Pulang dari makan malam, kami langsung bersih-bersih. Rumah terasa lapang karena memang belum punya barang. Dibandingkan di kosan Mas Gilang yang sempit dan penuh barang. Kami hanya duduk-duduk di karpet. Mau mainan hape juga malas, tak ada wifi. Kuota internet terbatas. Lagi pula, apa sih yang dapat dilihat dari HP dengan paketan super irit seperti punyaku? Aku terdiam di rumah sendirian. Mas Gilang usai isya ke masjid belum juga pulang. Entah lah, kemana saja dia. Aku sudah tak tahan untuk menunggunya. Badanku terasa lelah setelah seharian belanja, bahkan sampai tiga kali bolak-balik ke pasar untuk belanja. Belum lagi prahara masak yang gagal. Kasur lipat yang kami beli, segera kubuka. Kami membeli kasur ukuran 1 meter. Single tapi lebih besar sedikit. “Untuk sementara,” ujar Mas Gilang. Rencananya kasur itu hanya untuk cadangan kalau bakal ada tamu menginap. Sementara untuk kami nanti, tunggu gajian agar bisa membeli tempat tidurnya sekalian. Setelah memasang sprei, sarung ba
Aku hanya menjerang air dan membuat teh panas di pagi hari, saat ada tukang datang. Tak punya cemilan atau apapun. Baik sekali dia, masih jam enam sudah datang.“Ada kerjaan, Mas di desa sebelah,” ujarnya pada Mas Gilang, karena kami belum persiapan apa-apa saat dia datang. Rupanya dia datang sembari berangkat kerja. Tak lama, setelah naik ke atap rumah, memperbaiki posisi genting yang bergeser, dia pun turun. “Nanti kalau masih bocor, telepon saja!” ujarnya sambil diajak oleh Mas Gilang menikmati teh panas. "Maaf, ya, Pak. Hanya ada teh panas." "Nggak papa, Mbak. Sudah biasa sarapan di rumah, sebelum berangkat. Makasih banyak," ujar Pak tukang itu dengan ramah. Tak lupa, Mas Gilang memberinya lembaran uang biru sebagai ongkos jasa saat dia berpamitan tak lama setelah sempat ngobrol ngalor ngidul dengan Mas Gilang. Suamiku itu, kalau tidak distop, ada saja yang diomongkan. Sayangnya, hanya dengan orang lain. Tidak denganku. Beruntung, sinar matahari mulai menunjukkan jati diriny
Sudah empat hari pindah ke rumah baru, tapi Mas Gilang bukannya makin perhatian padaku, justru sebaliknya. Hampir setiap malam dia memilih menghabiskan waktunya di luar rumah. Padahal, seharian kami bekerja di kantor. Meski pergi dan pulang kami boncengan di motor, aku pun bisa memeluknya selama yang aku mau, tapi kami tak pernah ngobrol sepanjang jalan. Bising dan pasti tidak terdengar. Aku tak mengerti mengapa fisiknya ada di sini, tapi entahlah angannya ke mana. Membicarakan masa depan kita berdua saja tak pernah. Dia seperti asyik dengan dunianya. Mungkin, jika aku ada aktivitas lain, pikiranku tidak mengembara kemana-mana. Bayangkan, pindah di tempat baru. Rumah terlihat luas karena tak punya barang, bahkan tivi saja tidak punya. Sambungan internet hanya dari kuota, lalu aku harus ngapain selepas isya? Masak aku harus tidur jam setengah delapan? Kadang, aku sampai bosan. Sosmed kuscroll bolak-balik tak ada yang menarik hatiku. Bahkan otakku pun sudah tak tertuju ke benda pip
“Dik, mama dan ibu besok datang. Kita jemput di bandara. Nanti kita pinjem kasur gulung Pak Hanif saja untuk sementara. Katanya beliau punya dua.” Aku hanya mengangguk. Tak terlalu kuhiraukan kata-katanya. Toh, dia juga tak pernah memikirkan perkataanku. Aku malah senang ada ibu dan mama datang. Berarti sebentar lagi aku ada teman di rumah. Biar saja Mas Gilang mau menghabiskan waktunya di luar. Aku tak peduli. “Dik, kira-kira kita perlu siap-siap apa, ya, sebelum mama dan ibu datang?” tanyanya lagi sambil memberikan helm padaku. Aku segera memakainya dan duduk di boncengannya sebelum dia melajukan motor menuju jalan pulang. Hari sudah sore, jalanan keburu macet. “Nggak tahu, Mas. Apa adanya saja,” ucapku. Biar saja orangtua dan mertua tahu keadaan kami yang sesungguhnya. Bukankah kami begini juga karena hutang ibu yang menjadi tanggungan kami? Meskipun sebenarnya berulang Mas Gilang bilang, mestinya aku bisa melobi kakak dan sepupuku untuk ikut membantu menanggung hutang itu. T
Pov GilangRupanya pindah di kompleks perumahan begini, aku jadi punya wibawa. Paling tidak, dihargai sebagai kepala rumah tangga, dibandingkan sebagai anak kos. Setelah lapor diri ke pak RT dan kenalan tetangga kanan kiri dengan Sekar, aku pun menambah kenalan dengan jamaah di masjid. Salah satu yang aku sukai dari sewa rumah di sini adalah lokasi yang sangat dekat ke masjid. Tak masalah rumah sederhana dan kemarin masih ada genting yang bocor, yang penting masyarakatnya nyaman. “Mas Gilang yang baru pindahan ya?” sapa Pak Hasan, lelaki yang mengenakan gamis dan peci putih. Menurut Pak RT, Pak Hasan ini ketua DKM. “Iya, Pak,” sahutku. Aku kemudian memperkenalkan diri dan juga menyebutkan Sekar, istriku. Profesi kami dan asal kami, agar orang-orang mengakui eksistensi kami di sini sebagai warga baru. Aku dan Pak Hasan, juga pengurus DKM lainnya akhirnya terlibat pembicaraan asyik mengenai kegiatan masjid dan juga antusiasme masyarakat sekitar terhadap kegiatan agama. Hingga tak t
Astaga ... apa aku tak salah dengar? Apa yang dia bilang barusan? Tak ada waktu buatnya? Bukankah aku setiap hari ada untuknya. Berangkat dan pulang kerja bersamanya. Tidur bersamanya? Kenapa dia bisa berkata begitu? Apa dia sedang cemburu? Astaga ... kalau cemburu dengan wanita sih masuk akal. Ini cemburu dengan bapak-bapak kompleks. Pak RT, Pak Ketua DKM, panitia 17an. Duh! Beginikah rasanya punya istri? Apa saja harus melapor padanya? Aku menghela nafas. Meski kesal, harus kutahan. Bagaimanapun dia istriku dan aku imamnya. Masak iya aku sudah nyerah baru menghadapi seperti ini. Papaku saja bisa sabar menghadapi mama. Kutarik pinggang gadis itu agar segera merebah di sebelahku. Beruntung kasur ini sempit, jadi lebih mudah bagiku untuk membuatnya dalam kekuasaanku. “Mas....” Dia masih saja memanggilku. Menguji kesabaran orang yang sudah mengantuk memang. Untungnya, akalku masih waras. “Sttt...tidur, yuk. Besok kerja,” ujarku sambil menempelkan telunjuk di depan bibir, sementara
Tapi, argumennya tetap saja tidak jelas. Dia bilang flek-flek. Memang aku ngerti maksudnya? Aku ini orang teknik. Dan sepertinya jaman sekolah dulu, tak pernah dibahas mengenai hal ini di pelajaran IPA atau biologi. Aku baru mendengarnya.Huff. Sepertinya dia masih kesal padaku karena tempo hari aku enggan menjawab pertanyaannya. Tapi, gengsi juga kalau tahu-tahu aku harus minta maaf. Toh, dia sudah memaafkan. Buktinya, seharian dia biasa saja. “Ck! Kamu tuh banyak alasan. Alasan capek lah, alesan flek lah...” ujarku sambil menutupi rasa kecewa. Apalagi, sebagai lelaki, hasrat yang sudah diubun-ubun, lalu ditolak begitu saja, membuat kepalaku serasa mau pecah. Aku beranjak ke ruang depan. Gengsi mau tidur di dekatnya. Nanti saja kalau dia sudah tertidur baru aku ke sana. Meski sebenarnya aku penasaran dengan alasannya tadi. Karena setahuku, Sekar meskipun suka ngambek, tapi dia tahu batasan mana yang boleh, mana yang nggak boleh. Nggak mungkin tanpa alasan dia menolak. Tak kuinda
Sekar melongokkan kepalanya ke jendela kamar yang menghadap ke depan. Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Matanya menyipit mengamati siapa yang keluar dari mobil itu. Lalu dia buru-buru menyambar jilbabnya saat menyadari ibu dan mama mertuanya yang datang. “Lho, Bu, katanya datangnya besok, kok sekarang sudah datang?” Sekar menatap Mama mertua dan Ibunya bergantian. Kedua wanita itu langsung masuk ke dalam rumah layaknya rumah sendiri. Sekar merasa tidak enak, dengan kondisi rumahnya yang masih kosong melompong. Bahkan, kasur buat ibu dan mama mertuanya saja belum sempat dipinjam ke tetangga. “Ibumu ini cemas karena kamu telpon semalam. Jadinya langsung minta dimajukan tiketnya menjadi sekarang,” ujar Bu Hanum sambil duduk di atas karpet. Kakinya dibiarkan selonjoran. Begitu juga Bu Ndari. Keduanya baru tiba dari bandara dengan menumpang taksi. “Wajar saja kalau pengantin baru rumahnya masih kosong,” ujar Bu Hanum sambil memindai sekeliling. Tak ada perabotan sama seka
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi