Makasih yang sudah berkenan mampir. Jangan lupa baca juga cerita best sellerku: BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA. Terimakasih.
“Ini jam tiga pagi, Dik. Tunggu subuh deh. Nanti aku nanya ke tetangga,” sahut Gilang sambil kembali menarik selimut lagi.“Kok tetangga. Dia kan bukan dokter. Nanya dokter saja. Kan Mas sudah simpan nomornya,” balas Sekar sambil memegang perutnya. Benar juga. Kenapa nanya tetangga? Guman Gilang. “Tapi masih dini hari, Dik. Nggak enak mengganggu istirahat Bu Dokter!” dalih Gilang. Sekar semakin geram. Dia sudah tak tahan, tapi suaminya masih saja beralasan.“Itu kan memang tugasnya, Mas. Dokter kandungan itu siaga 24 jam. Karena persalinan bisa kapan saja,” sahut Sekar. Dia masih memegang perutnya karena merasa sakit sekali. Lebih sakit dibanding saat dia datang bulan. “Iya...iya...” Gilang bangun dan menyambar ponselnya. Segera dicari nomor Bu Dokter langganannya. Dia memang sudah meminta izin sewaktu-waktu konsultasi begitu usia kehamilan sembilan bulan. “Coba dibawa ke RS saja, nanti diperiksa sama dokter atau bidan yang jaga,” saran sang dokter. “Tuh, Mas. Apa aku bilang. Ay
“Makan dulu ya. Nih Pizza pesenanmu...” ujar Gilang sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Lalu pria itu keluar kamar untuk mencuci tangan, sebelum kemudian masuk kembali ke kamar untuk membuka bungkusan pizza. “Aku nggak tahan, Mas. Kita ke dokter sekarang....” ujar Sekar. Tangannya sibuk memegang perut, bingung dengan rasa sakit yang diraskannya. Sakit itu berbeda dengan saat datang bulan. Kalau datang bulan, dia bisa menekuk tubuhnya untuk menahan rasa yang melilit. Sementara, dengan perut gendut, dia tak berdaya. “Iya, tapi kamu makan dulu nih pizzanya. Kamu pucet banget,” sahut Gilang. Lelaki itu khawatir kalau nanti saat dibawa ke dokter, istrinya itu malah jatuh pingsan di jalan. Karena dia akan memboncengkan dengan motornya. “Aku bikin teh manis dulu.” Gilang meninggalkan Sekar ke dapur. Pria itu sedikit panik, karena tak biasanya Sekar seperti itu. Wajahnya sampai pucat seperti mayat. “Kamu tadi nggak makan, Dik?” tanya Gilang sambil memberikan segelas teh panas. Di
“Iya, deh, Mas. Semoga lancar semuanya,” sahut Pak Hanif sambil melambaikan tangannya, tatkala Gilang beranjak meninggalkannya. Jalanan dari rumah Gilang ke RSIA hanya berjarak dua kilo. Sebenarnya ada RSIA yang lebih dekat. Tapi lebih elit dan biaya lebih mahal. Dan dokter kandungan untungnya praktek di RSIA lain yang biayanya jauh lebih murah untuk persalinan. Dan itu menjadi pilihan Gilang dan Sekar untuk melahirkan anak pertamanya. “Di periksa dulu ya, Bunda,” ujar petugas RSIA itu. Katanya kalau sudah siap hendak melahirkan, baru dokternya akan dipanggil. Sebenarnya Sekar sudah survey ke bidan langganan Bu Hanif. Tapi, mendadak dia tak ingat lagi opsi melahirkan di Bidan, saking paniknya. Dia tak pernah membayangkan kontraksi mules sebelum melahirkan itu seperti apa. Dia pikir hanya mules-mules biasa seperti hendak ke belakang yang masih bisa ditahan. Bahkan, sampai tak terpikir untuk WA Bu Hanif sekedar untuk bertanya. Sepanjang hari Sekar hanya dapat meringkuk memegang pe
Sekembali dari kantin, Sekar dan Gilang duduk-duduk di depan ruang bersalin. Ada seorang ibu yang sedang menemani anaknya hendak melahirkan. Mendadak, Sekar ingat, dia pun meminta ibunya datang. Namun, karena memang hitungan HPL masih beberapa hari, ibunya baru bersiap-siap hari ini. Mertuanya juga akan bergantian menemaninya. “Anak pertama ya, Mbak?” tanya sang ibu yang usianya seusia ibunya Sekar. Tak lama, jeritan histeris kembali terdengar. Wajah Sekar kembali memucat. “Nggak papa, Mbak. Nanti begitu lahir, langsung plong,” sahut si ibu saat melihat ekspresi Sekar ketakutan, lalu mengenggam erat lengan Gilang. "Dik, mau ikut nggak?" tanya Gilang. "Kemana?" "Lihat baby. Tuh di sana." Dagu Gilang menunjuk jendela kaca besar tak jauh dari mereka. Ada sepasang suami istri yang sedang melihat juga dari belakang kaca itu. "Nggak, Mas. Aku di sini saja," tutur Sekar. Gilang lalu beranjak meninggalkannya. “Itu anak saya, Mbak. Dia melahirkan anak kedua.” Sang ibu yang dudu
Meski ruangan ber AC, namun tetap saja tak dapat mengurangi rasa gelisah keduanya. Lelaki itu kemudian mencium kening istrinya. Tangannya tak melepaskan genggamannya. Sekar menatap ruang bersalin. Ada beberapa tempat tidur di sana. Sekar mendapat tempat di ujung. Ada dua petugas yang mendampinginya. Satu orang yang sejak dia datang selalu memeriksa. Dan satu lagi lebih muda. "Sabar, ya, Bun. Dokternya masih dalam perjalanan." Sekar menatap suaminya. Demikian juga dengan Gilang. "Tapi, dia nggak kena macet, kan?" Gilang membayangkan dirinya yang sehari-hari terjebak macet di jalanan ibukota. Bagaimana kalau dokter yang mereka tunggu justru mengalami hal serupa? "Nggak. Posisinya sudah dekat, kok. Sebentar lagi," ujar petugas itu. Gilang sebenarnya tak percaya. Petugas itu hanya ingin menenangkannya saja. Tapi, dia juga tidak dapat memaksa. Kalau sudah dijalan, mau bagaimana pun harus di tunggu. Hidup di kota metropolitan tak seperti di kampungnya. Yang namanya lima menit
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G