dalih performaku bagus—”“Harus berapa kali aku bilang, kenyataannya memang kinerjamu di atas rata-rata.”“Tapi, kamu sadar jabatan itu bakal lebih sering mempertemukan kita, kan?” balas Luna semakin sengit. “Mas, aku—aku mungkin bakal suka cita menerimanya kalau statusku sekarang bukan istri Rayyi. Pernah enggak kamu bayangkan bakal seheboh apa pembicaraan di hotel seandainya mereka menangkap basah kita lagi berduaan?”Giliran Galuh yang celingak-celinguk mengamati keadaan d
Seragam floor supervisor untuk Luna sudah tersedia saat masuk di hari Senin. Setelan lengkapnya berupa kemeja putih polos dengan aksen renda yang dipasangkan bersama blazer dan celana bahan hitam. Maryam juga menyerahkan rok selutut hitam sebagai bawahan alternatif yang hanya dikenakan untuk event khusus.“Name tag-mu.” Sang senior menyerahkan plat kecil berwarna keemasan pada Luna. Namanya tertulis dalam warna hitam dan pilihan huruf elegan. “Ganti pakaianmu dan tata rambutmu sesuai arahan saya kemarin. Setelah itu, instruksikan timmu untuk pengecekan kamar di lantai tujuh.”Jika tak ada Brenda, Luna yang lupa membeli sepasang sepatu baru bakal repot cari pinjaman high heels. Sesungguhnya dia tak enak menghadapi sahabat-sahabatnya setelah menerima promosi ini, tetapi mereka terus mendukungnya.“Rezeki newlyweds kata orang-orang mah,” celetuk Dini saat Brenda menyerahkan sepatu miliknya sebelum Luna menemui Maryam. “Siapa tahu kita ikut ketempelen, hehe.”“Ketempelan rezeki dapet prom
“Kamu masuk duluan saja, saya menyusul.”“Kalau mau balik ke hotel juga enggak apa-apa, aku bisa naik ojek biar cepet.”“Bu Maryam hanya mengizinkanmu pergi dan kembali asalkan bersama saya,” Rayyi menjelaskan. “Urusan saya sebentar. Mau salat dulu di musala.”Alih-alih langsung mencari toko yang Brenda tunjukan padanya, Luna malah mengamati Rayyi berjalan cepat menuju tanda Musala yang berada di samping sebuah toko es krim. Padahal waktu Zuhur masih panjang, mengapa pria itu terkesan buru-buru—Sekonyong-konyong, Luna mengingat obrolannya bersama Dikta selepas kunjungan pertama Galuh. Dia masih gusar gara-gara sikap sang ayah yang kurag bersahabat, tetapi berusaha membuka telinga untuk mendengar alasannya.“Waktu melamar Ambu, Abah secara finansial memang bisa dikatakan kurang mapan. Orangtua mana yang rela melepas anak perempuannya pada pria yang kerja serabutan?” Dikta mulai bercerita.“Tapi, Abah berikhtiar juga pada Allah. Sambil mencari kerja, Abah tingkatkan ibadah,” katanya. “