Jangan lupa sambil nunggu update bab baru, mampir ke ceritaku yang lain ya. Klik profil aku, dan ada banyak cerita di sana. Semoga suka.
Kandungan masih usia tiga bulan, artinya masih ada enam bulan kali gajian untuk ditabung. Masalahnya, mereka masih punya beban hutang juga. "Sebulan, kira-kira kira bisa kumpulin dua juta nggak, Dik?" "Bisa. Kita ke kantor bawa bekel tapi, ya," ucap Sekar cepat. Kalau dihitung-hitung, makan siang di kantor itu boros juga. Menu sederhana sudah bawa minum sendiri aja, minimal dua puluh ribu. Kalau sebulan bisa habis setengah juta. Sekar nggak yakin Gilang bisa makan siang dengan uang dua puluh ribu. Bisa jadi lebih mahal kalau membeli minuman juga. "Ah, nggak mau. Kayak anak TK aja. Masak ke kantor bawa bekel." "Kata siapa, kayak anak TK. Banyak kok yang di kantor bawa bekel. Pak Davin, manajerku juga bawa bekel." "Klo itu, pasti karena dia takut sama istrinya." "Eh, enak aja ngatain bosku kayak gitu. Aku aduin nanti, ya." "Udah-udah. Kok malah ghibahin orang lain." "Ya, tadi kan aku usul, kalau mau hemat dua juta, ya makan bawa bekel. Nggak ada opsi lain." Gilang men
Gilang membanting dengan kasar ponsel itu di nakas. Suara kerasnya, ternyata tak mampu membangunkan istrinya yang terlelap. “Sekar! Bangun!” tangannya mengguncang bahu Sekar yang tertidur pulas. "Sekar, bangun!" ulangnya karena belum mendapat respon. Hati Gilang dipenuhi rasa kesal bercampur jengkel. Bisa-bisanya wanita yang selama ini dipercaya, ternyata berhubungan dengan lelaki lain. Apalagi bunyi chat yang menunjukkan perhatian, membuat kemarahannya terbakar. Seketika mata Sekar mengerjap. Ada apa gerangan suaminya membangunkannya dengan kasar? “A—ada apa, Mas?” tanya Sekar sambil mengerjapkan matanya untuk menormalkan penglihatannya. Kedua tangannya ikut mengucek matanya. Cahaya lampu yang baru dinyalakan Gilang, membuat pandangan Sekar menjadi silau. Dia harus beradaptasi sejenak. “Apa hubunganmu sama, Arfan? Ha?” Gilang mendekatkan wajahnya ke wajah Sekar. Namun, tatapannya menghujam tajam ke manik mata Sekar. Tak menyangka istrinya menyimpan nomor Arfan di ponsel.
Pov SEKAR Nyawaku belum seutuhnya terkumpul saat Mas Gilang mengguncang-guncang bahuku. Apalagi saat dia tiba-tiba melempar ponsel itu tepat di depanku sambil menanyakan sesuatu yang tak aku mengerti. Ya Salaam. Ada apa ini? Dia menyebut-nyebut nama Kak Arfan? Segera kuraih ponsel yang tergeletak di depanku. Meski sebenarnya aku malas. Rasa kantuk mengalahkanku. Tapi, dari pada lelaki di depanku semakin meradang, terpaksa kuusap juga layar ponsel itu. Mataku melebar saat melihat percakapan yang sudah terbuka. Tampaknya Mas Gilang telah membukanya. Ternyata masalahnya adalah Kak Arfan mengirimkan pesan menanyakan kabarku, karena aku memang menghindarinya. Sudah seminggu aku pulang dan pergi ke kantor tidak naik kereta lagi. Tapi, aku memilih bersama Mas Gilang. Dan memang inilah caraku menghindar darinya, agar tidak terjadi salah paham. Salah paham antara aku, dia dan Mas Gilang. Aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Menyusun kalimat diotakku, agar jawaban yang kuberikan t
Huff, aku hanya dapat menghela napas. Agak khawatir tetangga mendengar ucapan Mas Gilang yang "nge-gas". Di kompleks perumahan kami, malam hari selalu sunyi, dan posisi kamar ada di sisi depan. Motor atau orang yang berbicara lewat saja, bisa kami dengar dengan jelas. Kantukku rasanya sudah pergi mendengar serangan pertanyaannya yang bertubi-tubi. Dadaku sudah bergemuruh menahan emosi. “Astaghfirullah, Mas. Kami nggak pernah berbalas pesan. Sumpah, baru sekali itu dia kirim pesan padaku,” sahutku dengan berusaha menekan intonasi suara. Dan memang kenyataan demikian. Tak ada yang dibahas dengannya selama ini. Dan akupun bukan orang yang hangat dengan lawan jenis. Termasuk dengan Kak Arfan, meski dia bukan orang lain. Kalau bukan hal penting, jarang aku berkirim pesan. “Halah, bisa jadi langsung kamu hapus percakapan sebelumnya. Toh mana aku tahu,” ujarnya setengah bergumam. Ada rasa tak terima dengan tuduhannya. Tapi, enggan rasanya aku menanggapinya. “Pantas saja diajak nyari
