Gilang mendudukkan badannya di tempatnya semula. Lelaki itu mengambil jeda sejenak sebelum berujar. “Tampaknya suasana sedang tidak baik. Kita bicara lain kali,” ujar Gilang berusaha sesopan mungkin, meski sebenarnya mempersilahkan Sakina pergi. “Tapi, Lang, aku mau bicara sama kamu,” timpal Sakina. “Tapi, aku sudah bukan Gilang yang dulu lagi, Kin. Kuharap kamu mengerti,” sahut Gilang. Ekor matanya melihat ke belakang. Ada mamanya yang menatapnya dari sudut pintu penghubung ruang makan dengan ruang tamu. Sakina mengangguk. Setelah mengusap bulir bening yang mengalir dari sudut matanya, perempuan itu lalu berdiri, membalikkan badannya dan meninggalkan rumah Gilang, tanpa pamit ke siapapun. Batinnya merasa sakit dicampakkan oleh sahabatnya sendiri. Lelaki yang dia pikir dapat mengurangi kegundahan hatinya, kini telah menjauh. Sakina merasa sendiri. Dia tak punya lagi teman untuk bersandar dan berbagi. Perempuan itu masuk ke mobilnya. Sementara Gilang menatapnya dari teras
Gilang kembali mengacak rambutnya. Lalu ia keluar kamar dengan membanting pintu. Dia lupa, kalau rumah itu rumah mertuanya. “Mau kemana kamu?” Bapak Sekar sudah menghadang saat Gilang hendak keluar rumah. Gilang tergagap. Dadanya bergemuruh. Meski tetangga lebih dari dua puluh tahun, Bapaknya Sekar hampir tak pernah memarahinya. Apalagi berkamu-kamu dengan intonasi meninggi. “Masuk!” Bapak Sekar memberi kode pada Gilang, agar urung keluar. Perasaan Gilang semakin tak karuan."Duduk!" titah Bapak Sekar. Kini, Gilang duduk di hadapan ibu dan bapaknya Sekar. "Assalamualaikum...." Papa dan Mamanya Gilang tak lama menyusul. Membuat mata Gilang melebar. Bagaimana bisa kedua orang tuanya ikut datang ke rumah mertuanya. Begini lah kalau menikah dengan tetangga. Sedikit masalah, bisa semua orang tahu. “Kamu itu Le, malu-maluin!” Mama Gilang menjewer telinga Gilang dengan gemas sebelum duduk. Tak puas rasanya jika belum melampiaskan kekesalan pada putranya itu. “Mah, itu hanya salah pa
Sepulang kerja, Gilang mengajak Sekar ke salah satu pusat perbelanjaan elektronik. Dia ingin membelikan hadiah ulang tahun buat Sekar yang sudah lewat beberapa bulan. Awalnya dia ingin membelikan saat hari ulang tahunnya, tapi gara-gara rasa cemburunya ke Arfan kala itu, urung dilakukan. Bulan berikutnya, gagal lagi gara-gara dia mendadak harus pulang karena orang tuanya mengadakan tasyakuran kehamilan Sekar. Terpaksa tabungannya dipakai untuk membeli tiket pulang. Bulan berikutnya, Sekar minta belanja perlengkapan kelahiran anak mereka. Katanya mumpung hamilnya belum besar, masih kuat jalan-jalan milih-milih pakaian baby. Untungnya Bu Dokter sudah ngasih ancer-ancer jenis kelaminnya. Jadi, memudahkan memilih warna pakaian buat baby mereka. Sebenarnya, Sekar malas untuk jalan-jalan. Di trisemester ketiga, selain dia sudah gampang capek, kakinya juga mulai bengkak. Niat dia menjaga pola makan agar tidak terlalu gendut batal sudah. Gilang terlalu memanjakannya. Setiap menginginkan s
Bekerja di ibukota memang punya tantangan tersendiri. Jarak yang jauh antara rumah dan tempat kerja membuat waktu mereka banyak tersita di jalan. Sabtu minggu rasanya hanya ingin dihabiskan di rumah saja. Praktis, akhirnya Gilang memilih menggunakan waktu sepulang kerja jika ada keperluan. “Kalau aku sendiri, nanti nggak bisa nanya kamu. Sukanya yang mana. Kan ini buat kamu!” Gilang beralasan. Sekar hanya mencibir. Dari tadi bukannya suaminya itu yang rewel memilih. Yang ini nggak cocok, yang itu nggak cocok. Sekarang, kenapa jadi bawa-bawa dia? Sekar janji dalam hati. Ini counter barang elektronik terakhir. “Yah, Dik yang warna biru kosong. Gimana?” tanya Gilang sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Terlihat sekali dia kecewa. Sekar ingin mencakar wajah Gilang rasanya. Padahal yang mau warna biru ya Gilang sendiri. Bukan dia. Semalam Gilang menunjukkan merek itu dengan pilihan warna biru tua yang elegan. Jadi nggak hitam terus katanya. Padahal, Sekar sebenarnya nggak ter
"Duduk dulu, Mbak!" Pemilik salah counter di mall itu memberikan bangku pada Sekar. Tak tega dia melihat ibu hamil yang sudah pucat. "Makasih, Pak." Sekar akhirnya bisa sedikit bernafas lega, meski perutnya masih terasa melilit. Entah mengapa, mendadak terasa mulas. Beberapa orang berkerumun mendekat. “Kontraksi, ya, Mbak?” tanya seorang ibu yang ada di dekat Sekar. Sejenak Sekar berfikir. Dia pernah mendengar kata-kata kontraksi, tapi seperti apa rasanya belum tahu. Bahkan, dia belum sempat googing. Meski pekerjaan kantor tidak melelahkan, namun hampir tiap hari dia sampai rumah sudah lepas magrb, dan berangkat habis subuh untuk menghindari macet. Jadilah, sampai rumah sudah lelah. Tak sempat dia mencari informasi mengenai kehamilan dan melahirkan. Paling, berkonsulasi saja saat periksa. "Kamu nggak papa, kan, Dik?" Wajah Gilang agak panik. Dia pun belum mengerti dengan pertanyaan ibu tadi. “Kasih minum, Mas!” usul salah seorang bapak yang turut mendekat. Gilang mengan
“Ini jam tiga pagi, Dik. Tunggu subuh deh. Nanti aku nanya ke tetangga,” sahut Gilang sambil kembali menarik selimut lagi.“Kok tetangga. Dia kan bukan dokter. Nanya dokter saja. Kan Mas sudah simpan nomornya,” balas Sekar sambil memegang perutnya. Benar juga. Kenapa nanya tetangga? Guman Gilang. “Tapi masih dini hari, Dik. Nggak enak mengganggu istirahat Bu Dokter!” dalih Gilang. Sekar semakin geram. Dia sudah tak tahan, tapi suaminya masih saja beralasan.“Itu kan memang tugasnya, Mas. Dokter kandungan itu siaga 24 jam. Karena persalinan bisa kapan saja,” sahut Sekar. Dia masih memegang perutnya karena merasa sakit sekali. Lebih sakit dibanding saat dia datang bulan. “Iya...iya...” Gilang bangun dan menyambar ponselnya. Segera dicari nomor Bu Dokter langganannya. Dia memang sudah meminta izin sewaktu-waktu konsultasi begitu usia kehamilan sembilan bulan. “Coba dibawa ke RS saja, nanti diperiksa sama dokter atau bidan yang jaga,” saran sang dokter. “Tuh, Mas. Apa aku bilang. Ay
“Makan dulu ya. Nih Pizza pesenanmu...” ujar Gilang sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Lalu pria itu keluar kamar untuk mencuci tangan, sebelum kemudian masuk kembali ke kamar untuk membuka bungkusan pizza. “Aku nggak tahan, Mas. Kita ke dokter sekarang....” ujar Sekar. Tangannya sibuk memegang perut, bingung dengan rasa sakit yang diraskannya. Sakit itu berbeda dengan saat datang bulan. Kalau datang bulan, dia bisa menekuk tubuhnya untuk menahan rasa yang melilit. Sementara, dengan perut gendut, dia tak berdaya. “Iya, tapi kamu makan dulu nih pizzanya. Kamu pucet banget,” sahut Gilang. Lelaki itu khawatir kalau nanti saat dibawa ke dokter, istrinya itu malah jatuh pingsan di jalan. Karena dia akan memboncengkan dengan motornya. “Aku bikin teh manis dulu.” Gilang meninggalkan Sekar ke dapur. Pria itu sedikit panik, karena tak biasanya Sekar seperti itu. Wajahnya sampai pucat seperti mayat. “Kamu tadi nggak makan, Dik?” tanya Gilang sambil memberikan segelas teh panas. Di
“Iya, deh, Mas. Semoga lancar semuanya,” sahut Pak Hanif sambil melambaikan tangannya, tatkala Gilang beranjak meninggalkannya. Jalanan dari rumah Gilang ke RSIA hanya berjarak dua kilo. Sebenarnya ada RSIA yang lebih dekat. Tapi lebih elit dan biaya lebih mahal. Dan dokter kandungan untungnya praktek di RSIA lain yang biayanya jauh lebih murah untuk persalinan. Dan itu menjadi pilihan Gilang dan Sekar untuk melahirkan anak pertamanya. “Di periksa dulu ya, Bunda,” ujar petugas RSIA itu. Katanya kalau sudah siap hendak melahirkan, baru dokternya akan dipanggil. Sebenarnya Sekar sudah survey ke bidan langganan Bu Hanif. Tapi, mendadak dia tak ingat lagi opsi melahirkan di Bidan, saking paniknya. Dia tak pernah membayangkan kontraksi mules sebelum melahirkan itu seperti apa. Dia pikir hanya mules-mules biasa seperti hendak ke belakang yang masih bisa ditahan. Bahkan, sampai tak terpikir untuk WA Bu Hanif sekedar untuk bertanya. Sepanjang hari Sekar hanya dapat meringkuk memegang pe