“Kalau aku udah punya uang banyak, kamu bebas mau menentukan konsep pernikahan sampai tempat bulan madu kita.”“Kalau aku minta jalan-jalan keliling Eropa, emangnya kamu sanggup membiayai semuanya, Mas?”“Keyword-nya di ‘uang banyak’, Sayang. Enggak ada kata sulit menyanggupi selama kamu yang minta.”Luna tersentak dari tidur, bersamaan dengan pesawat yang berguncang. Terdengar bisik-bisik cemas di sekitarnya saat peringatan turbulensi diumumkan. Sementara di sampingnya, Rayyi fokus menyimak informasi yang tengah disampaikan.“Kamu terbangun.” Pernyataan itu terdengar seperti konfirmasi dari Rayyi. “Setengah jam lagi kita sampai di Bandara Ngurah Rai. Apa kamu mau makan atau minum dulu?”“Enggak perlu—” Suara serak gara-gara kurang minum membuat Luna berdeham. “Mungkin air mineral cukup.”Rayyi menyetop pramugari yang lewat dan memesankan minuman itu. Sambil menunggu, Luna melepas bantal leher dan mengamati para penumpang di sekitarnya. Wajah-wajah yang terlihat sangat mewakili penghu
Rayyi perlu mengingatkan diri bahwa kunjungannya ke Bali hanya untuk menghargai pemberian Naura. Bulan madu pun jadi sekadar label pemanis mengingat statusnya adalah suami (sementara) untuk Luna. Tak ada yang perlu dia cemaskan, bukan?Pertanyaan itu terngiang dalam benak Rayyi saat mengikuti karyawan yang mengantarnya bersama Luna ke restoran. Mereka melewati area depan yang dipenuhi wisatawan, lalu berjalan menuju bagian belakang yang lebih tenang.Sampai kemudian, keduanya berhenti di depan jembatan yang mengarah ke gazebo yang telah dihias sedemikan rupa untuk memperlihatkan kesan romantis. Meja dengan lilin di tengah, bunga-bunga yang dipasang di tiang-tiang penyangga. Belum lagi pilihan lagunya yang lembut dan manis untuk mendukung candle light dinner.“Sesuai permintaan Pak Jo, saya akan menjadi pelayan kalian malam ini.” Karyawan bernama Wati itu mempersilakan Rayyi dan Luna duduk di meja. “Full-course dinner akan segera dihidangkan. Selamat menikmati malam romantis kalian.”B
“Apa yang kamu lakukan pada Rayyi? Kenapa kamu mengurungnya di kamar mandi?”“Berisik, Pak, berisik! Seharian dia menanyakanmu, pengen ketemu. Kamu enggak punya ponsel pula, jadi susah kuhubungi.”“Kan sudah kubilang, telepon temanku! Kami bekerja sepanjang akhir pekan di lokasi proyek konstruksi.”“Ah, malas aku! Mending jalan-jalan sama teman-teman buat keperluan reuni minggu depan.”Suara-suara itu lesap bersama bayang-bayang yang mengabur; digantikan bebunyian lain yang lebih tak beraturan. Sayup-sayup, muncul suara perempuan yang meningkahi kebisingan itu. Memanggil namanya dalam cemas.“Rayyi, sebentar lagi kita keluar,” bisiknya lirih. “Pintu lift akan dibuka. Tetap fokuskan perhatianmu pada suaraku, oke? Aku enggak akan ke mana-mana.”Di antara kesadaran yang mengawang dan tubuh yang dibasahi peluh, Rayyi hanya bisa mengangguk lemah. Perlahan, dia juga merasakan ada jemari lembut yang menggenggamnya erat.“Untuk yang di dalam, tolong mundur. Kami akan membuka pintu.” Perintah
Menyaksikan Rayyi mengalami serangan panik sempat membuat Luna terpaku di tempat. Sosok pria kaku serta formal yang selama ini dikenalnya mendadak berubah seperti bocah yang ketakutan dimarahi orangtua. Mungkin kalau tak pernah menonton drama tentang kesehatan mental, mustahil dia dapat menenangkan suaminya.Selain itu, menyaksikan kondisi kesehatan Dikta yang terus menurun secara tak langsung membantu Luna sigap mengambil tindakan. Walau benaknya kacau, dia tak boleh terlihat sama-sama panik di hadapan Rayyi.“Sekali lagi, terima kasih. Saya sendiri enggak menyangka bakal mengalami hal itu.” Selepas salat Subuh, Luna membelikan dua porsi bubur yang dijual di dekat rumah sakit. “Padahal saya sudah lama berhenti ikut konsultasi.”“It's okay, kemungkinan kambuh pasti selalu ada kalau ketemu trigger.” Luna menyerahkan alat makan untuk Rayyi. “Mumpung di rumah sakit, kamu mau sekalian ketemu psikiater?”Pria di hadapannya tampak memikirkan sesuatu, lalu menggeleng pelan. “Sebaiknya kita c
Saat langit malam menyelimuti Badung, Luna mulai berkemas untuk pulang besok. Sangat disayangkan kunjungan ini tak berjalan sesuai harapan. Di sisi lain, dia dapat terlepas dari gangguan Galuh untuk sesaat.“Rayyi ke mana, sih. Katanya mau cari makan di luar.” Setengah jam lalu, pria itu pamit keluar. Kondisinya yang belum pulih total serta-merta membuat Luna cemas. Bagaimana kalau dia—Ponselnya berbunyi. Panggilan masuk dari Rayyi.“Luna, apa kamu masih di kamar?” Pria itu bertanya. “Saya di depan hotel, mau ajak kamu makan di luar.”“Heh, bukannya kamu lagi cari makan?”“Tadinya begitu, tapi saya pikir lebih baik kita jalan-jalan sekalian. Ini hari terakhir kita di Bali,” sahutnya penuh semangat. “Kebetulan saya dapat sewa motor dekat sini.”Benar juga. Paling tidak, mereka punya momen menyenangkan walau sekadar memutari area wisata dan mencoba kuliner khas Bali di warung-warung tradisional.“Oke, sebentar lagi aku turun. See you.” Setelah itu, Luna menyambar kemeja, tas selempang,
Luna tak menduga bakal menghabiskan sisa masa ‘bulan madu’ di Bali dengan hal-hal sederhana. Jalan-jalan naik sepeda motor jadul. Makan olahan bebek di pinggir pantai. Lalu di penghujung malam, dia dan Rayyi malah menyaksikan pesta kembang api gratis yang terletak tak jauh dari warung makan Wayan.‘Kalau kayak gini terus, aku malah enggak mau pulang,’ batinnya. Apalagi saat mengingat ada tumpukan pekerjaan yang menanti, perempuan itu rasanya ingin menguburkan diri di antara hamparan pasir.“Sensasi menonton kembang api di sini ternyata berbeda jauh dari Jakarta,” gumam Rayyi yang menengadah memandangi langit yang meriah malam itu. “Sama-sama ramai, tapi di sini saya enggak perlu menjaga orang lain.”“Emangnya selama kerja sama Mas Galuh, kamu jarang dapet jatah libur atau cuti?” Sepadat apa sebenarnya jadwal Rayyi sebagai asisten pribadi.Rayyi merapikan salah satu lengan kemejanya. “Ada, tapi saya hanya memakainya satu atau dua kali. Lagi pula, enggak ada keluarga dekat yang perlu say
Bunga tidur yang mampir ke dalam tidur Rayyi malam ini berbeda dari sebelumnya.Langit yang biasanya muram kini tampak biru cerah tanpa awan. Semilir angin membelai wajah Rayyi perlahan. Seluas matanya memandang, dia hanya melihat bentangan rumput yang menari-nari; menggelitik kakinya yang tanpa sepatu.‘Saya di mana?’ batinnya. ‘Apa saya sudah—'“Rayyi.” Panggilan tersebut mengalihkan perhatian Rayyi ke arah sumber suara. Di belakangnya, seorang perempuan muda dengan sundress warna putih menatapnya dari puncak bukit. Tak butuh waktu lama juga baginya mengenali sosok tersebut.“Luna,” gumamnya pelan kala perempuan itu menghampirinya, “apa yang saya—kita lakukan di sini?”Luna mengedik. “Aku di sini buat menikmati pemandangan selagi cuacanya bagus. Butuh refreshing sebentar setelah melewati hari-hari yang melelahkan.”Pernyataan tadi terdengar familier. Ah, benar, itu adalah keluhan yang berkali-kali bergema dalam benak Rayyi setiap kali mendapatkan perintah dari Galuh. Siapa yang mendu
Satu pesan singkat itu serta-merta membuat Rayyi menengadah ke rumah newah yang berdiri di belakangnya. Sekitar dua jam lalu, dia menjemput Galuh di bandara. Anehnya, sang atasan hanya pulang bersama istrinya.Hal ganjil lain yang Rayyi tangkap adalah sikap Naura yang terlihat biasa saja kala mereka berpapasan. Bahkan saat Galuh pamit sebentar untuk mengurus bagasi, perempuan itu mengacungkan jempol padanya. Rayyi jadi heran, apakah insiden di hotel itu tak sampai ke telinga Naura?“Ayo, kita berangkat sekarang.” Galuh rupanya hanya berganti pakaian. “Sekitar pukul 10 kita harus mengejar meeting di Kemang.”Rayyi mengangguk patuh dan membukakan pintu untuk Galuh. Perjalanan menuju hotel pun dia gunakan untuk tidur. Jet lag-nya pasti belum benar-benar hilang. Lagipula seingat Rayyi mereka tak punya jadwal meeting seharian.‘Sudahlah,’ tepisnya sembari membelokkan mobil menuju lokasi tujuan, ‘satu hal yang pasti saya perlu bersiap untuk menghadapi pert