Share

Bab 3.

last update Last Updated: 2022-09-30 18:05:35

Kukerjapkan mata. Ternyata aku sudah berada di dalam kamar, terbaring lemah di ranjang. Siapa yang memindahkan aku ke sini? Aku pun tak tahu. Terakhir aku berada di ruang tamu, dan melihat ada Mas Gilang di ambang pintu. Akan tetapi, mengapa aku jadi berada di sini? 

Baju yang kukenakan pun masih sama. Gamis satin dengan outer broklat warna abu. 

“Kamu sudah sadar, Sekar?” tanya Bulik Diah yang duduk di sisi ranjang. Beliau segera berdiri dan mengambil cangkir berisi teh panas dari atas meja belajarku. Kulihat asap teh itu masih mengepul. Tandanya, isinya masih panas. 

“Minum dulu, biar kamu ada tenaga,” tukas Bulik Diah sambil mengangsurkan cangkir teh tersebut. Kudengar sayup-sayup suara tamu masih ada. Sepertinya mereka masih berbincang di ruang tamu. 

Tak lama, kulihat ibu membuka pintu kamar. Lalu beliau masuk dan duduk di sisi ranjang, bersisihan dengan Bulik Diah. 

“Ndhuk, kamu masih lemes?” tanya ibu. Aku hanya mengangguk. Sepertinya aku ingin lebih baik di kamar, malas rasanya keluar. Suasana sangat canggung. 

“Nduk, Bapak dan Ibu sudah menentukan hari pernikahanmu dengan Mas Fajar. Sebulan lagi. karena Mas Fajar mau promosi dan mutasi ke Makassar. Jadi harus segera menikah sebelum pindah,” kata ibu. 

Mendengar itu, kepalaku menjadi kembali berdenyut. Mengapa ada pernikahan? Bukannya janjinya hanya kenalan?

“Wis ngga usah banyak dipikir. Kamu manut saja. Semua akan diurus sama keluarganya Mas Fajar,” imbuh ibu sambil bangkit dan berlalu meninggalkanku. Sementara, Bulik tersenyum sambil mengusap lenganku, seperti hendak berkata, tenang saja, semua akan berjalan lancar. 

Aku kembali memejamkan mata. Aku baru ingat, sepertinya aku tadi belum makan siang. Sejak tiba dari Jakarta, aku langsung di suruh ibu nganter kue ke rumah Bude Hanum. Pulang-pulang sudah ada bulik dan bude. Pantesan, badanku terasa lemah. 

Tapi, tunggu. Bukannya tadi ada Mas Gilang? Mengapa tiba-tiba menghilang. Bahkan, ibu tidak mengatakan apa-apa tentang Mas Gilang yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu. 

Kupejamkan mataku rapat-rapat. Lalu aku berusaha mengerjapkannya kembali. Ini seperti halusinasi. Otakku pun kuajak bekerja keras. Jadi, Mas Fajar buru-buru menikah karena mau promosi ke luar Jawa. Apakah hanya itu alasannya? Atau, ada alasan lainnya? 

Di luar terdengar sudah mulai senyap. Suara deru mobil meninggalkan halaman rumah pun sudah sejak sepuluh menit yang lalu. Artinya, tamu sudah pulang. 

Beruntung aku tidak disuruh untuk keluar kamar. Lagi pula, aku tak tahu harus berbuat apa jika keluar. Pendapatku pun seolah tiada guna. Aku hanya diperintahkan untuk manut saja.

“Jadi, Sekar. Empat minggu dari sekarang acaranya,” kata Ibu sembari duduk di sisi ranjang setelah pakde, bude, palik dan bulik pun pulang. Lalu Ibu memintaku mengulurkan tanganku untuk memasangkan cincin di jari manisku. 

“Nanti Mas Fajar akan menemuimu di Jakarta. Ibu sudah memberikan nomor telponmu dan juga alamat kosmu,” kata ibu lagi.

Aku hanya mengangguk lemah. 

Syukurlah masih ada empat minggu lagi. Artinya, masih ada harapan untuk mengenal siapa Mas Fajar sesungguhnya. Jangan sampe deh aku menikah dengan orang yang tidak aku kenal. Ini jaman revolusi industri 5.0. bukan jaman Siti Nurbaya!

***ETW***

“Itu cincin dari si Fajar?” kata Mas Gilang sinis, saat kita bertemu di Stasiun Tugu. Hari itu kebetulan aku bareng naik kereta kembali ke Jakarta. Kami tidak janjian. Ini sungguh hanya kebetulan. 

Aku melirik cincin yang tersemat di jari manis tangan kiriku. Sebenarnya agak risih karena memang aku tak menyukai memakai perhiasan. Tapi, demi menuruti kemauan ibu, kupakai juga cincin itu. 

“Sudah aku bilang, jangan diterima,” tukas Mas Gilang sambil melirik sinis ke jari manisku. Dih, apa urusannya dia melarangku? Batinku. Aku hanya mencebik. Pasti Mas Gilang iri. Itu yang ada dalam fikiranku. 

Tapi, mengapa tidak ada seorangpun yang mengatakan tentang insiden dia datang saat aku dilamar malam itu ya? Apakah itu benar-benar halusinasiku sebelum aku pingsan? 

“Ayo naik,” kata Mas Gilang kemudian setelah kereta berhenti tepat di depan kami. 

Aku tidak diantar oleh Bapak atau Ibu ke stasiun. Aku memang melarang beliau mengantarkanku. Lebih praktis naik taksi online saja, dan pamit ke Bapak dan Ibu dari teras rumah. Apalagi, ada pemuda di sebelahku ini suka menyindirku kalau aku diantar oleh beliau, “Tidak mandiri, sukanya ngrepotin orang lain,” begitu selalu tukasnya. 

“Jadi, kamu nikah sama dia?” tanya Mas Gilang. Dia sebenarnya duduk di gerbong yang lain. Tapi, ia sengaja datang ke gerbong ini dan berdiri tepat di sebelah tempat dudukku. Tubuhnya menyandar pada kursi yang aku duduki sembari tangannya bersedekap. 

Aku hanya mengangguk. 

“Sebulan lagi,” sahutku dengan nada biasa. Kulihat ekspresinya masih datar dan dingin. 

“Nanti akan kutunjukkan padamu, siapa sebenarnya Fajar,” kata Mas Gilang sambil pergi meninggalkanku.

***ETW***

--

[Nanti, pulang kerja, aku jemput di kantormu] 

Aku mengernyitkan dahi. Ada pesan masuk tanpa nama dan tanpa profil. Kupikir itu pesan salah alamat. Segera kuletakkan ponselku ke laci mejaku. Biasanya aku hanya sesekali melihat pesan penting saat bekerja. 

Segera aku membereskan barang-barangku saat jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Pegawai lain pun sudah beranjak pulang. Aku pun segera bergegas mengikuti rombongan yang akan segera turun menggunakan lift dari lantai tempat kerjaku.

“Sekar!” 

Aku menoleh ke sumber suara. Tampak lelaki dengan badan atletis dan wajah yang tampan berdiri sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Tiba-tiba aku teringat pada pesan yang tadi siang masuk ke ponselku. 

“Lupa, ya?” tanya lelaki itu setelah aku mendekatinya. 

“Fajar,” katanya sambil mengulurkan tangannya. 

“Oh....” Kutepuk jidatku sendiri. Aku benar-benar lupa. 

Bahkan, ketika di rumah, aku tak sempat berkenalan secara pribadi. Menatapnya pun aku tak berani. Tak punya sedikitpun memori tentang rupa pemuda yang bernama Fajar itu. Dan kini pemuda tampan itu sudah berada di depanku. 

“Kita ngobrol sambil makan, yuk,” kata Mas Fajar. Lalu dia berjalan mendahuluiku sambil memberikan kode kepadaku untuk mengikutinya. Aku hanya mengekorinya, berjalan menuju parkiran di halaman gedung kantorku. 

“Masuk,” katanya sambil membuka pintu mobil di bagian kemudi. Lalu aku pun membuka pintu di bagian penumpang. Mobilnya bagus. Pajero Sport warna hitam. Pasti dia orang kaya. Pantas saja ibuku sampai klepek-klepek dibuatnya. 

