“Hati-hati ya, Dik!” pesan Gilang saat Sekar mencium punggung tangannya. Sekar sudah kembali bekerja setelah sebelumnya memeriksakan diri ke dokter dan direkomendasikan untuk tidak terlalu capek. Hari ini, Sekar mencoba moda kereta. Salah satu angkutan umum yang belum pernah dicobanya. Sementara, Gilang tetap ke kantor dengan motornya. Pemuda itu hanya mengantar Sekar hingga depan stasiun. Bagi Gilang, membawa motor ke kantor lebih efisien, meski pun jauh. Dia bebas pulang jam berapa saja dan mampir mana saja, dibanding naik angkutan umum yang harus mengejar jadwal dan tidak bisa mampir-mampir.Sekar berjalan perlahan sambil matanya memindai lokasi stasiun. Dia belum pernah naik kereta sebelumnya. Hanya saja, dia sudah mendengar kalau harus memiliki kartu yang sudah berisi uang di dalamnya. Gilang pun sudah memberikannya kartu dan sudah di top up. Saldonya lumayan buat bolak-balik selama sebulan. Setelah memindai kartu itu di depan gate-in, Sekar buru-buru masuk. Semua penumpang
Keduanya akhirnya saling diam, hingga kereta berhenti di stasiun pemberhentian di mana Arfan hendak turun. “Nanti kamu turun hati-hati, ya. Nggak usah berebut. Kamu turun di stasiun terakhir!” nasehat Arfan sebelum turun. “Astaga! Mirip nenek-nenek bener deh, lelaki satu ini,” batin Sekar setelah lelaki itu turun. “Itu tadi kakaknya, Mbak?” tiba-tiba seorang ibu yang duduk di sebelahnya bertanya. “Oh, kenapa, Bu?” tanya Sekar heran. Bingung menjawab apa. “Baik banget. Kalau masih sendiri, ibu mau jadiin mantu,” ujar wanita paruh baya itu. “Astaga, Bu. Ada-ada saja,” ujar Sekar sambil tertawa. Tiba-tiba dia ingat kejadian beberapa bulan silam saat Arfan hendak melamarnya. “Nggak, ibu nggak setuju kalau kamu sama Mas Arfan,” ujar ibunya kala itu. Meski masih terhitung saudara dan ibunya membahasakan "Mas", tapi Sekar lebih memilih memanggil "Kak" karena lebih sering bertemu di kampus. “Kayak nggak ada laki-laki lain saja. Dia itu masih saudara sama kita,” sambung Bu Ndari. Se
Sesuai petunjuk Arfan, kali ini Sekar tak salah memilih arah, sehingga ia langsung dapat bangku prioritas, tak perlu Arfan harus berteriak "Ibu hamil!" "Makasih ya, Kak. Kakak sudah ngajarin aku naik kereta," ucap Sekar saat kereta mulai hendak berjalan. Arfan lagi-lagi berdiri di depannya. Arfan tersenyum. "Kamu, tetap saja lucu, Sekar. Jangan lupa ya, biaya tutorialnya," goda Arfan. "Bayar pakai apa?" Andai belum ada yang punya, ingin rasanya Arfan membalas dengan gombalan. Sayangnya, otaknya masih waras. "Gara-gara aku, Kakak jadi nggak dapat tempat duduk," ucap Sekar lagi. Dia merasa nggak enak karena Arfan harus berdiri. Padahal, kalau mau, Arfan bisa berebut bangku dengan yang lain, tak harus berdiri di dekatnya seperti ini. "Hanya hari ini. Besok-besok, ogah banget aku nemenin gini," ucap Arfan. Sepanjang perjalanan, Arfan dan Sekar ngobrol sambil bernostalgia saat mereka masih di kampus. Banyak kesamaan membuat mereka nyambung. Namun, terbit juga rasa bersalah di
"Emang kenapa nggak mau naik kereta lagi?" Gilang mengerutkan dahinya. "Capek ya?" Mendadak ia merasa khawatir, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Sekar akibat naik kereta. “Penuh banget!”"Tapi, kamu bisa duduk kan?" tanya Gilang. Dia tak pernah naik kereta. Namun, teman sekantornya ada juga yang ikut roker alias rombongan kereta. Tak jarang ia pun mendengar keluhan bagaimana kondisi kereta saat-saat jam sibuk. Tak heran, kadang teman sekantornya ada yang datang pagi-pagi sekali, demi menghindari tumpah ruahnya penumpang. "Dapat, sih," tukas Sekar. "Iya. Kan ada bangku prioritas khusus ibu hamil. Tapi, emang ada yang tahu kamu hamil? Kan belum kelihatan?" "Eh..." Sekar tergagap. Sebenarnya, Sekar tak ingin naik kereta hanya ingin menghindari Arfan saja. Tidak enak dengan kedekatannya seharian tadi. Meskipun rasa itu tak pernah ada, tapi lebih baik menjaga agar tak pernah tumbuh. Demi menjaga perasaan suaminya. Apalagi, mendengar candaan Arfan tadi, dadanya terasa berdesir.Tapi, m
