Aku hanya menjerang air dan membuat teh panas di pagi hari, saat ada tukang datang. Tak punya cemilan atau apapun. Baik sekali dia, masih jam enam sudah datang.“Ada kerjaan, Mas di desa sebelah,” ujarnya pada Mas Gilang, karena kami belum persiapan apa-apa saat dia datang. Rupanya dia datang sembari berangkat kerja. Tak lama, setelah naik ke atap rumah, memperbaiki posisi genting yang bergeser, dia pun turun. “Nanti kalau masih bocor, telepon saja!” ujarnya sambil diajak oleh Mas Gilang menikmati teh panas. "Maaf, ya, Pak. Hanya ada teh panas." "Nggak papa, Mbak. Sudah biasa sarapan di rumah, sebelum berangkat. Makasih banyak," ujar Pak tukang itu dengan ramah. Tak lupa, Mas Gilang memberinya lembaran uang biru sebagai ongkos jasa saat dia berpamitan tak lama setelah sempat ngobrol ngalor ngidul dengan Mas Gilang. Suamiku itu, kalau tidak distop, ada saja yang diomongkan. Sayangnya, hanya dengan orang lain. Tidak denganku. Beruntung, sinar matahari mulai menunjukkan jati diriny
Sudah empat hari pindah ke rumah baru, tapi Mas Gilang bukannya makin perhatian padaku, justru sebaliknya. Hampir setiap malam dia memilih menghabiskan waktunya di luar rumah. Padahal, seharian kami bekerja di kantor. Meski pergi dan pulang kami boncengan di motor, aku pun bisa memeluknya selama yang aku mau, tapi kami tak pernah ngobrol sepanjang jalan. Bising dan pasti tidak terdengar. Aku tak mengerti mengapa fisiknya ada di sini, tapi entahlah angannya ke mana. Membicarakan masa depan kita berdua saja tak pernah. Dia seperti asyik dengan dunianya. Mungkin, jika aku ada aktivitas lain, pikiranku tidak mengembara kemana-mana. Bayangkan, pindah di tempat baru. Rumah terlihat luas karena tak punya barang, bahkan tivi saja tidak punya. Sambungan internet hanya dari kuota, lalu aku harus ngapain selepas isya? Masak aku harus tidur jam setengah delapan? Kadang, aku sampai bosan. Sosmed kuscroll bolak-balik tak ada yang menarik hatiku. Bahkan otakku pun sudah tak tertuju ke benda pip
“Dik, mama dan ibu besok datang. Kita jemput di bandara. Nanti kita pinjem kasur gulung Pak Hanif saja untuk sementara. Katanya beliau punya dua.” Aku hanya mengangguk. Tak terlalu kuhiraukan kata-katanya. Toh, dia juga tak pernah memikirkan perkataanku. Aku malah senang ada ibu dan mama datang. Berarti sebentar lagi aku ada teman di rumah. Biar saja Mas Gilang mau menghabiskan waktunya di luar. Aku tak peduli. “Dik, kira-kira kita perlu siap-siap apa, ya, sebelum mama dan ibu datang?” tanyanya lagi sambil memberikan helm padaku. Aku segera memakainya dan duduk di boncengannya sebelum dia melajukan motor menuju jalan pulang. Hari sudah sore, jalanan keburu macet. “Nggak tahu, Mas. Apa adanya saja,” ucapku. Biar saja orangtua dan mertua tahu keadaan kami yang sesungguhnya. Bukankah kami begini juga karena hutang ibu yang menjadi tanggungan kami? Meskipun sebenarnya berulang Mas Gilang bilang, mestinya aku bisa melobi kakak dan sepupuku untuk ikut membantu menanggung hutang itu. T
Pov GilangRupanya pindah di kompleks perumahan begini, aku jadi punya wibawa. Paling tidak, dihargai sebagai kepala rumah tangga, dibandingkan sebagai anak kos. Setelah lapor diri ke pak RT dan kenalan tetangga kanan kiri dengan Sekar, aku pun menambah kenalan dengan jamaah di masjid. Salah satu yang aku sukai dari sewa rumah di sini adalah lokasi yang sangat dekat ke masjid. Tak masalah rumah sederhana dan kemarin masih ada genting yang bocor, yang penting masyarakatnya nyaman. “Mas Gilang yang baru pindahan ya?” sapa Pak Hasan, lelaki yang mengenakan gamis dan peci putih. Menurut Pak RT, Pak Hasan ini ketua DKM. “Iya, Pak,” sahutku. Aku kemudian memperkenalkan diri dan juga menyebutkan Sekar, istriku. Profesi kami dan asal kami, agar orang-orang mengakui eksistensi kami di sini sebagai warga baru. Aku dan Pak Hasan, juga pengurus DKM lainnya akhirnya terlibat pembicaraan asyik mengenai kegiatan masjid dan juga antusiasme masyarakat sekitar terhadap kegiatan agama. Hingga tak t
Astaga ... apa aku tak salah dengar? Apa yang dia bilang barusan? Tak ada waktu buatnya? Bukankah aku setiap hari ada untuknya. Berangkat dan pulang kerja bersamanya. Tidur bersamanya? Kenapa dia bisa berkata begitu? Apa dia sedang cemburu? Astaga ... kalau cemburu dengan wanita sih masuk akal. Ini cemburu dengan bapak-bapak kompleks. Pak RT, Pak Ketua DKM, panitia 17an. Duh! Beginikah rasanya punya istri? Apa saja harus melapor padanya? Aku menghela nafas. Meski kesal, harus kutahan. Bagaimanapun dia istriku dan aku imamnya. Masak iya aku sudah nyerah baru menghadapi seperti ini. Papaku saja bisa sabar menghadapi mama. Kutarik pinggang gadis itu agar segera merebah di sebelahku. Beruntung kasur ini sempit, jadi lebih mudah bagiku untuk membuatnya dalam kekuasaanku. “Mas....” Dia masih saja memanggilku. Menguji kesabaran orang yang sudah mengantuk memang. Untungnya, akalku masih waras. “Sttt...tidur, yuk. Besok kerja,” ujarku sambil menempelkan telunjuk di depan bibir, sementara
Tapi, argumennya tetap saja tidak jelas. Dia bilang flek-flek. Memang aku ngerti maksudnya? Aku ini orang teknik. Dan sepertinya jaman sekolah dulu, tak pernah dibahas mengenai hal ini di pelajaran IPA atau biologi. Aku baru mendengarnya.Huff. Sepertinya dia masih kesal padaku karena tempo hari aku enggan menjawab pertanyaannya. Tapi, gengsi juga kalau tahu-tahu aku harus minta maaf. Toh, dia sudah memaafkan. Buktinya, seharian dia biasa saja. “Ck! Kamu tuh banyak alasan. Alasan capek lah, alesan flek lah...” ujarku sambil menutupi rasa kecewa. Apalagi, sebagai lelaki, hasrat yang sudah diubun-ubun, lalu ditolak begitu saja, membuat kepalaku serasa mau pecah. Aku beranjak ke ruang depan. Gengsi mau tidur di dekatnya. Nanti saja kalau dia sudah tertidur baru aku ke sana. Meski sebenarnya aku penasaran dengan alasannya tadi. Karena setahuku, Sekar meskipun suka ngambek, tapi dia tahu batasan mana yang boleh, mana yang nggak boleh. Nggak mungkin tanpa alasan dia menolak. Tak kuinda
Sekar melongokkan kepalanya ke jendela kamar yang menghadap ke depan. Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Matanya menyipit mengamati siapa yang keluar dari mobil itu. Lalu dia buru-buru menyambar jilbabnya saat menyadari ibu dan mama mertuanya yang datang. “Lho, Bu, katanya datangnya besok, kok sekarang sudah datang?” Sekar menatap Mama mertua dan Ibunya bergantian. Kedua wanita itu langsung masuk ke dalam rumah layaknya rumah sendiri. Sekar merasa tidak enak, dengan kondisi rumahnya yang masih kosong melompong. Bahkan, kasur buat ibu dan mama mertuanya saja belum sempat dipinjam ke tetangga. “Ibumu ini cemas karena kamu telpon semalam. Jadinya langsung minta dimajukan tiketnya menjadi sekarang,” ujar Bu Hanum sambil duduk di atas karpet. Kakinya dibiarkan selonjoran. Begitu juga Bu Ndari. Keduanya baru tiba dari bandara dengan menumpang taksi. “Wajar saja kalau pengantin baru rumahnya masih kosong,” ujar Bu Hanum sambil memindai sekeliling. Tak ada perabotan sama seka
Hari sudah menjelang maghrib saat Gilang memasukkan motornya ke pagar halaman rumah. Meski rumah minimalis, namun masih ada halaman depan dan samping yang masih alami. Biasanya, motor dimasukkan lewat samping rumah yang langsung menuju pintu gudang belakang, yang difungsikan untuk tempat motor. Suasanya dari luar tak beda dengan biasanya. Lampu teras sudah menyala. Namun, Gilang mendengar ada suara orang lain selain istrinya. Siapakah tamunya? Matanya lalu tertuju pada sandal yang masih di depan pintu. Ada sandal wanita. Apakah ada tetangga yang berkunjung sore begini? Apa Istrinya sakit, hingga membuat tetangga harus menemani? Banyak pertanyaan berkelidan di kepala, mengingat tadi Sekar tidak masuk kerja. Dan seharian, dia sama sekali tak ingat untuk menghubunginya. Mata Gilang membulat saat masuk ke dalam rumah. Dia kaget karena sudah ada mertua dan mamanya yang sedang sibuk memasak di dapur. Aroma masakan yang tercium, membuat perutnya semakin meronta."Mama? Ibu? Kok sudah di r