Tapi, argumennya tetap saja tidak jelas. Dia bilang flek-flek. Memang aku ngerti maksudnya? Aku ini orang teknik. Dan sepertinya jaman sekolah dulu, tak pernah dibahas mengenai hal ini di pelajaran IPA atau biologi. Aku baru mendengarnya.Huff. Sepertinya dia masih kesal padaku karena tempo hari aku enggan menjawab pertanyaannya. Tapi, gengsi juga kalau tahu-tahu aku harus minta maaf. Toh, dia sudah memaafkan. Buktinya, seharian dia biasa saja. “Ck! Kamu tuh banyak alasan. Alasan capek lah, alesan flek lah...” ujarku sambil menutupi rasa kecewa. Apalagi, sebagai lelaki, hasrat yang sudah diubun-ubun, lalu ditolak begitu saja, membuat kepalaku serasa mau pecah. Aku beranjak ke ruang depan. Gengsi mau tidur di dekatnya. Nanti saja kalau dia sudah tertidur baru aku ke sana. Meski sebenarnya aku penasaran dengan alasannya tadi. Karena setahuku, Sekar meskipun suka ngambek, tapi dia tahu batasan mana yang boleh, mana yang nggak boleh. Nggak mungkin tanpa alasan dia menolak. Tak kuinda
Sekar melongokkan kepalanya ke jendela kamar yang menghadap ke depan. Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Matanya menyipit mengamati siapa yang keluar dari mobil itu. Lalu dia buru-buru menyambar jilbabnya saat menyadari ibu dan mama mertuanya yang datang. “Lho, Bu, katanya datangnya besok, kok sekarang sudah datang?” Sekar menatap Mama mertua dan Ibunya bergantian. Kedua wanita itu langsung masuk ke dalam rumah layaknya rumah sendiri. Sekar merasa tidak enak, dengan kondisi rumahnya yang masih kosong melompong. Bahkan, kasur buat ibu dan mama mertuanya saja belum sempat dipinjam ke tetangga. “Ibumu ini cemas karena kamu telpon semalam. Jadinya langsung minta dimajukan tiketnya menjadi sekarang,” ujar Bu Hanum sambil duduk di atas karpet. Kakinya dibiarkan selonjoran. Begitu juga Bu Ndari. Keduanya baru tiba dari bandara dengan menumpang taksi. “Wajar saja kalau pengantin baru rumahnya masih kosong,” ujar Bu Hanum sambil memindai sekeliling. Tak ada perabotan sama seka
Hari sudah menjelang maghrib saat Gilang memasukkan motornya ke pagar halaman rumah. Meski rumah minimalis, namun masih ada halaman depan dan samping yang masih alami. Biasanya, motor dimasukkan lewat samping rumah yang langsung menuju pintu gudang belakang, yang difungsikan untuk tempat motor. Suasanya dari luar tak beda dengan biasanya. Lampu teras sudah menyala. Namun, Gilang mendengar ada suara orang lain selain istrinya. Siapakah tamunya? Matanya lalu tertuju pada sandal yang masih di depan pintu. Ada sandal wanita. Apakah ada tetangga yang berkunjung sore begini? Apa Istrinya sakit, hingga membuat tetangga harus menemani? Banyak pertanyaan berkelidan di kepala, mengingat tadi Sekar tidak masuk kerja. Dan seharian, dia sama sekali tak ingat untuk menghubunginya. Mata Gilang membulat saat masuk ke dalam rumah. Dia kaget karena sudah ada mertua dan mamanya yang sedang sibuk memasak di dapur. Aroma masakan yang tercium, membuat perutnya semakin meronta."Mama? Ibu? Kok sudah di r
“Dik, nih aku sudah dapat dokter kandungan yang terdekat. Rekomendasi dari Pak Ihsan. Istrinya juga sedang hamil anak kedua,” ujar Gilang sambil menyebutkan nama tetangganya. Pria itu baru saja pulang dari masjid menunaikan sholat isya. Jika kemarin Sekar marah karena Gilang pulang telat, hari ini ada mama dan ibunya, membuat Sekar melupakan masalah kemarin. “Tapi, Mas. Apa nggak sebaiknya ke bidan saja. Kata ibu, Bidan itu juga pengalaman lho. Mereka kan memang belajar menolong kelahiran.” “Ini anak pertama, Dik. Aku nggak mau beresiko. Ke dokter saja!” Mulut Sekar sudah mengerucut. Suaminya itu, giliran tetangga saja didengerin. Tapi, kalau dia yang ngomong, ngga pernah didengerin. Mendingan jadi suaminya tetangga saja, Mas! Batin Sekar. “Kamu juga harus hati-hati. Kata temen-temen kantor, hamil pertama itu rawan,” ujar Gilang menerawang. Dia teringat percakapannya dengan Hendi tadi pagi. “Oh, istri ente hamil, Lang?” tanya Hendi saat tadi di kantor, karena biasanya Gila
“Hati-hati ya, Dik!” pesan Gilang saat Sekar mencium punggung tangannya. Sekar sudah kembali bekerja setelah sebelumnya memeriksakan diri ke dokter dan direkomendasikan untuk tidak terlalu capek. Hari ini, Sekar mencoba moda kereta. Salah satu angkutan umum yang belum pernah dicobanya. Sementara, Gilang tetap ke kantor dengan motornya. Pemuda itu hanya mengantar Sekar hingga depan stasiun. Bagi Gilang, membawa motor ke kantor lebih efisien, meski pun jauh. Dia bebas pulang jam berapa saja dan mampir mana saja, dibanding naik angkutan umum yang harus mengejar jadwal dan tidak bisa mampir-mampir.Sekar berjalan perlahan sambil matanya memindai lokasi stasiun. Dia belum pernah naik kereta sebelumnya. Hanya saja, dia sudah mendengar kalau harus memiliki kartu yang sudah berisi uang di dalamnya. Gilang pun sudah memberikannya kartu dan sudah di top up. Saldonya lumayan buat bolak-balik selama sebulan. Setelah memindai kartu itu di depan gate-in, Sekar buru-buru masuk. Semua penumpang
Keduanya akhirnya saling diam, hingga kereta berhenti di stasiun pemberhentian di mana Arfan hendak turun. “Nanti kamu turun hati-hati, ya. Nggak usah berebut. Kamu turun di stasiun terakhir!” nasehat Arfan sebelum turun. “Astaga! Mirip nenek-nenek bener deh, lelaki satu ini,” batin Sekar setelah lelaki itu turun. “Itu tadi kakaknya, Mbak?” tiba-tiba seorang ibu yang duduk di sebelahnya bertanya. “Oh, kenapa, Bu?” tanya Sekar heran. Bingung menjawab apa. “Baik banget. Kalau masih sendiri, ibu mau jadiin mantu,” ujar wanita paruh baya itu. “Astaga, Bu. Ada-ada saja,” ujar Sekar sambil tertawa. Tiba-tiba dia ingat kejadian beberapa bulan silam saat Arfan hendak melamarnya. “Nggak, ibu nggak setuju kalau kamu sama Mas Arfan,” ujar ibunya kala itu. Meski masih terhitung saudara dan ibunya membahasakan "Mas", tapi Sekar lebih memilih memanggil "Kak" karena lebih sering bertemu di kampus. “Kayak nggak ada laki-laki lain saja. Dia itu masih saudara sama kita,” sambung Bu Ndari. Se
Sesuai petunjuk Arfan, kali ini Sekar tak salah memilih arah, sehingga ia langsung dapat bangku prioritas, tak perlu Arfan harus berteriak "Ibu hamil!" "Makasih ya, Kak. Kakak sudah ngajarin aku naik kereta," ucap Sekar saat kereta mulai hendak berjalan. Arfan lagi-lagi berdiri di depannya. Arfan tersenyum. "Kamu, tetap saja lucu, Sekar. Jangan lupa ya, biaya tutorialnya," goda Arfan. "Bayar pakai apa?" Andai belum ada yang punya, ingin rasanya Arfan membalas dengan gombalan. Sayangnya, otaknya masih waras. "Gara-gara aku, Kakak jadi nggak dapat tempat duduk," ucap Sekar lagi. Dia merasa nggak enak karena Arfan harus berdiri. Padahal, kalau mau, Arfan bisa berebut bangku dengan yang lain, tak harus berdiri di dekatnya seperti ini. "Hanya hari ini. Besok-besok, ogah banget aku nemenin gini," ucap Arfan. Sepanjang perjalanan, Arfan dan Sekar ngobrol sambil bernostalgia saat mereka masih di kampus. Banyak kesamaan membuat mereka nyambung. Namun, terbit juga rasa bersalah di
"Emang kenapa nggak mau naik kereta lagi?" Gilang mengerutkan dahinya. "Capek ya?" Mendadak ia merasa khawatir, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Sekar akibat naik kereta. “Penuh banget!”"Tapi, kamu bisa duduk kan?" tanya Gilang. Dia tak pernah naik kereta. Namun, teman sekantornya ada juga yang ikut roker alias rombongan kereta. Tak jarang ia pun mendengar keluhan bagaimana kondisi kereta saat-saat jam sibuk. Tak heran, kadang teman sekantornya ada yang datang pagi-pagi sekali, demi menghindari tumpah ruahnya penumpang. "Dapat, sih," tukas Sekar. "Iya. Kan ada bangku prioritas khusus ibu hamil. Tapi, emang ada yang tahu kamu hamil? Kan belum kelihatan?" "Eh..." Sekar tergagap. Sebenarnya, Sekar tak ingin naik kereta hanya ingin menghindari Arfan saja. Tidak enak dengan kedekatannya seharian tadi. Meskipun rasa itu tak pernah ada, tapi lebih baik menjaga agar tak pernah tumbuh. Demi menjaga perasaan suaminya. Apalagi, mendengar candaan Arfan tadi, dadanya terasa berdesir.Tapi, m