Tapi, tiba-tiba hatiku menjadi linu? Kok rasanya aku tidak pantas naik mobil sebagus ini. Biasa juga aku naik angkutan umum. Paling mewah naik transjakarta atau MRT.

“Kok kamu malah melamun?” tanya Mas Fajar. Dari tadi aku memang hanya diam saja, mirip orang bego. Aku rasanya tidak bisa menjadi diriku sendiri. Ini baru permulaan. Duh, begini amat ya, batinku. 

Mas Fajar memarkir mobilnya di basemant sebuah pusat perbelanjaan. Lalu ia mengajakku masuk ke sebuah restoran jepang berkonsep all you can eat. 

Aku benar-benar mirip orang bodoh. Tak pernah aku masuk ke dalam restoran seperti ini. Biasa juga aku hanya berani makan di warteg atau paling banter kantin di kantor yang harganya miring. 

Aku hanya mengekori Mas Fajar. Dia tampak berpengalaman memilih beraneka ragam makanan yang akan kita santap. Lalu kami duduk di sebuah bangku dimana ada empat kursi yang mengelilinginya. Dengan cekatan pelayan datang dan menyalakan tungku pemasak yang tersedia di meja. Aku benar-benar dibuat melongo. 

“Hai, Mas Fajar. Sudah lama?” tiba-tiba seorang wanita cantik datang menghampiri Mas Fajar. Lalu tanpa canggung dia duduk di sebelahnya. 

“Sekar, kenalin ini Daniar. Temanku SMA,” kata Mas Fajar kemudian. 

Kusalami wanita cantik dengan rambut sepunggung dengan model kruwel-kruwel masa kini. Kulitnya putih, posturnya tinggi semampai. Sangat cantik seperti seorang dewi. Tiba-tiba aku memandang penampilanku sendiri. Sepertinya aku lebih pantas menjadi pembantunya Mas Fajar dibanding calon istrinya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marsindi Allen
semangat menulis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 4.

    “Jadi kamu sudah bertemu dengan perempuan bernama Daniar itu?” tanya Mas Gilang. Aku heran mengapa tiba-tiba Mas Gilang sudah berada di depan kantorku. Letak kantor kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi bukan Jakarta namanya kalau tidak membuat jarak yang dekat terasa jauh. Dan selama setahun aku di Jakarta, tak sekalipun Mas Gilang bertanya dimana kantorku ataupun dimana kosanku. Mendapatinya tiba-tiba berdiri di depan lobi kantorku tentu merupakan hal langka yang patut diabadikan. Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. “Kamu tahu, siapa dia?” tanyanya lagi. “Dia teman SMA-nya Mas Fajar,” jawabku singkat. Sesuai yang aku tahu saat dia dikenalkan padaku. “Ikuti aku,” kata Mas Gilang sambil memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Aku hanya mengekorinya. Rupanya Mas Gilang sudah memesan taksi online. “Mau kemana kita, Mas?” tanyaku saat taksi yang kita pesan menuju ke suatu pusat perbelanjaan yang berbeda dengan kemaren. Mas Gilang hanya diam saja. Dia mema

    Last Updated : 2022-09-30
  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 5

    “Sudah puas nangisnya?” tanya Mas Gilang dingin. Hari masih jam tujuh pagi. Mas Gilang sudah berdiri di ambang pintu kosanku. Pasti dia melihat dengan jelas mataku yang sudah bengkak karena semalaman menangis. Entah berapa ember airmata yang berhasil aku keluarkan. Yang jelas saat ini aku merasa air mataku sudah mengering dan pedih rasanya mataku. “Cengeng!” gumannya yang terdengar jelas hingga ke telingaku. Aku hanya bisa meliriknya sekilas, mencebikkan mulut, lalu berniat menutup pintu kosan agar dia segera pergi dari hadapanku. “Buruan siap-siap. Aku tunggu!” ujar Mas Gilang lagi. Tangannya dengan sigap menahan pintu yang akan segera aku tutup. “Ini masih jam tujuh. Aku mau tidur lagi!” sahutku malas. Jam masuk kantor masih jam delapan. Jarak kosan ke kantor tidak sampai 15 menit jalan kaki. Ngapain datang pagi-pagi. Mau bantuin CS sama OB nge-vakum karpet?“Tidur lagi? Mau nangis lagi?” tanya Mas Gilang dengan nada mengejek. “Buruan. Aku traktir bubur ayam belakang kantormu!

