"Mas, Mama nyuruh kita punya anak lagi."Mas Raffi langsung menatapku dengan kedua alis yang terangkat. "Masa?" tanyanya. "Mama yang nyuruh, apa kamu yang mau? Hem ....""Mama, Mas. Ih, kamu mah suka curigaan gitu." Aku mengusap wajah Mas Raffi yang dengan sengaja menggodaku seraya menaikturunkan alisnya. Dia tergelak. Tawanya pecah melihatku cemberut. "Padahal, ya, Mas. Aku masih mau main sama Rayyan. Kan, usia dia sekarang ini, gak akan terulang lagi. Tapi ...." Aku menatap suamiku seraya menjeda ucapan. "Rayyan lebih banyak dengan Mama?" tebaknya tidak meleset. Aku tidak berani mengangguk atau menggeleng. Aku justru beranjak darinya, lalu duduk di sofa panjang yang ada di dekat jendela. Tangan ini memainkan gorden warna hitam yang menjuntai pada sandaran sofa, seraya pandangan keluar melihat mobil yang berjejer rapi di sana. Kantor Mas Raffi sudah direnovasi. Ruangannya tidak sesempit saat pertama aku datang. Sekarang lebih luas, lebih rapi dan lebih privat. "Kamu cemburu,
"Boleh aku masuk?" tanya dia lagi. Aku mengangguk, kemudian menggeser pintu gerbang agar wanita itu bisa memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Malika. Dia terlihat berbeda dari terakhir kami bertemu. Selain penampilan pakaian yang lebih tertutup dari sebelumnya, kini wajahnya pun ... putih mulus, tidak ada tanda lahir seperti pada suamiku. Mungkinkah dia telah melakukan operasi di luar negeri? Tentu saja iya. Mana mungkin tanda lahir itu akan hilang dengan sabun belerang. "Apa kabar, Ra?" tanya Malika setelah turun dari mobilnya. "Alhamdulillah, baik. Kamu gimana kabarnya?" Aku balik bertanya."Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik."Aku memindai penampilan Malika dari atas hingga bawah. Ada rasa tak tenang setelah dia kembali ke negeri ini. Entahlah, melihat dia yang sekarang, membuatku merasa tidak percaya diri. Dia sangat cantik, bulu mata lentiknya menjadi magnet utama yang menarik tatapanku. Sekarang dia tidak lagi memakai pakaian terbuka yang ketat di tubuh. Malika m
Aku mengulang membaca pesan yang baru saja dikirim kakak iparku. Bunyinya masih sama, dan membuatku tak percaya. "Kenapa Mbak Kinara mengirimkan pesan seperti itu?" kataku, sangat pelan.Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak. Antara merasa bersalah, dan bingung kenapa kakak perempuan suamiku sampai berujar demikian. Cucu laki-laki yang dimaksud Mbak Kinara, pasti Rayyan anakku. Karena hanya dia satu-satunya cucu lelaki di keluarga Mama dan Papa. "Ada apa, Ra?" tanya Mama yang melihatku diam seraya memegangi ponsel. "Ah, tidak apa-apa, Mah. Emh ... tadi pas jalan-jalan, Mama ketemu siapa aja?" Mama mengerutkan kening. Mungkin dia pikir pertanyaan yang kulayangkan sangatlah aneh. "Kenapa kamu nanya gitu? Banyak Mama ketemu orang, tapi gak kenal. Apa ada kenalanmu yang tadi melihat Mama dan Rayyan?" Mama balik bertanya. Kini aku yang sulit untuk mencari jawaban. Ingin langsung mengatakan isi pesan Mbak Nara pada Mama, tapi takut jika mertuaku itu akan tersinggung. Ah, Mbak Kinara
"Loh, ada Mas, ternyata?" kataku saat melihat seorang pria yang tengah bermain dengan putraku. "Hai, Ra. Aku disuruh Papa ambil berkas. Eh, pas masuk ada Anak Ganteng ini sedang main sama Bibi. Diculik, deh sama Om."Aku tersenyum lega. Ternyata Bibi membawa Rayyan keluar dari kamarku bukan karena ada Mama, tapi ada Mas Raffa yang datang ke rumah. Untunglah tadi aku memakai pakaian dulu sebelum turun ke lantai bawah. Kalau tidak, bisa malu banget aku di depan kakak ipar yang satu ini. "Mbak Cindy apa kabar, Mas? Kok, sekarang jarang banget bawa main Citra ke sini?" tanyaku seraya duduk di sofa yang ada di depan pria itu. Rayyan anteng bermain mobilan di pangkuan Mas Raffa. Sementara Bibi, dia tidak ada. Mungkin disuruh Mas Raffa untuk mengambil berkas yang tadi dia bicarakan. "Cindy sama Cici baik. Kenapa jarang main, ya karen sekarang, kan Cindy punya kerjaan. Terus, kalau pagi juga dia antar Citra ke sekolah. Kali-kali kamulah yang main ke sana bawa Rayyan. Sekolahnya Cici deka
"Udah, dong, Mah. Jangan nyalahin Raya terus?" "Mama itu bukan nyalahin Raya, tapi menyayangkan pengasuhan dia yang katanya seorang ibu, tapi enggak bisa jagain anaknya!"Aku menggigit bibir menahan air mata yang hendak tumpah ketika mendengar ucapan Mama yang menyakitkan hati. Wanita itu marah besar saat tadi aku pulang dengan kondisi lutut dan lengan Rayyan yang berdarah akibat jatuh di aspal. Demi Tuhan kecelakaan itu bukan inginku. Tadi, Rayyan lari mengejar mainannya yang jatuh dan melaju dengan sendirinya.Jikapun aku tahu kejadian sore ini akan membuat anakku seperti itu, tidak akan aku mengindahkan ponsel yang berbunyi, dan akan lebih memilih terus mengandeng tangan putraku. "Paginya Rayyan jatuh dari tangga perosotan sampai keningnya merah. Eh, sorenya malah semakin parah," ujar Mama lagi sangatlah jelas menyalahkanku. Saat ini, aku hanya bisa diam di kamarku seorang diri. Mama tidak memperbolehkan aku berada di dekat Rayyan yang saat ini tengah tidur setelah mendapatkan
"Tadi siang Mama pergi ke rumah Kinara. Anak itu. Gak ada angin gak ada ujan, bilang kalau Mama ini pilih kasih. Katanya Mama lebih sayang pada cucu laki-laki dibandingkan cucu perempuan."Embusan napas Mama terdengar berat. Tangannya tak henti memijit kaki Papa yang ada di pangkuannya. Setelah tadi pergi jalan-jalan sebentar, sekarang kami sedang bersantai di ruang tengah seraya mengobrol dan menikmati martabak yang aku dan Mas Raffi beli. Meskipun Mama masih mendiamkanku, tapi aku tetap ikut berbaur bersama mereka. Jika aku mengurung diri, takutnya Mama semakin menganggapku ibu yang tidak becus mengurus anak. Apalagi sekarang Rayyan masih bermain, meskipun hanya duduk enggan berdiri. "Pilih kasih gimana?" tanya Papa kemudian. "Iya, Pah. Dia bilang kita sebagai nenek dan kakek, pilih kasih. Mentang-mentang ada Rayyan, katanya. Padahal, kan bukan begitu. Mama lebih fokus pada Rayyan, karena dia yang ada di sini. Kalau yang ada di sini anaknya Kinara atau Kinanti, ya Mama pasti ak
"Waalaikumsalam. Kamu apa kabar, Ra?" "Aku baik, Bu. Ibu sendiri gimana kabarnya? Maaf, ya, kemarin Raya enggak sempat angkat telepon Ibu. Rayyan jatuh, pas Raya mau angkat telepon," kataku menjelaskan. Ibu tidak mempermasalahkan persoalan aku tidak mengangkat teleponnya. Justru Ibu malah mengkhawatirkan Rayyan, cucunya. "Terus gimana keadaan cucu Ibu sekarang, Ra?" tanya Ibu kemudian. "Sudah membaik, Bu. Sekarang Rayyan sedang dibawa main sama Mama.""Oh, syukurlah kalau baik-baik saja. Gak apa-apa, anak jatuh itu biasa. Mau bisa lari dia. Kamunya jangan lengah, ya? Terus awasi Rayyan ke manapun anak itu berjalan. Celaka gak ada yang tahu, Ra. Hal kecil yang menurut kita biasa, sewaktu-waktu bisa membahayakan anak."Aku diam mendengarkan nasihat Ibu. Ah, jika sudah bertelepon dengan Ibu, rasa rindu selalu datang dengan tiba-tiba. Nasihatnya tak pernah salah, Ibu juga tidak sama sekali menyalahkan aku saat tahu cucunya terluka. "Raffi, gak marah sama kamu, kan waktu tahu Rayyan
116Aku tercengang seraya memegangi dada saat Mbak Lani mengambil bingkisan itu dariku, lalu melemparnya kasar ke jalan. Lidahku terasa kelu sulit untuk berucap. Hanya pandangan kaget yang kualihkan dari jalan, ke arah wajah Mbak Lani yang mendelik tajam. "Aku tidak butuh makanan darimu!" ujar Mbak Lani dengan telunjuk mengarah padaku. "Mbak, itu bukan dariku, tapi dari—""Aku gak butuh!" sergahnya lagi. "Dari siapa pun makanan itu, aku enggak peduli. Kamu sengaja datang ke sini, pasti untuk menghina putraku, kan? Kamu senang, kan karena anakku seperti suamimu yang jelek itu?"Kugelengkan kepala menanggapi sikap dan ucapan Mbak Lani yang sama sekali tidak benar. Sejak melahirkan bayi yang memiliki tanda lahir hitam di dagunya, Mbak Lani selalu mengurung diri. Dia juga selalu beranggapan jika apa yang terjadi pada anaknya, itu gara-gara suamiku yang menularkan tanda hitam di wajah putranya. Padahal, itu sama sekali tidak benar. Buktinya, Rayyan tidak seperti ayahnya. Jikapun benar
"Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "
"Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah
"Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki
"Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya
"Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su
"Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan
"Mas, kenapa liatin aku terus?" Mama dan Papa, serta semua kakak Mas Raffi sudah pergi beberapa menit yang lalu. Sekarang, tinggallah kami berdua, dan Rayyan yang sudah tidur. Hari memang sudah malam. Perabot pemberian kakak-kakak Mas Raffi pun, sudah disimpan ke tempat yang semestinya. Dibantu kakak dan kakak iparku tentunya. Saat ini, aku dan Mas Raffi tengah duduk berdua di lantai dua rumah kami. Aku dan dia sedang menikmati malam, melihat bintang dan bulan yang bersinar bersamaan. Gorden kaca sengaja dibuka agar langit terlihat jelas. Di depan kami, dua cangkir teh menjadi pelengkap kebersamaanku dengan Mas Raffi. "Malu, ih diliatin terus," kataku lagi, memalingkan wajah ke arah lampu hias berbentuk hati yang berada di sudut ruangan. Mas Raffi menyentuh daguku. Menariknya sangat pelan, agar tatapanku kembali padanya. "Karena aku kagum pada kecantikan istriku ini. Makanya, aku pandang terus.""Ih, gombal, deh," ujarku. Padahal dalam hati, aku bahagia mendapatkan pujian dari
"Saat di hotel waktu itu, sebenarnya Mbak percaya jika kamu tidak melakukan apa-apa dengan Reyhan. Kalau kamu selingkuh dengan Reyhan, untuk apa kamu meminta Mbak datang? Iya, kan?"Aku mengangguk saat Mbak Kinara menjeda ucapannya. Saat ini, hanya ada aku dan dia. Kami duduk berhadapan di meja makan, setelah tadi Mbak Nara memintaku bicara berdua. "Saat kamu pergi dari hotel itu, sebenarnya Mbak masih ada di sana. Mbak menemui Reyhan setelah melihatmu benar-benar keluar dan pergi. Aku meminta Reyhan mengatakan apa yang terjadi antara kami dengannya, versi dia. Meskipun aku tidak percaya pada Reyhan, tapi aku tetap mendengarkan dan merekam pengakuannya. Kamu tahu kenapa?" Mbak Kinara melempar tanya. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau menduga-duga dan mengatakan yang tidak ada dalam pikiran."Aku cemburu padamu, Ra. Aku iri melihat kedekatan kamu dengan Mama, juga perhatian Mama pada Rayyan.""Ya Allah, Mbak ...." Aku menatap sendu pada Mbak Kinara yang menunduk. "Maafkan Mbak
"Ini untuk kami, Mah?" tanyaku pada Mama, yang tengah membereskan sayuran serta buah segar ke dalam kulkas. Tidak hanya itu, Mama juga membeli bermacam bumbu dapur, juga perlengkapan lainnya. "Iya, Ra. Kalau untuk Mama, tidak mungkin dikeluarkan dari mobil. Ini semua untuk kalian. Mama juga beli vitamin penambah nafsu makan untuk kamu. Tapi, Raffi enggak boleh minum vitamin ini, ya? Dia punya vitamin sendiri dari dokternya," ujar Mama. Aku mengiyakan. Meskipun malu karena keluar dari kamar dalam keadaan rambut yang basah, aku tetap menemui ibu mertua yang tengah berbenah di dapur. Sedangkan Mas Raffi, dia masih di kamar. Sedang berpakaian setelah pada akhir tadi kami mandi bersama. Untunglah, kedua mertuaku paham situasi. Dari mereka tidak ada yang mengetuk pintu kamar sejak kedatangannya. Keduanya kompak membawa bermain Rayyan agar tidak mencari keberadaan orang tuanya. Ck, malu ... aku malu. Tapi, mau gimana lagi? Semuanya gara-gara ... ah, masa iya aku harus menyalahkan Mas