Makasih buat teman-teman pembaca yang masih berkenan mengikuti cerita ini. Kasih ulasan bintang 5 dan bagi GEM-nya ya, agar aku makin bersemangat untuk update. Mampir juga ke ceritaku yang lain. Klik profilku, ada banyak cerita di sana. BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA adalah best seller dari ceritaku. Makasih semuanya...
Huff, aku hanya dapat menghela napas. Agak khawatir tetangga mendengar ucapan Mas Gilang yang "nge-gas". Di kompleks perumahan kami, malam hari selalu sunyi, dan posisi kamar ada di sisi depan. Motor atau orang yang berbicara lewat saja, bisa kami dengar dengan jelas. Kantukku rasanya sudah pergi mendengar serangan pertanyaannya yang bertubi-tubi. Dadaku sudah bergemuruh menahan emosi. “Astaghfirullah, Mas. Kami nggak pernah berbalas pesan. Sumpah, baru sekali itu dia kirim pesan padaku,” sahutku dengan berusaha menekan intonasi suara. Dan memang kenyataan demikian. Tak ada yang dibahas dengannya selama ini. Dan akupun bukan orang yang hangat dengan lawan jenis. Termasuk dengan Kak Arfan, meski dia bukan orang lain. Kalau bukan hal penting, jarang aku berkirim pesan. “Halah, bisa jadi langsung kamu hapus percakapan sebelumnya. Toh mana aku tahu,” ujarnya setengah bergumam. Ada rasa tak terima dengan tuduhannya. Tapi, enggan rasanya aku menanggapinya. “Pantas saja diajak nyari
Aku menatap Mas Gilang dengan motornya, hingga bayangannya menghilang di gerbang halaman kantorku. Masih terngiang nasehat kedua orang tuaku. Kata ibu dan bapak, menikah memang seperti itu. Mengarungi bahtera rumah tangga itu harus siap diterjang angin dan badai. Jadi, tidak boleh cengeng. Yang penting saling menghargai, menghormati dan bertenggang rasa.Saling! Itu kata bapak dan ibu. Jadi bukan hanya aku yang harus mengalah. “Jangan lupa berdoa, Ndhuk. Minta sama Gusti Alloh, agar pernikahan dan rumah tangga kita selalu berkah, sakinah, mawaddah, warohmah,” nasehat bapak kala itu. Aku yakin, dengan banyak berdoa dan meminta pada Allah, pasti suatu saat hati Mas Gilang pun akan luluh. Bukankah Gusti Allah pemilik dan yang dapat membolak-balikkan hatinya?“Nah gitu dong. Yang rukun kalau sama suami,” goda Renita saat bertemu denganku di lobi. Aku baru saja turun dari motor lalu mencium punggung tangan suamiku. Meskipun marahan, aku tak pernah melupakan itu.Tentu saja, kata-kata R
Tumben bener dia menelepon. Biasanya, berkirim pesan saja malas. Apalagi dia kan sedang mendiamkanku. Hatiku bertanya-tanya. Ada apa gerangan. Hmm, jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu. Bukankah dua hari lagi hari ulang tahunku? Aku tersenyum sendiri.Kadang, aku tak menyangka kalau Mas Gilang diam-diam romantis juga. Ingat saat dia tiba-tiba mengajakku ke klinik kecantikan. Rasanya bagai melayang terbang di udara karena tak menyangka dia begitu perhatian padaku. Meski dulu aku menuduhnya hanya terobsesi dengan Sakina, tak tulus ingin melihatku cantik sebagaimana seorang Sekar. Rupanya, beginilah kehidupan rumah tangga. Kadang semua harus berjalan bagai roller coaster. Kadang penuh dengan kesedihan dan pertengkaran. Tapi tak jarang dibumbui dengan kejutan dan keromantisan.“Hai, senyum-senyum sendiri. Ayo rapat. Ditunggu Pak Bos!” ujar Renita sambil menepuk bahuku. Aku baru ingat jika setelah jam makan siang ada meeting. Segera aku bergegas mengambil buku agenda dan bolpoi
“Astaghfirullah...!” Saat aku membuka mata, aku semakin kaget. Ternyata aku dalam pelukan pria yang selama ini kuhindari. Segera aku memperbaiki posisi tubuhku. Untung ada dua satpam kantor yang turut jongkok di depanku. Sepertinya mereka juga melihat insiden yang memilukan ini. Aku segera dibantu untuk minggir dari depan anak tangga tempat aku jatuh tadi. Kini, aku duduk di posisi undakan sebelum tangga terbawah dengan menyandar pada pinggiran tangga. “Nggak papa, Mbak?” tanya Pak Satpam yang usianya masih muda. Aku memang terbiasa menyapa satpam yang bertugas di lobi setiap datang dan pulang. Raut wajahnya terlihat cemas. “Minum dulu, Mbak!” Pak Satpam yang lain tergopoh-gopoh datang memberiku air mineral dalam kemasan gelas. “Makasih, Pak,” sahutku sambil menerima air itu. Sekilas kulihat wajah Kak Arfan tampak cemberut padaku. “Kamu ceroboh sekali sih? Kalau terjadi apa-apa gimana?” ujarnya. Dia duduk di sebelahku. Pegawai kantor yang lalu lalang di tangga utama sama se
