Makasih pembaca yang berkenan mengikuti. Sambil menunggu update, Yuk mampir ke cerita BEST SELLERku: BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA. Semoga suka...
Meski ruangan ber AC, namun tetap saja tak dapat mengurangi rasa gelisah keduanya. Lelaki itu kemudian mencium kening istrinya. Tangannya tak melepaskan genggamannya. Sekar menatap ruang bersalin. Ada beberapa tempat tidur di sana. Sekar mendapat tempat di ujung. Ada dua petugas yang mendampinginya. Satu orang yang sejak dia datang selalu memeriksa. Dan satu lagi lebih muda. "Sabar, ya, Bun. Dokternya masih dalam perjalanan." Sekar menatap suaminya. Demikian juga dengan Gilang. "Tapi, dia nggak kena macet, kan?" Gilang membayangkan dirinya yang sehari-hari terjebak macet di jalanan ibukota. Bagaimana kalau dokter yang mereka tunggu justru mengalami hal serupa? "Nggak. Posisinya sudah dekat, kok. Sebentar lagi," ujar petugas itu. Gilang sebenarnya tak percaya. Petugas itu hanya ingin menenangkannya saja. Tapi, dia juga tidak dapat memaksa. Kalau sudah dijalan, mau bagaimana pun harus di tunggu. Hidup di kota metropolitan tak seperti di kampungnya. Yang namanya lima menit
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h