    Last Updated : 2022-11-01
  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 6

    “Mas, jadi aku harus gimana?” tanyaku pada Mas Gilang. Sore-sore aku tak sengaja bertemu dengannya di tukang pecel lele langgananku. Tadinya aku berniat beli makan dibungkus, akhirnya urung, karena melihatnya. Mendingan, makan ditempat sambil ngobrol.Sebenarnya aku agak heran. Mengapa dia tiba-tiba ada di sini? Jangan-jangan dia membututiku. Ah, GR saja aku ini!Aku sengaja keluar mencari pecel lele usai menelpon ibu. Hati ini rasanya sangat kacau, hingga membuatku merasa kelaparan. “Batalin saja. Kenapa repot?” jawabnya datar. Dia terus saja mengunyah makanannya. Tangannya sesekali memisahkan lele dari durinya. Tak ada niatan sama sekali menatapku serius yang meminta pertimbangannya.“Ngga semudah itu, Mas,” jawabku.Aku masih terus menatapnya. Berharap dia serius menganggapi ucapanku. Hingga tak terasa pecel lele pesananku sudah terhidang. “Kata ibu, kalau aku membatalkan pernikahan ini, kami harus membayar utang ibuk 500jt. Kalau tidak, tanah warisan simbah yang harusnya dibagi

    Last Updated : 2022-11-01
  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 7.

    Jalanku sudah buntu. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Jalan satu-satunya menghindar dari pernikahan dengan Mas Fajar adalah melunasi hutangnya. Masalahnya, uang dari mana?Akhirnya, aku pun pasrah menemui takdir. Perhelatan itu terjadi juga. Bulik Diah sudah siap untuk merias wajahku. Para tamu pun sudah berduyun-duyun datang.Aku memang meminta ibu tidak perlu terlalu mewah, tidak perlu di gedung. Cukup di rumah saja. Meskipun kata ibu semua ditanggung oleh keluarga Mas Fajar. Usai dirias, ibu memintaku keluar dari kamar. Aku sendiri merasa aneh dengan penampilan ini. Aku yang tak pernah dandan, tadi sempat melirik sekilas ke cermin di kamar. Hampir saja aku tak dapat mengenali diriku sendiri. Aku memilih menunduk saja. Apalagi aku masih ingat dengan jelas, bagaimana Mas Fajar mengataiku sebagai gadis kampungan. Ibu menyuruhku duduk di belakang di bagian barisan wanita. Di sebelah Bude dan ibu. Sedang, Bulik memilih berdiri sambil terus mengawasi penampilanku. Aku mengenaka

    Last Updated : 2022-11-01
  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 8a.

    “Memang kamu dapat uang sebanyak itu dari mana, Mas?” tanyaku saat Mas Gilang memberi kuitansi tanda terima pembayaran hutang ke orang tuanya Mas Fajar. Aku benar-benar tidak menyangka dia melakukan semuanya, demi aku, agar aku batal menikah dengan Mas Fajar. Sebegitu pedulikah dia padaku? Sampai-sampai dia mengorbankan masa depannya menjadi mempelai pengganti di hari pernikahanku. “Uang itu sebagian kecil adalah uang tabunganku untuk beli rumah dan menikah. Yang jelas bukan menikah sama kamu!” Kata-kata Mas Gilang terdengar nyolot. Lalu dia memijit keningnya. Sepertinya dia pusing dengan keputusannya.Aku juga bingung harus bagaimana? “Sebagian besarnya, aku pinjem ke bank dengan jaminan gajiku. Setiap bulan gajiku akan dipotong sepuluh juta!” lanjutnya lagi. Dih, ngapain sih dia repot banget ngurusin hidup aku. Padahal aku sendiri sudah pasrah. “Tunggu! Jadi, kamu sebenarnya sudah ada rencana menikah?” tanyaku tak percaya. Tatapanku masih tak berpindah menatapnya lekat. Lantas,

    Last Updated : 2022-11-01
  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 8b

    Saat aku terbangun, Mas Gilang sudah tidak ada di ranjang. Kupastikan dia sudah pergi ke masjid. Sejak kecil dia memang rajin jamaah di masjid. Aku segera bergegas keluar kamar untuk mandi. Ibu melihatku keluar kamar mandi malah senyum-senyum sendiri. Tapi, aku mencoba untuk tak memedulikannya. Mungkin ibu sedang merasa senang terbebas dari hutang, dan sawah milik kakek yang akan dibagi pun sudah aman. Bergegas aku masuk ke kamar untuk segera menunaikan sholat subuh. Jika sampai Mas Gilang pulang, aku belum sholat, pasti dia akan marah. Aku mengenalnya, dia selalu mengutarakan hal-hal yang tidak disukainya secara spontan. Tak peduli itu membuatku sakit hati. Termasuk masalah sholat ini. Dulu sewaktu kecilpun tak jarang aku ditegurnya jika terlambat sholat. Usai salam, aku belum mendengar suara Mas Gilang dari dalam kamarku. Biasanya, percakapan di luar kamar akan terdengar meskipun samar. Segera mukena kulepas dan kulipat. Namun, mendadak aku menoleh saat terdengar suara ponsel be

    Last Updated : 2022-11-01
  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 9a

    Badanku terasa sangat capek karena baru tiba di Jakarta Hari Senin pagi. Seperti kebiasaanku sejak kerja di ibukota, setiap pulang dari kota kelahiranku, aku langsung masuk kerja. Aku sudah menyimpan peralatan mandi dan stok baju kerja di loker kantor. Sehingga, aku tak perlu repot pulang ke kosan dulu. Hari ini pun aku melakukan hal yang sama. Ada untungnya juga dengan kesepakatanku dengan Mas Gilang untuk tinggal di kosan masing-masing. Tidak terbayang kalau aku mesti pulang ke kosan Mas Gilang. Aku masih harus ngurusin dia juga. Lagi pula, aku pun belum tahu kosan Mas Gilang di mana. Hidupnya seperti apa. Membayangkan hidup bersamanya saja kadang aku masih tergidik ngeri. Meskipun dalam hati ingin juga. Ngeri karena dia sering marah-marah padaku. Apapun yang kulakukan, sepertinya salah di matanya. Apalagi, aku selalu terlihat bego dimatanya, meski menurutku aku nggak bego-bego amat. Buktinya, di kantor aku bisa kerja dengan baik. Kalaupun aku ingin hidup bersamanya secepatnya

    Last Updated : 2022-11-01
  • Menikah dengan Tetangga Jutek   BAB 9b

    Tak lama, motor Mas Gilang sudah berhenti di sebuah kos-kosan. Setelah memarkirnya, Mas Gilang mengajakku naik ke atas melalui tangga. Rupanya ada beberapa kamar di kosan ini. Aku sebenarnya agak canggung masuk ke kos- kosan bersama laki-laki. Bisa jadi ini memang kosan laki-laki. "Kamu santai aja. Di sini banyak pasutri juga, kok," ucapnya, seolah membaca keraguanku saat diajaknya masuk. Mas Gilang sudah paham betul kalau aku pemalu dan segan masuk ke sarang laki-laki. Bagaimanapun hampir 17 tahun kami dibesarkan di kampung yang sama. Sudah saling kenal jelek-jeleknya masing-masing.Kami melewati beberapa kamar sebelum akhirnya berhenti di kamar Mas Gilang. Berbeda dengan kosanku yang tanpa pendingin ruangan dalam kamar. Biasanya, pintu kamar kami biarkan terbuka, kecuali kalau sedang istirahat atau ganti baju saja. Karena kalau pintu kamar ditutup sepanjang hari, akan terasa pengap. Sementara, kosan Mas Gilang sepertinya banyak dihuni dari menengah ke atas. Tak heran jika semua

    Last Updated : 2022-11-01

Latest chapter

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 50c

    Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 50b

    “Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 50a

    “Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 49c

    “Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 49b

    “Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 49.a

    Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 48h

    "Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 48g

    "Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 48f

    "Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi

DMCA.com Protection Status