"Kenapa, kamu menghindar dari aku?" tanya Arfan. "Kamu kan bisa chat kalau misalnya nggak mau bareng. Jadi, aku nggak nunggu." Arfan masih melanjutkan menumpahkan kekesalannya. "Eh, iya. Maaf. Soalnya aku nggak kepikiran kalau Kakak bakal tunggu aku. Kan kemarin Kakak bilang hanya hari itu yang mau ngajarin aku naik kereta," dalih Sekar. Untungnya dia teringat penggalan kalimat Arfan saat di kereta. "Iya. Tapi, aku kan perlu memastikan, kalau kamu bisa nyampai kantor apa nggak. Di kereta bisa dapat duduk apa nggak. Kamu kan lagi hamil." "Eh..." Ada desiran di dada Sekar mendengar ucapan Arfan. Perhatian sebagai saudara, atau bukan? tanya Sekar dalam hati. "Sekar, kamu ingat? Saat kita pertama ketemu di kampus dulu? Ibumu bahkan menitipkanmu padaku. Aku disuruh ngawasin kamu. Perasaanku sama kamu nggak berubah Sekar. Kamu tetap adikku." Arfan membalikkan tubuhnya, hingga matanya dapat menatap wajah Sekar dalam-dalam. Sekar mengerjap karena kaget, tak menyangka dengan ucapan Ar
“Mas, mulai besok aku sudah bisa ikut denganmu, kan?” tanya Sekar saat mereka usai makan malam. Sejak Gilang mau memasak untuknya, Sekar yang bertugas mencuci piring dan peralatan masaknya. Ngga enak rasanya jika dia hanya ongkang-ongkang kaki. Sementara di pagi hari, mereka membagi tugas. Gilang yang cuci baju dan menjemur, sementara Sekar yang menyapu dan mengepel lantai. “Kenapa? Kamu kan tahu kalau naik motor itu lebih capek. Apa uangmu kurang buat ongkos?” tanya Gilang curiga. Sementara Sekar, harus memutar otak mencari alasan logis. Berbicara dengan lelaki itu berbeda dengan perempuan. Kalau dengan Renita, dia bisa menggunakan perasaannya saja. Tidak perlu logika. Tapi, dengan pemuda di depannya ini, tanpa alasan yang masuk akal, percuma saja bicara. “Kan kandungan sudah usia tiga bulan. Lagian aku sudah nggak pusing melihat matahari. Jadi, insya allah sudah aman. Kayaknya dedek di perut juga kangen sama ayahnya. Ya kan, Dek?” ujar Sekar sambil menundukkan kepalanya mem
Kandungan masih usia tiga bulan, artinya masih ada enam bulan kali gajian untuk ditabung. Masalahnya, mereka masih punya beban hutang juga. "Sebulan, kira-kira kira bisa kumpulin dua juta nggak, Dik?" "Bisa. Kita ke kantor bawa bekel tapi, ya," ucap Sekar cepat. Kalau dihitung-hitung, makan siang di kantor itu boros juga. Menu sederhana sudah bawa minum sendiri aja, minimal dua puluh ribu. Kalau sebulan bisa habis setengah juta. Sekar nggak yakin Gilang bisa makan siang dengan uang dua puluh ribu. Bisa jadi lebih mahal kalau membeli minuman juga. "Ah, nggak mau. Kayak anak TK aja. Masak ke kantor bawa bekel." "Kata siapa, kayak anak TK. Banyak kok yang di kantor bawa bekel. Pak Davin, manajerku juga bawa bekel." "Klo itu, pasti karena dia takut sama istrinya." "Eh, enak aja ngatain bosku kayak gitu. Aku aduin nanti, ya." "Udah-udah. Kok malah ghibahin orang lain." "Ya, tadi kan aku usul, kalau mau hemat dua juta, ya makan bawa bekel. Nggak ada opsi lain." Gilang men
Gilang membanting dengan kasar ponsel itu di nakas. Suara kerasnya, ternyata tak mampu membangunkan istrinya yang terlelap. “Sekar! Bangun!” tangannya mengguncang bahu Sekar yang tertidur pulas. "Sekar, bangun!" ulangnya karena belum mendapat respon. Hati Gilang dipenuhi rasa kesal bercampur jengkel. Bisa-bisanya wanita yang selama ini dipercaya, ternyata berhubungan dengan lelaki lain. Apalagi bunyi chat yang menunjukkan perhatian, membuat kemarahannya terbakar. Seketika mata Sekar mengerjap. Ada apa gerangan suaminya membangunkannya dengan kasar? “A—ada apa, Mas?” tanya Sekar sambil mengerjapkan matanya untuk menormalkan penglihatannya. Kedua tangannya ikut mengucek matanya. Cahaya lampu yang baru dinyalakan Gilang, membuat pandangan Sekar menjadi silau. Dia harus beradaptasi sejenak. “Apa hubunganmu sama, Arfan? Ha?” Gilang mendekatkan wajahnya ke wajah Sekar. Namun, tatapannya menghujam tajam ke manik mata Sekar. Tak menyangka istrinya menyimpan nomor Arfan di ponsel.