Aku hanya melongo mendengar kata-kata Kak Arfan. Bagai disambar geledek di siang bolong. Aku melirik sekilas ke Mas Gilang. Wajah Mas Gilang sudah memerah menahan marah. Aku bisa menduga, sebentar lagi pasti aku akan menjadi sasaran kemarahannya. Tak sadar, Mas Gilang menoleh ke arahku yang masih bengong menatapnya. “Kenapa? Seneng ada yang suka sama kamu? Awas saja kalau kamu macem-macem di belakangku!” ketus Mas Gilang berucap, sambil bangkit dari duduknya. Bahkan, dia tak membantuku berdiri. Mas Gilang sudah siap di motornya, mengenakan semua atributnya. Aku pun sudah membonceng di belakangnya. Aku masih menahan kesal. Entah berapa senti mulutku mengerucut. Tapi, bukannya aku tak boleh menyesal menikah dengannya? Meskipun Kak Arfan berkata begitu di depan Mas Gilang, bukan berarti aku harus gede rasa dan tinggi hati. Aku bukan tidak menyukai Kak Arfan. Setampan apapun, sebaik apapun, sekaya apapun. Dia bukan siapa-siapaku. Bahkan, akupun bersyukur menjadi istri Mas Gilang, b
Sekar dan Gilang sudah tiba di stasiun saat mentari belum menyapa kota kelahiran mereka. Setelah taksi yang mereka pesan datang, keduanya segera melaju menuju rumah kedua orang tua mereka. Kepulangan kali ini untuk memenuhi permintaan kedua orangtua mereka, tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar. “Sehat, tho, Ndhuk?” Bu Hanum langsung menyambut dan memeluk menantu kesayangannya saat baru turun dari mobil. Sejak mereka berangkat dari Jakarta, sebentar-sebentar sudah menelpon sampai dimana. Padahal di jadwal sudah tertulis jam kedatangan. “Aku nggak ditanya, Ma?” protes Gilang. Dia sudah mulai hafal. Bahkan, sebelum jadi menantunya saja, mamanya itu sudah menyayangi Sekar seperti anaknya sendiri, yang sering membuat Gilang jengah. Apalagi sekarang setelah betulan jadi menantunya, lebih-lebih lagi perlakuan Bu Hanum pada Sekar. "Sebenarnya yang anak mama itu aku atau dia?" tanya Gilang sambil mengangsurkan kardus berisi oleh-oleh. Meski orang tua mereka melarang, tapi Sekar kekeh ingi
Sekar hanya nyengir. Benar juga. Yang seneng pake baju-baju kembaran gini ya perempuan. Hanya bapak-bapak yang patuh pada istrinya saja yang terpaksa menurut mengenakan baju seperti itu. Lelaki macam Gilang, pasti risih kalau disuruh mengenakan baju-baju yang seragam. Kesannya kurang macho. “Wah, Mbak Sekar sudah di rumah. Makin cantik saja,” sapa Bu Wanti saat melihat Sekar keluar kamar. Sekar ingin membantu ibu-ibu di dapur. Nggak enak jika dia harus mengurung dalam kamar. Meski badannya terasa lelah setelah perjalanan jauh. Mendengar kata-kata Bu Wanti, wajah Sekar jadi bersemu merah. “Sepertinya perempuan kalo gitu,” timpal Bu Waskito yang sedang sibuk mengupas bawang. Sekar buru-buru mengambil pisau dan ikut bergabung untuk mengupas bawang, seraya menikmati obrolan khas ibu-ibu kampungnya. “Belum tentu. Lha ini Mbak Sekar nggak mau dandan. Kalau anaknya perempuan, biasanya macak. Pake lipstik, pake bedak,” timpal yang lain. Sekar hanya menanggapinya dengan senyum. Dasa
“Kita kayak suami-istri aja ya,” seloroh Gilang saat memandangi baju seragam mereka. Sekar refleks mencubit pinggang suaminya. "Emang kamu pikir apa? Musuh?" "Ya, kan 24 tahun kita musuhan...." Tak perlu menunggu, Sekar langsung mencubit dan memelintir pinggang Gilang. "Auuuuu!" Suara teriakan Gilang membuat Bu Hanum spontan membuka pintu kamar Gilang. "Kamu kenapa, Lang?" Sang mama memindai Gilang yang masih memegang pinggang bekas cubitan Sekar. Sementara Sekar, pura-pura tak tahu. "Nggak, Ma." Gilang nyengir. Mau mengadukan ada kekerasan, takut kalau malah dia yang kena semprot. Gilang tahu betul, konsekuensi mengadu untuk urusan Sekar pada mamanya. "Buruan. Udah ditunggu papamu," titah sang mama. Keduanya ikut berdiri di depan pintu menyambut tamu. Gilang bersama papa dan mertuanya di sisi kiri, sementara Sekar dengan mama dan ibunya di sisi kanan. “Selamat ya, Mas Gilang. Ampuh bener. Langsung tancap gas!” seloroh seorang bapak sambil menepuk bahu Gilang. “Wah
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi