Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Sekar ndak mau, Bude!” Aku menggeleng untuk menegaskan jawaban. Pakde Amin dan Bude Hanum yang ada di hadapanku senyum-senyum seraya sesekali menatap anak laki-lakinya yang juga duduk tak jauh dari mereka.Lelaki muda yang kukenal itu membuang muka dengan angkuh. Sementara, di sebelahnya ada Mbak Ratih, kakak perempuan dari lelaki itu. Wanita itu memberi isyarat padaku dengan mencebikkan mulut sembari matanya melirik ke adik semata wayangnya itu. Keluarga yang aneh! “Lha, Masmu itu kurangnya apa? Wis baik, sholeh, pinter. Masa kamu nggak lihat. Ganteng juga iya,” tambah wanita yang kusapa Bude itu, sambil mengerling ke Mbak Ratih. Duh, mimpi apa aku semalam. Aku tuh datang ke rumah Bude Hanum karena disuruh ibu mengantar kue pagi-pagi. Kok malah kejadiannya kayak gini. Seperti biasa, ibu kalau bikin cemilan, pasti dilebihkan. Nanti aku disuruh nganter ke rumah Bude Hanum, tetangga kami yang hanya berjarak beberapa rumah. Ibu dan Bude Hanum sangat dekat karena dulu dari kecil s
(Dua minggu sebelumnya)“Mama nih apa-apaan. Gilang ogah di suruh nikah sama Sekar!” sahut Gilang dengan wajah gusar. Bagaimanapun, kredibilitas dan gengsinya dipertaruhkan. Apa kata dunia kalau tahu akhirnya dia bakal menikah dengan tetangganya yang aleman itu. Yang sok-sok aktif ikut organisasi ini itu, tapi ujung-ujungnya dia yang kena getah buat ngurusin. “Lha, kamu itu kalau nggak mau dijodohin sama Sekar, ya buruan cari pacar. Umur sudah 25, teman-temanmu juga sudah pada punya calon. Kamu? Dari dulu masih aja sendiri,” ledek Bu Hanum pada anak laki-lakinya itu. “Sekar itu sudah mau dilamar sama anaknya temen Bulik Ndari. Kalau kamu ngga buru-buru bisa keduluan. Pasti Pak Lik Sodiq setuju kalau anaknya temen Bulik Ndari ngalamar Sekar. Wong sudah mapan, ganteng pula,” ujar Bu Hanum, sengaja memanas-manasi anaknya. “Ya biar saja si Sekar nikah sama dia. Gilang ndak mau. Titik!” ucap Gilang sambil berdiri, pergi meninggalkan mamanya. “Ndak usah begitu. Nanti ujung-ujungnya nye
Aku melangkahkan kaki mendekati ruang tamu. Ada Pakde dan Budhe, juga Bulik dan Paklik yang rupanya sedang menyimak obrolan Bapak dan Ibu. Aku sengaja tidak muncul mendekati mereka. Aku ingin tau apa yang sedang mereka bicarakan. Kutempelkan telinga ke rak penyekat yang membatasi ruang makan dan ruang tamu.“Lho, Nak Fajar ini anaknya Mbak Nurul. Udah sukses, Mbak. Kalau Sekar tidak buruan jadian sama Nak Fajar, nanti Sekar keburu dilamar sama Gilang,” sahut Ibu. Aku tersentak kaget. Bagaimana tidak, Ibu belum pernah bilang apa-apa. Mengapa tiba-tiba menyebut namaku, dan mengatakan tentang lamar-melamar? Heh? Trus siapa Fajar? Siapa Nurul? Keningku berkerut. Kuingat-ingat baik-baik. Ibuk bahkan tidak pernah menyebut dua nama itu sebelumnya. Apalagi menyebut tentang lamaran. Bahkan, menyebut Mas Gilang mau melamar pun tak pernah. Drama apa ini? Kembali kutajamkan pendengaran ini, mencoba menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. “Nak Fajar ini sudah jadi manajer di Jakarta. Gajin
Ibu melihatku dengan tatapan tidak suka. Aku segera menunduk. Tidak enak hati rasanya. Seumur-umur baru kali ini ibu menatapku seperti itu. Aku segera bergegas masuk ke dalam kamar. Otakku masih dipenuhi kata-kata Mas Gilang tadi. Tahu dari mana Mas Gilang tentang lelaki yang bernama Fajar? Mengapa dia melarangku menerima pinangannya? Adakah sesuatu yang ganjil? Jangan-jangan, itu hanya dalih Mas Gilang saja. Bukannya ibu tadi mengatakan, kalau Mas Fajar tidak segera meminangku, maka Mas Gilang yang akan meminangku? Apakah mereka bersaing?Aku tersenyum kecut jika mengingat perlakuan Mas Gilang selama ini. Mana mungkin dia mau meminangku. Menatap saja dia seolah enggan. Seringnya hanya tersenyum sinis. Tapi, mengapa tiba-tiba dia melarangku menerima pinangan lelaki bernama Fajar?Kududukkan badanku ke sisi ranjang. Aku seperti orang linglung. Memikirkan mau dipinang orang saja kepalaku sudah terasa pening. Apalagi Mas Gilang menambah masalah dengan melarangku menerima pinangan lelak
Kukerjapkan mata. Ternyata aku sudah berada di dalam kamar, terbaring lemah di ranjang. Siapa yang memindahkan aku ke sini? Aku pun tak tahu. Terakhir aku berada di ruang tamu, dan melihat ada Mas Gilang di ambang pintu. Akan tetapi, mengapa aku jadi berada di sini? Baju yang kukenakan pun masih sama. Gamis satin dengan outer broklat warna abu. “Kamu sudah sadar, Sekar?” tanya Bulik Diah yang duduk di sisi ranjang. Beliau segera berdiri dan mengambil cangkir berisi teh panas dari atas meja belajarku. Kulihat asap teh itu masih mengepul. Tandanya, isinya masih panas. “Minum dulu, biar kamu ada tenaga,” tukas Bulik Diah sambil mengangsurkan cangkir teh tersebut. Kudengar sayup-sayup suara tamu masih ada. Sepertinya mereka masih berbincang di ruang tamu. Tak lama, kulihat ibu membuka pintu kamar. Lalu beliau masuk dan duduk di sisi ranjang, bersisihan dengan Bulik Diah. “Ndhuk, kamu masih lemes?” tanya ibu. Aku hanya mengangguk. Sepertinya aku ingin lebih baik di kamar, malas rasany
“Jadi kamu sudah bertemu dengan perempuan bernama Daniar itu?” tanya Mas Gilang. Aku heran mengapa tiba-tiba Mas Gilang sudah berada di depan kantorku. Letak kantor kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi bukan Jakarta namanya kalau tidak membuat jarak yang dekat terasa jauh. Dan selama setahun aku di Jakarta, tak sekalipun Mas Gilang bertanya dimana kantorku ataupun dimana kosanku. Mendapatinya tiba-tiba berdiri di depan lobi kantorku tentu merupakan hal langka yang patut diabadikan. Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. “Kamu tahu, siapa dia?” tanyanya lagi. “Dia teman SMA-nya Mas Fajar,” jawabku singkat. Sesuai yang aku tahu saat dia dikenalkan padaku. “Ikuti aku,” kata Mas Gilang sambil memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Aku hanya mengekorinya. Rupanya Mas Gilang sudah memesan taksi online. “Mau kemana kita, Mas?” tanyaku saat taksi yang kita pesan menuju ke suatu pusat perbelanjaan yang berbeda dengan kemaren. Mas Gilang hanya diam saja. Dia mema
“Sudah puas nangisnya?” tanya Mas Gilang dingin. Hari masih jam tujuh pagi. Mas Gilang sudah berdiri di ambang pintu kosanku. Pasti dia melihat dengan jelas mataku yang sudah bengkak karena semalaman menangis. Entah berapa ember airmata yang berhasil aku keluarkan. Yang jelas saat ini aku merasa air mataku sudah mengering dan pedih rasanya mataku. “Cengeng!” gumannya yang terdengar jelas hingga ke telingaku. Aku hanya bisa meliriknya sekilas, mencebikkan mulut, lalu berniat menutup pintu kosan agar dia segera pergi dari hadapanku. “Buruan siap-siap. Aku tunggu!” ujar Mas Gilang lagi. Tangannya dengan sigap menahan pintu yang akan segera aku tutup. “Ini masih jam tujuh. Aku mau tidur lagi!” sahutku malas. Jam masuk kantor masih jam delapan. Jarak kosan ke kantor tidak sampai 15 menit jalan kaki. Ngapain datang pagi-pagi. Mau bantuin CS sama OB nge-vakum karpet?“Tidur lagi? Mau nangis lagi?” tanya Mas Gilang dengan nada mengejek. “Buruan. Aku traktir bubur ayam belakang kantormu!
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi