Jangan lupa tinggalkan komentar ya, agar aku makin semangat update. Terimakasih bagi yang sudah kasih ulasan bintang 5 dan GEM-nya di ceritaku ini. Mampir juga di ceritaku yang lain. Love buat kalian semua....
Aku menatap Mas Gilang dengan motornya, hingga bayangannya menghilang di gerbang halaman kantorku. Masih terngiang nasehat kedua orang tuaku. Kata ibu dan bapak, menikah memang seperti itu. Mengarungi bahtera rumah tangga itu harus siap diterjang angin dan badai. Jadi, tidak boleh cengeng. Yang penting saling menghargai, menghormati dan bertenggang rasa.Saling! Itu kata bapak dan ibu. Jadi bukan hanya aku yang harus mengalah. “Jangan lupa berdoa, Ndhuk. Minta sama Gusti Alloh, agar pernikahan dan rumah tangga kita selalu berkah, sakinah, mawaddah, warohmah,” nasehat bapak kala itu. Aku yakin, dengan banyak berdoa dan meminta pada Allah, pasti suatu saat hati Mas Gilang pun akan luluh. Bukankah Gusti Allah pemilik dan yang dapat membolak-balikkan hatinya?“Nah gitu dong. Yang rukun kalau sama suami,” goda Renita saat bertemu denganku di lobi. Aku baru saja turun dari motor lalu mencium punggung tangan suamiku. Meskipun marahan, aku tak pernah melupakan itu.Tentu saja, kata-kata R
Tumben bener dia menelepon. Biasanya, berkirim pesan saja malas. Apalagi dia kan sedang mendiamkanku. Hatiku bertanya-tanya. Ada apa gerangan. Hmm, jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu. Bukankah dua hari lagi hari ulang tahunku? Aku tersenyum sendiri.Kadang, aku tak menyangka kalau Mas Gilang diam-diam romantis juga. Ingat saat dia tiba-tiba mengajakku ke klinik kecantikan. Rasanya bagai melayang terbang di udara karena tak menyangka dia begitu perhatian padaku. Meski dulu aku menuduhnya hanya terobsesi dengan Sakina, tak tulus ingin melihatku cantik sebagaimana seorang Sekar. Rupanya, beginilah kehidupan rumah tangga. Kadang semua harus berjalan bagai roller coaster. Kadang penuh dengan kesedihan dan pertengkaran. Tapi tak jarang dibumbui dengan kejutan dan keromantisan.“Hai, senyum-senyum sendiri. Ayo rapat. Ditunggu Pak Bos!” ujar Renita sambil menepuk bahuku. Aku baru ingat jika setelah jam makan siang ada meeting. Segera aku bergegas mengambil buku agenda dan bolpoi
“Astaghfirullah...!” Saat aku membuka mata, aku semakin kaget. Ternyata aku dalam pelukan pria yang selama ini kuhindari. Segera aku memperbaiki posisi tubuhku. Untung ada dua satpam kantor yang turut jongkok di depanku. Sepertinya mereka juga melihat insiden yang memilukan ini. Aku segera dibantu untuk minggir dari depan anak tangga tempat aku jatuh tadi. Kini, aku duduk di posisi undakan sebelum tangga terbawah dengan menyandar pada pinggiran tangga. “Nggak papa, Mbak?” tanya Pak Satpam yang usianya masih muda. Aku memang terbiasa menyapa satpam yang bertugas di lobi setiap datang dan pulang. Raut wajahnya terlihat cemas. “Minum dulu, Mbak!” Pak Satpam yang lain tergopoh-gopoh datang memberiku air mineral dalam kemasan gelas. “Makasih, Pak,” sahutku sambil menerima air itu. Sekilas kulihat wajah Kak Arfan tampak cemberut padaku. “Kamu ceroboh sekali sih? Kalau terjadi apa-apa gimana?” ujarnya. Dia duduk di sebelahku. Pegawai kantor yang lalu lalang di tangga utama sama se
Aku hanya melongo mendengar kata-kata Kak Arfan. Bagai disambar geledek di siang bolong. Aku melirik sekilas ke Mas Gilang. Wajah Mas Gilang sudah memerah menahan marah. Aku bisa menduga, sebentar lagi pasti aku akan menjadi sasaran kemarahannya. Tak sadar, Mas Gilang menoleh ke arahku yang masih bengong menatapnya. “Kenapa? Seneng ada yang suka sama kamu? Awas saja kalau kamu macem-macem di belakangku!” ketus Mas Gilang berucap, sambil bangkit dari duduknya. Bahkan, dia tak membantuku berdiri. Mas Gilang sudah siap di motornya, mengenakan semua atributnya. Aku pun sudah membonceng di belakangnya. Aku masih menahan kesal. Entah berapa senti mulutku mengerucut. Tapi, bukannya aku tak boleh menyesal menikah dengannya? Meskipun Kak Arfan berkata begitu di depan Mas Gilang, bukan berarti aku harus gede rasa dan tinggi hati. Aku bukan tidak menyukai Kak Arfan. Setampan apapun, sebaik apapun, sekaya apapun. Dia bukan siapa-siapaku. Bahkan, akupun bersyukur menjadi istri Mas Gilang, b
Sekar dan Gilang sudah tiba di stasiun saat mentari belum menyapa kota kelahiran mereka. Setelah taksi yang mereka pesan datang, keduanya segera melaju menuju rumah kedua orang tua mereka. Kepulangan kali ini untuk memenuhi permintaan kedua orangtua mereka, tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar. “Sehat, tho, Ndhuk?” Bu Hanum langsung menyambut dan memeluk menantu kesayangannya saat baru turun dari mobil. Sejak mereka berangkat dari Jakarta, sebentar-sebentar sudah menelpon sampai dimana. Padahal di jadwal sudah tertulis jam kedatangan. “Aku nggak ditanya, Ma?” protes Gilang. Dia sudah mulai hafal. Bahkan, sebelum jadi menantunya saja, mamanya itu sudah menyayangi Sekar seperti anaknya sendiri, yang sering membuat Gilang jengah. Apalagi sekarang setelah betulan jadi menantunya, lebih-lebih lagi perlakuan Bu Hanum pada Sekar. "Sebenarnya yang anak mama itu aku atau dia?" tanya Gilang sambil mengangsurkan kardus berisi oleh-oleh. Meski orang tua mereka melarang, tapi Sekar kekeh ingi
Sekar hanya nyengir. Benar juga. Yang seneng pake baju-baju kembaran gini ya perempuan. Hanya bapak-bapak yang patuh pada istrinya saja yang terpaksa menurut mengenakan baju seperti itu. Lelaki macam Gilang, pasti risih kalau disuruh mengenakan baju-baju yang seragam. Kesannya kurang macho. “Wah, Mbak Sekar sudah di rumah. Makin cantik saja,” sapa Bu Wanti saat melihat Sekar keluar kamar. Sekar ingin membantu ibu-ibu di dapur. Nggak enak jika dia harus mengurung dalam kamar. Meski badannya terasa lelah setelah perjalanan jauh. Mendengar kata-kata Bu Wanti, wajah Sekar jadi bersemu merah. “Sepertinya perempuan kalo gitu,” timpal Bu Waskito yang sedang sibuk mengupas bawang. Sekar buru-buru mengambil pisau dan ikut bergabung untuk mengupas bawang, seraya menikmati obrolan khas ibu-ibu kampungnya. “Belum tentu. Lha ini Mbak Sekar nggak mau dandan. Kalau anaknya perempuan, biasanya macak. Pake lipstik, pake bedak,” timpal yang lain. Sekar hanya menanggapinya dengan senyum. Dasa
“Kita kayak suami-istri aja ya,” seloroh Gilang saat memandangi baju seragam mereka. Sekar refleks mencubit pinggang suaminya. "Emang kamu pikir apa? Musuh?" "Ya, kan 24 tahun kita musuhan...." Tak perlu menunggu, Sekar langsung mencubit dan memelintir pinggang Gilang. "Auuuuu!" Suara teriakan Gilang membuat Bu Hanum spontan membuka pintu kamar Gilang. "Kamu kenapa, Lang?" Sang mama memindai Gilang yang masih memegang pinggang bekas cubitan Sekar. Sementara Sekar, pura-pura tak tahu. "Nggak, Ma." Gilang nyengir. Mau mengadukan ada kekerasan, takut kalau malah dia yang kena semprot. Gilang tahu betul, konsekuensi mengadu untuk urusan Sekar pada mamanya. "Buruan. Udah ditunggu papamu," titah sang mama. Keduanya ikut berdiri di depan pintu menyambut tamu. Gilang bersama papa dan mertuanya di sisi kiri, sementara Sekar dengan mama dan ibunya di sisi kanan. “Selamat ya, Mas Gilang. Ampuh bener. Langsung tancap gas!” seloroh seorang bapak sambil menepuk bahu Gilang. “Wah
Mata Sakina yang berkaca-kaca, tak sedikit pun membuat Sekar iba. Dalam hati Sekar berfikir, mau drama apa lagi? Mengharap belas kasihan suaminya? Bukankah ia sudah punya suami sendiri? Sekar semakin mengeratkan rengkuhan tangannya di pinggang Gilang, membuat pria itu merasa tak enak hati. Dia yang tak pernah mengumbar kemesraan, tapi, tak berani juga meminta Sekar melepaskan. Khawatir malah menimbulkan perang baru. “Tamunya di suruh duduk, Sekar,” titah Bu Hanum karena hanya melihat pemandangan tiga orang berdiri di dekat pintu ruang tamu. Perasaan wanita itu dapat meraba jika ada sesuatu yang kurang beres. Akhirnya dia memilih ke belakang. Tak enak ikut campur masalah anak dan menantunya yang sudah punya kehidupan sendiri. 'Ayo, duduk dulu, Kin." Gilang mengalihkan pandangan ke Sekar, agar memberikan sedikit ruang, agar dia bisa duduk di sofa ruang tamu. Sekar sama sekali tidak menawarkan Sakina. Justru tatapannya sengaja dipertajam, agar wanita itu mengerti kalau dia tak meny