Aku menatap Mas Gilang dengan motornya, hingga bayangannya menghilang di gerbang halaman kantorku. Masih terngiang nasehat kedua orang tuaku. Kata ibu dan bapak, menikah memang seperti itu. Mengarungi bahtera rumah tangga itu harus siap diterjang angin dan badai. Jadi, tidak boleh cengeng. Yang penting saling menghargai, menghormati dan bertenggang rasa.Saling! Itu kata bapak dan ibu. Jadi bukan hanya aku yang harus mengalah. “Jangan lupa berdoa, Ndhuk. Minta sama Gusti Alloh, agar pernikahan dan rumah tangga kita selalu berkah, sakinah, mawaddah, warohmah,” nasehat bapak kala itu. Aku yakin, dengan banyak berdoa dan meminta pada Allah, pasti suatu saat hati Mas Gilang pun akan luluh. Bukankah Gusti Allah pemilik dan yang dapat membolak-balikkan hatinya?“Nah gitu dong. Yang rukun kalau sama suami,” goda Renita saat bertemu denganku di lobi. Aku baru saja turun dari motor lalu mencium punggung tangan suamiku. Meskipun marahan, aku tak pernah melupakan itu.Tentu saja, kata-kata R
Tumben bener dia menelepon. Biasanya, berkirim pesan saja malas. Apalagi dia kan sedang mendiamkanku. Hatiku bertanya-tanya. Ada apa gerangan. Hmm, jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu. Bukankah dua hari lagi hari ulang tahunku? Aku tersenyum sendiri.Kadang, aku tak menyangka kalau Mas Gilang diam-diam romantis juga. Ingat saat dia tiba-tiba mengajakku ke klinik kecantikan. Rasanya bagai melayang terbang di udara karena tak menyangka dia begitu perhatian padaku. Meski dulu aku menuduhnya hanya terobsesi dengan Sakina, tak tulus ingin melihatku cantik sebagaimana seorang Sekar. Rupanya, beginilah kehidupan rumah tangga. Kadang semua harus berjalan bagai roller coaster. Kadang penuh dengan kesedihan dan pertengkaran. Tapi tak jarang dibumbui dengan kejutan dan keromantisan.“Hai, senyum-senyum sendiri. Ayo rapat. Ditunggu Pak Bos!” ujar Renita sambil menepuk bahuku. Aku baru ingat jika setelah jam makan siang ada meeting. Segera aku bergegas mengambil buku agenda dan bolpoi
“Astaghfirullah...!” Saat aku membuka mata, aku semakin kaget. Ternyata aku dalam pelukan pria yang selama ini kuhindari. Segera aku memperbaiki posisi tubuhku. Untung ada dua satpam kantor yang turut jongkok di depanku. Sepertinya mereka juga melihat insiden yang memilukan ini. Aku segera dibantu untuk minggir dari depan anak tangga tempat aku jatuh tadi. Kini, aku duduk di posisi undakan sebelum tangga terbawah dengan menyandar pada pinggiran tangga. “Nggak papa, Mbak?” tanya Pak Satpam yang usianya masih muda. Aku memang terbiasa menyapa satpam yang bertugas di lobi setiap datang dan pulang. Raut wajahnya terlihat cemas. “Minum dulu, Mbak!” Pak Satpam yang lain tergopoh-gopoh datang memberiku air mineral dalam kemasan gelas. “Makasih, Pak,” sahutku sambil menerima air itu. Sekilas kulihat wajah Kak Arfan tampak cemberut padaku. “Kamu ceroboh sekali sih? Kalau terjadi apa-apa gimana?” ujarnya. Dia duduk di sebelahku. Pegawai kantor yang lalu lalang di tangga utama sama se
Aku hanya melongo mendengar kata-kata Kak Arfan. Bagai disambar geledek di siang bolong. Aku melirik sekilas ke Mas Gilang. Wajah Mas Gilang sudah memerah menahan marah. Aku bisa menduga, sebentar lagi pasti aku akan menjadi sasaran kemarahannya. Tak sadar, Mas Gilang menoleh ke arahku yang masih bengong menatapnya. “Kenapa? Seneng ada yang suka sama kamu? Awas saja kalau kamu macem-macem di belakangku!” ketus Mas Gilang berucap, sambil bangkit dari duduknya. Bahkan, dia tak membantuku berdiri. Mas Gilang sudah siap di motornya, mengenakan semua atributnya. Aku pun sudah membonceng di belakangnya. Aku masih menahan kesal. Entah berapa senti mulutku mengerucut. Tapi, bukannya aku tak boleh menyesal menikah dengannya? Meskipun Kak Arfan berkata begitu di depan Mas Gilang, bukan berarti aku harus gede rasa dan tinggi hati. Aku bukan tidak menyukai Kak Arfan. Setampan apapun, sebaik apapun, sekaya apapun. Dia bukan siapa-siapaku. Bahkan, akupun bersyukur menjadi istri Mas Gilang, b