Beberapa saat aku meringkuk, tapi rasanya posisi itu sudah tidak nyaman lagi. Aku kembali bangun dan memilih untuk menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku tidak henti-hentinya melafalkan Asma Allah. Segala doa yang aku bisa, aku ucapkan. Termasuk doa sebelum makan. Meskipun aku salah doa, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menyebut nama Allah dari setiap kata yang aku ucapkan."Tenang, ya Sayang. Sebentar lagi kita sampai," ujar Mas Raffi yang masih fokus pada jalanan. "Alhamdulillah, kita sudah sampai di rumah sakit." Mama mengusap keningku yang berkeringat akibat menahan sakit. Saat Mas Raffi menghentikan mobil, tiba-tiba rasa ingin buang air besar membuatku mengejen dengan tiba-tiba. Sontak saja, itu membuat Mama kaget dan menyuruh Mas Raffi untuk segera memanggil dokter. Aku sudah tidak kuat berdiri lagi. Aku bersandar pada Mama dengan kaki yang mengangkang."Ya Allah, kenapa di sini?" Mbak Kinanti datang dengan wajah paniknya."
POV RAFFIIni tentang dia. Tentang seorang wanita yang mencuri hampir seluruh hatiku. Dia yang mampu menjadi penenang, di kala rasa gundahku. Namanya Raihana Kamaya. Raya, biasa aku memanggilnya. Wajahnya cantik, dengan senyum yang manis. Aku mengaguminya, bahkan sangat mengidolakannya. Dan dia ... adalah istriku. Tulang rusukku, bidadari surgaku."Mas ... kok, masih fokus sama laptop, sih? Ini sudah siang, lho." Wanita itu mulai bersuara. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit membungkus sebagian tubuhnya. Kulit putihnya terlihat begitu jelas oleh mataku. Dan itu, menghadirkan rasa yang tak bisa bagiku.Aku menyimpan laptop di meja, melangkah mendekati istriku yang tengah memilih pakaian. Dengan satu entakkan, kulingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Memeluk tubuh harum sabun yang begitu memabukkan."Mas, aku mau dibaju," ujarnya terdengar jengkel. Namun, aku tidak mengindahkan ucapannya. Aku masih menghirup wangi tubuhnya seraya memejamkan mata. "Mas,
POV RAFFI"Fi, lu tahu kabar tentang si kedelai hitam?" Aku mengangkat satu alis seraya memandangi Bayu. Sahabat sekaligus sepupuku itu tengah membuka bekal yang dia bawa dari rumahnya."Tidak. Kenapa?" tanyaku."Katanya, dia mau pergi ke luar negeri bersama kedua orang tuanya. Dia 'kan sudah keluar dari tempat rehab," ujarnya lagi. Kali ini Bayu mulai menikmati makan siangnya."Oh, baguslah. Mudah-mudahan dia bisa berubah. Jadi kedelai hitam yang manis.""Siapa yang manis?" Aku dan Bayu melihat ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka menampakkan seorang wanita dengan anak laki-lakinya. Kupasang senyum termanis untuk menyambut wanitaku yang baru saja tiba."Kecap, Ra. Aku makan di luar, ya? Selamat makan semuanya." Bayu keluar dari ruanganku seraya membawa bekalnya. Raya masuk ke dalam dan meletakkan rantang bekal di atas meja."Maaf, aku telat. Tadi ... ada tamu ke rumah.""Tamu? Siapa?" tanyaku."Arga. Dia mau bertemu Papa, tapi Papanya tidak ada. Jadi ....""Kamu yang menemani dia
MENIKAH DENGAN PRIA BURUK RUPA TERNYATA DIA .... SEASON 2"Emh ... silau lah, Sayang ...."Aku tersenyum seraya menoleh ke belakang. Di mana, seorang pria baru saja membuka mata saat aku menyibak gorden kamar, hingga cahaya matahari masuk menerobos dari celah ventilasi. "Ini tandanya sudah siang, Mas. Bangun, yuk!" kataku seraya menghampirinya. Aku duduk di pinggir ranjang, menata bantal seraya merapikan selimut yang berantakan. Mas Raffi merangkak menghampiriku seperti bayi. Kemudian dia menyimpan kepalanya di pangkuanku dengan kedua tangan memeluk pinggang. "Nanti dulu lah bangunnya. Aku masih mau manja-manja sama kamu," ujarnya semakin mengeratkan pelukan. "Ish, udah jam berapa ini? Orang-orang pasti udah pada sarapan di bawah, ini masih di tempat tidur aja." Aku mengusap rambut Mas Raffi dengan sedikit mengacaknya. Sebenarnya suamiku itu sudah bangun sejak subuh, tapi karena setelah salat dia masih merasa mengantuk, akhirnya tidur kembali. Meskipun aku sudah melarangnya, tapi
