Sekar hanya nyengir. Benar juga. Yang seneng pake baju-baju kembaran gini ya perempuan. Hanya bapak-bapak yang patuh pada istrinya saja yang terpaksa menurut mengenakan baju seperti itu. Lelaki macam Gilang, pasti risih kalau disuruh mengenakan baju-baju yang seragam. Kesannya kurang macho. “Wah, Mbak Sekar sudah di rumah. Makin cantik saja,” sapa Bu Wanti saat melihat Sekar keluar kamar. Sekar ingin membantu ibu-ibu di dapur. Nggak enak jika dia harus mengurung dalam kamar. Meski badannya terasa lelah setelah perjalanan jauh. Mendengar kata-kata Bu Wanti, wajah Sekar jadi bersemu merah. “Sepertinya perempuan kalo gitu,” timpal Bu Waskito yang sedang sibuk mengupas bawang. Sekar buru-buru mengambil pisau dan ikut bergabung untuk mengupas bawang, seraya menikmati obrolan khas ibu-ibu kampungnya. “Belum tentu. Lha ini Mbak Sekar nggak mau dandan. Kalau anaknya perempuan, biasanya macak. Pake lipstik, pake bedak,” timpal yang lain. Sekar hanya menanggapinya dengan senyum. Dasa
“Kita kayak suami-istri aja ya,” seloroh Gilang saat memandangi baju seragam mereka. Sekar refleks mencubit pinggang suaminya. "Emang kamu pikir apa? Musuh?" "Ya, kan 24 tahun kita musuhan...." Tak perlu menunggu, Sekar langsung mencubit dan memelintir pinggang Gilang. "Auuuuu!" Suara teriakan Gilang membuat Bu Hanum spontan membuka pintu kamar Gilang. "Kamu kenapa, Lang?" Sang mama memindai Gilang yang masih memegang pinggang bekas cubitan Sekar. Sementara Sekar, pura-pura tak tahu. "Nggak, Ma." Gilang nyengir. Mau mengadukan ada kekerasan, takut kalau malah dia yang kena semprot. Gilang tahu betul, konsekuensi mengadu untuk urusan Sekar pada mamanya. "Buruan. Udah ditunggu papamu," titah sang mama. Keduanya ikut berdiri di depan pintu menyambut tamu. Gilang bersama papa dan mertuanya di sisi kiri, sementara Sekar dengan mama dan ibunya di sisi kanan. “Selamat ya, Mas Gilang. Ampuh bener. Langsung tancap gas!” seloroh seorang bapak sambil menepuk bahu Gilang. “Wah
Mata Sakina yang berkaca-kaca, tak sedikit pun membuat Sekar iba. Dalam hati Sekar berfikir, mau drama apa lagi? Mengharap belas kasihan suaminya? Bukankah ia sudah punya suami sendiri? Sekar semakin mengeratkan rengkuhan tangannya di pinggang Gilang, membuat pria itu merasa tak enak hati. Dia yang tak pernah mengumbar kemesraan, tapi, tak berani juga meminta Sekar melepaskan. Khawatir malah menimbulkan perang baru. “Tamunya di suruh duduk, Sekar,” titah Bu Hanum karena hanya melihat pemandangan tiga orang berdiri di dekat pintu ruang tamu. Perasaan wanita itu dapat meraba jika ada sesuatu yang kurang beres. Akhirnya dia memilih ke belakang. Tak enak ikut campur masalah anak dan menantunya yang sudah punya kehidupan sendiri. 'Ayo, duduk dulu, Kin." Gilang mengalihkan pandangan ke Sekar, agar memberikan sedikit ruang, agar dia bisa duduk di sofa ruang tamu. Sekar sama sekali tidak menawarkan Sakina. Justru tatapannya sengaja dipertajam, agar wanita itu mengerti kalau dia tak meny
Gilang mendudukkan badannya di tempatnya semula. Lelaki itu mengambil jeda sejenak sebelum berujar. “Tampaknya suasana sedang tidak baik. Kita bicara lain kali,” ujar Gilang berusaha sesopan mungkin, meski sebenarnya mempersilahkan Sakina pergi. “Tapi, Lang, aku mau bicara sama kamu,” timpal Sakina. “Tapi, aku sudah bukan Gilang yang dulu lagi, Kin. Kuharap kamu mengerti,” sahut Gilang. Ekor matanya melihat ke belakang. Ada mamanya yang menatapnya dari sudut pintu penghubung ruang makan dengan ruang tamu. Sakina mengangguk. Setelah mengusap bulir bening yang mengalir dari sudut matanya, perempuan itu lalu berdiri, membalikkan badannya dan meninggalkan rumah Gilang, tanpa pamit ke siapapun. Batinnya merasa sakit dicampakkan oleh sahabatnya sendiri. Lelaki yang dia pikir dapat mengurangi kegundahan hatinya, kini telah menjauh. Sakina merasa sendiri. Dia tak punya lagi teman untuk bersandar dan berbagi. Perempuan itu masuk ke mobilnya. Sementara Gilang menatapnya dari teras
Gilang kembali mengacak rambutnya. Lalu ia keluar kamar dengan membanting pintu. Dia lupa, kalau rumah itu rumah mertuanya. “Mau kemana kamu?” Bapak Sekar sudah menghadang saat Gilang hendak keluar rumah. Gilang tergagap. Dadanya bergemuruh. Meski tetangga lebih dari dua puluh tahun, Bapaknya Sekar hampir tak pernah memarahinya. Apalagi berkamu-kamu dengan intonasi meninggi. “Masuk!” Bapak Sekar memberi kode pada Gilang, agar urung keluar. Perasaan Gilang semakin tak karuan."Duduk!" titah Bapak Sekar. Kini, Gilang duduk di hadapan ibu dan bapaknya Sekar. "Assalamualaikum...." Papa dan Mamanya Gilang tak lama menyusul. Membuat mata Gilang melebar. Bagaimana bisa kedua orang tuanya ikut datang ke rumah mertuanya. Begini lah kalau menikah dengan tetangga. Sedikit masalah, bisa semua orang tahu. “Kamu itu Le, malu-maluin!” Mama Gilang menjewer telinga Gilang dengan gemas sebelum duduk. Tak puas rasanya jika belum melampiaskan kekesalan pada putranya itu. “Mah, itu hanya salah pa
Sepulang kerja, Gilang mengajak Sekar ke salah satu pusat perbelanjaan elektronik. Dia ingin membelikan hadiah ulang tahun buat Sekar yang sudah lewat beberapa bulan. Awalnya dia ingin membelikan saat hari ulang tahunnya, tapi gara-gara rasa cemburunya ke Arfan kala itu, urung dilakukan. Bulan berikutnya, gagal lagi gara-gara dia mendadak harus pulang karena orang tuanya mengadakan tasyakuran kehamilan Sekar. Terpaksa tabungannya dipakai untuk membeli tiket pulang. Bulan berikutnya, Sekar minta belanja perlengkapan kelahiran anak mereka. Katanya mumpung hamilnya belum besar, masih kuat jalan-jalan milih-milih pakaian baby. Untungnya Bu Dokter sudah ngasih ancer-ancer jenis kelaminnya. Jadi, memudahkan memilih warna pakaian buat baby mereka. Sebenarnya, Sekar malas untuk jalan-jalan. Di trisemester ketiga, selain dia sudah gampang capek, kakinya juga mulai bengkak. Niat dia menjaga pola makan agar tidak terlalu gendut batal sudah. Gilang terlalu memanjakannya. Setiap menginginkan s
Bekerja di ibukota memang punya tantangan tersendiri. Jarak yang jauh antara rumah dan tempat kerja membuat waktu mereka banyak tersita di jalan. Sabtu minggu rasanya hanya ingin dihabiskan di rumah saja. Praktis, akhirnya Gilang memilih menggunakan waktu sepulang kerja jika ada keperluan. “Kalau aku sendiri, nanti nggak bisa nanya kamu. Sukanya yang mana. Kan ini buat kamu!” Gilang beralasan. Sekar hanya mencibir. Dari tadi bukannya suaminya itu yang rewel memilih. Yang ini nggak cocok, yang itu nggak cocok. Sekarang, kenapa jadi bawa-bawa dia? Sekar janji dalam hati. Ini counter barang elektronik terakhir. “Yah, Dik yang warna biru kosong. Gimana?” tanya Gilang sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Terlihat sekali dia kecewa. Sekar ingin mencakar wajah Gilang rasanya. Padahal yang mau warna biru ya Gilang sendiri. Bukan dia. Semalam Gilang menunjukkan merek itu dengan pilihan warna biru tua yang elegan. Jadi nggak hitam terus katanya. Padahal, Sekar sebenarnya nggak ter
"Duduk dulu, Mbak!" Pemilik salah counter di mall itu memberikan bangku pada Sekar. Tak tega dia melihat ibu hamil yang sudah pucat. "Makasih, Pak." Sekar akhirnya bisa sedikit bernafas lega, meski perutnya masih terasa melilit. Entah mengapa, mendadak terasa mulas. Beberapa orang berkerumun mendekat. “Kontraksi, ya, Mbak?” tanya seorang ibu yang ada di dekat Sekar. Sejenak Sekar berfikir. Dia pernah mendengar kata-kata kontraksi, tapi seperti apa rasanya belum tahu. Bahkan, dia belum sempat googing. Meski pekerjaan kantor tidak melelahkan, namun hampir tiap hari dia sampai rumah sudah lepas magrb, dan berangkat habis subuh untuk menghindari macet. Jadilah, sampai rumah sudah lelah. Tak sempat dia mencari informasi mengenai kehamilan dan melahirkan. Paling, berkonsulasi saja saat periksa. "Kamu nggak papa, kan, Dik?" Wajah Gilang agak panik. Dia pun belum mengerti dengan pertanyaan ibu tadi. “Kasih minum, Mas!” usul salah seorang bapak yang turut mendekat. Gilang mengan