"Biar Mama aja yang mandiin Rayyan, ya? Kamu beresin meja makan aja, terus beresin kamar yang katanya tadi diberantakin Raffi sama Rayyan," lanjut Mama seraya menggendong anakku. Lagi-lagi peranku diambil Mama. Jika mungkin sebagian wanita di luaran sana merasa bahagia jika mertuanya mengambil tugas mengurus anak, tapi tidak denganku. Bukannya tidak suka, tapi menurutku Mama berlebihan. Kesannya aku jadi tidak berguna dan malas mengurus putraku sendiri. "Biar Bibi yang beresin, Mbak Raya," ujar Bi Marni mengambil alih piring kotor yang sudah kutumpuk di meja makan. "Gak apa-apa, Bi. Biar saya saja, daripada saya bengong, kan?" "Hehe .... Enggak gitu juga, Mbak. Mbak Raya, kan majikan Bibi, masa iya, tugas saya diambil alih majikan. Isin saya, Mbak."Aku terkekeh seraya mengangguk membiarkan Bi Marni membawa piring kotor ke dapur untuk dicuci. Suara tawa Rayyan membuatku penasaran ingin melihat putraku itu. Apakah dia sudah selesai mandi? Ah, ternyata benar saja. Saat aku masuk
"Mas, Mama nyuruh kita punya anak lagi."Mas Raffi langsung menatapku dengan kedua alis yang terangkat. "Masa?" tanyanya. "Mama yang nyuruh, apa kamu yang mau? Hem ....""Mama, Mas. Ih, kamu mah suka curigaan gitu." Aku mengusap wajah Mas Raffi yang dengan sengaja menggodaku seraya menaikturunkan alisnya. Dia tergelak. Tawanya pecah melihatku cemberut. "Padahal, ya, Mas. Aku masih mau main sama Rayyan. Kan, usia dia sekarang ini, gak akan terulang lagi. Tapi ...." Aku menatap suamiku seraya menjeda ucapan. "Rayyan lebih banyak dengan Mama?" tebaknya tidak meleset. Aku tidak berani mengangguk atau menggeleng. Aku justru beranjak darinya, lalu duduk di sofa panjang yang ada di dekat jendela. Tangan ini memainkan gorden warna hitam yang menjuntai pada sandaran sofa, seraya pandangan keluar melihat mobil yang berjejer rapi di sana. Kantor Mas Raffi sudah direnovasi. Ruangannya tidak sesempit saat pertama aku datang. Sekarang lebih luas, lebih rapi dan lebih privat. "Kamu cemburu,
"Boleh aku masuk?" tanya dia lagi. Aku mengangguk, kemudian menggeser pintu gerbang agar wanita itu bisa memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Malika. Dia terlihat berbeda dari terakhir kami bertemu. Selain penampilan pakaian yang lebih tertutup dari sebelumnya, kini wajahnya pun ... putih mulus, tidak ada tanda lahir seperti pada suamiku. Mungkinkah dia telah melakukan operasi di luar negeri? Tentu saja iya. Mana mungkin tanda lahir itu akan hilang dengan sabun belerang. "Apa kabar, Ra?" tanya Malika setelah turun dari mobilnya. "Alhamdulillah, baik. Kamu gimana kabarnya?" Aku balik bertanya."Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik."Aku memindai penampilan Malika dari atas hingga bawah. Ada rasa tak tenang setelah dia kembali ke negeri ini. Entahlah, melihat dia yang sekarang, membuatku merasa tidak percaya diri. Dia sangat cantik, bulu mata lentiknya menjadi magnet utama yang menarik tatapanku. Sekarang dia tidak lagi memakai pakaian terbuka yang ketat di tubuh. Malika m
Aku mengulang membaca pesan yang baru saja dikirim kakak iparku. Bunyinya masih sama, dan membuatku tak percaya. "Kenapa Mbak Kinara mengirimkan pesan seperti itu?" kataku, sangat pelan.Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak. Antara merasa bersalah, dan bingung kenapa kakak perempuan suamiku sampai berujar demikian. Cucu laki-laki yang dimaksud Mbak Kinara, pasti Rayyan anakku. Karena hanya dia satu-satunya cucu lelaki di keluarga Mama dan Papa. "Ada apa, Ra?" tanya Mama yang melihatku diam seraya memegangi ponsel. "Ah, tidak apa-apa, Mah. Emh ... tadi pas jalan-jalan, Mama ketemu siapa aja?" Mama mengerutkan kening. Mungkin dia pikir pertanyaan yang kulayangkan sangatlah aneh. "Kenapa kamu nanya gitu? Banyak Mama ketemu orang, tapi gak kenal. Apa ada kenalanmu yang tadi melihat Mama dan Rayyan?" Mama balik bertanya. Kini aku yang sulit untuk mencari jawaban. Ingin langsung mengatakan isi pesan Mbak Nara pada Mama, tapi takut jika mertuaku itu akan tersinggung. Ah, Mbak Kinara